158
tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 huruf a, b dan c.
2. Perkara No.04KPPU-I2003
PT. JICT terbukti melakukan penguasaan produksi
pelayanan bongkar muat petikemas dengan menguasai
lebih dari 50 lima puluh persen atau lebih pangsa
pasar pada pasar bersangkutan, dimana posisi
terakhir penguasaan pasar PT.JICT pada tahun 2002
adalah sebesar 69,53 enam puluh sembilan koma
lima puluh tiga persen dari total arus petikemas pasar bersangkutan
. Pangsa
pasar tersebut
membuat PT.JICT menduduki posisi utama dalam pasar.
Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.JICT
terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar
Pasal 25 ayat 1 huruf c. Yang dalam perkara ini
PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
Yakni dengan menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul
authorization agreement ini merupakan suatu bentuk perilaku antikompetisi dari PT.JICT, hal ini klausal
159
tersebut digunakan dalam rangka menghambat konsumen untuk melakukan kerjasama usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya. Yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan
bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku
usaha lain
Segoro dan
MTI harus
mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka
pelaku usaha lain tidak akan dilayani. Dengan fakta
tersebut, PT.JICT terbukti menyalahgunakan posisi dominannya
secara tidak
langsung untuk
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi
pesaing untuk
memasuki pasar
bersangkutan. Dalam memutus Perkara Nomor : 04KPPU-I2003,
KPPU menggunakan patokan Pasar Bersangkutan dalam Posisi Dominan dengan pertimbangan Pasal 1
angka 6 UU No.5 tahun 1999 Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi danatau pemasaran barang danatau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dimana kalimat „menghambat
persaingan usaha‟ dalam Pasal 1 angka 6 tersebut dihubungkan dengan kalimat “menghambat pelaku
160
usaha lain” dan “pasar bersangkutan” dalam Pasal 25 ayat 1 huruf c menjadi unsur yang diperhintungkan
untuk menyatakan JICT melanggar Pasal 17 ayat 1 UU No.5 tahun 1999. Oleh karena keterkaitan
Penyalahgunaan Posisi Dominan dengan Pasal 17 dalam hal Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakikatnya identik
dengan memiliki
kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya
praktik monopoli yang menghambat persaingan sehat sangat mungkin terjadi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran Posisi Dominan dalam hal unsur “menghambat pelaku
u saha lain” dan “pasar bersangkutan” ditarik sebagai
pelanggaran terhadap Praktik Monopoli dalam Pasal 17 ayat 1 UU No.5 thn 1999. Hal yang menarik dalam
kasus ini adalah keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 17, dimana Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya identik
dengan memiliki
kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya
praktik monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.
3. Perkara Nomor: 02KPPU-I2004