28
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi keragaman.
37
Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan library research dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan field
research kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran
secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah penggunaan galon merek terdaftar oleh depot air minum isi ulang. Selanjutnya ditarik kesimpulan
dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan
menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil- dalil,
atau prinsip-prinsip
dalam bentuk
proposisi-proposisi untuk
menarik kesimpulan
terhadap fakta-fakta
yang bersifat
khusus,
38
guna menjawab
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.
37
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.53.
38
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Op.Cit., hlm.109
Universitas Sumatera Utara
29
BAB II PENGGUNAAN GALON AIR MINUM MEREK AQUA DAN
PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Merek 1. Pengertian Merek
Pengertian merek terdapat di Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 yaitu merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dan unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Merek pada hakekatnya adalah suatu tanda. Jadi suatu merek digunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya, karena itu barang
yang diberi merek tersebut memiliki tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.
39
Agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek maka harus memiliki daya pembeda. Daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai
tanda yang dapat membedakan produk perusahaan yang satu dan perusahaan yang lain. Tidak dapat diterima sebagai merek apabila tanda tersebut sederhana seperti
gambar sepotong garis atau tanda yang terlalu ruwet seperti gambar benang kusut. Merek paling mudah dikenali dari identitas fisiknya yang berbentuk visual seperti
nama merek, by line, tag line, dan penyajian grafis merek.
40
39
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm.84.
40
A.B. Susanto, dan Wijanarko Himawan, Power Branding, cetakan pertama, Bandung: Mizan Media Utama, 2004, hlm.80.
Universitas Sumatera Utara
30
Secara singkat merek dapat diartikan sebagai tanda pengenal atau nama yang membedakan suatu barang milik seseorang dengan milik orang lain. Contohnya
seperti produk pakaian, mengingat pakaian hampir sama dan untuk membedakannya harus diberi label atau cap sebagai tanda pengenal dari produk barang yang
diproduksi oleh perusahaan yang bersangkutan. Pembahasan disini adalah mengenai merek yang ruang lingkupnya meliputi
dunia usaha yang khususnya berkaitan dengan tanda pengenal suatu barang atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan tertentu, yang bertujuan untuk perdagangan
yang lazimnya disebut merek dagang. Menurut
Sudargo Gautama
Merek adalah
“Merek pada
umumnya didefinisikan sebagai suatu tanda yang berperan untuk membedakan barang-barang
dan suatu perusahaan dengan barang dari perusahaan lain”.
41
Sedangkan menurut Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah merek adalah “Alat untuk membedakan
barang dan jasa
yang diproduksi oleh sesuatu
perusahaan”.
42
Insan Budi Maulana menyatakan “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau komposisi dari unsur-
unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
43
41
Sudargo Gautama b, Hak Merek, Bandung: Alumni, 1977, hlm.32.
42
Muhammad Djumhana, dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm.154.
43
Insan Budi Maulana a, Op.Cit., hlm.101.
Universitas Sumatera Utara
31
Menurut Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata menyatakan “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa”.
44
Pada prinsipnya merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak dapat dijadikan merek. Merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak jelas akan daya
pembedanya, tidak mampu untuk berdiri sendiri sebagai identitas mandiri yang terlalu umum. Merek yang hanya terdiri dari titik-titik, garis, angka-angka, huruf-huruf,
lingkaran, segi tiga dianggap tidak mempunyai daya pembeda karena terlampau sederhana bentuknya.
45
Sedangkan merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat 1 yaitu “Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-
angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Selanjutnya, R.M. Suryodiningrat menyatakan bahwa “Barang-barang yang dihasilkan oleh pabriknya dengan dibungkus dan pada bungkusannya itu dibubuhi
tanda tulisan dan atau perkataan untuk membedakan dan barang sejenis hasil perusahaan lain, tanda inilah yang disebut merek perusahaan”.
46
44
Sudargo Gautama, dan Rizawanto, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.33.
45
Djoko Prakoso, Hukum Merek dan Paten Sederhana Indonesia, Jakarta: Dhara Prize, 1991, hlm.51.
46
R.M. Suryodiningrat, Hak Milik Perindustrian, Bandung: Tarsito, 1980, hlm.32.
Universitas Sumatera Utara
32
Sedangkan menurut Sentosa Sembiring, fungsi keberadaan merek adalah:
47
a. Membedakan dengan barang atau jasa sejenis jati diri; b. Menunjukkan kualitas mutu barang atau jasa;
c. Sebagai sarana promosi iklan. Berdasarkan pengertian merek yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dan
Undang-Undang Merek, maka secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa merek merupakan suatu tanda yang dapat menunjukkan identitas barang atau jasa, yang
menjadi pembeda suatu barang atau jasa dengan barang atau jasa lainnya dihasilkan oleh seseorang,
48
beberapa orang atau badan hukum dengan barang atau jasa yang sejenis milik orang lain, memiliki kekuatan perbedaan yang cukup, yang dipakai
dalam produksi dan perdagangan. Merek adalah suatu tanda, tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda,
49
hal ini disebabkan pendaftaran merek, berkaitan dengan pemberian hak eksklusif yang
diberikan oleh negara atas nama atau simbol terhadap suatu pelaku usaha. Apabila diamati maka pada dasarnya definisi-definisi yang telah dikemukakan
di atas menuju pada suatu pengertian yang sama atau dengan kata lain memiliki persamaan pada pokoknya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa merek terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
47
Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Hak Cipta dan Merek, Cetakan I, Bandung: Yrama Widya, 2002, hlm.32.
48
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.120.
49
Suyud Margono, dan Lingginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Jakarta: Novirindo Pustaka Mandiri, 2002, hlm.27.
Universitas Sumatera Utara
33
a. Suatu tanda pengenal yang dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut,
b. Merupakan alat pembeda barang hasil produksi perusahaan satu dengan barang sejenis hasil produksi perusahaan lainnya, baik yang dimiliki perseorangan
ataupun badan hukum c. Digunakan dalam rangka keperluan perdagangan atau dalam ruang lingkup
perdagangan. Merek trademark sebagai salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual
Intellectual Property Rights adalah memegang peranan penting dalam perdagangan. Merek tidak saja dianggap sebagai sebuah nama atau label sebuah barang, tetapi
merek memiliki arti yang sangat mendalam yakni merek mempunyai suatu makna yang sangat besar, dengan merek sebuah barang dapat mempunyai nilai yang tinggi
dan menunjukan kualitas dari sebuah barang atau jasa. Suatu merek yang sudah mendunia atau terkenal di dunia akan memiliki harga tawar dan posisi yang tinggi.
50
Dewasa ini
kesadaran masyarakatkalangan
usahawan di
Indonesia nampaknya sudah mulai meningkat terhadap perlindungan terhadap merek barang
atau jasa, hal ini dapat dilihat dari peningkatan permohonan pendaftaran merek oleh subjek hukum lokal. Dalam konteks ekonomi, perlindungan HKI akan mendorong
timbulnya investasi. Perusahaan-perusahaan akan terpacu untuk melakukan investasi pada kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan atau pada industri dan
50
Insan Budi Maulana b, Perkembangan Perlindungan Hak Cipta dan Merek di Indonesia: Bianglala HKI, Jakarta: Hecca Publishing, 2005, hlm.187
Universitas Sumatera Utara
34
perdagangan yang berbasiskan HKI. Pihak asingpun akan bersedia melakukan investasi di suatu negara apabila terdapat jaminan perlindungan yang cukup terhadap
investasi di negeri tersebut.
51
Merek sebagai salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual HKI tentu tidak dapat dari sistem HKI Indonesia. Perkembangan sistem HKI modern
di Indonesia
dimulai dengan
diratifikasinya Convention
Establishing the
WTOAgreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Konvensi WTOPersetujuan TRIPs dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Ratifikasi
ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian, yaitu:
52
a. Legislasi dan Konvensi Internasional: merevisi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HKI dan mempersiapkan peraturan
perundang-undangan yang telah ada di bidang HKI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan baru untuk bidang HKI.
b. Administrasi: menyempurnakan sistem administrasi pengelolaan HKI dengan misi memberikan perlindungan hukum dan menggalakkan pengembangan karya-
karya intelektual. c. Kerjasama: meningkatkan kerjasama terutama dengan pihak luar negeri.
d. Kesadaran masyarakat: memasyarakatkan atau sosialisasi HKI. e. Penegakkan hukum: membantu penegakan hukum di bidang HKI.
51
Sanusi Bintang, Hukum Kekayaan Intelektual, Jakarta: BPHN, 2003, hlm.6-7.
52
A. Zen Umar Purba, “Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 13, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001, hlm.4-5.
Universitas Sumatera Utara
35
Hukum HKI merupakan sebuah hukum yang harus terus mengikuti perkembangan tekhnologi untuk melindungi kepentingan pencipta. Kata milik atau
kepemilikan dalam HKI memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dibandingkan dengan istilah kekayaan. Hal ini juga sejalan dengan konsep hukum perdata Indonesia
yang menerapkan istilah milik atas benda yang dipunyai seseorang.
53
Perkembangan sistem modern ini Pemerintah Indonesia, yang berkaitan dengan bidang legislasi khususnya dalam bidang merek pemerintah menetapkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, kemudian dalam perkembangannya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Ketiga undang-undang tersebut apabila ditinjau dari sistem pendaftarannya adalah menganut sistem pendaftaran konstitutif, ini merupakan perubahan yang
sangat mendasar dalam undang-undang merek sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 yang menganut sistem deklaratif.
54
Adapun yang dimaksud dengan sistem deklaratif adalah pemakai pertama atas merek adalah yang berhak atas
merek, sistem ini menganut asas prior user has a better right disamping itu sistem ini mengandung arti bahwa merek tidak ada keharusan untuk didaftarkan. Sistem
konstitutif mengandung arti bahwa hanya merek yang didaftar yang dapat melahirkan
53
Ahmad M. Ramli, Hak atas Kepemilikan Intelekttual: Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000, hlm.24.
54
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual, Edisi Revisi: Cet.4, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2004, hlm.362.
Universitas Sumatera Utara
36
hak khusus atau hak eksklusif exclusive right atas merek, pemakaian saja belum menimbulkan hak eksklusif dan belum memperoleh perlindungan hukum, sistem
konstituf ini ditegakkan atas asas prior in tempora melior in jure siapa yang duluan mendaftar dia yang berhak mendapat perlindungan hukum dengan demikian sistem
konstitutif mengandung paksaan untuk mendaftar compulsory to registered.
55
Dengan berlakunya sistem pendaftaran merek secara konstitutif di Indonesia maka hal ini memiliki konsekuensi bahwa pelaku usaha yang mempunyai merek
dagang atau jasa harus mendaftarkan mereknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Demi hukum apabila seseorang yang telah bertahun-tahun memakai suatu
merek tetapi belum didaftarkan namun merek tersebut oleh pihak lain telah lebih dahulu didaftarkan maka pihak pertama yang telah memakai merek tersebut secara
hukum tidak boleh lagi menggunakan mereknya, sebab ia belum mendaftarkan mereknya.
Sistem deklaratif dan konstitutif memiliki kelemahan dan keuntungan masing- masing, hal ini menimbulkan polemik dari kalangan ahli hukum. Salah satu ahli
hukum yang
kontra terhadap
berlakunya sistem
konstitutif ialah
Hartono Prodjomardjojo yang dalam seminar hukum atas merek yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional pada presentasinya yang berjudul Undang- Undang Merek 1961 dan permasalahan-permasalahannya, mengemukakan sebagai
berikut:
55
HD. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, Jakarta: FH UI, 2003, hlm.86.
Universitas Sumatera Utara
37
“Mengingat bahwa wilayah Republik Indonesia itu sangat luas sedang perhubungan dari daerah yang satu ke daerah yang lain belum semudah dan
secepat yang diperlukan untuk melaksanakan pendaftaran merek, maka melihat keuntungan
dan keberatan
masing-masing stelsel
pendaftaran, penulis
berpendapat bahwa untuk Indonesia stelsel deklaratif adalah stelsel yang cocok dengan keadaan di Indonesia, sehingga penulis berpendapat bahwa stelsel
deklaratif di Indonesia tidak perlu diganti dengan stelsel konstitutif”.
56
Sementara salah
satu ahli
hukum yang
menyatakan bahwa
sistem konstitutiflah
yang efektif untuk diberlakukan di Indonesia adalah Emmy Pangaribuan Simanjuntak yang menyatakan sistem yang cenderung untuk digunakan
adalah sistem konstitutif dengan alasan bahwa sistem ini lebih memberikan kepastian hukum mengenai hak atas merek kepada seseorang yang telah mendaftarkan
mereknya itu, pendapat ahli lain yang sependapat dengan sistem konstitutif adalah pendapat Sudargo Gautama.
57
Sehingga sistem pendaftaran merek yang paling sesuai diberlakukan di Indonesia saat ini adalah sistem konstitutif, mengingat dengan sistem pendaftaran
merek konstitutif ini selain lebih memberikan kepastian hukum, juga pada saat ini sedang diterapkan pendaftaran merek bisa dilakukan secara online sehingga
pendaftaran merek dapat dilakukan di mana saja di seluruh wilayah Republik Indonesia, dan kepemilikan merek terdaftar tersebut dapat dibuktikan secara online.
58
Di Indonesia untuk pendaftaran merek hanya dapat dilakukan di satu tempat yaitu Direktorat Merek Kantor Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
56
OK. Saidin, Op.Cit., hlm.365.
57
Ibid.
58
Berita Humas Kementrian Hukum dan HAM RI, ”7 bulan, 7 hari, 7 menit”, http:www.kemenkumham.go.idberitaheadline1814-7-bulan-7-hari-7-menit, terakhir diakses tanggal
11 Juli 2014.
Universitas Sumatera Utara
38
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun pendaftaran juga dapat dilakukan di Kantor Wilayah yang difungsikan sebagai kantor perwakilan dari Kantor
Merek. Perkembangan hukum merek di Indonesia telah ada sejak kolonial belanda
hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001. Sejarah perkembangan hukum di Indonesia ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Reglement Industrieele Eigendom Kolonien 1912 Undang-Undang Merek yang tertua di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah
jajahan melalui Reglement Industrieele Eigendom Kolonien 1912 Peraturan Hak Milik Industri Kolonial 1912,
59
peraturan ini diberlakukan untuk wilayah-wilayah Indonesia, Suriname, Curacao. Peraturan ini disusun dan mengikuti sistem Undang-
Undang Merek Belanda, dan menerapkan sistem konkordansi
60
yaitu ketentuan perundang-undangan yang dibuat, disahkan oleh dan berasal dari negara penjajah
yang juga diterapkan pada negara jajahannya. Reglement Industrieele Eigendom 1912 terdiri dari 27 dua puluh tujuh pasal dan dalam reglement itu perlindungan hukum
diberikan kepada merek terdaftar selama 20 dua puluh tahun dan tidak mengenal penggolongan kelas barang seperti yang diatur dalam Perjanjian Nice Nice
Agreement tentang klasifikasi barang dan jasa. Peraturan merek kolonial ini menganut sistem Deklaratif,
61
dimana sistem ini mengutamakan perlindungan hukum
59
Insan Budi Maulana a, Op.Cit., hlm.7.
60
Sudargo Gautama a, Op.Cit., hlm.14.
61
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm.54
Universitas Sumatera Utara
39
kepada pemakai pertama bukan pandaftar pertama, artinya pemakai pertama memiliki hak yang lebih baik dibanding dengan pendaftar pertama. Peraturan yang ada dalam
reglement 1912 dapat dikatakan sebagai peraturan merek yang sederhana oleh karena dalam reglement ini diantaranya belum mengakui atau mengatur merek jasa atau
service mark, hak prioritas atau priority right, tidak membicarakan mengenai lisensi merek, tidak mengatur masalah pemalsuan merek atau counterfeiting mark, dan juga
masalah ganti rugi, pemidanaan dan lain sebagainya.
62
Dalam periode tahun 1945 hingga tahun 1961, setelah Indonesia menjadi negara merdeka, Reglement
Industrieele Eigendom Kolonielen 1912 masih tetap dilaksanakan. Pelaksanaan peraturan-peraturan yang dibuat pada masa penjajahan itu didasarkan pada Pasal II,
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-Undang No 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan Lahirnya Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 seperti yang
dijelaskan dalam konsiderannya, sebagai pengganti dan memperbaharui hukum merek yang lama, yang diatur dalam Reglement Industrieele Eigendom, S. 1912
Nomor 545, akan tetapi seperti yang dikemukakan Sudargo Gautama, ternyata tidak dijumpai pembaharuan yang berarti. Menurut Sudargo Gautama Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1961, boleh dikatakan merupakan pengoperan daripada ketentuan- ketentuan dalam Peraturan Milik Perindustrian dari tahun 1912.
63
Oleh karena itu
62
Ibid., hlm.55.
63
Ibid., hlm.14.
Universitas Sumatera Utara
40
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 banyak mengandung kelemahan atau kekurangan-kekurangan terutama apabila dikaitkan dengan kebutuhan perkembangan
ekonomi perdagangan pasar bebas. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 hanya terdiri dari 24 dua puluh empat pasal. Sistem yang dianut adalah sistem deklaratif
dengan menekankan perlindungan hukum pada pemakai pertama, di mana perlindungan hukum ditekankan perlindungannya kepada pihak yang pertama kali
memakai first use principle dan tidak pada pihak yang pertama kali mendaftar. Prinsip ini mengandung arti bahwa bagaimanapun pendaftaran suatu merek pada
Direktorat Merek hanya merupakan anggapan adanya hak eksklusif suatu merek bagi pihak yang mendaftarkan, sampai kemudian terdapat pihak lain yang dapat
membuktikan sebagai pemakai pertama atas merek tersebut. Salah satu kelemahan yang sangat dirasakan dalam Undang-Undang Merek
Nomor 21 Tahun 1961 adalah mengenai aturan pembatalan yaitu Pasal 10 ayat 1 yang menyatakan bahwa untuk menuntut pembatalan merek yang mengandung
persamaan pada keseluruhannya atau pada pokoknya sama, harus dilakukan dalam waktu 9 sembilan bulan setelah pengumuman pendaftaran dalam Tambahan Berita
Negara, nyatanya dalam praktek, pengumuman pendaftaran, tidak pernah dilakukan secara tepat, terkadang baru diumumkan 5 atau 10 tahun kemudian. Berarti selama
pendaftaran belum diumumkan, tertutup kemungkinan pemilik merek yang sesungguhnya untuk menuntut pembatalan, ketentuan ini dipandang sebagai suatu
yang tidak realistik dan tidak adil.
Universitas Sumatera Utara
41
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tidak mencantumkan definisi dan arti merek, juga ketentuan-ketentuan bagaimana suatu merek dapat didaftar dan yang
harus ditolak. Undang-undang itu hanya menyatakan bahwa hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang beberapa orang apabila “memiliki daya beda”
dan “pertama kali memakai merek itu di Indonesia,” dan hak khusus atas merek itu hanya berlaku terhadap barang-barang sejenis hingga tiga tahun setelah pemakaian
terakhir merek itu. Hak atas merek diberikan kepada siapapun dan hanya mensyaratkan “daya beda” merupakan syarat yang sangat luas. Karena dengan
demikian, setiap hal yang memiliki daya beda dapat memperoleh “hak khusus atas merek.”
Dalam Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 tidak mengatur mengenai perlindungan merek terkenal. Merek Terkenal yaitu apabila suatu merek
telah beredar keluar dari batas-batas regional sampai batas-batas internasional, dimana telah beredar keluar negeri asalnya dan dibuktikan dengan adanya
pendaftaran merek yang bersangkutan di berbagai negara.
64
Konsep perlindungan merek terkenal tidak diatur sama sekali oleh undang-undang ini, dan pada saat
berlakunya undang-undang ini praktek pelanggaran terhadap merek terkenal sudah kerap terjadi, sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa pengaturan Pasal 10
ayat 1 menjadi suatu ganjalan bagi para pemilik merek yang dirugikan untuk menegakkan haknya dari praktek pendaftaran merek serupa oleh pihak yang tidak
berwenang, untungnya hal ini segera diantisipasi oleh Mahkamah Agung RI dengan
64
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1486 Kpdt1991.
Universitas Sumatera Utara
42
memasukan prinsip mengenai itikad baik good faith yang dirumuskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ke dalam Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961.
65
Sehingga pemakai pertama di Indonesia yang beritikad baik diberi perlindungan, artinya apabila seseorang membajak merek terkenal dari luar negeri dan
mendaftarkan atas namanya sendiri, ia tidak akan dilindungi. Walaupun berhasil pendaftaran itu dilakukan, dapat dibatalkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung sejak
tahun 1972 telah memberikan landasan kuat untuk meminta pembatalan pendaftaran merek terkenal yang telah didaftarkan dengan cara membajak.
66
c. Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 Undang-Undang Merek ini diundangkan pada tanggal 28 Agustus 1992 dan
berlaku efektif pada tanggal 1 April 1993. Secara umum undang-undang merek ini banyak berorientasi kepada Konvensi Paris revisi Stockholm tahun 1967. Malahan
banyak persamaannya dengan Model Law tahun 1966 yang diintrodusir oleh BIRPI United International Beureu for the Protection of Intellectual Property Right
bekerja sama dengan UNCTAD United Nation Confrence of Trade and Development
67
dalam upaya mewujudkan terbinanya sistem merek yang seragam serta standar hukum merek yang sama di semua negara di bidang merek. Secara jelas
Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992, jauh lebih luas dan sempurna dari
65
Sudargo Gautama c, Himpunan Yurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Praktik Sehari-hari, Jilid I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm.211
66
Sudargo Gautama d, Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, Bandung: Eresco, 1995, hlm.21.
67
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm.67
Universitas Sumatera Utara
43
Undang-Undang Merek Tahun 1961. Letak perbedaannya dapat diuraikan antara lain, sebagai berikut:
68
1 Pendaftaran merek merupakan dasar timbulnya hak atas merek sistem konstitutif, sedang pemakaian merek yang telah terdaftar tersebut merupakan
syarat user requirement agar pendaftaran merek yang bersangkutan dapat di perpanjang jangka waktu perlindungannya;
2 Diperkenalkannya adanya kelompok hak atas merek yang baru disamping merek dagang yaitu : merek jasa dan merek kolektif;
3 Hak atas merek meliputi hak untuk memberikan lisensi pemakaian merek yang bersangkutan kepada pihak lain;
4 Diperkenalkan adanya prosedur pengumuman publikasi permintaan pendaftaran merek dalam Berita Resmi Merek untuk memberikan kesempatan kepada pihak
yang berkepentingan mengajukan keberatan oposisi; 5 Diperkenalkan adanya Komisi Banding di lingkungan Kantor Merek yang
bertugas memeriksa keberatan terhadap penolakan permintaan pendaftaran merek; 6 Dimungkinkan untuk mengajukan permintaan pendaftaran merek dengan Hak
Prioritas Priority Right sesuai dengan ketentuan Konvensi Paris; 7 Ada batas waktu maksimal bagi Kantor Merek untuk menyelesaikan permintaan
pendaftaran merek, dengan kemungkinan bahwa apabila batas waktu ini tidak
68
Syprianus Aristeus, Perlindungan Merek Terkenal Sebagai Aset Perusahaan, Jakarta: BHPN, 2010, hlm.101-104
Universitas Sumatera Utara
44
ditepati maka permintan pendaftaran merek yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap Kantor Merek di Pengadilan Tata Usaha Negara;
8 Ada batas waktu maksimal dan minimal untuk mengajukan permintaan perpanjangan waktu perlindungan merek terdaftar maksimal 12 bulan dan
minimal 6 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pendaftaran; 9 Pengalihan hak atas merek berdasarkan pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian dan
sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang, serta dapat dilakukan baik dengan ataupun tanpa perusahaan dan good will-nya;
10 Kantor Merek dapat menghapuskan pendaftaran merek secara Ex Officio” atau atas prakarsa sendiri, berdasarkan bukti bahwa merek termaksud telah tidak
dipakai lagi oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut atau lebih; 11 Gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan oleh pemilik merek
terdaftar; 12 Pemilik merek terkenal dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran
merek, meskipun pendaftaran yang digugatkan itu untuk barang yang tidak sejenis;
13 Pemilik pendaftaran merek dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan penghentian pemakaian merek terhadap pihak ketiga yang memakai mereknya secara tanpa
hak; 14 Diperkenalkan adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang merek;
Universitas Sumatera Utara
45
15 Adanya ketentuan pidana terhadap tindak pidana di bidang merek, dengan ancaman hukuman yang cukup tinggi.
d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-Undang Merek
Nomor 14 Tahun 1997 mencantumkan sanksi pidana atas pelanggaran merek. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961 yang tidak
mencantumkan sanksi pidana apapun atas pelanggaran merek. Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 merupakan revisi Undang-Undang Merek Nomor 19
Tahun 1992 yang disahkan pada tanggal 7 Mei 1997 yang membagi pelanggaran merek atas 4 empat macam yaitu:
69
1 perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan secara sengaja dan tanpa hak dengan menggunakan merek yang sama;
2 perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak dengan menggunakan merek yang serupa;
3 perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan karena kelalaiannya; dan 4 perbuatan pelanggaran merek karena menggunakan tanda yang dilindungi
berdasarkan indikasi geografis atau indikasi asal yang dilakukan secara sengaja dan tanpa hak sehingga menyesatkan masyarakat mengenai asal-usul barang atau
jasa. Undang-undang merek tersebut diatas, menyatakan sebagai tindak pidana
kejahatan terhadap bentuk pelanggaran macam ke 1, 2, dan ke 4, sedangkan tindak
69
Insan Budi Maulana a, Op.Cit., hlm.125.
Universitas Sumatera Utara
46
pidana pelanggaran dikenakan terhadap pelanggaran merek jenis yang ke-3. Sanksi Pidana ke-4 baru diterapkan sejak diterapkan Undang-Undang Merek Nomor 14
Tahun 1997 karena pada Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 ketentuan pasal tersebut tidak pernah ada. Pencantuman pasal tersebut, dalam Undang-Undang
Merek Nomor 14 Tahun 1997 merupakan tindak lanjut perjanjian TRIPs untuk memberikan perlindungan hukum terhadap “Indikasi Geografis” dan “indikasi Asal”.
Terhadap keempat macam bentuk pelanggaran merek, Undang-Undang Merek mencantumkan sanksi pidana yang berbeda-beda pula. Pasal 81 Undang-Undang-
Merek Nomor 14 Tahun 1997 yang merupakan revisi undang-undang merek sebelumnya menyatakan:
“Barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan
hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah”.
Jika diperhatikan pasal itu maka dapat diuraikan unsur-unsur yang dapat dikenakan sanksi pidana pasal itu yaitu barang siapa, dengan sengaja dan tanpa hak,
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya, dengan merek terdaftar milik orang lain, yang diproduksi atau diperdagangkan.
1 Barang siapa, Berarti siapa saja yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek
hukum yaitu bisa manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Dengan demikian badan hukum dapat dituntut pertanggung
Universitas Sumatera Utara
47
jawaban pidana meskipun telah melanggar Pasal 81 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek.
2 Dengan sengaja dan tanpa hak, Unsur sengaja mendahului unsur perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan
lagi, bahwa pelaku menghendaki untuk melakukan perbuatan mendistribusikan, menggunakan suatu produk milik merek terdaftar. Kehendak ini termasuk juga
pengetahuan yang harus sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian sifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah
diketahuinya. Unsur tanpa hak berarti si pelaku sebelum menggunakan dan mendistribusikan produk milik merek terdaftar tersebut telah mengetahui atau
menyadari bahwa ia tidak berhak melakukannya. Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang demikianlah yang
biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang UU atau pasal yang melarang.
Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya. Orang yang
berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh karena itu untuk membuktikan
Universitas Sumatera Utara
48
kesadaran sifat melawan hukum perbuatan patokannya, ialah terbukti si pembuat berjiwa normal.
70
3 Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya Jadi agar tindak pidana merek yang diatur Pasal 81 undang-undang dapat
diancam dengan pemidanaan, pelaku harus “menggunakan” merek tersebut pada barang atau jasa dalam kegiatan produksi dan atau perdagangan. Dalam hal ini,
harus terkandung persamaan yang menyeluruh antara merek yang digunakan pelaku dengan merek orang lain yang sudah terdaftar. Definisi umum atas
pengertian mempunyai persamaan secara keseluruhan entireties similar adalah peniruan imitation meng-copy atau memproduksi secara bulat dan utuh merek
orang lain. 4 Dengan merek terdaftar milik orang lain
merek yang digunakan pelaku mempunyai persamaan secara keseluruhan dengan merek orang lain yang “sudah terdaftar” dalam DUM registered dengan yang
“tidak terdaftar” unregistered, merek yang dilindungi dalam tindak pidana merek hanya merek yang sudah terdaftar, apabila merek milik orang lain yang
ditiru atau dipalsu tersebut belum terdaftar dalam DUM maka penggunaan yang dilakukan pelaku baik dalam produksi dan atau perdagangan, tidak menimbulkan
tindak pidana merek yang dirumuskan dalam Pasal 81 Undang-Undang Merek.
70
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
2003, hlm.152.
Universitas Sumatera Utara
49
5 Yang diproduksi atau diperdagangkan. perbuatan “memperdagangkan” yaitu memperdagangkan menjadi aspek fisik
tindak pidana Pasal 84 undang-undang. Pelaku bukan orang yang melakukan peniruan, pemalsuan atau pembajak merek orang lain, tetapi terbatas pada
perbuatan memperdagangkan barang atas jasa yang menggunakan merek yang dipalsu atau dibajak.
Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut, maka apabila salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi oleh terdakwa maka ia tidak dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana dinyatakan di atas. Sanksi pidana ini, hanya dapat diperlakukan terhadap terdakwa yang menggunakan merek orang lain yang telah terdaftar. Secara
prinsipil tidak ada hal-hal yang mengubah prosedural pendaftaran merek dan jumlah pasal antara Undang-undang merek Nomor 14 Tahun 1997 dengan Undang-undang
Merek Nomor 19 Tahun 1992. Keseluruhan jumlah Pasal dalam Undang-undang Merek itu tetap 90
sembilan puluh pasal termasuk 5 lima pasal lainnya yang terdapat pada ketentuan peralihan dan ketentuan penutup yang sudah tercantum sejak berlakunya Undang-
Undang Merek Nomor 19 Tahun 1997. Seandainya terdapat pasal atau peraturan baru, hal itu disisipkan pada pasal-pasal yang sudah tercantum dengan memberikan
beberapa perbedaan, misalnya Pasal 6 ayat 3 dan ayat 4, pasal 79A, 79B, 79C dan 85 A, dan seterusnya Beberapa ketentuan baru dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1997 yang membedakan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, di antaranya, adalah :
Universitas Sumatera Utara
50
1 Perlindungan merek terkenal di atur dalam dua ayat berbeda yaitu Pasal 6 ayat 3 dan ayat 4, dan kategori perlindungan juga di bedakan. Pasal 6 ayat 3 memberi
perlindungan terhadap barang atau jasa sejenis, sedangkan Pasal 6 ayat 4 memberi perlindungan terhadap barang atau jasa yang tidak sejenis, tetapi
ketentuan lebih lanjut atas Pasal 6 ayat 4 itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.
2 Perlindungan terhadap “Indikasi Geografis” diatur Pada pasal 79A dan “indikasi asal” diatur pada Pasal 79D. Peraturan yang memberikan perlindungan terhadap
indikasi geografis dan indikasi-asal ini merupakan konsekuensi Indonesia turut serta dalam perjanjian TRIPs, dan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization Persetujuan Pembentukkan Organisasi Perdagangan Dunia.
e. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Bahwa dengan pertimbangan untuk menjaga persaingan usaha yang sehat
dalam era perdagangan global dan sejalan dengan konvensi- konvensi International yang telah diratifikasi Indonesia, maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi
dan diubah dengan Undang-Undang Merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berlaku pada tanggal 1 Agustus 2001. Undang-
Undang Merek ini disusun sebagai manifestasi atas konvensi-konvensi international yang telah diratifikasi Indonesia. Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan
Universitas Sumatera Utara
51
General Agreement on Tariff and TradeGATT yang merupakan perjanjian perdagangan multilateral pada dasarnya bertujuan menciptakan perdagangan bebas,
perlakuan yang sama, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia.
Dalam kerangka perjanjian multilateral tersebut, pada bulan April 1994 di Marakesh
Maroko, telah
berhasil disepakati
satu paket
hasil perundingan
perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta de Estate, Uruguay, yang dikenal
dengan putaran Uruguay Uruguay Round antara lain memuat Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Right TRIPs Persetujuan TRIPs memuat norma- norma dan standar bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian
internasional di bidang kekayaan intelektual sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang
Hak Kekayaan Intelektual secara ketat. Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia World Trade Organization yang
mencakup pula persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual TRIPs Ratifikasi dari peraturan tersebut mendorong keikutsertaan
Indonesia dalam meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property konvensi Paris yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15
tahun 1997 dan Trademark Law Treaty yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor
17 Tahun
1997. Dengan
telah diratifikasinya
Perjanjian-perjanjian
Universitas Sumatera Utara
52
international tersebut oleh Indonesia, memuat kewajiban untuk menyesuaikan undang-undang merek yang ada dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian international yang telah diratifikasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian
international yang
telah diratifikasi
Indonesia, serta
praktek pengalaman
melaksanakan administrasi merek selama ini maka Pemerintah memandang perlu untuk mengadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992
Tentang Merek sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dengan Undang-undang merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek selanjutnya disebut Undang-Undang merek tahun 2001.
2. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Merek dan Sanksi Hukumnya