Penyelenggaraan pengangkutanharus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas.
e. Asas keterpaduan
Pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antara modal
pengangkutan. f.
Asas kesadaran hukum Pemerintah wajib menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta
mewajibkan kepada setiap warga Negara Indonesia agar selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan.
g. Asas keselamatan penumpang
Pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan. Baik untuk pengangkutan maupun untuk pengguna jasa.
C. Subyek Hukum Pengangkutan
Subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subyek hukum pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum
pengangkutan, yaitu pihak–pihak dalam perjanjian hukum pengangkutan dan pihak–pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan
7
.
7
Abdul kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991., h. 45.
Subyek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum dan juga perseorangan. Subyek hukum pengangkutan dapat
kita buat dalam 2 golongan yaitu : 1.
Pihak–pihak yang berkepentingan secaralangsung dan terikat dalam perjanjian pengangkutan pengangkut dan pengguna jasa.
2. Pihak–pihak yang secara tidak langsung terikat dalam perjanjian
pengangkutan, padahal mereka bukan pihak yang berkedudukan dalam perjanjian namun mereka bertindak atas nama atau kepentingan pihak lain
8
yaitu yang disebut sebagai pihak ketiga.
D. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Hukum Pengangkutan
Dalam menyelenggarakan suatu pengangkutan, jika pengangkut tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, ia harus bertanggung jawab
dalam arti bahwa ia harus memikul semua akibat yang ditimbulkannya baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian pengangkut sendiri.
Tanggung jawab adalah kondisi yang mewajibkan seseorang harus menanggung sesuatu, jika terjadi hal yang tidak dikehendaki, orang tersebut
8
Abdul kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991., h. 33.
boleh disalahkan, diperkarakan, dituntut dan sebagainya
9
. Tanggung jawab dalam pengangkutan terbagi dalam 2 dua macam yaitu :
1. Libiality
Adalah tanggung jawab yang didasarkan pada keharusan seseorang yang menimbulkan untuk membayar ganti rugi atas kesalahan yang ia timbulkan.
2. Responsibility
Adalah jenis tanggung jawab yang didasarkan pada hati nurani seseorang yang menerbitkan kesalahan atau dengan kata lain adalah jenis tanggung
jawab moril. Dalam menyelenggarakan suatu pengangkutan, jika pengangkutan tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, ia harus bertanggung jawab, dalam arti bahwa ia harus memikul semua akibat yang ditimbulkanya baik
karena kesengajaan ataupun karena kelalaian pengangkut itu sendiri. Di dalam hukum pengangkutan maka diatur setidaknya ada 5 lima prinsip
pokok Tanggung Jawab yaitu :
10
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan based on fault.
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan presumption of liability.
c. Prinsip tanggung jawab presumption of non liability.
9
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta : Modern English Press, edisi 1., h. 567.
10
Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat, Jakarta : Universitas Trisakti 2007., h. 18–29.
d. Prinsip tanggung jawab absolute of liability.
e. Prinsip tanggung jawab limititation liability.
a. Based on fault
Prinsip based on fault atau prinsip tanggung jawab berdasar atas kesalahan diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan : “ Tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut “. Pasal ini dikenakan dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum onrechtmatigedaad. Akibat terpenting yang diatur dalam
Pasal 1365 KUHPerdata adalah tanggung jawab pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, berupa kewajibanya membayar ganti kerugian.
Dapat dikemukakan bahwa tanggung jawab menurut Pasal tersebut adalah tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan, kesalahan yang harus dibuktikan
oleh pihak yang harus menuntut ganti kerugian. Selain itu menurut Pasal 1366 KUHPerdata, tanggung jawab seseorang bisa juga diakibatkan karena
kelalaian atau kurang hati–hatinya
11
. Pada prinsip ini jelas bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang
dirugikan yang harus membuktikan bahwa kerugianya diakibatkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana di tentukan dalam pasal 1865 KUHPerdata : “
11
Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat, Jakarta : Universitas Trisakti 2007., h. 34.
setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri atau membantah sesuatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut “. Dan prinsip based on fault tidak didasarkan pada
perjanjian tetapi dengan perbuatan hokum tersebut juga menimbulkan perikatan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1353 KUHPerdata.
b. Persumtion of liability
Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab“. Tanpa ada keharusan bagi pihak yang dirugikan untuk
membuktikan bahwa ada perbuatan melawan hukum dari pihak pengangkut atau tidak. Prinsip didasarkan pada perjanjian pengangkutan, akan tetapi
pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa :
1 Kerugian yang disebabkan oleh malapetaka yang selayaknya tidak dapat
dicegah atau dihindarinya atau berada diluar kekuasaanya. 2
Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan timbulnya kerugian.
3 Kerugian yang timbul bukan karena kesalahanya.
4 Kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian atau kesalahan dari penumpang
sendiri atau karena cacat, sifat atau mutu barang yang diangkut.
Adapun alasan–alasan untuk mempergunakan prinsip praduga bahwa pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab dan beban pembuktian
diletakkan pada pengangkut didasarkan pada teori–teori : 1
Pengangkut dalam menjalankan usahanya dapat menimbulkan bahaya terhadap pihak lain.
2 Pengangkut harus memikul resiko untuk usaha–usaha yang dijalankanya,
3 Pengangkut mendapat untung dari usahanya.
4 Dipergunakan alat angkut, sehingga segala kerugian yang disebabkan
oleh alat angkut harus ditanggung oleh pengangkut. Dengan demikian dalam prinsip ini, adanya tanggung jawab
pengangkut tidak tergantung pada adanya kesalahan dari pengangkut, karena justru apabila ada kesalahan pada pengangkut, maka prinsip “ praduga bahwa
pengangkut selalu bertanggung jawab “.tidak berlaku lagi dan unsur kesalahan ini harus dibuktikan oleh pihak yang dirugikan, dengan kata lain tanggung
jawab pengangkut tidak merupakan praduga presumed lagi. Hal ini tentunya dapat merubah tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas kesalahan atau
perbuatan melawan hukum. c.
Presumption of non liability. Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu tidak
bertanggung jawab“, untuk barang bawaan yang berada didalam pengawasan penumpang sendiri, contohnya adalah bagasi tangan, dan beban
pembuktiannya adanya tanggung jawab pengangkut terletak pada penumpang
dan tanggung jawab ini baru ada, apabila ada kesalahan dari pengangkut. Prinsip didasarkan pada perjanjian pengangkutan. Dengan adanya prinsip ini,
maka ada kemungkinan tidak ada satu pihak pun yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai kerugian terhadap barang bawaan yang berada dalam
pengawasan penumpang sendiri, yaitu apabila penumpang membuktikan ia telah mengambil tindakan seperlunya untuk menjaga barang tersebut,
sedangkan pengangkut juga telah membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat mencegah timbulnya kerugian. Dengan demikian, maka penumpang sendirilah
yang harus memikul kerugianya. Kemungkinan tersebut, terlepas dari hal apakah kerugian terhadap barang bawaan yang berada dalam pengawasan
penumpang sendiri ditimbulkan terhadap penumpang lain. Jika terjadi hal yang demikian, memang pengangkut tidak bertanggung jawab, akan tetapi
penumpang tersebut, dapat menuntut ganti kerugian bertdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum.
Kekhususan dari prinsip presumption of non liability ini adalah ditujukan khusus pada barang bawaan yang berada dalam pengawasan
penumpang sendiri, yang didasarkan pada perjanjian, dimana beban pembuktian ada pada penumpang karena barang sepenuhnya berada dalam
pengawasan penumpang sendiri dan berarti menjadi tanggung jawab penumpang sendiri.
d. Absolute of liability
Prinsip ini mengandung pengertian, bahwa secara yuridis, salah atau tidak salah pengangkut harus bertanggung jawab, dengan tidak ada beban
pembuktian. Hal ini berarti, pihak pengangkut selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak adanya kesalahan atau tidak melihat siapa yang
bersalah, atau suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahan apakah pada
kenyataan ada atau tidak ada. Berdasarkan prinsip tersebut, tergugat dalam hal ini pihak
pengangkut harus membayar kerugian yang telah disebabkan oleh tindakkanya, terlepas dari salah atau tidaknya pihak tergugat namun dalam
strict liability, selalu disertai dengan pembatasan jumlah ganti rugi, selain itu dalam prinsip ini tidak dipermasalahkan adanya unsur kesalahan, kesengajaan
atau kelalaian, asal ada cukup pembuktian tentang terjadinya kerugian akibat perbuatan tergugat
12
. e.
Limitation of liability Prinsip ini berhubungan dengan semua prinsip tanggung jawab yang
telah dikemukakan, yaaitu based on fault, presumption of liability, presumption of non liability, absolute liability. Pembatasan tanggung jawab
pengangkut, pada dasarnya merupakan pembatasan dalam jumlah ganti rugi
12
Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat, Jakarta : Universitas Trisakti 2007., h. 45.
yang harus dijabarkan dalam ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang angkutan dipergunakan prinsip ini adalah :
1 Dalam kegiatan pengangkutan, resiko terbesar ada pada pengangkut,
maka sudah sepantasnya resiko itu dibatasi, walaupun mungkin dipandang dari sudut moral. Pembatasan tanggung jawab dalam hal
seorang penumpang penderita luka–luka atau meninggal adalah tidak pantas, akan tetapi prinsip pembatasan tanggung jawab ini sebagai suatu
prinsip harus tetap ada, dan ketidak pantasan penggunaannya dalam praktek, dapat dihindarkan apabila terdapat alasan–alasan yang kuat,
menurut kebijakan hakim–hakim yang dapat menyelesaikan perkaranya. 2
Agar pengangkut tidak boleh mengadakan syarat–syarat perjanjian pengangkutan yang meniadakan tanggung jawabnya.
3 Adanya limit–limit tertentu sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan-
tuntutan ganti rugi dalam peraturan perundang–undangan di bidang angkutan, akan memberikan pedoman atau patokan yang jelas, baik bagi
pengangkut maupun pihak yang menuntut ganti rugi, mengenai ganti rugi yang harus dibayarkan.
Prinsip pembatasan tanggung jawab ini ada yang bersifat breakable limit dan unbreakable limi. Breakable limit, artinya dapat dilampaui dan tidak
bersifat mutlak, dimana ganti rugi yang diberikan oleh pengangkut masih biasa diterobos, ganti rugi yang dibayarkan masih boleh melebihi jumlah yang
dinyatakan, yaitu dalam hal kerugian disebabkan oleh adanya perbuatan
sengaja willful misconduct atau kelalai berat gross neglegence dari pengangkut. Sedangkan unbreakable limit, artinya tidak dapat dilampaui
dengan alasan apapun. Hal ini berarti bertanggung jawab pengangkut dan ganti rugi yang harus dibayarkan tidak boleh melebihi jumlah yang
dinyatakan.
E. Tanggung Jawab pada Pengangkutan Jalan Menurut Undang-undang