Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro (Studi Sengketa Di Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Kota Medan)

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA AKAD PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (STUDI SENGKETA DI BAITUL MAAL WAT TAMWIL

(BMT) KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh :

RAHMAD HIDAYAT HARAHAP 087005023/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENYELESAIAN SENGKETA AKAD PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (STUDI SENGKETA DI BAITUL MAAL WAT TAMWIL

(BMT) KOTA MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

RAHMAD HIDAYAT HARAHAP 087005023/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENYELESAIAN SENGKETA AKAD PEM- BIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (STUDI SENGKETA DI BAITUL MAAL WAT

TAMWIL (BMT) KOTA MEDAN)

Nama : RAHMAD HIDAYAT HARAHAP

NIM : 087005023

Program Studi : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH., MH. Ketua

Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 05 Januari 2011

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH., MH. Anggota : 1. Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA.

2. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum. 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Salah satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syari`ah dan prinsip koperasi. Secara yuridis BMT berpayung hukum koperasi, Oleh karena itu pedoman kerja, penilaian kesehatan, AD/ART BMT merujuk pada ketentuan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Data yang ada di Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) Sumatera Utara pada tahun 2010 diketahui terdapat 50 BMT yang ada di kota Medan. Dengan jumlah yang demikian cukup besar kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa menjadi suatu hal yang sangat penting dalam melindungi kepentingan para pihak. Karenanya Tesis ini dibuat dengan rumusan masalah bagaimana ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa akad pembiayaan di BMT, bagaimana bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketanya serta prakteknya dilapangan.

Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam Tesis ini adalah data primer yang diperoleh dari lapangan dan data sekunder sebagai data pendukungnya. Dalam menganalisis data menggunakan metode analisis kualitatif dengan mengikuti langkah-langkah; klasifikasi data, penjabaran data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi. Pemilihan sampel lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, tujuannya untuk menjaring sampel yang benar-benar representatif dengan apa yang disajikan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa lembaga keuangan mikro, yakni UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ada dua opsi yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari`ah, yakni melalui proses litigasi di pengadilan atau non litigasi (Arbitrse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Dalam prakteknya penyelesaian sengketa akad pembiayaan BMT dilakukan dengan cara silaturrahmi dan musyawarah secara kekeluargaan. BMT dalam menyelesaikan sengketa tidak pernah menempuh jalur hukum, Basyarnas juga tidak menjadi pilihan BMT terhadap penyelesaian sengketa mereka. penyebab utamanya karena kurangnya pemahaman BMT tentang eksistensi lembaga ini. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan kepada lembaga keuangan mikro BMT dalam penyelesaian sengketa akad pembiayaan agar memilih Basyarnas sebagai pilihan hukum, tujuannya adalah tercapainya kepastian hukum yang berbasis ekonomi Islam. Selain itu kepada Basyarnas perlu diadakan sosialisasi mengenai keberadaan/eksistensi dan peran serta fungsinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa lembaga-lembaga ekonomi syari`ah.


(6)

ABSTRACT

One of the non-bank Islamic finance institutions is Baitul Mal wat Tamwil (BMT) which is oriented to the economic activities of small business based on the principles of Syari’ah and cooperatives. Jurisdictionally, the BMT is regulated through the law of cooperatives, therefore, the work guidelines, health assessment, statutes/bylaws of BMT are referred to Law No.25/1992 on Cooperatives.

The data available in the North Sumatera Small-scale Business and Business Incubation Centre shows that there are 50 BMTs in Medan. With this big number, the legal certainty to settle the dispute becomes a very important thing in protecting the interest of the parties involve. Thus, the purpose of this study was to find out how legal provisions regulating the settlement of dispute of financing agreement in BMT and to analyze what alternative forms were used in setting the dispute and how they were implemented in practice.

The data used in this study were primary data obtained in the field and supported by secondary data. The data obtained were analyzed through qualitative analysis method with the following steps: data classification, data analysis and drawing conclusion, and data verification. In order to get the really representative samples, the samples for this study were selected through the purposive sampling technique.

The result of this study showed that there are two legal stipulations which regulate the settlement of dispute in the micro finance institution, that is, law No. 50/2009 on the Second Amendment of Law No.6/1989 on Religious Judicature and Law No.30/1999 on Arbitration and alternative of Dispute Settlement. There were two options taken in settling law or non-litigation (through Arbitration and Alternatives of Dispute Settlement). In practice, the settlement of dispute through the court of law and BMT also never involves the Basyarnas (National Deliberation Body) in settling their cases because BMT does not understand mush about the existence of this body. Based on the result of this study, the micro finance institution of BMT is suggested to chose the Basyarnas as a legal choice in settling the dispute of financing agreement in order to attain a legal certainly which is based an Islamic economy. In addition, the Basyarnas should socialize its existence, role and function in its capacity as an institution that settles the dispute occur in the syari’ah economic institution.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro (Studi Sengketa di Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Kota Medan)”.

Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di Medan. Tesis ini tidak akan mungkin selesai tanpa adanya arahan, bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak, hingga akhirnya penulisan Tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc(CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus


(8)

sebagai Penguji, atas kesediannya memberikan pengarahan dan bimbingan serta saran demi sempurnanya Tesis;

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing Utama yang dengan penuh keikhlasan dan kesabaran telah membimbing dalam penulisan Tesis ini;

6. Bapak Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib, MA, selaku Anggota Pembimbing yang dengan sabar memberi dorongan bimbingan dan saran kepada penulis;

7. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Anggota Pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi semangat, arahan dan bimbingan kepada penulis;

8. Ibu Dr. Utari Maharani Barus, SH., M.Hum, selaku Penguji, atas kesediannya memberikan masukan dan pemikiran yang berarti demi kebaikan Penulisan Tesis ini;

9. Kepada Bapak Sandy Julioes, AA., B.Sc selaku Managing Director PMCI yang telah memberikan keizinan dan kesempatan serta dana yang diberikan untuk mengikuti pendidikan Program Magister pada Fakultas Hukum USU dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, khususnya di STIE PMCI;

10. Kepada Bapak Ramadhan, MA selaku Direktur Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) Sumatera Utara, serta Bapak Hendra Ibrahim, SE.I, selaku Manajer Operasional dan Keuangan PINBUK Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam memberikan data yang diperlukan Penulis;

11. Kepada seluruh responden dan juga narasumber lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan informasi,


(9)

literatur, dan juga keluangan waktu sehingga penelitian dalam rangka penulisan Tesis ini dapat terselenggara;

12. Seluruh staf pengajar Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal yang cukup banyak dengan berbagai ilmu pengetahuan selama penulis mengikuti perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum USU;

13. Seluruh pegawai administrasi Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan lancar;

14. Kepada teman-teman mahasiswa Program Magister Hukum yang telah memberikan semangat dan kerjasama yang sangat baik selama berlangsungnya perkuliahan maupun selama penulisan Tesis ini;

15. Kepada Ayahanda Alhambra Harahap dan Ibunda Wardiah Nasution selaku orang tua terbaik yang selalu sabar, tulus, ikhlas dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya menjadi bagian terpenting dan terindah dalam hidup penulis dan senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil; 16. Kak Juli, adikku Imai dan Ida selaku saudara kandung yang memberikan

semangat untuk penulis dalam menyelesaikan Tesis ini;

Ucapan terima kasih yang tak terhingga, juga disampaikan kepada istri tercinta Eni Putri Rahayu, S.Pd, dan ananda Khansa Khairunnisa Harahap, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan kesempatan untuk mencurahkan segenap perhatian dalam rangka menyelesaikan studi pada Program Magister Hukum ini.


(10)

Kepada kedua orang tua penulis, khususnya Ibunda Wardiah Nasution, serta kedua mertua Bapak Ahmad Basyari dan Ibu Misiati, juga diucapkan terima kasih atas segala dorongan dan do`a agar pendidikan yang sedang ditempuh ini dapat segera diselesaikan.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tesis ini. Hanya kepada-Nya lah penulis berdo`a semoga membalas segala bantuan dan dorongan dari seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkenan mempelajarinya dan membahasnya lebih lanjut, guna kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Januari 2011 Hormat Penulis

Rahmad Hidayat Harahap


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

1. Nama : Rahmad Hidayat Harahap, SH

2. Tempat/Tanggal Lahir : Delitua, 09 Februari 1980 3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Agama : Islam

5. Status Perkawinan : Kawin 6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Alamat : Jl. Besar Delitua Km. 11 No. 268 Kel. Delitua 8. Pekerjaan : Dosen STIE PMCI Medan

II. Nama Orang Tua

1. Nama Ayah : Alhambra Harahap 2. Nama Ibu : Wardiah Nasution III. Nama Istri dan Anak

1. Nama Istri : Eni Putri Rahayu, S.Pd

2. Nama Anak : Khansa Khairunnisa Harahap IV. Pendidikan

1. SD Swasta Yayasan Pendidikan Islam Delitua Tamat Tahun 1992 2. SLTP Swasta Perguruan Istiqlal Delitua Tamat Tahun 1995 3. SMU Swasta Perguruan Istiqlal Delitua Tamat Tahun 1998 4. Fakultas Hukum STIH Graha Kirana Medan Tamat Tahun 2004 5. S2 Program Studi Ilmu Hukum (USU) Tamat Tahun 2011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 18

1. Kerangka Teori ... 18

2. Konsepsional ... 25

G. Metode Penelitian ... 29

1. Jenis dan Metode Pendekatan Penelitian ... 29

2. Sumber Data ... 30

3. Lokasi Penelitian ... 31

4. Teknik Pengumpulan Data ... 32


(13)

BAB II : KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR PENYELESAIAN

SENGKETA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (BMT)... 34

A. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 34

B. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan UU 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ... 42

BAB III : BENTUK-BENTUK ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKE- TA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO BMT... 49

A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari`ah Berdasarkan Tradisi Islam Klasik... 49

1. Al Sulh (Perdamaian)... 49

2. Tahkim (Arbitrase) ... 50

3. Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)... 52

B. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari`ah Berdasarkan Hukum Posi- tif Indonesia ... 56

1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 56

2. Arbitrase... 63

3. Proses Litigasi Pengadilan ... 75

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (BMT) DI KOTA MEDAN... 81


(14)

1. BMT Amanah Ray ... 81

2. BMT Qania ... 83

3. BMT El Munawar ... 84

4. BMT Al Hafiz ... 85

5. BMT GPA Mandiri ... 86

B. Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa ... 87

1. BMT Amanah Ray ... 87

2. BMT Qania ... 88

3. BMT El Munawar ... 89

4. BMT Al Hafiz ... 90

5. BMT Gerakan Pemuda Alwasliyah (GPA)... 91

C. Penyelesaian Sengketa BMT di Kota Medan ... 92

1. Litigasi ... 92

2. Non Litigasi... 93

BAB II : KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 98


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


(16)

ABSTRAK

Salah satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syari`ah dan prinsip koperasi. Secara yuridis BMT berpayung hukum koperasi, Oleh karena itu pedoman kerja, penilaian kesehatan, AD/ART BMT merujuk pada ketentuan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Data yang ada di Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) Sumatera Utara pada tahun 2010 diketahui terdapat 50 BMT yang ada di kota Medan. Dengan jumlah yang demikian cukup besar kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa menjadi suatu hal yang sangat penting dalam melindungi kepentingan para pihak. Karenanya Tesis ini dibuat dengan rumusan masalah bagaimana ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa akad pembiayaan di BMT, bagaimana bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketanya serta prakteknya dilapangan.

Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam Tesis ini adalah data primer yang diperoleh dari lapangan dan data sekunder sebagai data pendukungnya. Dalam menganalisis data menggunakan metode analisis kualitatif dengan mengikuti langkah-langkah; klasifikasi data, penjabaran data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi. Pemilihan sampel lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, tujuannya untuk menjaring sampel yang benar-benar representatif dengan apa yang disajikan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa lembaga keuangan mikro, yakni UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ada dua opsi yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari`ah, yakni melalui proses litigasi di pengadilan atau non litigasi (Arbitrse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Dalam prakteknya penyelesaian sengketa akad pembiayaan BMT dilakukan dengan cara silaturrahmi dan musyawarah secara kekeluargaan. BMT dalam menyelesaikan sengketa tidak pernah menempuh jalur hukum, Basyarnas juga tidak menjadi pilihan BMT terhadap penyelesaian sengketa mereka. penyebab utamanya karena kurangnya pemahaman BMT tentang eksistensi lembaga ini. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan kepada lembaga keuangan mikro BMT dalam penyelesaian sengketa akad pembiayaan agar memilih Basyarnas sebagai pilihan hukum, tujuannya adalah tercapainya kepastian hukum yang berbasis ekonomi Islam. Selain itu kepada Basyarnas perlu diadakan sosialisasi mengenai keberadaan/eksistensi dan peran serta fungsinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa lembaga-lembaga ekonomi syari`ah.


(17)

ABSTRACT

One of the non-bank Islamic finance institutions is Baitul Mal wat Tamwil (BMT) which is oriented to the economic activities of small business based on the principles of Syari’ah and cooperatives. Jurisdictionally, the BMT is regulated through the law of cooperatives, therefore, the work guidelines, health assessment, statutes/bylaws of BMT are referred to Law No.25/1992 on Cooperatives.

The data available in the North Sumatera Small-scale Business and Business Incubation Centre shows that there are 50 BMTs in Medan. With this big number, the legal certainty to settle the dispute becomes a very important thing in protecting the interest of the parties involve. Thus, the purpose of this study was to find out how legal provisions regulating the settlement of dispute of financing agreement in BMT and to analyze what alternative forms were used in setting the dispute and how they were implemented in practice.

The data used in this study were primary data obtained in the field and supported by secondary data. The data obtained were analyzed through qualitative analysis method with the following steps: data classification, data analysis and drawing conclusion, and data verification. In order to get the really representative samples, the samples for this study were selected through the purposive sampling technique.

The result of this study showed that there are two legal stipulations which regulate the settlement of dispute in the micro finance institution, that is, law No. 50/2009 on the Second Amendment of Law No.6/1989 on Religious Judicature and Law No.30/1999 on Arbitration and alternative of Dispute Settlement. There were two options taken in settling law or non-litigation (through Arbitration and Alternatives of Dispute Settlement). In practice, the settlement of dispute through the court of law and BMT also never involves the Basyarnas (National Deliberation Body) in settling their cases because BMT does not understand mush about the existence of this body. Based on the result of this study, the micro finance institution of BMT is suggested to chose the Basyarnas as a legal choice in settling the dispute of financing agreement in order to attain a legal certainly which is based an Islamic economy. In addition, the Basyarnas should socialize its existence, role and function in its capacity as an institution that settles the dispute occur in the syari’ah economic institution.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia pelaksanaan sistem ekonomi Islam sudah dimulai sejak tahun 1992 dan semakin marak dengan bertambahnya jumlah lembaga keuangan Islam baik bank maupun non bank.1 Dikenal dua jenis lembaga keuangan syari`ah bank yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah (BPRS). Sedangkan lembaga keuangan syari`ah non bank diwujudkan dalam bentuk Asuransi

Takaful (AT), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Unit Simpan Pinjam Syari`ah (USPS)

dan Koperasi Pesantren (Kopontren) di berbagai wilayah di Indonesia.2

Salah satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Maal wat

Tamwil (BMT) yang berorientasi pada masyarakat Islam lapisan bawah. Kelahiran

BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syari`ah dan prinsip koperasi.3

1

Ahmad Hasan Ridwan, BMT & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syari`ah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm. v.

2

Ibid.

3

PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar dan Contoh AD-ART BMT, (Jakarta: PINBUK, tt) hlm. 1.


(19)

Lahirnya lembaga keuangan syari`ah baitul maal wat tamwil yang biasa disebut BMT, sesungguhnya dilatar belakangi oleh pelarangan riba` (bunga) secara tegas dalam Al-Qur`an.4 Kehadiran BMT muncul disaat ummat Islam mengharapkan adanya lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip syari`ah dan bebas dari unsur riba` yang diasumsikan haram.5

BMT merupakan lembaga keuangan syari`ah yang mandiri dan terpadu serta berfungsi untuk mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam rangka menunjang kegiatan usaha kecil dan menengah di masyarakat.6

Pengembangan BMT sendiri merupakan hasil prakarsa dari Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) yang merupakan badan pekerja yang dibentuk oleh Yayasan Inkubasi Usaha Kecil dan Menengah (YINBUK). YINBUK sendiri dibentuk oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), dan Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan akta notaris Leila Yudoparipurno, SH. Nomor 5 tanggal 13 Maret 1995.7

PINBUK merupakan lembaga yang mempelopori berdirinya ribuan BMT.8 Selama ini, perkembangan BMT di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam mendorong pendirian BMT-BMT di

4

Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari`ah, Cetakan 1, (Yogyakatra: UII Press, 2002) hlm. 1.

5

Ahmad Hasan Ridwan, Op.Cit., hlm. 47.

6

Ibid.,hlm. 47.

7

Pinbuk Perwakilan Sumatera Utara, Cara Pembentukan BMT, hlm. 1-3.

8

Muhammad Adlin Sila, Institusionalisasi Syari`ah Pada Lembaga Keuangan Mikro (LKM): Studi Sosiologis BMT di Cipulir dan BQ di Banda Aceh, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 242.


(20)

Indonesia. PINBUK merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian untuk mengembangkan usaha keicil dan menengah di Indonesia.9

Perkembangan BMT ini didasari pada kenyataan bahwa keberadaan perbankan syari`ah masih berpusat di masyarakat perkotaan dan lebih melayani pada usaha-usaha golongan menengah keatas. Sementara kebanyakan pelaku usaha mikro dan kecil (UKM) berada dipinggiran kota dan desa. Mereka umumnya memiliki jenis usaha yang relatif kecil dan terbatas sehingga mengalami kesulitan akses modal. Karena itulah dikembangkan lembaga-lembaga keuangan syari`ah mikro yang dapat berinteraksi dengan masyarakat di desa dengan kemudahan memberikan pembiayaan usaha-usaha kecil seperti BMT.10

Secara filosofis, gagasan pendirian BMT didasarkan kepada kepentingan menjabarkan prinsip-prinsip ekonomi Islam (fiqh almuamalah) dalam praktek. Prinsip-prinsip ekonomi Islam sejenis Tauhid, keadilan, persamaan, kebebasan, tolong menolong dan toleransi menjadi kerangka filosofis bagi pendirian BMT di Indonesia. Selain itu, azas-azas muamalah seperti kekeluargaan, gotong royong, mengambil manfaat dan menjauhi mudharat serta kepedulian terhadap golongan ekonomi lemah menjadi dasar utama bagi kepentingan mendirikan BMT di Indonesia.11

9

Ahmad Hasan Ridwan, Op., Cit, hlm.53.

10

Ibid.

11


(21)

Sedangkan secara sosiologis, pendirian BMT di Indonesia lebih didasarkan kepada adanya tuntutan dan dukungan dari ummat Islam bagi adanya lembaga keuangan berdasarkan syari`ah. Seperti diketahui ummat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia, tetapi belum ada lembaga keuangan berbasiskan syariah. Pada gilirannya, ide pembentukan BMT semakin mencuat kepermukaan diawal tahun 1990-an.12

Pemberdayaan sistem ekonomi Islam dalam bentuk pendirian lembaga-lembaga keuangan syari`ah yang berupa bank dan non bank telah digaransi dalam bentuk perundang-undangan. Adapun secara yuridis, pendirian BMT di Indonesia diilhami oleh keluarnya kebijakan pemerintah berdasarkan Undang-undang No. 7/1992 yang direvisi menjadi Undang-undang No. 10/1998 dan PP No. 72/1992 tentang Perbankan. Ketika bank-bank syari`ah banyak didirikan di berbagai wilayah, pada saat bersamaan BMT-BMT pun tumbuh subur mengikuti kebijakan pemerintah tersebut.13

BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme.14

Tujuan dari BMT adalah untuk menyediakan dana murah dan cepat guna pengembangan usaha kecil bagi anggotanya. BMT juga bertujuan meningkatkan

12

M. Syafe`i Antonio, Bank Islam: Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.25.

13

Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Syari`ah, (Bandung: Pustaka Mulia dan Fakultas Syari`ah IAIN SGD Bandung, 2000) hlm. 25-27

14


(22)

kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. 15

Pada awalnya BMT adalah sebuah organisasi informal dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yaitu suatu lembaga yang melakukan penghimpunan dana dari anggota dan diperuntukkan bagi anggota. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mencontoh proyek yang sering dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan masyarakat. Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah.

BMT yang berkembang didirikan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap, pertama dapat dimulai sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), dan jika telah mencapai nilai aset tertentu kemudian menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi. Jika mencapai keadaan di mana para anggota dan pengurus siap dengan baik untuk mengelola koperasi, maka BMT dapat dikembangkan menjadi badan hukum koperasi.16

Kebijakan ini dilakukan karena legalitas usaha yang diakui di Indonesia hanya tiga, yakni Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Koperasi. Dengan demikian, pilihan legalitas paling logis bagi BMT adalah koperasi. Maka badan hukum dan model BMT adalah koperasi bukan lembaga keuangan,

15

Ibid

16

http://pdfkita.blogspot.com/2009/07/makalah-tinjauan-syari`ah-terhadap-badan.html di


(23)

yayasan bukan pula KSM atau yang lainnya. Oleh karena itu pedoman kerja, penilaian kesehatan, AD/ART BMT merujuk pada ketentuan Departemen Koperasi, bukan yang lainnya.17

BMT mengambil bentuk hukum koperasi adalah menurut prakarsa sendiri, yaitu karena desakan kebutuhan praktis yaitu untuk memperoleh payung hukum, dan bukan karena adanya dasar hukum yang menentukan atau mengharuskan demikian, sebab dasar peraturan tentang BMT memang belum ada.18

Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi.19 Juga dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya BMT ( lembaga keuangan mikro syari’ah). Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja, sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai. 20

Dari awal sejarah berdirinya BMT merupakan lembaga keuangan yang bersifat alternatif. Hal ini terjadi karena Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang

17

Ibid.

18

M. Muhtarom, Problema Yuridis Lembaga Keuangan Baitu Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Perspektif Sistem Hukum Lembaga Keuangan di Indonesia. Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Minat Utama Hukum Bisnis Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2004, hlm. 78.

19

Baihaqi Abd. Madjid (Ed), Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syariah :

Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT, (Jakarta, PINBUK,2000), hlm. 85-91. 20


(24)

Perbankan hanya mengakui adanya dua lembaga keuangan bank yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum mempunyai wilayah operasi yang cukup luas cakupannya yaitu meliputi wilayah perkotaan dan sekitarnya, sedangkan BPR mempunyai wilayah cakupan kecamatan. Keberadaan dua lembaga tersebut yang diakui keberadaannya oleh Undang-undang belum dapat melayani sepenuhnya kepentingan umat

BMT juga dapat dilihat sebagai salah satu instrumen lembaga keuangan syari`ah, karena dari manajemen maupun operasionalnya BMT menggunakan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam. Dari segi konsep, BMT ditujukan untuk menjadi lembaga keuangan syari`ah yang menyelenggarakan kegiatan usahanya dalam bidang pengelolaan dana dan menyalurkan kredit usaha bagi masyarakat. BMT merupakan miniatur lembaga perbankan syari`ah seperti yang dikenal saat ini yakni Bank Mu`amalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah (BPRS).21

Berbagai jenis layanan melalui produk BMT tidak berbeda dari jenis layanan bank syari’ah, yang dapat dibagi menjadi 3 :

1. Sistem jual beli a. Ba’i Bitsaman Ajil

Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara mengangsur.

b. Murobahah

Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh tempo/sekaligus.

21

Karnaen Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, (Jakarta: Usaha Kami, 1996) hlm. 216.


(25)

c. Ba’i As-Salam

Penjualan hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan anggota dengan kriteria tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang muka kemudian barang dikirim belakangan (setelah jadi).

d. Jual beli Istisna’

Penjualan hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam proses pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur.

e. Ijaroh

Pembelian suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih dahulu setelah masa sewa habis maka anggota membeli barang sewa tersebut.22 2. Sistim Bagi Hasil

a. Musyarokah

Kerjasama penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya sesuai kesepakatan bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek tertentu.

b. Mudharabah

Pemberian modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola usaha/proyek yang dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan.

3. Sistim Jasa a. Qord

Pemberian pinjaman untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat konsumtif. Pengembalian pinjaman sesuai dengan jumlah yang ditentukan dengan cara angsur atau tunai. Contohnya untuk biaya rumah sakit, biaya pendidikan, biaya tenaga kerja.

b. Al-Wakalah

Pemberian untuk melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan waktu tertentu. Penerima kuasa mendapat imbalan yang ditentukan dan disepakati bersama.

c. Al-Hawalah

Penerimaan pengalihan utang/piutang dari pihak lain untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat konsumtif. BMT sebagai penerima pengalihan hutang /piutang akan mendapatkan fee dari pengaturan pengalihan (management fee).

d. Rahn

Pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang dengan membayar jatuh tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum) ditanggung oleh penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik sendiri

22


(26)

(rahin), untuk itu hendaknya rahin bersedia mengisi surat pernyataan kepemilikan.

e. Kafalah

Pemberian garansi kepada anggota yang akan mendapatkan pembiayaan (pelaksanaan suatu usaha/proyek) dari pihak lain. BMT mendapatkan fee dari anggota sesuai dengan kesepakatan bersama.23

Sejalan dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan suatu penegasan terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti bunga bank. Prinsip bagi hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam upaya mencari pengganti bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam pembiayaan

mudharabah dan musyarakah.

Selain itu, bentuk pembiayaan yang ditawarkan oleh BMT kepada masyarakat bergantung kepada dua jenis akad, yaitu: perserikatan usaha (musyarakah) dan jual beli (bai`). Dari kedua akad ini dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki oleh BMT dan nasabahnya. Diantara pembiayaan yang sudah umum dikembangkan oleh BMT maupun lembaga keuangan syari`ah lainnya adalah ; Pembiayan Bai` Bitsaman Ajil (BBA), Pembiayaan Murabahah (MBA), Pembiayaan Mudharabah (MDA), Pembiayaan Musyarakah (MSA) dan Pembiayaan

al-Qardhul Hasan.24

Berdasarkan data yang ada di PINBUK Sumatera Utara pada tahun 2010 diketahui terdapat 50 BMT yang ada di Kota Medan.25 Dengan jumlah yang demikian cukup besar kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa menjadi

23

Ibid, hlm 171-174.

24

Ahmad Hasan Ridwan, Op., Cit, hlm. 126

25

Berdasarkan wawancara dengan Ramadhan, M.A, Direktur PINBUK SUMUT (Medan: 11 Agustus 2010)


(27)

suatu hal yang sangat penting dalam melindungi kepentingan para pihak. Dalam hal menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro BMT dengan nasabahnya sangat berpotensi menimbukan sengketa. Diperoleh informasi bahwa sengketa yang timbul umumnya disebabkan karena nasabah tidak dapat melanjutkan pebayaran terhadap pembiayaan yang telah diberikan oleh BMT.26

i.28

Sengketa dapat terjadi karena tidak ditemukannya titik temu antara para pihak yang bersengketa. Sengketa ini dapat terjadi diawali karena adanya perasaan tidak puas dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan kemudian perasaan tidak puas ini menjadi conflict of interest yang tidak terselesaikan sehingga menimbulkan suatu konflik.27Penyelesaian konflik hukum tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui proses litigasi dan non litigas

Umumnya penyelesaian sengketa akad pembiayaan antara nasabah dengan BMT dikota Medan dilakukan melalui jalur non litigasi dengan cara damai (musyawarah dan kekeluargaan) hal ini dilakukan untuk menjaga hubungan baik antara nasabah dengan BMT.29

Berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan solusi dalam penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syari`ah, antara lain diatur dalam

26

Ibid.

27

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Perlembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 34.

28

Litigasi merupakan penyelesaian suatu sengketa hukum melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa hukum melalui jalur luar pengadilan.

29

Berdasarkan wawancara dengan Hendra Ibrahim, SE.I, Manajer Operasional dan Keuangan PINBUK SUMUT (Medan: 11 Agustus 2010)


(28)

Pasal 49 UU Peradilan Agama tersebut yang menyatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari`ah.”30 Bidang ekonomi syari`ah itu sendiri menurut penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU tersebut, antara lain meliputi :31

a.bank syari`ah; b. lembaga keuangan mikro syari`ah; c. asuransi syari`ah; d. reasuransi syari`ah; e. reksa dana syari`ah; f. obligasi syari`ah dan surat berharga berjangka menengah syari`ah; g. sekuritas syari`ah; h. pembiayaan syari`ah; i. pegadaian syari`ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari`ah; dan k. bisnis syari`ah.

Dalam penjelasan Pasal 49 huruf i mengenai ekonomi syaria`ah mencakup 11 kategori yang menjadi cakupan ekonomi syari`ah termasuk lembaga keuangan mikro syari`ah. Sejak lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka berdasarkan asas hukum lex

spesialis sedogat lex generalis32 Pengadilan Negeri sudah tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari`ah. Namun demikian dalam sengketa yang berkaitan dengan hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai sengketa sebagaimana yang dimaksud

30

Pasal 49 Undag-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

31

Penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

32

Asas ini menerangkan bahwa peraturan yang lebih umum akan dikesampingkan dengan peraturan yang lebih khusus, seperti Pasal 50 Undang-undang No. 8 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 2 Tahun 1986 mengenai pemberian kewenangan kepada Pengadilann Negeri untuk menyelesaikan sengketa perdata termasuk lembaga keuangan mikro syari`ah dikesampingkan oleh Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


(29)

dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 sangat terkait dengan peradilan umum.33

Hal ini ditegaskan pada Pasal 50 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 ayat (1) dari Pasal 50 menegaskan tentang kewenangan Peradilan Umum manakala terjadi sengketa kepemilikan atas objek dari Pasal 49. Sedangkan ayat (2) merupakan pembahasan eksepsionalnya, dimana ketika para pihak yang bersengketa adalah orang-orang yangberagama Islam , maka sengketa kepemilikan tersebut diselesaikan bersama-sama dengan sengketa yang terdapat pada Pasal 49.

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoriti hukum. Peran dan fungsi peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum atau dianggap terlalu formalistik dan terlampau teknis.34

Pengalaman pahit yang menimpa masyarakat yang memperlihatkan sistem peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien. Penyelesaian perkara memakan waktu puluhan tahun dan proses bertele-tele, yang dililit upaya hukum yang tidak

33

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Citra Media, 2006), hlm. 145.

34

Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-dasar Hukum


(30)

berujung.35 Banyak kelemahan yang terdapat pada pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maka banyak kalangan yang berusaha untuk mencari alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan.36

Di Indonesia Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute

resolution)37 diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahunn 1999 disebutkan bahwa : “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.” maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non

litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).38

Khusus untuk lembaga-lembaga ekonomi syari`ah, pada umumnya lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan terutama adalah melalui Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (BASYARNAS). Dengan demikian, litigasi atau penyelesaian

35

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 248. 36

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 33.

37

Jacquelin M.Nolan-Hale dalam bukunya Alternative Dispte Resolution In A Nutshell yang dikutip oleh Bismar Nasution dalam makalah “Penyelesaian Sengketa Alternatif melalui Mediasi” yang disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, Medan 2003 menyebutkan bahwa istilah Alternative Dispute Resolution pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika “Chief Justice

Warren Burger mengadakan the Roscoe E Pound Conference on the Cause of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice” (Pound Conference) di Saint Paul, mencari cara-cara baru dalam

menyelesaikan konflik.

38

Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 288.


(31)

sengketa melalui gugatan di pengadilan bukan satu-satunya lembaga atau cara yang dapat menyelesaikan sengketa, sebab tersedia beberapa alternatif untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan, yakni aribitrase dan Alternative Dispute

Resolution (ADR).39

Seperti yang telah diketahui, jika terjadi sengketa atau perselisihan antara pihak lembaga keuangan mikro syari`ah (BMT) dengan nasabahnya, maka alternatif penyelesaiannya adalah Badan Arbitrase yang menerapkan hukum materiil Islam, dalam hal ini Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (BASYARNAS) atau Peradilan Umum sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986. Namun sekarang, setelah berlakunya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, jika terjadi sengketa maka alternatif penyelesaiannya di samping BASYARNAS tersebut, juga Peradilan Agama selaku institusi yang berwenang untuk itu.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, terjalinnya hubungan hukum antara nasabah dengan BMT dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro sangat berpotensi menimbulkan suatu friksi,40 dan jika tidak diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa. Penyebab timbulnya sengketa adalah karena salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya/wanprestasi. Untuk mendapatkan keadilan serta kepastian hukum tentu para pihak akan berupaya sedapat

39

Adrian Sutedi, Perbankan Syari`ah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm.168.

40


(32)

mungkin menyelesaikan sengketa itu, maka saya selaku penulis merasa tertarik untuk mengangkat judul: “Penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro (studi sengketa di Baitul Maal wat Tamwil (BMT) kota Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro baitul maal wat tamwil?

2. Bagaimana bentuk-bentuk Alternatif penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro baitul maal wat tamwil?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro

baitul maal wat tamwil di kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperjelas pemahaman serta memberi gambaran konkrit terhadap masalah-masalah yang dirumuskan. Berpedoman pada hal tersebut diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran mengenai penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan kikro (studi sengketa di BMT kota Medan). Dalam rumusan yang lebih luas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :


(33)

1. Untuk mengetahui ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro baitul maal wat tamwil?

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk alternatif yang mengatur penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro baitul maal wat tamwil? 3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga

keuangan mikro baitul maal wat tamwil di kota Medan?

D. Manfaat Penelitian

Dengan ditemukannya berbagai hal dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan dan informasi tentang penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro (studi sengketa di BMT kota Medan), yang pada gilirannya penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis antara lain :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum yang dapat mengembangkan disiplin ilmu hukum bagi kalangan akademisi, khususnya fakultas syari`ah dan fakultas hukum sebagai langkah awal untuk melakukan penulisan serta penelitian yang lebih mendalam berkaitan dengan bidang lembaga keuangan mikro syari`ah. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada :

a. Masyarakat secara umum agar lebih memahami tata cara penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro khususnya di baitul


(34)

b. Para pelaku usaha mikro yang tersangkut dengan sengketa lembaga keuangan mikro khususnya baitul maal wat tamwil untuk mendapat suatu pemahaman mengenai penyelesaiannya sehingga memperoleh pertimbangan dalam mengambil keputusan cara bagaimana yang paling tepat dan efisien untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya.

c. Pemerintah, instansi terkait dalam pembinaan lembaga keuangan mikro khususnya BMT yang sedang mengalami sengketa, sebagai masukan dalam menyusun dan merumuskan peraturan-peraturan maupun kebijakan yang menyangkut tentang penyelesaian sengketa di lembaga keuangan mikro khususnya sengketa di Baitul Maal wat Tamwil (BMT).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan dibeberapa perpustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, diketahui belum ada suatu penelitian yang khusus memusatkan penelitian terhadap penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro (studi sengketa di BMT kota Medan), namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa yang berkaitan tentang penyelesaian sengketa dan Baitul Maal wat Ttamwil (BMT) tetapi bidang kajiannya berbeda, yaitu :

1. Tesis atas nama Syarifah Lisa Andriati, NIM. 067005026/HK, dengan judul Penyelesaian Sengketa Perdata Antara Nasabah Dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan.


(35)

2. Tesis atas nama Heriani, NIM. 077011025/MKn, dengan judul Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan.

3. Skripsi atas nama Richad Sahat Silitonga, NIM. 040200215/HK Ekonomi, dengan judul Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah.

Dari penelusuran tersebut diatas, ternyata bahwa kelompok bahasan dari permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian tesis yang pernah diajukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka baik di sidang yang bersifat ilmiah maupun dihadapan masyarakat pada umumnya. Berbagai saran dan masukan yang konstruktif sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah ini sangat diharapkan untuk pengembangan penelitian selanjutnya

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pendukung membangun atau berupa penjelasan dan permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang


(36)

dibicarakan.41 Menurut M. Solly Lubis: “Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis.42

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.43 Sedangkan kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang relevan bagi ilmu hukum.44 Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro studi sengketa di BMT kota Medan.

Sesuai dengan makna dari suatu kaedah hukum, maka kaedah hukum selalu diartikan sebagai berikut : “sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu berprilaku, bersikap dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.45

41

Satjipto Raharjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order

Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum

Universitas Dipenogoro Semarang, 15 Desember 2000, hlm. 8.

42

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

43

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 126.

44

Ibid., hlm. 127.

45

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 11.


(37)

Dalam menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini maka teori yang digunakan adalah teori keadilan dari Aristoteles yang menyatakan adil itu dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.46 Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi 2 (dua) bagian yakni :

1. Keadilan Komutatif, yaitu keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan dalam hubungan individu dengan orang lain.

2. Keadilan Distributif yaitu kepantasan adalah suatu bentuk”sama” dengan prinsip bahwa kasus yang sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dalam cara yang berbeda. Keadilan memberikan tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya melainkan kesebandingan (kesamaan yang sebanding atau persamaan yang proporsional). Jika pembentuk Undang-undang memerintahkan hakim supaya keputusannya memperhatikan keadilan adalah untuk menghindari pemakaian peraturan umum dalam hal-hal yang khusus yaitu dengan berpedoman pada kepantasan (redelijkheid) dan itikat baik.47

Teori sebagai wacana dalam menganalisis penelitian ini selain teori keadilan, digunakan teori hukum Islam dan perjanjian yang mengatur hak serta kewajiban yang timbul sebagai akibat dari pembuatan perjanjian/aqad48 bagi hasil. Kesepakatan dalam mengadakan suatu akad merupakan hak warga Negara, dimana perjanjian diantara para pihak adalah merupakan undang-undang yang mengikat kedua belah pihak tersebut.

46

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hlm. 239.

47

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm. 23-24.

48

Hasballah Thaib, Hukum Aqad (kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem

Syari`ah, (Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan,


(38)

Jalan pertama yang dilakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu akad adalah dengan menggunakan jalan perdamaian (shulhu) antara kedua pihak. Dalam fiqh pengertian shulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri sengketa.49

Perdamaian (shulhu) disyariatkan berdasarkan Al-Quran Surat Al Hujarat Ayat 9 yang berbunyi: “Jika diantara orang-orang beriman terjadi perselisihan/bertengkar/bersengketa, maka damaikanlah mereka” selain itu juga terdapat dalam Surat An Nisa` Ayat 35 yang artinya :

“dan jika kamu khawatir terjadi sengketa di antara keduanya (suami isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermasud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

Ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Umar ra pernah berkata : “ Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka”.50

Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian

49

A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan

Perikatan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983) hlm.135. 50

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 12, terjemahan oleh H. Kamaluddin A.M, (Bandung: PT. Al Ma’arif,1988), hlm. 190.


(39)

menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dan orang-orang Islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.

Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya.

Di Indonesia penyelesaian sengketa hukum dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui proses litigasi dan non litigasi.51 Dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum ini dibedakan antara bentuk-bentuk penyelesaian sengketa secara yuridis dan non yuridis, penyelesaian konflik dapat timbul ke permukaan dalam berbagai bentuk seperti melalui musyawarah atau perundingan. Kedua belah pihak yang berada dalam konflik dapat menyelesaikan secara internal. Jadi kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan baik.

51

Litigasi merupakan penyelesaian suatu sengketa hukum melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa hukum melalui jalur luar pengadilan.


(40)

Penyelesaian sengketa (konflik) pada umumnya mengacu pada klausula yang tercantum pada perjanjian atau menyertai perjanjian pokoknya. Biasanya dalam perjanjian tertulis, penyelesaian perselisihan, misalnya melalui Badan Arbitrase Syari`ah Nasional. Menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang N0. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri.52

Di dalam Negara hukum, setiap sengketa seharusnya diselesaikan di pengadilan. Namun demikian, apabila para pihak yang bersengketa tidak berkenan atas kehadiran intervensi (campur tangan) pihak lain yaitu Negara, kedua belah pihak tidak diharamkan untuk menyelesaiakan sendiri permasalahannya secara baik-baik. Dualisme53 pranata penyelesaian sengketa ini menjadi pilihan bebas bagi para pihak untuk menggunakannya.

Menurut Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :

“Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keleluasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepadanya.”54

52

Munir Fuady, Op., Cit, hlm. 213.

53

Dualisme adalah pandangan/teori yang mengatakan bahwa realitas itu terdiri atas dua substansi yang berlainan, yang satu tidak dapat dimasukkan dalam yang lain. Jiwa dan materi, nyawa dan badan, baik dan jahat, semua itu sering dilukiskan sebagai realitas yang bertentangan, Alex MA,

Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, (Surabaya: Karya Harapan, 2005) hlm. 133. 54

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Media Group, 2006), hlm. 131.


(41)

Achmad Ali mendefinisikan :

“Konflik adalah setiap situasi dimana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanann dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka.”55

Persengketaan hukum merupakan salah satu wujud dari konflik pada umumnya. Salah satu fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik didalam masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier:

“The function of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, `the law`(the clearest model of which I shall take to be the court system) is broght in to operation after there has been a conflict. Someone clains that his interest have been violated by someone else. The court`s task in to render a decision that wil prevent the conflict-and all potential conflicts like it from distrupting productive coorperation…”56

Menurut Bredemeier, fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan konflik-konflik. Secara tidak langsung hukum baru berfungsi setelah ada konflik-konflik. Yaitu jika seseorang mengklaim bahwa kepenting-kepentingannya telah diganggu oleh orang lain. Sering dikemukakan bahwa pembicaraan tentang hukum barulah dimulai apabila terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.

Gary Goodpaster dalam “Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa” dalam buku Arbitrase di Indonesia mengatakan:

“Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan

55

Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: IBLAM, 2004), hlm. 64.

56


(42)

konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yag paling tepat bagi mereka.”57

Hal ini berarti dalam penyelesaian suatu konflik terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh oleh seseorang ataupun masyarakat. Setiap penyelesaian sengketa mempunyai konsekuensi berbeda-beda. Oleh karena itu dalam suatu proses penyelesaian sengketa harus diperhatikan juga kebiasaan masyarakat setempat sehingga diperoleh suatu penyelesaian sengketa yang tepat.

Budaya hukum merupakan iklim pikiran dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan.58 Budaya adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif.59

2. Konsepsional

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsepsi adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya

57

Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 3.

58

Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi:

Perlindungan Rahasia Di Bidang Farmasi (Jakarta: Chandra Pratama, 1999) hlm. 195. 59


(43)

baru ada dalam pikiran. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realistis.60

Untuk menghindarkan kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan, maka dibawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah berikut :

a. Sengketa adalah bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung dari pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.61

b. Nasabah adalah orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan bank (dalam hal keuangan).62

c. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui posedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.63

d. Mediasi adalah proses proses penyelesaian masalah dimana satu pihak luar tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.64

60

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 34.

61

Ibid.

62

http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=nasabah, diakses

19 Mei 2010.

63

Indonesia, Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Butir 10.

64


(44)

e. Litigasi adalah penyelesaian sengketa secara hukum di pengadilan.65

f. Non litigasi adalah penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan diluar pengadilan.66

g. Basyarnas adalah suatu lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa diantara bank-bank syari`ah dengan para nasabahnya atau khususnya menggunakan jasa mereka dan umumnya sesama ummat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadi syariat Islam sebagai dasarnya.67

h. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.68

i. Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loan), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfer yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil.69

65

Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria (Semarang: Walisongo Press, Cetakan I, 2008), hlm. 107.

66

Ibid., hlm. 116.

67

Utary Maharani Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian Menurut KUHPerdata, Studi Mengenai Akad Perjanjian Antara Bank Syari`ah dan Nasabahnya Di Indonesia, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 2.

68

Pasal 1 angka (1), Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

69

Ashari, Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya, (Jurnal Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Vol 4 No. 2, Juni 2006) hlm. 3.


(45)

j. Usaha Mikro adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).70

k. Baitul maal wat tamwil merupakan lembaga yang terdiri atas dua lembaga,

yaitu baitul maal dan baitul tamwil71 adalah lembaga usaha masyarakat yang mengembangkan aspek-aspek produksi dan investasi untuk meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi dalam skala kecil dan menengah.72

l. Baitul Maal adalah lembaga yang kegiatannya menerima dan menyalurkan

dana zakat, infaq dan sadaqah.73

m.Baitul Tamwil adalah lembaga yang kegiatannya mengembangkan

usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas usaha-usaha ekonomi pengusaha kecil di bawah dan mikro dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan pembiayaan usaha ekonomi.74

70

Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, kecil, dan menengah.

71

Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (Yogyakarta: STIS Yogyakarta Cetakan I, 1998) hlm. 17.

72

Ahmad Hasan Ridwan, Op., cit, hlm. 29.

73

Ibid.

74 Ibid.


(46)

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.75 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.76 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.77 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Metode Pendekatan Penelitian

Penelitian mengenai penyelesaian sengketa akad pembiayaan lembaga keuangan mikro (studi sengketa di BMT kota Medan) merupakan penelitian hukum sosiologis atau empiris yang bersifat deskriptif analitis, maksudnya memaparkan data-data yang ditemukan dilapangan dan menganalisisnya untuk mendapatkan kesimpulan yang benar dan akurat.78 Penelitian ini didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dan penelitian lapangan

75

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hlm.106.

76

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001) hlm. 1.

77

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 6.

78

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Cet. VI, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm. 44.


(47)

untuk mendapatkan data primer atau data dasar. Adapun yang menjadi sasaran penelitian hukum ini ada dua yaitu norma untuk penelitian kepustakaan dan perilaku untuk penelitian lapangan.79

Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kasus untuk mendapatkan informasi dari responden yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.

2. Sumber Data

Menurut Soerjono Soekanto80, dalam penelitian hukum empiris dikenal data primer dan data skunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, yaitu diperoleh langsung dari responden yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti yang terdiri dari Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Pimpinan dan Manajer Kantor Pelayanan BMT.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka yang menurut kekuatan mengikatnya digolongkan kedalam:

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan.81

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diterdiri atas buku-buku teks (text book), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus

79

Sudikno mertokusumo, Op., Cit. hlm. 30.

80

Diparafrasekan dari Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op.,Cit, hlm. 51.

81

Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2006) hlm. 295.


(48)

hukum, jurisprudensi dan hasil-hasil symposium mutahir, yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.82

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Misalnya abstrak perundang-undangan, ensiklopedi hukum, indeks majalah hukum dan lain-lain.83

3. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini akan dilakukan di Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Kota Medan dengan populasi terdiri dari seluruh BMT Se-Kota Medan. Pemilihan sampel lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive

sampling,84 tujuannya untuk menjaring sampel yang benar-benar representatif dengan apa yang disajikan. Dikarenakan Karakter sampel penelitian bersifat homogen maka criteria pemilihan sampel adalah BMT yang telah berdiri kurang lebih 2 tahun dan memiliki nasabah minimal 200 orang nasabah serta memiliki persentasi pembiayaan macat minimal 2 persen. Berdasarkan teknik dan kriteria tersebut maka dipilih beberapa BMT yaitu :

1.BMT Amanah Ray beralamat di Jl. Sutrisno No. 732 A Medan.

82

Ibid.

83

Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Op., Cit, hlm. 33.

84

Purposive Sampling atau sampel bertujuan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alas an keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Suharsini Arikunto, Prosedur


(49)

2. BMT Qania Jl. Bromo Gg. Aman No. 10 Medan. 3. BMT El Munawar Jl. AR. Hakim No. 135 Medan. 4. BMT BMT Al Hafiz Jl. Bromo No. 28 Medan.

5. BMT GPA Mandiri Jl. Sisingamangaraja No. 144 Lt. 1 Medan.

4. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya.85 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya. Sedangkan alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen dan wawancara.86 Wawancara langsung dengan responden dilakukan dengan daftar pertanyaan guna memperoleh informasi tentang masalah yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian.

85

Riduwan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Alfabeta, 2004) hlm. 97.

86

Wawancara sebagai salah satu teknik dalam penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan atau data. Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Op., Cit., hlm. 115.


(50)

5. Analisis Data

Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.87

Analisa data didalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu dengan cara menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat,88 kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

87

Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 103.

88


(51)

BAB II

KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR PENYELESAIAN SENGKETA AKAD PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (BMT)

A. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata Belanda yaitu dengan Reglement op de Burgerlijke

Rechsvordering.89 Saat ini yang menjadi dasar hukum pemberlakuan arbitrase adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999.

Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaiakan sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of

jurisdiction). Disamping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan

pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antra mereka (choice of law).90

89

Munir Fuady, Op., Cit, hlm. 27.

90

Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari`ah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hlm. 7.


(52)

Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution)91 diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa : “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.”92 Maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non

litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).93

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”94

Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri cara dan proses pemeriksaan sengeketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Penentuan tersebut harus dilakukan secara jelas dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.95

91

Jacquelin M.Nolan-Hale dalam bukunya Alternative Dispte Resolution In A Nutshell yang dikutip oleh Bismar Nasution, Op., Cit.

92

Pasal 1angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

93

Karnaen Perwataatmaja, Op., Cit, hlm.78

94

Pasal 1 butir 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

95


(53)

Arbitrase menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 diartikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak bersengketa.96 Dari defenisi tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam hal arbitrase ini terdapat tiga faktor penting, yakni :

b. arbitrase itu merupakan salah satu bentuk perjanjian c. perjanjian arbitrase harus tertulis

d. perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar peradilan.

Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari`ah Nasional) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam97 dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus meneyelesaikan sengketa bisnis non Islam.

Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (BASYARNAS) saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum Yayasan. Perubahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama,

96

Pasal 1 Angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

97

Badan Arbitrase syari`ah Nasional (Basyarnas) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrument hukum yang menyelesaikan perselisihan antara pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syari`ah, asuransi syari`ah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (Basyarnas) sepanjang yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.


(1)

Hamid, A.T., Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan Perikatan, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.

Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

___________, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Media Group, 2006.

Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2006.

Ilmi, Makhalul, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari`ah, Cetakan 1, Yogyakatra: UII Press, 2002.

Janwari, Yadi. Lembaga-lembaga Perekonomian Syari`ah, Bandung: Pustaka Mulia dan Fakultas Syariah IAIN SGD Bandung, 2000.

Lubis, M. Solly. Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: mandar Maju, 1994.

Madjid, Baihaqi Abd., Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syariah : Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT, Jakarta: PINBUK, 2000. Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,

Jakarta: Galia Indonesia, 2000.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Moeloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung: 1994.

Muhammad, Manajemen Baitul Maal wat Tamwil (BMT), STIS Yogyakarta: Cetakan I, 1998.

Mukti, Arto A., Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Munawir, AW, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984.


(2)

Ngatino, Arbitrase, Jakarta: STIH IBLAM, 1999.

Narbuko, Cholid dan Achmadi, Abu, Metodologi Penelitian, Cet. VI, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.

Perwataatmadja, Karnaen. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Jakarta: Usaha Kami, 1996.

Perwataatmaja, Karnaen, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.

PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar dan Contoh AD-ART BMT, Jakarta: PINBUK, tt

____________, Modul Pelatihan Pengelola Baitut Tamwil, Jakarta: PINBUK, tt.

____________, Perwakilan Sumatera Utara, Cara Pembentukan BMT, Medan: PINBUK, tt.

Priapantja, Cita Citrawinda, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia di Bidang Farmasi, Jakarta: Chandra Pratama, 1999.

Raharjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Chandra Pratama, 1984.

Riduwan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Bandung: Alfabeta 2004. Ridwan, Ahmad Hasan, BMT & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan

Syari`ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Rohmad, Abu. Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Semarang: Walisongo Press, Cetakan I, 2008.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 12, terjemahan oleh H. Kamaluddin A.M, Bandung: PT. Al Ma’arif,1988.


(3)

Silalahi, Purnama Tiori, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Benda Tidak Bergerak Melalui Lelang, cet. I, bandung: Mandar Maju, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Jakarta: UI Press, 1986.

___________. Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

Soekanto, Soerjono dan Mumadji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Grafindo Persada, 2001.

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2, Yogyakarta: Ekonisia, 2004.

Warkum, Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syari`ah di Indonesia), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Sutedi, Adrian. Perbankan Syari`ah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Thaib, M. Hasballah dan Hasballah, Zamakhsyari, Tafsir Tematik Al Qur`an V, Medan: Pustaka Bangsa, 2008.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Widjaya, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

II. Artikel/Makalah/ Jurnal/ Tesis/Disertasi

Ashari, Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya, (Jurnal Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Vol 4 No. 2, Juni 2006)


(4)

Barus, Utary Maharani, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian Menurut KUHPerdata, Studi Mengenai Akad Perjanjian Antara Bank Syari`ah dan Nasabahnya Di Indonesia, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Manan, Abdul, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari`ah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007.

Maryam, Siti, dkk., Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta, Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Suka dan LESFI, 2002.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta: Liberty, 1996.

Muhtarom, M., Problema Yuridis Lembaga Keuangan Baitu Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Perspektif Sistem Hukum Lembaga Keuangan di Indonesia. Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Minat Utama Hukum Bisnis Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2004.

Nasution, Bismar. dalam makalah “Penyelesaian Sengketa Alternatif melalui Mediasi” yang disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, Medan 2003.

___________, dalam makalah “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di Indonesia”, diselenggarakan atas kerjasama Universitas Sumatera Utara dan Pengadilan Tinggi Agama Medan, yang disampaikan di Auditorium Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 24 Desember 2010.

Raharjo, Satjipto, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000.

Sila, Muhammad Adlin, Institusionalisasi Syari`ah Pada Lembaga Keuangan Mikro (LKM): Studi Sosiologis BMT di Cipulir dan BQ di Banda Aceh, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Thaib, Hasballah, Hukum Aqad (kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syari`ah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005.


(5)

III. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang direvisi menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-undang No. 2 Tahun 1986 yang direvisi menjadi Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

Undang-undang No. 35 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, kecil, dan

menengah

PP No. 72/1992 tentang Perbankan.

PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi.

KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syari’ah. Surat Edaran Mahkamah Agung-RI No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi


(6)

Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari`ah.

IV. Sumber dari Internet

http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=nasa bah, diakses tanggal 19 Mei 2010.

http://pdfkita.blogspot.com/2009/07/makalah-tinjauan-syariah-terhadap

badan. html, diakses tanggal 29 Mei 2010.

http://www.KamusBahasaIndonesia.org, diakses 23 Juni 2010.

http://www.Beberapa+Masalah+Hukum+dalam+Praktek+Ekonomi+Syari%60 ah%2C+Makalah+Diklat+Calon+Haqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=4b

a4fd3435162061, di akses tanggal 17 Desember 2010.

http://hukumonline/detail=17024=Berita, diakses tanggal 25 November 2010.

http://hukumonline/detail=17024=Berita, diakses tanggal 27 November 2010.

http://httktimonline.coin/detail=17114,7/7/07>, diakses tanggal 27 November

2010.

http://www.badilag.net/data/berita%20umum/BASYARNAS_JANUARI_10. html, diakses tgl. 27 Desember 2010.

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/PARADI GMA%20PENYELESAIAN%20SENGKETA%20PERBANKAN%2