BAB IV TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN SEBAGAI PENGANGKUT PIHAK
KETIGA TERHADAP LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
A. Tanggung Jawab Perusahaan Pengangkut Terhadap Korban Kecelakaan
Baik Penumpang Maupun Pihak Ketiga Menurut Hukum Islam
1. Arti dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian pertanggungjawaban
pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatanya itu
1
. Dalam Syariat islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal
diantaranya : a.
Adanya perbuatan yang dilarang. b.
Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan c.
Pelaku mengetahui akibat perbuatanya itu. Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawaban.abila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban, dengan demikian orang gila, anak di bawah umur, orang
yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar
1
A. Hanafi, M.A., Asas – asas Islam, Bulan Bintang Jakarta : PT Bulan Bintang, 1967., h. 121.
49
pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada. Pembebasan pertanggungjawaban terhadap mereka ini didasarkan kepada hadist Nabi dan
Alquran dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan
2
:
ﺔﺷءﺎ ﺿر
ﷲا ﺎﻬ
ﺎ ﺖ
: ﺎ
ل لﻮ ر
ﷲا ﺻ
ﷲا ﻪ
ﻢ و :
ﻓر ﻢ ﻘ ا
ﺔ ﺎ ا
ﻢﺋ ﺘﺣ
ﻆﻘ ﺘ و
ﺘ ﻤ ا ﺘﺣ
ﺮ أ
و ا
ﺘﺣ ﺮ ﻜ
Dari Aisyah ra. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw : dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang
yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.
Berbeda dengan hukum positif pada masa–masa sebelum revolusi
perancis, setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggung jawaban pidana, tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemauan
sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati pun bias dibebani pertanggung jawaban, apabila menimbulkan kerugian kepada pihak
lain. Kematian juga tidak bias menghindarkan seseorang dari pemeriksaan pengadilan dan hukuman. Demikian juga seseorang harus mempertanggung
jawabkan perbuatan orang lain, meskipun orang tersebut tidak tahu–menahu dan tidak ikut serta mengerjakanya. Baru setelah revolusi prancis dengan timbulnya
aliran tradisionalisme dan lain–lainya, pertanggung jawaban itu hanya dibebankan kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan dan
pilihan.
2
Jalaluddin As Sayuthi, Al jami’ Ash Shagir. Juz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t., h. 24.
2. Siapa yang Dibenani Pertanggungjawaban
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain
3
. Hal itu didasarkan kepada firman Allah dalam Alquran Qs. Faathir ayat 18 yang berbunyi :
Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain . Qs. Faathir : 18
Mengenai badan hukum apakah dibebani pertanggung jawaban atau tidak, sejak semula syariat Islam sudah mengenal badan–badan hukum seperti
baitulmal . Badan hukum ini dianggap mempunyai hak–hak milik dan dapat
mengadakan tindakan–tindakan tertentu. Akan tetapi, menurut syariat Islam badan hukum ini tidak dibebani pertanggung jawaban pidana, kerena
sebagaimana telah dikemukakan pertanggung jawaban ini didasarkan kepada adnya pengetahuan dan pilihan, sedangkan kedua hal tersebut tidak terdapat pada
badan hukum. Dengan demikian, apabila terjadi perbuatan–perbuatan yang dilarang yang dilakukan oleh orang–orang yang bertindak atas namanya maka
orang–orang para pengurusnya itulah yang dibebani pertanggung jawaban pidana. Jadi bukan syakhsiyah ma’nawiyah yang bertanggung jawab melainkan
syakhsiyah haqiqiyah .
3
Jalaluddin As Sayuthi, Al jami’ Ash Shagir. Juz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t., h. 75.
3. Sebab dan Tingkatan Pertanggungjawaban Pidana
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara atau
meninggalkan tidak mengerjakan perbuatanyang diperintahkan oleh syara. Jadi sebab pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Apabila tidak
melakukan kejahatan maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Meskipun demikian, untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat,
yaitu adanya idrak dan ikhtiar
4
. Apabila pertanggungjawaban pidana itu tergantung kepada adanya
perbuatan melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum itu bertingkat–tingkat maka pertanggungjawaban itu juga bertingkat–tingkat. Hal ini
disebabkan oleh karena kejahatan seseorang itu erat kaitanya dengan niatnya, sesuai dengan hadist Nabi Muhammad saw.
ﺎﻤ ا ﺎﻤ ﻻا
ل ﺔ ﺎ
Sesungguhnya amal itu berdasarkan niat Perbuatan melawan hukum adakalanya disengaja dan adakalanya karena
kekeliruan. Sengaja terbagi kepada dua bagian, yaitu sengaja semata– mata dan menyerupai sengaja. Sedangkan kekeliruan ada dua macam, yaitu keliru semata–
mata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian maka
4
Jalaluddin As Sayuthi, Al jami’ Ash Shagir. Juz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t., h. 76.
pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum tadi.
yaitu sengaja, semi sengaja, keliru dan yang disamakan dengan keliru
5
diantaranya : a.
Sengaja Al-‘Amdu Dalam arti yang umum sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan
perbuatan yang dilarang. Dalam tindak pidana pembunuhan, sengaja berarti pelaku sengaja melakukan perbuatan berupa pembunuhan dan ia menghendaki
akibatnya berupa kematian korban. Tentu saja pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih berat dibandingkan dengan tingkat dibawahnya.
6
b. Menyerupai Sengaja Syibhul ‘Amdi
Menyerupai sengajahanya terdapat dalam jarimah pembunuhan daan penganiayaan. Ini pun masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik
misalnya tidak mengenai istilah ini menyerupai sengaja, baik dalam pembunuhan maupun penganiyaan.
Pengertian syibhul ‘amdi adalah dilakukanya perbuatanya itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatanya itu tidak dikehendaki. Dalam
tindak pidana pembunuhan, ukuran syhibhul ‘amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau alat yang digunakan itu bukan alat yang biasa ghalib untuk
5
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamy, Dar Al kitab Al’ Arabi, Beirut : t.t., 2 61405,. h. 665.
6
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamy, Dar Al kitab Al’ Arabi, Beirut : t.t., 2 61405., h. 405.
membunuh maka perbuatan tersebut termaksud kepada menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.
c. Keliru Al Khata’
Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut
terjadi karena kelalaiannya atau kurang hati–hatinya. d.
Keadaan yang Disamakan dengan Keliru Pembahasan tentang lalu lintas menurut hukum Islam termasuk pada
keadaan yang disamakan dengan keliru ada dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan salah satunya adalah :
1 Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang,
tetapi hal itu terjadi diluar pengetahuanya dan sebagai akibat kelalaianya, sebagai contoh dapat dikemukakan, seseorang yang mengendarai mobil di
jalan umum, kemudian ia menabrak orang sehingga mati maka ia dikenakan pertanggungjawaban, karena ia bisa hati–hati, dan kemungkinan
menghindari akibat tersebut masih bisa, tetapi ia tidak melakukanya. Akan tetapi, jika seseorang mengendarai mobil dan debunya yang terbang karena
angin yang ditimbulkan oleh lajunya kendaran tersebut mengenai mata orang yang lewat, sampai mengakibatkan buta maka pengendara tersebut tidak
dibebani pertanggungjawaban, karena menghindari debu dari kendaraan yang brjalan, sulit dilakukan oleh pengendara itu.
2 Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang dilarang karena
kelalaianya tetapi tanpa dikehendakinya, sebagai contoh dapat dikemukakan, apabila seseorang memarkir kendaraan di pinggir bahu jalan yang di sana
terdapat larangan parkir, akibatnya jalan tersebut menjadi sempit, sehingga terjadilah tabrakan antara kendaraan yang lewat dan diantara penumpang ada
yang mati maka pemilik kendaraan yang diparkir di tempat terlarang tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban, karena perbuatannya memarkir
kendaraan di tempat tersebut tidak dibenarkan oleh peraturan yang berlaku
7
.
B. Tanggung Jawab Kopaja Sebagai Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga Menurut UU No. 14 Tahun 1992 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pengaturan tentang tanggung jawab pengangkut dalam Undang – undang Nomer 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdapat dalam
Pasal 45 ayat 1, UU No. 14 Tahun 1992, yang menyatakan : Pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaianya dalam pelaksanaan angkutan.
Pengertian dari pasal tersebut adalah dalam pelaksanaan pengangkutan keselamatan orang dan barang yang diangkut serta pihak ketiga pada dasarnya
berada dalam tanggung jawab pengusaha angkutan. Dengan demikian sudah
7
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamy, Dar Al kitab Al’ Arabi, Beirut : t.t., 2 61405., h. 105 – 106.
sepatutnya pengangkutan dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga yang timbul
karena pelaksanaan pengangkutan yang dilakukanya. Berdasarkan ketentuan ayat ini ada 3 hal yang sekligus diatur, yaitu
mengenai : 1.
Tanggung jawab pengangkut untuk mengganti kerugian
8
. 2.
Ganti kerugian itu diberikan kepada penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga
9
. 3.
System tanggung jawabnya ditafsirkan sebagai Persumtion of Liability, dari kalimat “ karena kelalaianya dalam melaksanakan pelayanan angkutan “
10
. Dalam pasal 45 ayat 1 tersebut, jika para pihak menuntut suatu ganti
rugi terhadap pengangkut, maka untuk membatasi seberapa besar jumlah yang harus dibayar pengangkut harus membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut.
Dalam setiap kerugian yang dialami setap penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, pengusaha anngkutan tidak selalu dapat dituntut pertanggung
jawabanya apabila kerugian tersebut diakibatkan karena keadaan–keadaan tertentu, sehingga dalam keadaan seperti ini penanggung dapat dibebaskan dari
tanggung jawab untuk membayar ganti rugi.
8
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta : Modern English Press, edisi 1., h. 567.
9
Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat, Jakarta : Universitas Trisakti 2007., h 32.
10
Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat, Jakarta : Universitas Trisakti 2007., h. 18–29.
Keadaan–keadaan tertentu yang mengakibatkan pembebasan tanggung jawab pengangkut
11
adalah : 1.
Kerugian yang disebabakan oleh malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya atau berada di luar kekuasaanya.
2. Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan timbulnya kerugian. 3.
Kerugian yang timbul bukan karena kesalahanya, 4.
Kerugian ditimbulkan oleh kelalaian atau kesalahan dari penumpang sendiri atau karena cacat, sifat atau mutu barang yang diangkut.
Berdasarkan ketentuan – ketentuan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, namun pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian apabila kerugian yang
dialami penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga diakibatkan karena faktor – faktor yang telah disebutkan.
Jika dikaitkan dengan prinsip tanggung jawab dalam pengangkutan, maka prinsip yang dipergunakan dalam Pasal 45 ayat 1, ialah “ praduga bahwa
pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab Persumtion of liability”. Pada kasus yang terjadi yaitu kasus tertabraknya pihak ketiga oleh kopaja
P16, maka berdasarkan Pasal 45 ayat 1, pengangkut bertanggung jawab untuk
11
Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat, Jakarta : Universitas Trisakti 2007., h 34.
membayar ganti kerugian pada pihak ketiga yaitu bapak pujianto. Tetapi dalam pelaksanaanya pihak ketiga tersebut yaitu pujianto justru meminta pengemudi
kopaja yaitu Darwin untuk membayar kerugian yang dideritanya.alasan pujianto menuntut ganti rugi kepada pengemudi kopaja adalah karena mobil kopaja yang
dikendarai oleh Darwin telah menabrak sepeda motornya akibatnya mengalami kerusakan dibagian belakang dan juga menyebabkan luka pada tubuh korban
yaitu bagian tangan dan kaki. Akan tetapi Darwin menolak untuk membayar ganti kerugian dengan alasan dia hanyalah sebagai pekerja yang dipekerjakan oleh
organisasi kopaja
12
, menurut penulis, tindakan pengemudi Darwin untuk menyerahkan tanggung jawab ganti kerugianya kepada organisasi kopaja sudah
benar dan sesuai dengan ketentuan hokum yang terdapat dalam pasal 1357 ayat 1 KUHPerdata, yaitu :
Seorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatanya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang–orang yang menjadi tanggunganya atau disebabkan oleh barang–barang yang berada dibawah pengawasanya.
Hubungan hukum yang terjadi antara pengangkut dan supirnya adalah bersifat perjanjian perburuhan yang menimbulkan hubungan hukum atas bawah
tidak sejajar dan bersifat perjanjian pemberian kuasa tanpa upah karena upahnya didalam perjanjian perburuhan.
12
Sejarah Kopaja. On-Line , tersedia di : http:www.geoogle.comSejarah Kopaja.htm
5 Agustus 2008 .
Ketentuan ini dikuatkan dengan hasil wawancara penulis dengan bapak suprapto,bahwa didalam Organisasi Koperasi Angkutan Jakarta terdapat dua
macam pengemudi
13
yaitu : 1.
Hubungan kerja pengemudi dengan ketentuan organisasi dalam hal ini kopaja.
2. Hubungan kerja pengemudi dengan pemilik kendaraan.
Di dalam organisasi kopaja yang namanya pemilik kendaran kopaja belum tentu sebagai anggota kopaja, tetapi anggota kopaja sudah pasti pemilik
kendaraan kopaja. Hal ini dikarenakan ADRT telah menentukn syarat untuk menjadi anggota kopaja adalah harus memiliki kendaraan kopaja.
Berdasarkan kasus kecelakaan kopaja P16 tersebut, mobil adalah milik anggota kopaja, dengan demikian organisasilah yang bertanggung jawab untuk
membayar ganti kerugian terhadap bapak Pujianto berupa uang untuk memperbaiki sepeda motornya yang rusak dan memberikan uang perawatan
terhadap luka–luka yang dideritanya. Besarnya biaya tersebut yaitu untuk biaya perbaikan kerusakan sepeda motor Mega Pro sebesar Rp. 300.000,- Tiga ratus
ribu rupiah. Sedangkan untuk biaya perawatan terhadap luka–luka yang diderita oleh korban sebesar Rp. 150.000,- Seratus lima puluh ribu rupiah. Dengan
demikian kopaja secara total memberikan bantuan kepada bapak pujianto sebesar Rp. 450.000,- Empat ratus ribu rupiah.
13
Buku Kumpulan Peraturan Kopaja, Jakarta : Koperasi Angkutan Jakarta, 2007., h. 48.
Hal ini berarti kopaja telah memenuhi apa yang terdapat dalam pasal 45 ayat 1 Undang–undang No. 14 Tahun 1992, yaitu :
Pasal 1 : “ pengusaha angkutan umum wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh … pihak ketiga, karena kelalaianya dalam
melaksanakan pelayanan angkutan umum”. Dan membayar ganti rugi sesuai dengan kerugian yang diderita berdasarkan Pasal 45 ayat 2.
Sehubungan dengan tanggung jawab yang dipikul oleh pengangkut, maka dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan bahwa : “pengusaha angkutan umum wajib
mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 1”.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya atas kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga karena kelalaianya dalam melaksanakan pelayanan angkutan. Maksud dari kewajiban pengangkut tersebut ialah untuk meringankan beban tanggung jawab
pengangkut. pengusaha angkutan kopaja tidak mengasuransikan tanggung jawabnya. Hal ini disebabkan karena organisasi tersebut tidak mengetahui
adanya asuransi yang diatur dalam Pasal 46 Undang–undang No. 14 Tahun 1992. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, setiap pengusaha angkutan umum
wajib mengasuransikan tanggung jawabnya, baik tanggung jawabnya terhadap penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga.
Jika pengangkut mengasuransikan tanggung jawabnya kepada perusahaan asuransi, maka kedudukan pengusaha angkutan adalah sebagai tertanggung,
sedangkan perusahaan asuransi adalah sebagai penanggung.
Tertanggung dalam hal ini adalah pengusaha angkutan umum sebagai pihak yang mempunyai kepentingan tertentu dalam kegiatan usaha atau hubungan
dengan pihak lain dalam masyarakat. Kepentingan yang dimaksud adalah tanggung jawab atas perbuatanya terhadap pihak ketiga, resiko tanggung jawab
terhadap pihak ketiga inilah yang dialihkan kepada penangung. Kelemahan dari asuransi tanggung jawab yang diatur dalam Pasal 46
Undang–undang Nomor 14 Tahun 1992 ini adalah, bahwa dalam Undang–undang ini tidak ada sanksi yang diberikan kepada pengusaha sngkutan umum yang tidak
mengasuransikan tanggung jawabnya walaupun asuransi tanggung jawab ini diwajibkan oleh pasal 46.
Kelemahan ini mengenai kewajiban pengusaha angkutan umum untuk mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga dapat dilihat dalam
penjelasan pasal 45 ayat 1 yang menjelaskan, dalam pelaksaan angkutan, keselamatan orang dan barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam
tanggung jawab pengusaha. Sehingga tanggung jawab pengusaha angkutan umum hanya terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang,
yang ditimbulkan karena pelaksanaan pengangkutan yang dilakukanya, bukan terhadap pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 45 ayat 1 tersebut tidak ada menyinggung mengenai keselamatan pihak ketiga dalam pengoperasian kendaraan umum. Walaupun
dalam penjelasan pasal 45 tersebut tidak menjelaskan mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga, tetapi dilihat dari pasal 45 Undang–undang
tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, yang timbul karena pelaksanaan pengangkutan adalah tanggung jawab pengusaha
angkutan walaupun tidak terdapat dalam penjelasan Pasal 45 Undang–undang Nomor 14 Tahun 1992.
Selanjutnya Pasal 45 ayat 2 mengatur mengenai besarnya ganti rugi yang akan diberikan kepada pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat
pengoperasian kendaraan, dilihat dari penjelasan Pasal 45 ayat 2 yang menjelaskan bahwa besarnya ganti rugi yang harus ditanggung oleh pengusaha
angkutan yang harus dibayar kepada pengguna jasa ataupun pihak ketiga, Hal–hal yang tidak termasuk dalam pengertian kerugian yang secara
nyata dijelaskan dalam penjelasan Pasal 45 ayat 2 Undang–undang Nomor 14 Tahun 1992 adalah :
a. Keuntungan yang diharapkan oleh pembeli.
b. Kekurang nyamanan yang diakibatkan karena kondisi jalan, atau jembatan
yang dilalui selama dalam perjalanan. c.
Biaya atas pelayanan yang sudah dinikmati. Tanggung jawab pengusaha angkutan umum tersebut dapat berupa
tanggung jawab terhadap kerugian jiwa ataupun materil, dan besarnya ganti rugi yang akan diberikan oleh pengusaha angkutan umum terhadap pihak yang
dirugikan terdapat dalam Pasal 45 ayat 2 yaitu sebesar kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan. Dan tidak terdapat sanksi apabila tidak
mengasuransikan tanggung jawab tersebut.
Menurut pendapat penulis, tidak dapat dipersalahkan juga kepada organisasi pengangut karena kewajiban yang diatur dalam pasal 46 tersebut tidak
diikuti dengan sanksi dalam ketentuan pidana dari Undang–undang No.14 Tahun 1992 artinya dalam ketentuan pidana tidak diatur mengenai sanksi bagi
pengangkut yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya. Kopaja hanya membayar Sumbangn Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan SWDKLLAJ
14
, yang diatur dalam Undang–undang Nomor 34 tahun 1964 Pasal 2 yang menyebutkan
15
: “ pengusaha atau pemilik alat angkutan lalu lintas jalan diharuskan member
sumbangan wajib setiap tahun kepada dana yang dimaksud dalam pasal 1”. Dana menurut pasal 1 huruf b UU No. 34 Tahun 1964 adalah :
Dana adalah dana yang terhimpun dari dana sumbangan wajib, yang dipungut dari pemilik atau pengusaha alat ngkutan lalu lintas jalan dan yang
disediakan untuk menutup akibat keuangan karena kecelakaan lalu lintas jalan korban atau ahli waris yang bersangkutan.
Adapun jumlah besarnya sumbangan wajib menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 36 PMK. 010 2008 Tentang Besar Santunan
Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Menteri keuangan Republik Indonesia Pasal 4 huruf h, yaitu sebesar Rp. 87.000,- Delapan puluh
14
. Suwrdjoko P. Warpami, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bandung : 2002.,, h. 9.
15
Undang-undang Nomor 34 Tahun 1964 Pasal 2.
tujuh ribu rupiah, untuk bus dan mikro bus angkutan umum, serta mobil penumpang angkutan umum lainya diatas 1600 cc.
Sumbangan wajib tersebut diperuntukan untuk, “ setiap orang yang berada diluar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang
menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan jalan lalu lintas tersebut “. Undang – undang No. 34 Tahun 1964 Pasal 4 ayat 1, dan PP No. 18
Tahun 1965 Pasal 10 ayat 1, “ setiap orang yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat dari
kecelakaan penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagai demikian, diberi hak atas suatu pembayaran dari dana kecelakaan lalu lintas jalan”.
Menurut pendapat penulis, sebenarnya ada 2 hal yang perlu diketahui, oleh Pihak Ketiga, yaitu :
1. Dapat menuntut kepada pengangkut berdasarkan Undang–undang No. 14
Tahun 1992 Pasal 45 ayat 1, baik untuk kerugian terhadap kendaraanya maupun lukanya pihak ketiga.
2. Kerugian terhadap lukanya pemilik motor, dapat meminta ganti rugi kepada
PT Jasa Raharja berdasarkan PP No. 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan Peaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Pasal 10 ayat 1 huruf c
yaitu : “ Dalam hal ada biaya–biaya perwatan dan pengobatan dokter yang
diperlukan untuk korban karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu yang dikeluarkan dari hari pertama setelah terjadinya kecelakaan, selama
waktu paling lama 365 hari. Biaya–biaya perawatan dan pengobatan dokter tersebut meliputi semua biaya–biaya diantaranya : pertotolongan pertama pada
kecelakaan, honorarium dokter, alat–alat pembalut, dan obat atas resep dokter perawatan dalam rumah sakit, dan lain–lain yang diperlukan menurut pendapat
dokter untuk penyembuhan korban, kecuali jumah pembayaran untuk membeli anggota–anggota badan buatan, seperti kaki atau tangan buatan, gigi atau mata
palsu dan lain sebagainya”. Berdasarkan pasal 10 ayat 1 tersebut, bapak pujianto sebenarnya juga
berhak mendapatkan biaya pergantian atas biaya dokter yang telah dikeluarkanya dari Jasa Raharja, tetapi pada pelaksanaanya biaya penggantian tersebut telah
dibayarkan sepenuhnya oleh kopaja sendiri, yang telah disetujui oleh pihak ketiga berdasarkan kesepakatan antara kopaja dengan Pujianto sehingga tidak perlu lagi
pujianto menuntut pada PT Persero Jasa Raharja.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN