1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang sempurna di antara ciptaan Allah SWT
1
. Kesempurnaan penciptaan pada manusia ini tidak dalam term fisikal, melainkan
secara mental-psikologis, moralitas dan akal potensi penciptaan. Potensi penciptaan secara mendasar termanifestasikan dalam dua unsur yaitu potensi
kebaikan dan keburukan. Untuk dapat berhasil mengarungi kehidupan dan melerai dinamika di dalamnya, manusia harus mampu mengejawantahkan potensi yang
dimilikinya dalam term kesempurnaan ilahiah yaitu penghambaan secara utuh baik ketika suka maupun duka.
Eksistensi manusia sebagai makhluk sempurna menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi, Sebagaimana Allah telah berfirman :
1
Q.S al-Tin 95:4
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. mereka berkata:
Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.
2
Karena itu manusia dituntut untuk mampu mengendalikan dirinya, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat sebagai aspek yang
mengiringi keberadaannya. Dewasa ini, dinamika kehidupan manusia terus meningkat dan semakin
kompleks. Perkembangan zaman yang seyogyanya mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dunia yang berarti juga terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi mereka ternyata belum mampu mewujudkan kebahagiaan hakiki. Namun nyatanya masih saja ada manusia yang mengambil tindakan
melanggar ketentuan ilahi sebagai akumulasi dari ketidakbahagiaan. Dapat dikatakan bahwa korelasi yang terjadi di dunia mengambil bentuk
hubungan kausalitas tetapi tidak semua hubungan tersebut bersumber dari luar diri manusia. Sebagai bentuk hubungan kausalitas yang bersumber dari dalam diri
manusia ialah gejala atau bentuk tindakan seseorang yang mengalami
2
Q.S al-Baqarah 2:30
keputusasaan, di antaranya tindakan bunuh diri karena kemiskinan, kehilangan harta benda, merampok karena gagal mendapatkan pekerjaan, gantung diri karena
turun pangkat, atau memotong urat nadi karena gagal dalam meraih cita-cita. di sisi lain, juga terekam adanya orang kaya bunuh diri, istri pengusaha terjun dari
gedung tinggi, dan lain sebagainya. Kedua fakta tersebut memperlihatkan dua model manusia terhadap hubungan dirinya dan kehidupan. Jika yang pertama
terjadi sebagai akibat akumulasi dari kesusahan yang dirasakan. Maka yang kedua terjadi karena ketidakmampuan memaknai hakekat kecukupan dan kehidupannya.
Jadi, secara garis besar dapat penulis ungkapkan bahwasanya faktor ekonomi, beratnya tekanan hidup serta melencengnya harapan seseorang terhadap sesuatu
yang diinginkanya, maka akan berpotensi untuk menimbulkan rasa keputusasaan. Karena pada dasarnya, putus asa adalah salah satu potensi negatif baik itu dalam
bentuk sedih, marah, malu, bahagia, bangga, dan sebagainya.
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Q.S. Fushilat :49
Meskipun demikian putus asa tidak dianjurkan oleh al-Quran sebagaimana yang tertera dalam firmannya :
Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir
.
3
Sebagai manusia yang mempunyai tujuan hidup tentu akan sangat merugi apabila kebahagiaan yang bersifat sementara, seolah-olah menjadi tujuan akhir
dari kehidupan dengan melupakan kebahagiaan yang hakiki di kehidupan selanjutnya. Al-Quran mensinyalir tentang hal tersebut seperti terdapat pada surat
Ali „Imr
â
n 152
4
. Pada hakikatnya manusia harus bisa menempatkan alam dunia sebagai pijakan
untuk kemudian melangkah pada alam yang sebenarnya yaitu akhirat yang abadi. Tentunya dengan tidak melupakan kebahagiaan dunia. Agama dibutuhkan untuk
membawa manusia pada kebahagiaan yang hakiki. Al-Quran hadir sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dari persoalan individu
sampai masalah internasional dalam pelbagai aspek kehidupan
5
. Al-Quran juga hadir untuk membimbing manusia agar bisa mengembangkan potensi positifnya
3
Pada surat Yûsuf ayat 87, Allah SWT mengingatkan pesan Nabi Ya ‟kub kepada anak-
anaknya tatkala hendak berangkat ke Mesir untuk mencari Yusuf, Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.
Jalaluddin al-Mahalli,Jalaluddin al-Suyuti, terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Jalalain Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004. vol. 1, hal. 925
.
...
…. di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang
menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka[239] untuk menguji kamu, dan Sesunguhnya Allah Telah memaafkan kamu. dan Allah mempunyai karunia yang
dilimpahkan atas orang orang yang beriman.
5
Quraish Shihab, Membumikan al-
Qur‟an Bandung:Mizan,1995, hal.27
dan mengeliminasi potensi negatif yang ada dalam dirinya. Al-Quran juga telah memberikan tuntunan kepada manusia untuk dapat menjadi makhluk sempurna
yaitu makhluk yang menggunakan akal dan pikiranya serta bersikap senantiasa dilandasi oleh hati, perasaaan dan kesanggupan secara jasmani. Karena secara
esensial, manusia tidak akan mendapatkan cobaan atau tempaan hidup melebihi batas kemampuannya.
Masalahnya adalah bahwa cara manusia berpikir dan bersikap tidak mampu menerjemahkan kehendak pikiran Tuhan secara utuh dalam limpahan dan
anugrah-Nya. Allah Swt berfirman dalam Ali-Imran ayat 156 berikut:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir orang-orang munafik itu, yang mengatakan kepada Saudara-saudara
mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak
mati dan tidak dibunuh. akibat dari perkataan dan keyakinan mereka yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di
dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.
Berbagai disiplin ilmu yang muncul dan berkembang seolah menjadi rujukan manusia modern untuk memecahkan masalah mereka sekaligus mengambil solusi
darinya, diantaranya adalah ilmu psikologi dan filsafat kehidupan bahkan pada karya-karya dalam bidang sastra dijadikan referensi pokok untuk menghadapi
realitas kekinian. Meskipun demikian, keputusasaan dalam menghadapi masalah
masih saja ditemukan, bahkan di negara maju sekalipun. Di lain pihak, mereka yang memakai al-Quran sebagai falsafah kehidupan seolah tidak menemukan
jawaban atas persoalan yang mereka hadapi. Lalu bagaimana seharusnya al-Quran berlaku? Padahal janji Allah adalah menghilangkan rasa duka cita pada manusia
apabila ia menerima al-Quran dengan keyakinan dan mengamalkannya. Sebelum menjawab pertanyaan di atas perlu kiranya disadari bahwa fenomena
yang terjadi pada kehidupan ummat manusia, kebanyakan dari mereka hanya memfungsikan al-Quran sebatas hiasan rumah yang disusun rapih dalam sebuah
rak buku ataupun sebagai hiasan dinding, naifnya lagi mereka hanya sekedar untuk membacanya saja namun tidak banyak yang berusaha untuk
mengaplikasikan serta mengamalkan mushaf tersebut. Pada akhirnya, wajar jika Allah belum mengabulkan atau memberikan janjinya terhadap manusia tersebut,
karena sesungguhnya Allah akan memberikan janjinya ketika mereka mau mengaplikasikan serta mengamalkannya, tentunya dengan harapan mencari
keridhaan serta pertolonganya. Dengan kata lain, al-Quran akan terasa bermakna dan berguna sebagai
petunjuk hidup ummat manusia di muka bumi ini, jikalau al-Quran difungsikan serta dimanifestasikan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah
kepada mereka manusia yaitu mengimani, membaca menafsirkan serta mengaplikasikanya. Selanjutnya, kompleksitas zaman merupakan sebuah
tantangan yang perlu dihadapi. Al-Quran memiliki peran penting untuk menjawab tantangan tersebut, karena ayat-ayat yang tertera di dalamnya merupakan kata
kunci dalam menjawab permasalahan yang berkemabang dalam kehidupan
manusia hingga akhir zaman nanti. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sampai kapanpun penafsiran ayat-ayat al-Quran merupakan proses yang tidak
mengenal titik henti.
6
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa umat Islam sebagai makhluk yang mengimani al-Quran dituntut untuk dapat mengkolaborasikan antara al-Quran
sebagai teks nash yang terbatas, dengan perkembangan problem dan perubahan
sosial yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas
7
, dengan tujuan untuk mendapatkan benang merah di antara keduanya. Muhammad Syahrur
mengatakan bahwa, al-Quran harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi umat manusia.
Berangkat dari itu, bahwa al-Quran diturunkan ke dunia ini memiliki beranekaragam tujuan yaitu diantaranya menjadi petunjuk
Hud
â
8
, penerang hidup manusia
Bay
â
n ”,
9
pembeda antara yang benar dan salah Furqan
”,
10
dan juga sebagai penyembuh penyakit hati
Syif
â
al-Qalb ,”
11
serta menjadi petuah atau nasehat bahkan menjadi peringatan bagi umat manusia.
Setiap manusia ingin mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, akan tetapi penderitaan selalu datang. “Putus asa” sebagai penyakit jiwa selalu menjadi
masalah serius dalam kehidupan umat manusia. karena itulah al-Quran sebagai penyembuh penyakit jiwa di sini dapat menemukan perannya tersebut bila
6
Abdul mustaqim, dkk, Studi al-Quran Kontemporer: wacana baru berbagi metodologi
Tafsir id., Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, hal,.xii
7
Abdul Mustaqim, dkk, Studi al-Quran, hal. ix
8
Achmad Gholib, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-
Qur‟an, Al-hadits dan sejarah Peradaban Islam jakarta:penerbit Faza Media, 2006, hal.43
9
Q.S. al- An’âm 06:157
10
Q.S. al-Furqân 25:1
11
Q.S. Yûnus 10:57
disinergikan dengan realitas kontemporer sebagai upaya menuntun kembali manusia hingga sampai ke jalan Allah.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-
Nya.Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku,Masuklah ke dalam syurga-Ku.
Berdasarkan latar belakang masalah dan pemikiran di atas penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa bentu-bentuk keputus asaan dalam al-Quran
serta kiat menghadapi agar tidak disudutkan kenyataan dan menemukan cahaya Allah dengan mengabil solusi dari al-Quran, untuk itu penulis mengambil judul
PERSPEKTIF AL-QURAN TENTANG KEPUTUS ASAAN: “Telaah Tafsir
Tematik tentang ayat-ayat yang meng gambarkan “berputus asa” dan
Pencegahannya dalam al- Quran”
B. Tinjauan Pustaka