Perkembangan Kesenian Tradisional Ebeg

34 prajurit hanya mengekor gerakan prajurit di depannya. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wayang prajurit sudah bergerak serasi dengan pembarep tanpa menunggu reaksi spontan sang pemimpin untuk memulai gerakan baru. c. Penthul Penthul adalah wayang yang perannya cukup penting dalam pertunjukan ebeg. Keberadaan penthul dimaksudkan untuk selalu membawa keceriaan dengan tarian dan tingkahnya yang lucu pada saat pertunjukan. Pada beberapa bagian gerak tari yang dilakukan oleh penthul biasanya sedikit berbeda dengan gerak tari pembarep dan prajurit, dan disinilah kesempatan penthul untuk membuat lelucon dengan tarian yang melenceng dari wayang-wayang lainnya. Selain itu, biasanya penthul juga menggunakan topeng sebesar ¾ bagian wajah dengan hiasan dua gigi palsu pada bagian bibir atasnya. Namun sekarang topeng penthul dihilangkan dan diganti dengan rias wajah. Gambar 2. Salah satu variasi topeng penthul dok: Google, 2015 35 Gambar 3. Penthul dok: Maria, Mei 2015 d. Barongan Wayang barongan merupakan wayang dengan kostum barongan yang menyeramkan dan menyerupai sosok hewan berkaki empat. Meskipun sosoknya terlihat menyeramkan, namun beberapa tulisan menyebutkan bahwa barongan merupakan sosok pelindung yang menghalau kekuatan-kekuatan jahat. Pemain barongan terdiri dari dua wayang. Orang pertama memegang kendali di bagian kepala barongan dan orang ke dua sebagai ekornya, hampir menyerupai barongsai. Wayang untuk barongan biasanya merupakan anggota tim atau kru. Gerak tari barongan pun tidak sama dengan wayang yang lain. Barongan bergerak bebas mengikuti iringan lagu dengan sesekali mengatup- ngatupkan rahangnya yang terbuat dari kayu. Meskipun bergerak sangat bebas, wayang barongan juga tetap harus mengikuti irama lagu dari penayagan. Ketika penari barongan mulai kesurupan, biasanya gerakannya semakin liar, pada saat inilah pemain belakang barongan 36 keluar dan hanya memegang kain bagian belakang serta mengikuti kemanapun penari di depannya pergi. Sebuah tulisan menyebutkan bahwa kesenian reyog Ponorogo sekitar tahun 1940 tanpa sadar telah menghilangkan seorang penari yang ada di belakang penari barongan tetapi kesenian ebeg masih mempertahankannya hingga sekarang meskipun menurut pak Djarmo sebenarnya “pemegang ekor” ini cukup mengganggu kebebasan penari barongan dalam bergerak. Gambar 4. Barongan dok : Maria, Mei 2015 Gambar 5. Barongan saat pemain belakang memegang ekor dok: Maria, Mei 2015 37 2. Penimbul Penimbul merupakan orang yang sangat berperan penting dalam pertunjukan ebeg. Menurut pak Jarum tugas penimbul adalah untuk ”njantur karo nambani.” Membuat kesurupan dan menyembuhkannya. Seorang penimbul dipercaya bisa berkomunikasi dengan roh-roh tak kasat mata. Menurut pak Jarum, penimbul akan mengundang roh-roh yang masih mau “diatur” dalam arti bisa diajak bekerjasama untuk pertunjukan ebeg. Penimbul akan menyembuhkan wayang dan orang-orang yang dijanturnya menggunakan minyak wangi dan juga sesaji-sesaji yang sudah disiapkan sebelumnya. 3. Penayagan Penayagan adalah sebutan para pemain musik untuk mengiringi kesenian ebeg. Sangat berbeda dengan wayang yang menggunakan riasan lengkap, penayagan cenderung berpenampilan sederhana dalam setiap pertunjukannya. Jika ebeg dulu hanya puas dengan penayagan yang sedikit karena iringannya hanya menggunakan campur dan slompret, sekarang jumlah penayagan justru begitu banyak. Seperti contoh, dalam pertunjukan ebeg pasti akan membawa setidaknya dua pengendang yaitu untuk kendang biasa dan kendang jaipong, atau bisa untuk pergantian saat seorang pengendang kelelahan kemudian diganti oleh pengendang lain. Kesenian ebeg banyak mengalami perkembangan setelah melewati masa vakum yang cukup panjang pada sekitar awal tahun 2000. 38 Pernyataan ini juga dikemukakan oleh pak Djarmo dalam wawancaranya dengan peneliti, yaitu: “di Cilacap itu sudah banyak yang memodif. Artinya pemain ebeg sudah sering melihat wayang, pemain ebeg sudah sering melihat tari garapan, pemain ebeg sudah banyak yang sering melihat kesenian bali, jadi udah sering dimodif sekarang. Kalo dulu alat musiknya aja dulu masih sederhana, hanya campur, thang thong thang jur … kemudian terompet … terompetnya terompet tradisional, … yang pake tempurung …” Seluruh aspek dalam kesenian ebeg telah berkembang. Perkembangannya meliputi: 1. Tarian Gerak tarian ebeg masih banyak menggunakan gerak tek-tek yaitu dominan kaki. Gerakannya sangat sederhana, disuatu waktu akan dikombinasikan dengan gerakan tangan yang memakai sampur atau dengan gelengan kepala. Selain memiliki gerakan yang sederhana, cara wayang menarikannya pun sangat apa adanya. Bentuk tarian yang sederhana ini membuat tarian ebeg mudah dipelajaridikembangkan. Sekarang banyak wayang yang sudah belajar dan mengenal tari gaya Solo dari sekolah sehingga tarian ebeg sudah semakin tegas.. Selain itu mereka juga sudah mulai sering menyaksikan tarian garapan, bagaimana penari-penari lain menari, bagaimana cara mengangkat kaki, menggerakkan jari dan pergelangan tangan, dan sebagainya. “Sekarang ngangkat kaki sudah banyak yang bagus karena sudah melihat ada tarian solo itu bagus” begitu penjelasan dari pak Djarmo. 39 2. Instrumen dan Lagu Pengiring Instrumen dan lagu pengiring dalam ebeg telah mengalami perkembangan yang cukup drastis. Dulu, alat musik yang harus ada dalam pertunjukan ebeg adalah campur dan slompret. Campur terdiri dari tiga buah gong kecil berbeda ukuran yang diikatkan pada sebuah kayu atau bambu menggunakan tali atau tambang. Cara memainkannya sama seperti gong pada umumnya yaitu memukul bagian cembung pada badan gong menggunakan kayu yang dibalut dengan sabut kelapa maupun tali sehingga membuatnya menjadi empuk. Bunyi yang dihasilkan dari campur ini mempunyai irama tersendiri dibandingkan dengan yang dimainkan secara lengkap dengan alat gamelan lain. Bunyi campur ini berkesan seperti “mong deng mong burr… mong deng …mong… mong deng mong burr…” dengan irama yang konstan. Irama konstan inilah yang membuat iringan ebeg menjadi khas dan berbeda dari yang lain. Gambar 6. Instrumen campur dok: Maria, Mei 2015 40 Selain campur, instrumen berikutnya adalah slompret. Slompret merupakan alat musik tiup seperti recorder yang terbuat dari kayu dengan laras slendro. Alat musik yang terbuat dari kayu dan tempurung kelapa ini mempunyai suara yang keras dan sangat nyaring. Slompret berfungsi sebagai pembawa melodi. Gambar 7. Slompret dok: Google, 2015 41 Gambar 8. Slompret ketika dimainkan dok: Maria, Mei 2015 Pemain slompret akan terus memainkan melodi selama pertunjukan berlangsung sebelum adanya sinden. Namun setelah adanya sinden, pemain slompret dan sinden akan bergantian dan saling mengisi. Dengan adanya sinden secara otomatis pertunjukan ebeg memerlukan lagu untuk dinyanyikan. Lagu-lagu yang dibawakan dalam setiap pertunjukan ebeg merupakan lagu-lagu banyumasan seperti eling- eling, bendrong kulon, kulu-kulu, ricik-ricik banyumasan, budalan gambuh, pepeling, jamu-jamu, dll. Berdasarkan wawancara dengan informan, lagu-lagu banyumasan ini akan selalu digunakan dalam pertunjukan ebeg. 42 Selain campur, slompret dan sinden, instrumen pengiring ebeg juga terdiri dari alat-alat gamelan dan instrumen lainnya seperti, saron, demung, kendang, kendang jaipong, ketipung, kendang jaipong, gong, bass drum, snare, dan juga cymbal. Gambar 9. Penayagan dan instrumen pengiring ebeg dok : Maria, Mei 2015 Gambar 10. Instrumen pengiring dok : Maria, Mei 2015 43 3. Pola Lantai Pertunjukan ebeg biasanya berlangsung selama kurang lebih empat jam dan dibagi kedalam tiga bagian serta membutuhkan tempat yang luas seperti lapangan atau halaman rumah yang luas. Pola lantai yang biasa digunakan adalah pola berbanjar dua, dengan penthul diantara wayang prajurit paling belakang. Jika wayang berjumlah genap, terkadang penthul juga ikut ke dalam barisan. Pola lantai ini selalu berhadapan dengan para penayagan. Gambar 11. Pola lantai 1 Gambar 12. Pola lantai 2 Selain pola lantai di atas, bentuk pola berbanjar satu dan lingkaran juga sangat sering digunakan. Pola berbanjar menjadi satu garis lurus merupakan variasi pola, sedangkan lingkaran dengan penimbul berada di tengah-tengah wayang adalah posisi dimana penimbul siap njantur seluruh wayang. Posisi seperti ini merupakan bagian dari puncak pertunjukan ebeg. Penayagan Penayagan Penthul Pembarep 44 Gambar 13. Pola lantai 3 Gambar 14. Pola Lantai Menjelang Mendem Pola lantai yang telah digambarkan diatas adalah pola yang paling sering digunakan saat pertunjukan. Namun, tidak menutup kemungkinan akan terus berkembang. Pak Jarum sendiri sudah mencoba beberapa variasi seperti bentuk garuda, pohon beringin, dan lain-lain. Penayagan Penayagan 45 4. Properti Properti utama dalam pertunjukan ebeg yaitu ebeg yang terbuat dari anyaman bambu dan kostum barongan. Selain itu masih banyak sekali alat pendukungnya termasuk kostum wayang beserta aksesorisnya. Kostum, aksesoris, dan tata rias dalam pertunjukan ebeg sangat bervariasi tergantung kreasi dari masing-masing grup dan hanya digunakan oleh wayang. Penayagan biasanya hanya menggunakan kaos karena jarang sekali ada grup yang mempunyai seragam untuk penayagannya. Rata-rata kostum yang digunakan biasanya berupa baju lengan panjang, celana sepanjang ¾ bagian, dan menggunakan kaos kaki panjang seperti pemain sepak bola. Dari tiga balad yang ada biasanya wayang akan mengganti kostum yang berbeda pada setiap baladnya. Pembarep menggunakan warna baju yang berbeda dengan para prajurit, atau aksesorisnya dibuat berbeda agar menandakan bahwa dia seorang pembarep. 46 Gambar 15. Pembarep baju kuning dan para prajurit baju biru dok: Maria, Feb 2015 Gambar 16. Variasi Kostum Wayang dok : Maria, Mei 2015 Selain kostum dengan warna-warna cerah, wayang juga mengenakan berbagai macam aksesoris. Aksesoris tersebut antara lain 47 iket, jangkang, sumping, borosamir, kacegombyok, sampur, jarik, dan krincing-krincing. Berikut adalah beberapa contoh gambar aksesoris yang biasa dipakai : Gambar 17. Borosamir dok: Maria, Feb 2015 Gambar 18. Jangkang dok: Maria, Feb 2015 Gambar 19. KaceGombyok dok: Maria, Feb 2015 48 Gambar 20. Sumping dok: Maria, Feb 2015 Gambar 21. Angkin dok: Maria, Sept 2015 Gambar 22. Sampur dok: Maria, Sept 2015 49 Gambar 23. Iket dok: Maria, Feb 2015 Agar lebih menarik, selain mengenakan seragam beserta aksesorisnya para wayang juga mengenakan make-up. Berbeda dengan rias dalam tokoh pewayangan yang mempunyai pakem tertentu, wayang dalam ebeg hanya mengenakan make-up untuk sebatas merias diri. Gambar 24. Rias wajah dok: Gino, Nov 2014 Selain kostum, tata rias dan aksesoris, alat-alat pendukung pertunjukan ebeg meliputi, pedang, keris, topeng, kostum singo, dll. Semuanya terbuat dari bahan yang sangat sederhana yaitu dari kayu dan tali-tali dari raffia dengan penambahan warna pada sisi yang diinginkan. Selain itu, properti yang harus ada dan selalu ada adalah sajen. Di dalam 50 sajen terdapat kelapa muda, kembang setaman, jajanan pasar, aneka jenis minuman yaitu kopi, teh, sirup dan air putih, gula batu, kemenyan, daun suruh, dll. Ketika wayang dan penonton mengalami wurumendem, biasanya penimbul akan memberikan sajen ini untuk dimakan, menuruti keinginan roh halus yang sedang merasuki wayang atau penonton. Berikut adalah berbagai macam properti yang biasa digunakan: Gambar 25. Kostum untuk tokoh Singobarong dok: Maria, Mei 2015 Gambar 26. Topeng Ganong untuk tokoh Bujang Ganong dok: Maria, Feb 2015 51 Gambar 27. Sajen dok: Maria, Mei 2015 Gambar 28. Pedang dan Keris dok: Maria, Feb 2015 5. Bentuk Pertunjukan Selain musik dan lagu yang berkembang drastis, bentuk pertunjukan ebeg juga mengalami perkembangan yang cukup mencolok. Pertunjukan ebeg biasanya akan dimulai pada siang hari sampai sore dengan durasi empat sampai lima jam. Meskipun dimulai setelah siang, 52 para pemain sudah akan bersiap sejak sekitar pukul sepuluh pagi untuk menyiapkan panggung atau tenda bagi penayagan, lapangan, kostum dan rias, sesaji, serta berbagai properti lainnya. Menurut Pak Djarmo, ebeg pada masa perkembangannya dulu akan dimulai sejak pagi sampai sore dan istirahat pada siang hari untuk sekedar makan siang. Setelah istirahat selesai pertunjukan dimulai lagi hingga mencapai pada bagian puncaknya yaitu disore hari. Sekarang rata-rata pertunjukan ebeg dimulai dari jam satu hingga jam lima sore dan dibagi menjadi tiga babak yang biasa disebut dengan balad I, balad II, dan balad III. Selain membaginya menjadi tiga balad serta memperpendek waktu pertunjukan, seniman ebeg sekarang juga harus lebih pandai dalam mengemas dan memberi konsep pada setiap baladnya. Hal ini untuk menghindari rasa bosan pada penonton, seperti yang disampaikan oleh pak Gino bahwa “Bocah siki pinter yaa, nonton ebeg, ebeg jenis ebeg balad siji sampe telu, ebeg tok mblenger penonton ”. Anak sekarang pintar yaa, menonton ebeg dari balad satu sampai tiga kalau hanya ebeg bosan penontonnya. Perbedaan setiap baladnya dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Balad I Keprajuritan Gambyongan Bagian pertama dari pertunjukan ini sebagian besar bertema tentang tarian keprajuritan. Bagian ini menurut peneliti masih mengadaptasi gaya lama pertunjukan ebeg. Masih menggunakan jaran kepang dengan pola lantai dua berbanjar ke belakang kemudian pada bagian 53 tertentu sedikit memutar. Kemudian untuk tariannya juga masih tetap dengan dominasi gerakan kaki, tangan memegang sampur, dan juga senggakan leher. Dari segi iringan masih menggunakan lagu-lagu banyumasan sama seperti dulu. Suatu waktu juga akan menggunakan lagu dari budalan wayang dengan aransemen musik yang disesuaikan dengan instrumen yang ada. Pada akhir balad satu biasanya hanya beberapa wayang yang akan dijantur. Menurut pak Djarmo saat mendem ini hanya sebagai main- main dan “kalo mendem di awal itu belum pake sesaji, paling hanya minyak wangi. Yang ada dimeja ini nanti untuk klimaksnya.” Bagian mendem pada balad I juga bisa disebut sebagai pertanda akan berakhirnya balad I. b. Balad II Dhagelan Berbeda dengan balad I yang masih banyak mengadaptasi pertunjukan ebeg gaya lama, pada bagian ini seniman ebeg bebas berkreasi untuk mengemas pertunjukan hingga sedemikian rupa. Banyak tema bisa dihadirkan, seperti berawal dari tarian biasa kemudian wayang dijantur dan akhirnya dikondisikan untuk melawak di depan penonton. Dalam posisi seperti ini, wayang akan benar-benar dalam kondisi seperti “wayang”, sama seperti wayang kulit yang dikendalikan oleh sang dalang. Namun ada juga yang menampilkan pertunjukan serius dengan adegan peperangan. Adegan peperangan ini biasanya sudah disusun menggunakan alur cerita yang sedemikian rupa sehingga membuat penonton tertarik untuk menanti akhir ceritanya. 54 Balad dua ini menjadi ajang kreasi bagi seniman ebeg agar penonton tidak bosan dan kemudian pergi meninggalkan pertunjukan. Selain dengan guyonan maupun tari-tarian dengan tema beragam, bagian dua ini juga bisa dipadukan dengan kesenian lengger maupun hiburan organ lengkap dengan sinden. Pada bagian ini pula wayang maupun sinden bisa berinteraksi dengan penonton. Lagu-lagu yang disajikan pun lebih beragam, tidak hanya lagu-lagu banyumasan tapi lagu-lagu populer juga terkadang bisa masuk. Penonton juga bisa meminta lagu pada penayagan dan sinden meskipun terkadang lagu tersebut tidak akan masuk dengan iringan yang menggunakan laras slendro maupun pelog, kecuali jika tersedia organ. c. Balad III Mendem Bagian terakhir adalah balad ketiga yang merupakan puncak dari pertunjukan ebeg. Di bagian ini penimbul akan membuat sebagian besar wayang mengalami kesurupan dengan cara memanggil arwah- arwah atau jin untuk masuk ke dalam tubuh para wayang sementara penayagan dan sinden terus menyanyikan lagu-lagu banyumasan serta bunyi slompret yang terus menerus. Semua wayang akan menari dalam balad III ini. Pola lantainya juga banyak menggunakan pola yang biasanya yaitu dua berbanjar. Namun ketika mendekati proses njantur, para wayang akan bergerak dalam formasi lingkaran dan memutar dengan penimbul berada ditengahnya 55 serta irama gamelan yang semakin naik dan cepat sebelum akhirnya para wayang berada dalam kondisi setengah sadar yaitu mendem. Ketika dalam posisi mendem ini wayang akan meminta sesajen yang telah disiapkan sebelumnya. Selain menikmati sesajen, kadang ada wayang yang juga meminta lagu pada penayagan dan kemudian menari dengan lincah mengikuti irama lagu. Bukan hanya wayang yang bisa mengalami mendem, namun beberapa penonton juga bisa mengalaminya. Menurut pak Djarmo, penonton yang seperti ini memiliki semacam candu yang membuat mereka ingin terus merasakan mendem saat menonton pertunjukan wayang. Pertunjukan selesai setelah semua orang yang mengalami mendem berhasil disembuhkan.

B. Apresiasi Masyarakat Desa Karanganyar

Kesenian ebeg merupakan kesenian yang sudah sangat dikenal masyarakat desa Karanganyar. Selain dikenal, ebeg juga begitu dekat dan dicintai masyarakat. Menurut cerita beberapa masyarakat dan juga informan, pertunjukan ebeg selalu ramai dipadati penonton. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat salah satu warga desa yaitu “Ebeg kue dicintai berbagai kalangan… gedhe cilik tua enom pada seneng ebeg.” Ebeg itu dicintai berbagai kalangan… besar kecil tua muda menyukai ebeg. 56 Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan dari pak Gino berikut: “… jan seprene ebeg kue dadi nggo idola nggo favorit. Nggo hiburan favorit. Soale apa sih yaa, murah, meriah, rame.” Sampai sekarang ebeg itu buat idola, buat favorit. Buat hiburan favorit. Karena apa yaaa, murah, meriah, ramai. Peneliti kemudian mencoba lebih dekat dengan masyarakat untuk mengetahui tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian ebeg. Peneliti telah menyiapkan 30 pernyataanpertanyaan yang terkait dengan apresiasi dalam sebuah instrumen angket. Pernyataan ini dilandasi dari tiga aspek apresiasi oleh Squire dan Taba, Haris dan Haris yaitu aspek kognitif, emotif, dan evaluatif. Kemudian dari ketiga aspek ini dikembangkan menjadi 7 indikator yaitu pengetahuan, interpretasi, penghargaan, minat, kesadaran, penilaian dan harapan. Setiap indikator dikembangkan lagi menjadi tiga hingga lima butir pernyataan. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa tingkat apresiasi masyarakat desa Karanganyar terhadap kesenian ebeg termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dinyatakan berdasar analisis data secara keseluruhan berikut : 57 Gambar 29. Tingkat Apresiasi Masyarakat Berdasar diagram batang tersebut diketahui bahwa tingkat apresiasi masyarakat desa Karanganyar secara umum adalah 7 atau 2,2 responden dalam kategori sangat tinggi, 296 atau 93,4 responden dalam kategori tinggi dan 14 atau 4,4 responden dalam kategori sedang. Indikator pengetahuan hasil datanya adalah 92 atau 29 responden dalam kategori sangat tinggi, 213 atau 67,2 responden dalam kategori tinggi, dan 12 atau 3,8 responden dalam kategori sedang. Dalam indikator interpretasi hasil yang diperoleh adalah 3 atau 0,9 responden dalam kategori sangat tinggi, 101 atau 31, 9 responden dalam kategori tinggi, 212 atau 66,9 responden dalam kategori sedang, dan 1 atau 0,3 responden dalam kategori rendah. Jadi untuk aspek kognitif secara keseluruhan didapatkan hasil yaitu 9 atau 2,8 responden dalam kategori sangat tinggi, 236 atau 74,4 responden dalam kategori tinggi, 71 atau 22,4 responden dalam kategori sedang, 1 atau 0,3 responden 7 296 14 50 100 150 200 250 300 350 Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 58 dalam kategori rendah. Hasil tersebut dapat diamati dengan jelas dalam diagram berikut: Gambar 30. Indikator pengetahuan masyarakat Gambar 31. Indikator interpretasi masyarakat 92 213 12 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 3 101 212 1 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah