Perspektif Filsafat Keputusasaan dalam Perspektif 1. Perspektif Psikologi

2. Perspektif Filsafat

Dalam ranah filsafat, tidak banyak penulis temui diskusi tentang putus asa, baik secara langsung maupun tidak. Di antara para filosof yang membicarakan tentang keputus-asaan adalah Sören Kierkegaard, ia merupakan seorang tokoh filsafat eksistensialis sekaligus bisa disebut juga bapak pada aliran ini mengatakan, bahwa putus asa adalah salah satu emosi manusia yang paling signifikan yang memberikan dorongan pada pemikiran yang bermanfaat tentang sifat dari kondisi manusia 21 . Putus asa dalam pandangan Kierkegaard merupakan sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Satu-satunya obat dari keputusasaan adalah kematian. Karena pada dasarnya setiap orang pasti akan mengalami sebuah keputusasaan baik itu hal yang disadari atau tidak 22 . Selanjutnya, Kierkegaard membagi keputusasaan menjadi tiga jenis, di mana hal tersebut merupakan sesuatu bentuk keputusasaan yang biasa dialami oleh manusia dengan beragam tingkatannya. Selain itu, di dalam bukunya yang berjudul T he Sickness Unto Death, ketiga hal ini justru menjadi point terpenting untuk dibahas . Adapun ketiga point tersebut adalah : 1. Keputusasaan yang tidak disadari oleh dirinya sendiri atau putus asa karena keterbatasan. 21 http:metapsychology.mentalhelp.netpocview_doc.php?type=bookid=2882 22 Sören Kierkegaard ,The Sickness Unto Death Published by Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1941 Putus asa semacam ini biasanya lahir dari ketidaktahuan. Banyak orang mengalami kondisi seperti ini, baik mereka menyadarinya atau tidak. Dalam hal ini biasanya, mereka seakan-akan baik, namun jiwanya merasakan kehampaan terutama ketika melihat banyak orang dan hal-hal di sekitarnya, dengan cara menyibukkan dengan segala macam urusan duniawi, dengan seolah-olah menjadi bijaksana, seseorang lupa pada dirinya, lupa pada namanya sendiri, dan tidak percaya lagi pada dirinya sendiri. Putus asa semacam ini sangat banyak dialami namun sedikit mereka yang menyadarinya. 2. Putus asa dalam menolak untuk menerima diri sendiri atau putus asa pada kelemahan dirinya sendiri. Dalam kategori ini, bentuk keputusasaan berupa tidak ingin menjadi diri sendiri yang sebenar-benarnya, yakni dengan cara merubah dirinya menjadi orang lain bahkan dilakukan dengan cara mati-matian. Pada akhirnya manusia tersebut menolak untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Makhluk yang seperti ini biasanya beranggapan bahwa „hidup hanyalah sebuah permainan dari sebuah perubahan‟. Oleh karena itu, pada saat putus asa, ketika bantuan tidak ada yang datang, maka orang tersebut berusaha ingin menjadi orang lain. Keputusasaan semacam ini, dapat menyebabkan seseorang menjadi gila karena dia tidak tahu akan dirinya yang sebenarnya. Dalam fenomena keputusasaan semacam ini, seseorang beranggapan bahwa dengan mencintai kemewahan dan kegelamoran maka orang tersebut akan merasa nyaman dalam hidupnya. Atau dengan kata lain, dia hanya mengenal apa yang dia kenakan tanpa mengenal dirinya yang sebenarnya. 23 3. Kesadaran dari diri sendiri tetapi penolakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan atau bisa disebut putus asa dengan cara pembangkangan. Berbeda dengan putus asa yang sebelumnya yaitu putus asa terhadap penolakan diri sendiri. Justru dalam kategori ini keputusasaan untuk menjadi diri sendiri. Atau bisa juga disebut putus asa pembangkangan. Pada fase ini, menurut mereka, bahwa identitas diri datang bukan dari luar tetapi langsung dari diri sendiri. Hal ini berakar pada kesadaran suatu ketidak terbatasan, menjadi berhubungan dengan yang tak terbatas. Pada tahap ini, seseorang akan merasa mendapatkan sebuah keabadian atau besar kemungkinan dari mereka tidak mengakui sang Pencipta. Mereka menolak untuk menerima suatu aspek dari luar dirinya atau dapat dikatakan tidak ada yang sempurna selain dirinya. Karena mereka merasa dirinyalah yang menciptakanya. Manusia ini selalu menantang untuk tidak mengakui kekuasaan selain miliknya sendiri. Artinya mereka hanya memperhatikan dirinya sendiri, yakni dengan mempotensikan dirinya sebagai sesuatu dengan cara menyamakan antara yang terbatas atau tidak. Dalam proses keinginannya untuk menjadi Tuhan sendiri, ia beranggapan bahwa harus benar-benar menjadi mengenal dirinya sebagai yang tak terbatas dan dalam 23 http:www.hebrew4christians.comArticlesDespairdespair.html pandangannya bahwa ia adalah penggerak itu sendiri. Namun justru ini adalah bentuk keputusasaan yang tertinggi karena menafikkan keberadaan manusia sebagai yang terbatas dan menyatakn diri sebagai yang tak terbatas. 24 Guna mempertajam analisis pada perspektif filsafat ini, penulis juga mengungkapkan pandangan para filosof lainya yaitu seperti Henri Bergson. Beliau merupakan seorang filosof asal Prancis yang tersohor dengan filsafat manusia-nya. Pada teori terdahulu, manusia tidak bebas, dibatasi oleh faktor-faktor kehidupan, tidak bisa mengaktualisasikan dirinya. Menurut Henri, manusia bebas adalah manusia yang memiliki kesadaran akan keber- ada-annya. Manusia menjadi bebas, jika perbuatannya memancar dari kepribadian orang tersebut seutuhnya. Mengungkapkan jati dirinya. Sadar akan ada-nya 25 . Oleh sebab itu, jika manusia sadar akan dirinya maka mereka akan tahu siapa Tuhannya. Ketika mereka telah mengetahui akan Tuhannya niscaya kelak mereka akan jauh dari keputusasaan yang akan menimpa dirinya. Karena mereka tahu bahwa diri mereka hanya makhluk yang lemah, ketika mereka dihadapkan dengan permasalahan yang mendera dirinya mereka tidak akan sanggup untuk memikulnya sendiri. Namun, mereka langsung bergegas untuk memohon bantuan kepada Tuhannya, sehingga mereka tidak langsung cepat berputus asa atas beban 24 http:www.hebrew4christians.comArticlesDespairdespair.html 25 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1996, hal.1314 permasalahan yang sedang dipikulnya. Karena ada kekuatan lain yang mampu untuk membantunya keluar dari masalah, yaitu Tuhan. Kemudian Sartre, filsuf lain yang juga berasal dari Prancis, beliau memiliki argumen lainnya. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang bebas memilih. Dalam hidup manusia, tentu hanya ada 2 pilihan: menjadi manusia bebas dengan memiliki kesadaran akan ”ada” nya. Atau, menjadi manusia yang tidak bebas, penuh dengan kekhwatiran yang ditandai akan kecemasan. Cemas dala m menemukan ”ada” nya dan terkadang juga pada saat menjaganya 26 . Dalam hal ini Sartre membedakan antara cemas atau takut. Cemas adalah perasaan yang menghinggapi diri manusia yang faktornya berasal dari dalam diri sendiri keber ”ada” annya. Sementara takut adalah perasaan yang menghinggapi diri manusia dengan faktor benda-benda lain di luar diri manusia itu sendiri 27 . Sedangkan filsafat Islam mempunyai argumen tersendiri dalam menanggapi keputusasaan. Menurutnya, secara garis besar kehidupan manusia hanya memiliki dua pilihan, yaitu menjadi manusia baik atau menjadi manusia yang celaka. Menjadi baik, berarti memilih yang baik dalam segala perbuatannya selama hidup. Memilih celaka berarti, melakukan perbuatan buruk dengan sadar 28 . Menurut hemat penulis, berdasarkan pembahasan di atas mengenai putus asa dalam ranah filsafat, memang tidak mengena secara langsung. 26 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, hal.96-97 27 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hal. 95 28 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 128 Akan tetapi, jika kita menela‟ah dan mengkonstruksi berbagai pernyataan filosuf di atas lebih dalam, jelas bahwa mereka sedang membicarakan manusia. Kesemua filosuf sadar, bahwa manusia hidup dengan beragam pilihan yang terkadang menggiurkan. Selain itu, tidak sedikit pula di antara mereka yang salah dalam menentukan pilihanya tersebut. Pilihan-pilihan itu, tidak bisa tidak, harus dijalani dan dipilih salah satunya oleh manusia. Tentunya, setiap manusia memiliki angan-angan dan cita-cita agar mendapatkan yang terbaik bagi dirinya.. Ada adagium bahwa ”Kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan ”. Inilah yang menjadi acuan dalam mempelajari keputusasaan. Para manusia, dengan segenap kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya, berusaha meraih apa yang mereka harapkan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang kemudian gagal dan tak mampu bangkit kembali, sehingga dalam bahasa filsafat Islam, memilih menjadi manusia celaka. Melakukan sesuatu untuk meraih apa yang mereka harapkan dengan perbuatan buruk, yang –ironisnya- dilakukan dengan sadar. Inilah titik temu pembahasan putus asa dalam filsafat yang diargumentasikan oleh para filosuf. 32

BAB III INDENTIFIKASI AYAT-AYAT KEPUTUSASAAN

DALAM AL-QURAN

A. Ayat-ayat al- Qur’an tentang Keputusasaan

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, al-Quran telah mengasosiasikan putus asa dengan 3 kata, yaitu Yaisu , Qanatha , Ablasa sesuai dengan pendefinisian masing-masing. Maka pada bab ini, penulis akan mencoba mengidentifikasi pada ayat mana saja dalam al-Quran yang memuat ketiga kata tersebut. 1. Yaisa Kata terdapat di dalam sepuluh 1 ayat al-Quran dengan berbagai maksud dan tujuannya masing-masing. Allah menurunkan wahyu tersebut agar Hamba- hambanya selalu menghindarkan diri dari perasaan berputus asa. Karena pada dasarnya, putus asa merupakan salah satu sifat dari orang-orang kafir. Seperti apa yang telah diterangkan pada ayat berikut :            1 Al-Husni al-Maqdisy, Kamus Faturrahman, Beirut: Daar el Fikr, 1995, hal. 360