Perkembangan dan Apresiasi Masyarakat Desa Karanganyar Terhadap Kesenian Tradisional Ebeg.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Maria Risky Agustin 11208241003

JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, …”

Pengkhotbah 3: 11a

“Padi tumbuh tidak berisik.”


(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk

Tuhan Yesus yang kasih setiaNya tiada duanya Orang tua yang tangguh

Chelsy yang menyediakan penghiburan Deasy yang siap sedia

Sahabat tempat berbagi Kekasih


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasihNya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Rasa hormat, terima kasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada :

1. Drs. Herwin Yogo Wicaksono, M.Pd dan Dr. Kun Setyaning Astuti, M.Pd yang dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan telah memberikan bimbingan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan

2. Dr. Hanna Sri Mudjilah, M.Pd dan Dr. Ayu Niza Machfauzia, M.Pd yang telah bersedia menjadi expert serta banyak memberi masukan dan telah memvalidasi instrumen penelitian ini

3. Bapak Jarum dan Bapak Gino selaku ketua paguyuban ebeg beserta dengan seluruh anggotanya yang dengan tulus telah membantu melengkapi data penelitian

4. Segenap masyarakat dan pemerintah desa Karanganyar yang telah bersedia mengisi instrumen penelitian

5. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap Jawa Tengah atas segala informasi yang telah diberikan

6. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral, bantuan, dan motivasi sehingga saya dapat menyelesaikan studi dengan baik


(8)

viii

Saya menyadari bawa penyusunan tugas akhir skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berterimakasih atas segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat.

Yogyakarta, September 2015 Hormat Saya,


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORI ... 7

A. Pengertian Eksistensi ... 7

B. Perkembangan ... 8

C. Apresiasi Masyarakat ... 9

D. Kesenian Tradisional ... 10

E. Ebeg ... 12

F. Penelitian Relevan ... 13

G. Pertanyaan Penelitian ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 16


(10)

x

B. Variabel Penelitian ... 17

C. Tahapan Penelitian ... 17

D. Sumber Data ... 19

E. Teknik Pengumpulan Data ... 19

F. Instrumen Penelitian ... 22

G. Teknik Analisis Data ... 25

H. Keabsahan Data ... 29

BAB IV PERKEMBANGAN DAN APRESIASI MASYARAKAT DESA KARANGANYAR TERHADAP KESENIAN EBEG ... 31

A. Perkembangan Kesenian Tradisional Ebeg ... 31

B. Apresiasi Masyarakat Desa Karanganyar ... 55

C. Pembahasan ... 63

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I : Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara ... 22 Tabel II : Kisi-kisi Instrumen Angket ... 24


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kesenian Tradisional Ebeg ... 13

Gambar 2. Salah Satu Variasi Topeng Penthul ... 34

Gambar 3. Penthul ... 35

Gambar 4. Barongan ... 36

Gambar 5. Barongaan saat Pemain Belakang Memegang Ekor ... 36

Gambar 6. Instrumen Campur ... 39

Gambar 7. Slompret ... 40

Gambar 8. Slompret ketika Dimainkan ... 41

Gambar 9. Penayagan dan Instrumen Pengiring Ebeg ... 42

Gambar 10. Instrumen Pengiring Ebeg ... 42

Gambar 11. Pola Lantai 1 ... 43

Gambar 12. Pola Lantai 2 ... 43

Gambar 13. Pola Lantai 3 ... 44

Gambar 14. Pola Lantai Menjelang Mendem ... 44

Gambar 15. Pembarep (baju kuning) dan Para Prajurit (baju biru) ... 46

Gambar 16. Variasi Kostum Wayang ... 46

Gambar 17. Borosamir ... 47

Gambar 18. Jangkang ... 47

Gambar 19. Kace/Gombyok ... 47

Gambar 20. Sumping ... 48

Gambar 21. Angkin ... 48

Gambar 22. Sampur ... 48

Gambar 23. Iket ... 49

Gambar 24. Rias Wajah ... 49

Gambar 25. Kostum untuk Tokoh Singobarong ... 50

Gambar 26. Topeng Ganong untuk Tokoh Bujang Ganong ... 50


(13)

xiii

Gambar 28. Pedang dan Keris ... 51

Gambar 29. Tingkat Apresiasi Masyarakat ... 57

Gambar 30. Indikator Pengetahuan Masyarakat ... 58

Gambar 31. Indikator Intepretasi Masyarakat ... 58

Gambar 32. Aspek Kognitif Masyarakat ... 59

Gambar 33. Indikator Penghargaan Masyarakat ... 60

Gambar 34. Indikator Minat Masyarakat ... 60

Gambar 35. Indikator Kesadaran Masyarakat ... 61

Gambar 36. Aspek Emotif Masyarakat ... 61

Gambar 37. Indikator Penilaian Masyarakat ... 62

Gambar 38. Indikator Harapan Masyarakat ... 62


(14)

xiv

Perkembangan dan Apresiasi Masyarakat Desa Karanganyar Terhadap Kesenian Tradisional Ebeg

Oleh Maria Risky Agustin NIM 11208241003

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan eksistensi kesenian tradisional ebeg. Eksistensi kesenian ebeg ini difokuskan pada perkembangan dan apresiasi masyarakat desa Karanganyar terhadap kesenian ebeg.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Fokus dari penelitian adalah masih mampu bertahannya kesenian tradisional ebeg ditinjau dari perkembangan serta bagaimana apresiasi masyarakat terhadap kesenian ini. Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan lembar angket. Analisis data dilakukan dengan mereduksi data, menyajikan, dan kemudian menarik kesimpulan. Keabsahan data diperoleh melalui teknik triangulasi sumber. Sedangkan analisis data angket menggunakan analisis deskriptif. Validitas dan reliabilitas menggunakan analisis korelasi Product Moment dan Alpha cronbach.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) bentuk pertunjukan pertunjukan ebeg mengalami banyak perkembangan; (a) dibagi menjadi tiga balad, yang pertama masih dengan gaya lama, kedua merupakan kreasi baru, dan ketiga merupakan bagian mendem, (b) instrumen pengiring bertambah menjadi campur, slompret, gong, kendang, kendang jaipong, ketipung, saron, demung, bass drum, snare, cymbal, dan penambahan sinden, (c) lagu yang dimainkan meliputi lagu-lagu banyumasan, campursari, dangdut, menyesuaikan permintaan penonton, (d) properti yang bervariasi menyesuaikan kebutuhan pertunjukan, (e) pola lantai yang semakin variatif, (2) hasil analisis angket menunjukan bahwa 93,4% masyarakat desa Karanganyar termasuk dalam kategori berapresiasi tinggi terhadap kesenian ebeg.


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan bangsa yang besar, di dalamnya banyak sekali ragam suku bangsa dan kebudayaannya. Setiap suku mempunyai ciri khas tersendiri yang tentunya tidak dapat ditemui pada suku-suku yang lain. Dari banyaknya suku ini, maka lahir kebudayan yang unik dan beragam. Menurut Sanyoto (2013: 1) kebudayaan sering disebut sebagai suatu kebiasaan yang diolah dari budi pekerti dan akal manusia.

“Salah satu unsur dari kebudayaan adalah kesenian…”

(Koentjaraningrat, 1990: 203). Kebudayaan yang beranekaragam melahirkan berbagai macam kesenian seperti seni musik, tari, kerajinan, lukis, dan lain-lain. Masing-masing memiliki ciri khas sesuai dengan budaya dimana kesenian ini dilahirkan. Kesenian yang lahir dari kebudayaan masyarakat inilah sering disebut sebagai kesenian tradisional.

Kesenian tradisional merupakan cermin dari suatu kultur yang berkembang sangat perlahan karena dinamik masyarakat yang menunjangnya (Khayam, 1981: 60). Begitu banyak kesenian tradisional Indonesia yang diciptakan atas dasar kultur dan kebudayaan masyarakat sehingga mempunyai nilai serta filosofi yang berkarakter. Namun, seiring perkembangan jaman banyak sekali kesenian tradisional yang hilang maupun dilupakan, atau jika masih ada perkembangannya sangat lambat. Terdapat banyak sekali faktor penyebabnya. Salah satunya adalah adanya


(16)

2

arus globalisasi yang begitu kuat sehingga banyak budaya dari luar yang masuk ke Indonesia serta runtuhnya kecintaan generasi muda terhadap budaya tradisional yang berasal dari nenek moyang.

Pergerakan dunia yang cepat serta pembangunan yang mengarah ke industri membuat para pelaku seni tradisional berjuang demi mempertahankan kesenian tradisional. Berbagai macam perubahan dan pengembangan dilakukan. Contohnya adalah seperti yang diungkapkan oleh Yuliasih (2012: 66) bahwa kesenian rebana di kabupaten Magelang sudah beralih fungsi menjadi media hiburan dan bukan hanya sebagai pengiring upacara ritual keagamaan. Lebih lanjut Yuliasih (2012) juga menyebutkan bahwa musik rebana juga bisa dikomersilkan. Hal ini bisa dilihat dari sering diundangnya grup-grup kesenian rebana ke acara penyambutan tamu pejabat pemerintah, serta acara-acara besar yang melibatkan pihak sponsor (Yuliasih, 2012: 67).

Pergeseran fungsi kesenian tradisional juga berdampak pada perubahan bentuk penyajian, pola tarian, pola iringan, alat musik, kostum, tata rias, serta berbagai pendukung kesenian tradisional. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman serta demi lestarinya kesenian tradisional.

Di saat banyak kesenian tradisional yang mulai hilang dan terbengkalai, kesenian tradisional ebeg justru masih bisa disaksikan. Kesenian yang berkembang di tanah Jawa kususnya di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur ini memiliki berbagai nama. Ada yang


(17)

menyebutnya ebeg, èblèg, jathilan, jaranan, ogleg, incling, reog, jelantur, jaranan pitikwalik, dll. Meskipun memiliki banyak nama, inti dari kesenian ini adalah sebuah pertunjukan tari keprajuritan yang menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan diiringi oleh musik gamelan, serta adanya pawang sebagai tabib untuk menyembuhkan penari yang mengalami kesurupan.

Sama halnya dengan kesenian tradisional lain, ebeg juga harus berjuang untuk tetap bertahan di tengah cepatnya laju perkembangan dunia industri. Namun dengan berbagai perkembangannya, ebeg masih tetap diminati masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa minat masyarakat terhadap kesenian tradisional ini masih ada.

Berdasar observasi awal yang dilakukan pada kesenian tradisional ebeg di desa Karanganyar Adipala Kabupaten Cilacap diketahui bahwa terdapat dua paguyuban kesenian ebeg yang terus berupaya untuk menjaga kelestarian ebeg. Berbagai perkembangan telah dilakukan demi menjaga kelestarian kesenian ini. Selain itu, anggotanya adalah remaja dan pemuda yang berperan sebagai penari maupun pengiring. Mereka tetap mencintai dan turut melestarikan kesenian tradisional ebeg meskipun banyak rekan sebayanya yang memilih untuk menyukai budaya bangsa lain atau bahkan dalam kasus yang lebih tragis telah memperolok tradisi-tradisi kedaerahan. Mereka juga dituntut lebih kreatif untuk terus menjaga dan mengembangkan kesenian tradisional dari nenek moyang mereka baik dari sisi tarian, iringan, maupun tata rias dan busananya.


(18)

4

Kesenian ebeg begitu dekat dengan kehidupan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari tingginya minat masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan ebeg. Bukan hanya sebagai hiburan, namun juga sebagai bentuk sosialisasi antar masyarakat. Kesenian ini sudah bukan hanya mengenai jaran kepang serta penarinya yang trance/kesurupan, namun juga sebagai kesenian yang mempunyai nilai luhur dan dicintai masyarakat. ebeg juga bukan hanya mengenai barong sebagai sosok pahlawan pembela kebenaran, namun juga sebagai pendorong meningkatnya ekonomi masyarakat serta daya tarik wisata.

Ebeg mula-mula sampai pada perkembangannya sekarang begitu menarik untuk dikaji dan diteliti. Bagaimana kesenian ini bisa bertahan di tengah laju modernisasi yang serba ilmiah, rasional, dan praktis dengan

anggapan “untuk apa kita membicarakan hal-hal yang bernada mistik?” (Herusatoto, 1991: 2. dalam Endraswara). Bagaimana kerja keras para seniman ebeg untuk terus berpikir kreatif baik untuk mengembangkan maupun menarik minat masyarakat. Bagaimana apresiasi masyarakat maupun tokoh masyarakat desa Karanganyar Adipala serta Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap sehingga secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung eksistensi kesenian ebeg.


(19)

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka fokus dari penelitian ini adalah eksistensi kesenian tradisional ebeg ditinjau dari perkembangan dan apresiasi masyarakat desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perkembangan kesenian ebeg dan apresiasi masyarakat di desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap.

D. Manfaat Penelitian

Berdasar hasil penelitian ini, diharapkan bisa memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bentuk sumbangan teori tentang perkembangan kesenian tradisional ebeg yang ada di desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap

b. Menambah wawasan tentang kesenian tradisional ebeg, kususnya bagaimana cara untuk tetap eksis ditengah gempuran budaya-budaya bangsa lain

c. Untuk mengetahui tingkat apresiasi masyarakat desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap terhadap kesenian tradisional ebeg.


(20)

6

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai dokumentasi bagi pelaku seni khususnya kesenian tradisional ebeg di desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap b. Sebagai kelengkapan data mengenai aset budaya bagi dinas

Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Cilacap untuk selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata

c. Sebagai bentuk upaya peningkatan apresiasi seni tradisional pada mahasiswa program studi pendidikan seni musik kususnya.


(21)

7 A. Pengertian Eksistensi

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia eksistensi merupakan hal berada atau keberadaan (2002: 288), sedangkan kamus kata serapan menyatakan bahwa eksistensi merupakan hal, hasil tindakan, keadaan, serta semua kehidupan yang ada (2001: 149). Sementara itu eksistensi yang berasal dari bahasa Latin Existere, yaitu ex yang berarti keluar dan sitere yang berarti membuat berdiri (Hasinta, 2012) menunjukkan bahwa suatu hal bukan hanya sekedar ada, namun juga berkembang serta menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar sehingga membuatnya tetap ada.

Zainal Abidin (2007: 16) menjelaskan arti eksistensi, yaitu :

“... suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni existere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan

potensi-potensinya”.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa eksistensi yang dimaksud dalam penelitian ini bukanlah suatu kata benda melainkan kata kerja yang berarti sebuah aktivitas dimana suatu hal yang tidak bisa mengaktualisasikan dirinya terhadap lingkungan disekitarnya tentu akan mati, dalam hal ini terkait dengan kesenian tradisional.


(22)

8

Kesenian ebeg dalam eksistensinya dilihat dari dua sisi, yaitu dari dalam dan dari luar. Eksistensi dari dalam adalah tentang bagaimana kesenian ini dapat bertahan dengan segala perkembangannya. Sementara dari luar dilihat dari tingkat apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap kesenian ini.

B. Perkembangan

Dunia yang bergerak begitu cepat membuat apapun yang tidak bisa mengimbanginya tertinggal begitu saja. Sama halnya manusia yang harus berkembang untuk tetap eksis, demikian pula kesenian tradisional. Kesenian dikembangkan sedemikian rupa sehingga lebih menarik dan dapat diterima oleh masyarakat. Namun yang terpenting adalah nilai luhur dalam seni tradisional tidak boleh hilang karena berasal dari kehidupan masyarakat itu sendiri.

Pernyataan tersebut sangat sesuai dengan pendapat Soedarsono bahwa perkembangan adalah suatu penciptaan, pembaharuan, dan kreativitas menambah atau memperkaya tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar tradisi yang telah ada (1998: 89). Sedyawati (1986: 50) juga menjelaskan perkembangan adalah perubahan yang pada dasarnya tidak merubah niilai-nilai dasar yang telah ada, perubahan merupakan perbesaran volume penyajian dan perluasan wilayah pengenalan.

Perkembangan yang terjadi pada kesenian ebeg tidak terjadi begitu saja. Semuanya melalui proses yang panjang hingga menjadi apa yang bisa disaksikan sekarang. Pelaku seni yang mempunyai sikap terbuka dan


(23)

mau belajar membuat pertunjukan ebeg semakin semarak dan mempunyai nilai. Pelaku seni juga mendapat banyak pengetahuan baru dari pemerintah yang dalam periode tertentu mengadakan pelatihan untuk mengembangkan kesenian-kesenian tradisional. Sebagai dampak positif dari perkembangan ini adalah masih dicintai dan diterimanya kesenian ebeg di tengah masyarakat.

C. Apresiasi Masyarakat

Apresiasi dalam bahasa Latin „appreciatus‟ mempunyai arti

memberikan penilaian tepat; menghargai (Ensiklopedia Indonesia, 1983: 252). Pengertian ini hampir sama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa apresiasi berarti kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu (2001: 62). Dalam

kamus bahasa Inggris „appreciate‟ juga berarti berterimakasih;

menghargai; memahami; menyadari.

Khisbiyah dan Sabardila menjelaskan bahwa apresiasi adalah pengakuan atas kualitas, nilai, signifikansi, atau keunggulan orang dan benda; kesadaran akan persepsi halus terutama tentang kualitas atau nilai estetik (2004:7).

Menurut studi yang dilakukan oleh Squire dan Taba, Daris dan Haris ada tiga aspek kemampuan yang harus dilibatkan oleh individu dalam kegiatan mengapresiasi yaitu aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif (Aminudin, 2002: 34). Untuk mengukur tingkat apresiasi masyarakat, peneliti telah membagi setiap aspek tersebut ke dalam


(24)

10

beberapa indikator. Aspek kognitif dibagi menjadi indikator pengetahuan dan interpretasi (pemahaman). Aspek emotif dibagi menjadi indikator penghargaan, ketertarikan, dan kesadaran akan perlunya pelestarian ebeg. Sedangkan aspek evaluasi dibagi menjadi indikator penilaian dan harapan masyarakat bagi kesenian ebeg.

Kesenian akan selalu dibutuhkan masyarakat, baik disadari maupun tidak. Begitu pula sebaliknya, kesenian tidak akan bertahan tanpa adanya dukungan serta apresiasi dari masyarakat. Masyarakat dengan apresiasinya adalah sebuah tolak ukur bagi suatu hasil karya seni. Tolak ukur yang dimaksud adalah semakin banyak masyarakat yang menyaksikan maupun menikmati suatu karya seni, berarti kesenian tersebut masih diminati masyarakat, begitu pula sebaliknya. Masyarakat juga sebagai komentator sekaligus motivator bagi pelaku seni karena dari semua masukan yang diberikan akan mendorong para pelaku seni untuk terus berfikir kreatif guna mengembangkan kesenian itu sendiri.

D. Kesenian Tradisional

Kesenian tradisional merupakan kesenian yang lahir, tumbuh dan berkembang dari budaya masyarakat. Kesenian tradisional biasanya berlatar belakang dari tradisi serta mengandung nilai serta norma kehidupan masyarakat penciptanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa salah satu unsur dari kebudayaan adalah seni (1990: 203). Lebih lanjut Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kesenian adalah sesuatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,


(25)

norma-norma, dan peraturan kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya berwujud benda-benda hasil manusia (1990: 203).

Kesenian tradisional bukan hanya hidup dan berkembang serta harus didukung oleh masyarakatnya, lebih jauh seni bersifat sakral religius sampai profan serta sarana ungkapan kejiwaan yang estetis (Merriam dkk, 1995).

Berbeda dengan kesenian tradisional yang banyak mengandung nilai dan pesan moral, hasil karya seni pascamodern menurut Sutrisno (2005: 361) terlalu bebas dan kurang mengandung nilai estetis sebagaimana dikemukakan berikut ini :

“terkesan “main-main”, terpecah, seringkali menggunakan pastiche dan mereplikasi, merayakan sisi irasional dan terkadang juga membuka ruang seluas-luasnya untuk tafsir tanpa perlu menjadi seorang pakar terlebih dulu dibidang seni.

………..

Selain itu, hasil karya cenderung mengejek, ironis, serta menantang praktek dan konsep estetika yang sudah mapan seperti

kepengarangan (authorship) dan nilai dari seni.”

Dahulu bangsa barat menganggap bahwa kesenian tradisional yang lahir dan berkembang diluar bangsa Eropa merupakan kesenian yang primitif. Namun dalam perkembangannya pada penelitian yang lebih lanjut, ternyata seni ini adalah jenis kesenian yang menyimpan ide, bersifat kompleks, memiliki teknik serta bentuk yang khas, penuh khayali, dan memiliki makna simbolik (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 8: 436).


(26)

12

E. Ebeg

Ebeg merupakan sebutan untuk kesenian tradisional jaranan/jaran kepang. Anyaman bambu yang dibentuk menyerupai jaran/kuda merupakan properti utama yang menjadikan kesenian tradisional ini berbeda. Penggunaan nama ebeg merujuk pada asal katanya yang dalam Kamus Jawa-Indonesia disebut èblèg, eblèk yang berarti sasak; anyaman bambu (2003: 59).

Kesenian ini telah tersebar di berbagai penjuru Nusatara, dengan berbagai kemiripan sekaligus perbedaannya. Penyebutan kesenian ebeg ini juga berbeda- beda disetiap daerahnya. Daerah Cilacap, Kebumen, Banyumas, dan Purwokerto sering menyebutnya dengan ebeg. Masyarakat Yogyakarta secara umum menyebutnya dengan jathilan, Ogleg di Bantul, Incling di Kulonprogo, Reog di Blora, Jaranan Pitikwalik di Magelang, Jelantur di Boyolali, dan sebagainya (Sutiyono, 2009: 117).

Selain memiliki nama yang berbeda-beda, sejarah keberadaan ebeg ditiap daerah juga berbeda-beda. Di kabupaten Cilacap terdapat dua versi. Ada yang menyebutkan bahwa kesenian ebeg sudah mulai berkembang sejak abad ke-19 yang berfungsi sebagai tarian sakral dalam upacara keagamaan dan kemudian setelah peristiwa kemerdekaan mulai dibumbui dengan unsur-unsur magis (Haryanto dkk, 2012). Pendapat lain menyebutkan ebeg sudah ada sejak jaman Pangeran Diponegoro hidup dan merupakan dukungan rakyat jelata untuk memberi semangat bagi para


(27)

pejuang yang menuju medan perang melawan bangsa penjajah (Effendi, 2015).

Masyarakat desa Karanganyar kemungkinan besar telah mengenal ebeg sejak lama. Tetapi pada sekitar tahun 1985 baru didirikan paguyuban ebeg pertama di desa ini, yaitu ketika pak Jarum datang dan kemudian menetap bersama istrinya. Kecintaan Pak Jarum pada kesenian tradisional membuatnya terdorong untuk mendirikan paguyuban ebeg ini meskipun penghasilannya tidak seberapa karena harus dibagi dengan sekian banyak orang.

Gambar 1. Kesenian Tradisional Ebeg (dok: Maria, Mei 2015) F. Penelitian Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah : Sifa Yuliasih dalam Eksistensi Kesenian Rebana di Tengah Perkembangan Musik Modern di Kabupaten Magelang (Tinjauan Sejarah)


(28)

14

(2012). Penelitian ini berisi tentang deskripsi sejarah kesenian rebana, perkembangan serta eksistensinya di tengah perkembangan musik modern. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kesenian rebana tidak hanya sebagai pengiring upaca keagamaan namun sudah berkembang sebagai sarana hiburan bahkan dikomersilkan. Selain itu banyak terdapat penambahan alat-alat musik sesuai dengan kreasi masing-masing grup dalam mengembangkan kesenian ini.

Eriska Dwi Retnowati (2013) skripsi Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni UNY dalam Eksistensi Kesenian Gejog Lesung Sentung Lestari di Dusun Nangsri, Desa Srihardono, Pundong, Bantul. Kesenian Gejog Lesung mula-mula hanya berupa musik kothekan dari alat penumbuk padi yaitu lesung dengan tembang jawa. Setelah kehadiran bapak S. Kadilan, keterampilan menabuh lesung masyarakat dikembangkan untuk mengiringi sebuah tarian sederhana, tembang, busana, bahkan untuk mengiringi senam irama atau senam pinggul. Kemudian bimbingan lebih lanjut oleh Didik Nini Thowok mengembangkan kesenian ini dari segi tarian yaitu tarian kreasi baru namun tetap berpijak pada gerak dasar yang sudah ada sebelumnya. Tidak hanya mengembangkan tarian menjadi lebih variatif, Didik Nini Thowok juga menambahkan tata rias dan busana serta properti seperti tenggok, tampah, kendhi, dan caping agar kesenian ini tidak hanya ditampilkan pada saat tertentu tapi juga bisa menyentuh panggung pertunjukan.


(29)

Deka Bagus Prabowo dalam Respon Masyarakat Perkotaan Terhadap Musik Tradisional Gendang Beleq dalam Upacara Adat Nyongkolan di Lombok Barat – NTB (2014). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripskan respon masyarakat kota Lombok terhadap musik Gendang Beleq dalam upacara adat Nyongkolan. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat kota Lombok mempunyai respon yang cukup baik yaitu 35,1% dalam kategori baik, 63,5% dalam kategori cukup dan 1,4% masyarakat dalam kategori kurang.

Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, relevansinya dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan dalam kesenian tradisional sehingga membuatnya tetap ada hingga sekarang. Selain itu dukungan masyarakat juga mempunyai pengaruh penting dalam keberlangsungan suatu hasil seni.

G. Pertanyaan Penelitian

Selain ingin mengetahui perkembangan yang terjadi pada kesenian ebeg, peneliti juga ingin mengetahui bagaimana tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian ini. Hal ini penting karena perkembangan kesenian tradisional tanpa dibarengi apresiasi positif dari masyarakat tentu akan menjadi sia-sia. Maka, pertanyaan penelitian ini adalah:

1. “Bagaimana perkembangan kesenian tradisional ebeg di desa

Karanganyar, kecamatan Adipala, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah?”

2. “Bagaimana apresiasi masyarakat desa Karanganyar terhadap perkembangan kesenian tradisional ebeg?”.


(30)

16 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Ditinjau dari latar belakang serta fokus masalah, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono, metode penelitian kualitatif disebut sebagai metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah/natural setting (2013: 14).

Penelitian dengan pendekatan kualitatif pada umumnya akan menghasilkan data-data yang berupa tulisan maupun keterangan-keterangan serta deskripsi dari hasil penelitian yang dilakukan. Moleong (1994) dalam Eko Budi Sulistio menyatakan bahwa data-data yang dihasilkan bisa berupa naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, dokumen pribadi, memo ataupun dokumen resmi lainnya.

Lebih spesifik lagi penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Maksud dari deskriptif kualitatif adalah untuk memperoleh informasi mengenai eksistensi kesenian Ebeg yang meliputi perkembangan serta bagaimana apresiasi masyarakat desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap terhadap kesenian ebeg. Peneliti berinteraksi secara langsung dengan fakta dan realita yang diteliti untuk mendapatkan segala macam informasi yang berguna bagi proses penelitian.


(31)

Penelitian ini juga dilengkapi dengan teknik analisis deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan kategorisasi. Sebelum menentukan kategorisasi peneliti telah menentukan satu variabel yang digunakan sebagai landasan untuk membuat instrumen penelitian berupa angket untuk mendapatkan data apresiasi masyarakat.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 38). Variabel yang digunakan merupakan variabel tunggal, yaitu apresiasi. Variabel ini digunakan untuk mengetahui tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisional ebeg.

C. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian merupakan suatu proses yang harus dipahami dan dikenali oleh seorang peneliti. Dalam tahapan penelitian terdapat gambaran secara garis besar bagaimana penelitian dilakukan.

Bogdan (1972) dalam Moleong menguraikan tahap-tahap penelitian ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap pra-lapangan, kegiatan lapangan, dan analisis intensif (2013: 126).

1. Tahap Pra-lapangan

Tahap pra-lapangan merupakan tahap sebelum peneliti terjun ke lokasi penelitian. Menurut Moleong (2013: 127-136) terdapat enam tahap kegiatan yang harus dilakukan dan dipahami.


(32)

18

a. Menyusun Rancangan Penelitian b. Memilih Lapangan Penelitian c. Mengurus Perizinan

d. Menjajaki dan Menilai Lapangan e. Memilih dan Memanfaatkan Informan f. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian 2. Tahap Kegiatan Lapangan

Tahap ini sudah merujuk pada kegiatan peneliti yang terlibat langsung di lokasi penelitian. Menurut Moleong yang perlu dilakukan peneliti pada tahap ini adalah (1) memahami latar penelitian dan mempersiapkan dirinya untuk (2) memasuki lapangan dan pada akhirnya bisa (3) berperan serta sambil mengumpulkan data (2013: 137). Termasuk di dalamnya menyangkut etika bersosialisasi dan jalinan keakraban/kekeluargaan dengan masyarakat di lokasi penelitian.

Tahap kegiatan lapangan yang dilakukan oleh peneliti meliputi observasi, wawancara, mencari dokumentasi penting mengenai kesenian ebeg dan juga pembagian angket kepada sampel yang dipilih secara acak.

3. Tahap Analisis Intensif

Tahap analisis sering disebut sebagai tahap pasca lapangan. Data-data yang telah diperoleh di lapangan kemudian dikumpulkan dan diolah untuk mendapat kesimpulan.


(33)

D. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland (1984: 47) dalam Moleong (2013: 157) adalah kata-kata dan tindakan. Data berupa kata-kata dan tindakan ini berasal dari pelaku seni maupun tokoh masyarakat yang diwawancarai dan diamati dalam hubungannya dengan perkembangan kesenian ebeg serta apresiasi masyarakatnya. Dokumentasi berupa catatan mengenai awal mula bentuk kesenian ebeg tidak ditemukan sehingga hanya menggunakan data dari catatan wawancara, catatan observasi, dan dokumentasi yang berupa video pertunjukan.

Berdasarkan data wawancara dan observasi didapatkan data primer tentang perkembangan ebeg dan data sekunder tentang apresiasi masyarakat. Agar data sekunder apresiasi masyarakat tersebut bisa menjadi data primer peneliti mengeceknya dengan membagikan angket kepada masyarakat yang sudah ditentukan sebagai sampel secara acak. E. Teknik Pengumpulan Data

Salah satu proses yang harus dilakukan oleh peneliti dalam meneliti sesuatu adalah bagaimana cara mengumpulkan data. Pengumpulan data ini ditujukan untuk mendukung penelitian itu sendiri. Data merupakan sumber informasi. Dengan data yang diperoleh maka menghasilkan fakta dilapangan guna mencapai tujuan penelitian.


(34)

20

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu :

1. Observasi

Observasi merupakan sebuah tindakan awal yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui kondisi serta fenomena yang terjadi di lokasi yang akan diteliti. Tindakan observasi akan memberikan gambaran umum kepada peneliti untuk selanjutnya fenomena serta permasalahan yang ada dianalisis serta ditentukan tujuannya.

Berdasar observasi awal yang dilakukan di desa Karanganyar pada tanggal 26-28 Februari 2015, diketahui bahwa kesenian ebeg telah mengalami banyak sekali perkembangan baik dari sisi iringan beserta alat musiknya, tata rias dan busananya, pola lantai tarian, gerak tarian, dan bahkan menambahkan sebuah cerita. Observasi lanjutan dilakukan pada tanggal 22 Mei 2015 dan 24 Mei 2015 dan diketahui bahwa terkadang grup ebeg ini masih menampilkan gaya lama atau pada suatu waktu akan menambahkan lengger dalam pertunjukannya. 2. Wawancara

Metode wawancara sangat umum dilakukan dalam suatu penelitian. Wawancara merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh informasi dengan cara memberikan pertanyaan. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan tokoh yang dianggap penting dan menguasai bidang yang diteliti. Beberapa topik pertanyaan sudah disiapkan sebelumnya dan bisa berkembang sesuai dengan keadaan dan situasi saat


(35)

wawancara berlangsung. Menurut Endraswara, wawancara mendalam biasanya dilakukan dengan santai, informal dan masing-masing pihak seakan-akan tidak mempunyai beban psikis sehingga akan memperoleh kedalaman data yang menyeluruh dan lebih bermanfaat (2006: 214). Hasilnya berupa teks atau kata-kata. Wawancara dilakukan kepada pelaku seni dan tokoh masyarakat, yaitu pada tanggal 20 April 2015, 1 Mei 2015, dan tanggal 24 Mei 2015. Wawancara secara informal juga dilakukan kepada masyarakat untuk memperoleh data sekunder.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan untuk melihat perkembangan dan perubahan kesenian ebeg. Dokumentasi digunakan untuk menguatkan hasil penelitian. Dokumen yang berhasil ditemukan yaitu berupa video pertunjukan, sedangkan dokumen tertulis maupun catatan sejarah mengenai kesenian ebeg di desa Karanganyar Adipala kabupaten Cilacap tidak ditemukan.

4. Angket (Kuesioner)

Angket merupakan teknik pengumpulan data berupa pernyataan atau pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden dan kemudian dijawab oleh responden (Sugiyono, 2009: 142). Angket dibagikan kepada 317 responden berdasarkan taraf signifikansi 5% dari tabel jumlah penentuan sampel dari populasi milik Isaac dan Michael.


(36)

22

Angket dibagikan kepada masyarakat untuk mendapat data primer tentang apresiasi masyarakat terhadap kesenian ebeg. Sebelumnya Angket telah divalidasi melalui expert judgement dan kemudian diujicoba kepada responden di wilayah yang sama dengan responden penelitian. Hal ini dilakukan agar memudahkan peneliti untuk menilai karakter masyarakat sehingga kesimpulan yang diambil bisa tepat sasaran.

F. Instrumen Penelitian

Dalam tradisi penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai intrumen pengumpul data, mengikuti asumsi kultural, dan mengikuti data (Endraswara, 2006: 15). Peneliti sebagai instrumen pengumpul data mengejar data verbal dan bukan kategori-kategori maupun tingkat pengukuran tertentu. Untuk mengumpulkan data-data ini peneliti menggunakan bantuan susunan daftar pertanyaan yang digunakan dalam wawancara. Daftar pertanyaan yang telah disusun hanya digunakan sebagai panduan. Pertanyaan bisa berkembang menyesuaikan situasi dan kondisi pada saat wawancara berlangsung.

Adapun kisi-kisi daftar pertanyaan ada dalam tabel berikut : Tabel I: Kisi-kisi pertanyaan wawancara

No Aspek yang diamati Inti Pertanyaan

1 Ebeg - Sejarah keberadaan ebeg di desa karanganyar


(37)

- Keberlangsungan ebeg dari awal hingga sekarang

- Bentuk pertunjukan ebeg mula-mula 2 Alat musik Alat musik yang digunakan dulu dan

sekarang

3 Lagu - Lagu yang sering dinyanyikan sejak dulu sampai sekarang

- Jenis lagu yang biasa dinyanyikan 4 Tarian Perkembangan yang tejadi dalam pola

gerak tarian

5 Pola Lantai Pola lantai yang digunakan dalam setiap pertunjukannya

6 Penokohan Peran-peran dalam pertunjukan ebeg 7 Tata rias dan Busana - Jenis riasan yang digunakan

- Busana yang dikenakan wayang dan penayagan

8 Properti Properti/alat pendukung yang selalu digunakan

9 Apresiasi masyarakat dan pemerintah

- Tingkat apresiasi masyarakat

- Bentuk dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan kesenian tradisional ebeg

Selain wawancara, peneliti juga membuat instrumen penelitian berupa kuesioner. Variabel yang diteliti merupakan apresiasi masyarakat mengenai kesenian ebeg. Menurut Squirel dan Taba, Daris dan Haris dalam kegiatan berapresiasi melibatkan tiga aspek, yaitu kognitif, emotif,


(38)

24

dan evaluatif (Aminudin, 2002: 34). Peneliti membagi ketiga aspek ini menjadi beberapa indikator, yaitu:

1. Aspek kognitif dikembangkan menjadi indikator pengetahuan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat mengenai kesenian ebeg. indikator yang kedua yaitu interpretasi atau pemahaman masyarakat mengenai ebeg, bagaimana cara masyarakat menggambarkan kesenian ini.

2. Aspek emotif dikembangkan menjadi indikator penghargaan, ketertarikan (minat), dan kesadaran akan pelestarian kesenian ebeg. 3. Aspek evaluatif dikembangkan menjadi indikator penilaian dan

harapan masyarakat terhadap kesenian ebeg.

Berikut adalah kisi-kisi kuesioner mengenai apresiasi masyarakat terhadap kesenian ebeg:

Tabel II: kisi-kisi instrumen Angket (Kuesioner)

Variabel Aspek Indikator No. Soal Jumlah

Apresiasi Aspek Kognitif Pengetahuan masyarakat tentang kesenian ebeg

6, 8, 10, 17, 26 5 Interpretasi

(pemahaman tentang kesenian ebeg)

20, 23, 28, 30 4

Aspek Emotif Penghargaan (memberikan penghargaan terhadap kesenian ebeg)

12, 18, 25, 29* 4

Minat (Rasa tertarik


(39)

Kesadaran akan pelestarian kesenian ebeg

5, 11, 16 3

Aspek Evaluasi

Penilaian tentang kesenian ebeg

1*, 7, 13*, 15,

19, 27* 6

Harapan terhadap

kesenian ebeg 3, 14, 21* 3

Jumlah 30

Keterangan : * (pernyataan negatif) G. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini yaitu berupa proses pengkajian data hasil wawancara, pengamatan dalam observasi, dokumen-dokumen pendukung yaitu berupa video dan hasil hitung kuesioner yang telah terkumpul. Analisis bersifat terbuka, open-ended atau tidak kaku, dan induktif atau tidak statis dalam arti analisis boleh berubah kemudian mengalami perbaikan dan pengembangan sesuai dengan data yang masuk (Endraswara, 2006: 215).

Tahapan analisis yang dilakukan adalah menggunakan tahapan menurut Miles dan Huberman, yaitu:

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilah, mencari, serta memfokuskan pada hal-hal penting dan pokok serta membuang yang tidak diperlukan (Sugiyono, 2013: 338). Semakin lama peneliti melihat realitas di lapangan, maka semakin banyak dan rumit pula data yang diterima, untuk itulah proses reduksi diperlukan.


(40)

26

Pada tahap ini, peneliti mentranskrip rekaman wawancara kemudian memberi tanda pada bagian tertentu yang merupakan inti dari jawaban pertanyaan. Selanjutnya peneliti mencocokkan hasil wawancara dengan melakukan observasi lanjutan pada saat pertunjukan. Peneliti juga melakukan wawancara secara informal kepada masyarakat ketika membagikan kuesioner.

2. Data Display (Penyajian Data)

Penyajian data dalam penelitian kualitatif bisa dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya (Sugiyono, 2013: 341). Data yang diterima peneliti akan terus berkembang selama penelitian berlangsung, untuk itu peneliti harus terus menguji segala sesuatu yang masih bersifat hipotetik di lapangan yang nantinya dapat berkembang atau tidak (Sugiyono, 2013: 342).

Penyajian data dalam penelitian ini yaitu berupa uraian yang dilengkapi dengan gambar pendukung. Penulisan sub bab dalam hasil penelitian telah disesuaikan sehingga lebih mudah dipahami. Selain itu penyajian data dengan diagram batang juga digunakan untuk memudahkan pembaca ketika ingin mengetahui apresiasi masyarakat desa Karanganyar terhadap kesenian ebeg.

3. Conclusion Drawing/verification (Penarikan Kesimpulan)

Proses terakhir dari tahapan penelitian ini adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal adalah bersifat sementara dan kemungkinan akan mengalami perubahan jika tidak menemukan bukti yang kuat yang


(41)

mendukung tahap pengumpulan data yang berikutnya (Sugiyono, 2013: 345). Kesimpulan akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil temuan baru yang belum pernah ada sebelumnya (Sugiyono, 2013: 345). Penarikan kesimpulan dilakukan setelah semua proses analisis data dilakukan. Peneliti mencocokkan data dari berbagai wawancara, observasi, dokumen berupa video, dan juga hasil analisis kuesioner.

Ketiga tahapan analisis tersebut dilakukan secara terus menerus baik data dari hasil observasi maupun data penelitian, baik pada proses pra-lapangan maupun sampai pada penulisan laporan. Hal ini sesuai dengan pendapat Endraswara (2006: 2) bahwa penelitian kebudayaan merupakan penelitian lapangan yang menangkap fenomena daerah tertentu dan mempunyai ciri khas salah satunya yaitu bersifat sementara, longgar, dan lentur dimana rancangan dan analisis masih dapat berubah bahkan saat proses penulisan laporan berlangsung.

Teknik analisis data untuk kuesioner menggunakan analisis deskriptif. Untuk validitas dan reliabilitas menggunakan analisis korelasi product moment dan Alpha Cronbach. Analisis kuesioner secara keseluruhan dibantu dengan program pengolah data SPSS. Sebelum data dianalisis, masing-masing pernyataan telah ditandai dengan pernyataan negatif dan positif. Setiap pernyataan mempunyai skor maksimal 4 dan skor minimal 1. Skor 4 (Sangat Setuju), 3 (Setuju), 2 (Tidak Setuju), dan 1 (Sangat Tidak Setuju) untuk pernyataan-pernyataan positif. Skor 1 (Sangat


(42)

28

Setuju), 2 (Setuju), 3 (Tidak Setuju), dan 4 (Sangat Tidak Setuju) untuk pernyataan-pernyataan negatif.

Analisis deskriptif bertujuan untuk menjelaskan karakteristik setiap variabel. Umumnya analisis deskriptif menghasilkan distribusi frekuensi serta prosentasenya pada tiap variabel. Karena penelitian ini hanya menggunakan variabel tunggal, maka hasil prosentase ditujukan untuk mendeskripsikan hasil secara keseluruhan bersama dengan tiap indikatornya.

Untuk menunjukan bahwa prosentase yang didapat bisa menjawab tujuan penelitian yaitu eksistensi ebeg berdasar apresiasi masyarakat, maka perlu adanya kategorisasi. Misalnya, tingkat apresiasi masyarakat dapat dibuktikan dengan total skor yang lebih besar dari mean teoritik dan atau sebaliknya. Rumus mean teoritik adalah sebagai berikut:

Mean teoritik = Skor terendah + Skor tertinggi

2

Untuk menghitung prosentase, menurut Arikunto (2006: 363) rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

P = X N

P = Prosentase


(43)

X = Jumlah skor dari responden N = Jumlah seluruh item pernyataan

Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa analisis deskriptif untuk menjelaskan karakteristik, sehingga karakter ini harus memiliki kategori seperti sangat tinggi, tinggi, cukup, rendah, atau kurang. Untuk mengetahui pengelompokan secara kategori ini digunakan rumus sebagai berikut (Hopkins, 1984: 15):

W = Range 5 kategori

W = rentang kelas

Range = jarak interval (X maks- X min)

Setelah penghitungan rentang kelas, maka didapat interval untuk kategorisasi. Kategori terendah dimulai dari angka terendah kategorisasi. Hasilnya adalah sebagai berikut:

a. 101 - 118 kategori sangat tinggi b. 83 - 100 kategori tinggi

c. 65 – 82 kategori sedang d. 47 - 64 kategori rendah

e. 29 – 46 kategori sangat rendah H. Keabsahan Data

Sebelum sampai pada kesimpulan, data yang telah dianalisis kemudian diuji untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih bisa


(44)

30

dipercaya. Teknik yang digunakan yaitu dengan triangulasi. Teknik triangulasi merupakan teknik pengumpulan data ganda yang berasal dari berbagai sumber untuk menunjukan informasi yang sama (Endraswara, 2006: 219). Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber. Teknik ini ditujukan untuk mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono, 2013: 373).

Pemimpin Paguyuban Pemerhati Kesenian Ebeg


(45)

31

A. Perkembangan Kesenian Tradisional Ebeg

Kesenian tradisional di Cilacap dan Karanganyar khususnya sangat identik dengan iringan gamelan yang ramai serta penarinya yang naik kuda dan kesurupan diakhir pertunjukan. Sejarah mengenai keberadaan ebeg di desa Karanganyar tidak diketahui secara pasti. Namun berdasarkan wawancara bersama pak Jarum, ketika beliau datang pertama kali ke desa Karanganyar untuk menetap bersama istrinya, lantas beliau mendirikan paguyuban ebeg tahun 1985 dengan nama Paguyuban Seni Kuda Kepang Sri Wahyu Turonggo Jati. Pada tahun inilah pertama kalinya ada paguyuban ebeg di desa Karanganyar, tapi tidak menutup kemungkinan masyarakat sudah jauh mengenal kesenian ebeg melalui pertunjukan ebeg di wilayah lain atau dari paguyuban yang lebih dulu ada dan mengadakan pertunjukan di desa ini.

Pak Jarum selaku pendiri paguyuban merupakan tokoh yang tetap giat melestarikan kesenian ebeg sampai sekarang. Berawal dari kecintaannya pada kesenian ketoprak yang beliau dirikan di wilayah Randegan kemudian Pak Jarum mendirikan paguyuban ebeg setelah menikahi istrinya di desa Karanganyar. Paguyuban ini sudah mengalami regenerasi pemain sebanyak empat kali semenjak didirikan 30 tahun lalu.


(46)

32

Selama rentang tahun 1985 hingga awal 2012, perkembangan ebeg belum terlalu pesat. Kemudian pada pertengahan tahun 2012 pak Gino mendirikan sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Seni Kuda Kepang Satria Krida Budaya. Meski baru berusia tiga tahun, paguyuban ini sudah cukup dikenal masyarakat desa dan bahkan masyarakat kabupaten Cilacap serta memiliki pernah menjuarai lomba ebeg tingkat Kabupaten Cilacap.

Pertunjukan ebeg memerlukan kerjasama tim yang kompak agar menciptakan sajian yang menarik. Setiap pemain memiliki peran yang penting dalam kesenian ini. Pemain dalam kesenian ebeg yaitu:

1. Wayang

Wayang adalah nama untuk penari-penari dalam kesenian ebeg. Dalam setiap pertunjukannya terdiri dari 8-13 wayang. Ada beberapa jenis wayang, yaitu :

a. Pembarep

Pembarep merupakan pemimpin dari semua wayang. Tugas pembarep yaitu memimpin para prajurit. Penampilan pembarep sama dengan wayang prajurit lainnya, hanya akan berbeda pada aksesoris atau warna bajunya. Dalam setiap pertunjukannya, ada satu atau dua pembarep yang memimpin barisannya masing-masing.

Menjadi seorang pembarep bukanlah hal yang mudah. Pembarep harus kreatif dan cepat tanggap, apalagi terhadap irama lagu yang diberikan oleh penayagan. Dulu pembarep menjadi penari utama. Ketika musik


(47)

terus berjalan dia akan terus menari dan kemudian diikuti oleh prajurit-prajurit yang ada di belakangnya. Saat irama berganti, saat itu juga pembarep mengganti gerak tarian dan prajurit di belakang mengikutinya, terus seperti itu sampai pada prajurit dibagian paling belakang. Bagi yang belum pernah menyaksikan pertunjukan ebeg, hal seperti ini pasti akan memberikan kesan bahwa para wayang tidak kompak dalam menari.

Berbeda dengan sekarang, tarian pembarep dan prajurit sudah berjalan kompak dan selaras dengan musik iringan. Pembarep masih tetap ada untuk memimpin sama seperti dulu, namun sekarang semua prajurit harus bisa mengingat pola tarian yang sudah dilatih sebelumnya agar terlihat kompak dengan sang pembarep sehingga tidak menunggu kreasi spontan pembarep saat pertunjukan berlangsung.

b. Prajurit

Wayang prajurit terdiri dari enam sampai sembilan orang penari. Para prajurit akan mengikuti setiap pola gerakan pembarep yang berada didepan. Ketika pembarep bergerak memutar prajurit di belakang akan mengikutinya bergerak memutar. Begitu seterusnya sampai prajurit yang paling belakang. Menjadi sebuah kebiasaan ketika prajurit di belakang mengikuti semua gerakan prajurit di depannya. Hal ini akan membuat pola tarian yang sebenarnya bagus menjadi tidak berbentuk. Menurut peneliti, kadang para prajurit ini tidak mengeluarkan energi yang sama dengan energi yang dikeluarkan oleh pembarep. Para


(48)

34

prajurit hanya mengekor gerakan prajurit di depannya. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wayang prajurit sudah bergerak serasi dengan pembarep tanpa menunggu reaksi spontan sang pemimpin untuk memulai gerakan baru.

c. Penthul

Penthul adalah wayang yang perannya cukup penting dalam pertunjukan ebeg. Keberadaan penthul dimaksudkan untuk selalu membawa keceriaan dengan tarian dan tingkahnya yang lucu pada saat pertunjukan. Pada beberapa bagian gerak tari yang dilakukan oleh penthul biasanya sedikit berbeda dengan gerak tari pembarep dan prajurit, dan disinilah kesempatan penthul untuk membuat lelucon dengan tarian yang melenceng dari wayang-wayang lainnya. Selain itu, biasanya penthul juga menggunakan topeng sebesar ¾ bagian wajah dengan hiasan dua gigi palsu pada bagian bibir atasnya. Namun sekarang topeng penthul dihilangkan dan diganti dengan rias wajah.

Gambar 2. Salah satu variasi topeng penthul (dok: Google, 2015)


(49)

Gambar 3. Penthul (dok: Maria, Mei 2015) d. Barongan

Wayang barongan merupakan wayang dengan kostum barongan yang menyeramkan dan menyerupai sosok hewan berkaki empat. Meskipun sosoknya terlihat menyeramkan, namun beberapa tulisan menyebutkan bahwa barongan merupakan sosok pelindung yang menghalau kekuatan-kekuatan jahat. Pemain barongan terdiri dari dua wayang. Orang pertama memegang kendali di bagian kepala barongan dan orang ke dua sebagai ekornya, hampir menyerupai barongsai. Wayang untuk barongan biasanya merupakan anggota tim atau kru. Gerak tari barongan pun tidak sama dengan wayang yang lain. Barongan bergerak bebas mengikuti iringan lagu dengan sesekali mengatup-ngatupkan rahangnya yang terbuat dari kayu. Meskipun bergerak sangat bebas, wayang barongan juga tetap harus mengikuti irama lagu dari penayagan. Ketika penari barongan mulai kesurupan, biasanya gerakannya semakin liar, pada saat inilah pemain belakang barongan


(50)

36

keluar dan hanya memegang kain bagian belakang serta mengikuti kemanapun penari di depannya pergi. Sebuah tulisan menyebutkan bahwa kesenian reyog Ponorogo sekitar tahun 1940 tanpa sadar telah menghilangkan seorang penari yang ada di belakang penari barongan tetapi kesenian ebeg masih mempertahankannya hingga sekarang

meskipun menurut pak Djarmo sebenarnya “pemegang ekor” ini

cukup mengganggu kebebasan penari barongan dalam bergerak.

Gambar 4. Barongan (dok : Maria, Mei 2015)

Gambar 5. Barongan saat pemain belakang memegang ekor (dok: Maria, Mei 2015)


(51)

2. Penimbul

Penimbul merupakan orang yang sangat berperan penting dalam pertunjukan ebeg. Menurut pak Jarum tugas penimbul adalah untuk

”njantur karo nambani.” (Membuat kesurupan dan menyembuhkannya.) Seorang penimbul dipercaya bisa berkomunikasi dengan roh-roh tak kasat mata. Menurut pak Jarum, penimbul akan mengundang roh-roh yang

masih mau “diatur” dalam arti bisa diajak bekerjasama untuk pertunjukan

ebeg. Penimbul akan menyembuhkan wayang dan orang-orang yang dijanturnya menggunakan minyak wangi dan juga sesaji-sesaji yang sudah disiapkan sebelumnya.

3. Penayagan

Penayagan adalah sebutan para pemain musik untuk mengiringi kesenian ebeg. Sangat berbeda dengan wayang yang menggunakan riasan lengkap, penayagan cenderung berpenampilan sederhana dalam setiap pertunjukannya. Jika ebeg dulu hanya puas dengan penayagan yang sedikit karena iringannya hanya menggunakan campur dan slompret, sekarang jumlah penayagan justru begitu banyak. Seperti contoh, dalam pertunjukan ebeg pasti akan membawa setidaknya dua pengendang yaitu untuk kendang biasa dan kendang jaipong, atau bisa untuk pergantian saat seorang pengendang kelelahan kemudian diganti oleh pengendang lain.

Kesenian ebeg banyak mengalami perkembangan setelah melewati masa vakum yang cukup panjang pada sekitar awal tahun 2000.


(52)

38

Pernyataan ini juga dikemukakan oleh pak Djarmo dalam wawancaranya dengan peneliti, yaitu:

“di Cilacap itu sudah banyak yang memodif. Artinya pemain

ebeg sudah sering melihat wayang, pemain ebeg sudah sering melihat tari garapan, pemain ebeg sudah banyak yang sering melihat kesenian bali, jadi udah sering dimodif sekarang. Kalo dulu alat musiknya aja dulu masih sederhana, hanya campur,

thang thong thang jur … kemudian terompet … terompetnya terompet tradisional, … yang pake tempurung …”

Seluruh aspek dalam kesenian ebeg telah berkembang. Perkembangannya meliputi:

1. Tarian

Gerak tarian ebeg masih banyak menggunakan gerak tek-tek yaitu dominan kaki. Gerakannya sangat sederhana, disuatu waktu akan dikombinasikan dengan gerakan tangan yang memakai sampur atau dengan gelengan kepala. Selain memiliki gerakan yang sederhana, cara wayang menarikannya pun sangat apa adanya. Bentuk tarian yang sederhana ini membuat tarian ebeg mudah dipelajari/dikembangkan.

Sekarang banyak wayang yang sudah belajar dan mengenal tari gaya Solo dari sekolah sehingga tarian ebeg sudah semakin tegas.. Selain itu mereka juga sudah mulai sering menyaksikan tarian garapan, bagaimana penari-penari lain menari, bagaimana cara mengangkat kaki, menggerakkan jari dan pergelangan tangan, dan sebagainya. “Sekarang ngangkat kaki sudah banyak yang bagus karena sudah melihat ada tarian


(53)

2. Instrumen dan Lagu Pengiring

Instrumen dan lagu pengiring dalam ebeg telah mengalami perkembangan yang cukup drastis. Dulu, alat musik yang harus ada dalam pertunjukan ebeg adalah campur dan slompret. Campur terdiri dari tiga buah gong kecil berbeda ukuran yang diikatkan pada sebuah kayu atau bambu menggunakan tali atau tambang. Cara memainkannya sama seperti gong pada umumnya yaitu memukul bagian cembung pada badan gong menggunakan kayu yang dibalut dengan sabut kelapa maupun tali sehingga membuatnya menjadi empuk. Bunyi yang dihasilkan dari campur ini mempunyai irama tersendiri dibandingkan dengan yang dimainkan secara lengkap dengan alat gamelan lain. Bunyi campur ini berkesan seperti “mong deng mong burr… mong deng …mong… mong deng mong

burr…” dengan irama yang konstan. Irama konstan inilah yang membuat iringan ebeg menjadi khas dan berbeda dari yang lain.

Gambar 6. Instrumen campur (dok: Maria, Mei 2015)


(54)

40

Selain campur, instrumen berikutnya adalah slompret. Slompret merupakan alat musik tiup seperti recorder yang terbuat dari kayu dengan laras slendro. Alat musik yang terbuat dari kayu dan tempurung kelapa ini mempunyai suara yang keras dan sangat nyaring. Slompret berfungsi sebagai pembawa melodi.

Gambar 7. Slompret (dok: Google, 2015)


(55)

Gambar 8. Slompret ketika dimainkan (dok: Maria, Mei 2015)

Pemain slompret akan terus memainkan melodi selama pertunjukan berlangsung sebelum adanya sinden. Namun setelah adanya sinden, pemain slompret dan sinden akan bergantian dan saling mengisi.

Dengan adanya sinden secara otomatis pertunjukan ebeg memerlukan lagu untuk dinyanyikan. Lagu-lagu yang dibawakan dalam setiap pertunjukan ebeg merupakan lagu-lagu banyumasan seperti eling-eling, bendrong kulon, kulu-kulu, ricik-ricik banyumasan, budalan gambuh, pepeling, jamu-jamu, dll. Berdasarkan wawancara dengan informan, lagu-lagu banyumasan ini akan selalu digunakan dalam pertunjukan ebeg.


(56)

42

Selain campur, slompret dan sinden, instrumen pengiring ebeg juga terdiri dari alat-alat gamelan dan instrumen lainnya seperti, saron, demung, kendang, kendang jaipong, ketipung, kendang jaipong, gong, bass drum, snare, dan juga cymbal.

Gambar 9. Penayagan dan instrumen pengiring ebeg (dok : Maria, Mei 2015)

Gambar 10. Instrumen pengiring (dok : Maria, Mei 2015)


(57)

3. Pola Lantai

Pertunjukan ebeg biasanya berlangsung selama kurang lebih empat jam dan dibagi kedalam tiga bagian serta membutuhkan tempat yang luas seperti lapangan atau halaman rumah yang luas. Pola lantai yang biasa digunakan adalah pola berbanjar dua, dengan penthul diantara wayang prajurit paling belakang. Jika wayang berjumlah genap, terkadang penthul juga ikut ke dalam barisan. Pola lantai ini selalu berhadapan dengan para penayagan.

Gambar 11. Pola lantai 1 Gambar 12. Pola lantai 2

Selain pola lantai di atas, bentuk pola berbanjar satu dan lingkaran juga sangat sering digunakan. Pola berbanjar menjadi satu garis lurus merupakan variasi pola, sedangkan lingkaran dengan penimbul berada di tengah-tengah wayang adalah posisi dimana penimbul siap njantur seluruh wayang. Posisi seperti ini merupakan bagian dari puncak pertunjukan ebeg.

Penayagan Penayagan

Penthul


(58)

44

Gambar 13. Pola lantai 3

Gambar 14. Pola Lantai Menjelang Mendem

Pola lantai yang telah digambarkan diatas adalah pola yang paling sering digunakan saat pertunjukan. Namun, tidak menutup kemungkinan akan terus berkembang. Pak Jarum sendiri sudah mencoba beberapa variasi seperti bentuk garuda, pohon beringin, dan lain-lain.

Penayagan Penayagan


(59)

4. Properti

Properti utama dalam pertunjukan ebeg yaitu ebeg yang terbuat dari anyaman bambu dan kostum barongan. Selain itu masih banyak sekali alat pendukungnya termasuk kostum wayang beserta aksesorisnya.

Kostum, aksesoris, dan tata rias dalam pertunjukan ebeg sangat bervariasi tergantung kreasi dari masing-masing grup dan hanya digunakan oleh wayang. Penayagan biasanya hanya menggunakan kaos karena jarang sekali ada grup yang mempunyai seragam untuk penayagannya. Rata-rata kostum yang digunakan biasanya berupa baju lengan panjang, celana sepanjang ¾ bagian, dan menggunakan kaos kaki panjang seperti pemain sepak bola. Dari tiga balad yang ada biasanya wayang akan mengganti kostum yang berbeda pada setiap baladnya. Pembarep menggunakan warna baju yang berbeda dengan para prajurit, atau aksesorisnya dibuat berbeda agar menandakan bahwa dia seorang pembarep.


(60)

46

Gambar 15. Pembarep (baju kuning) dan para prajurit (baju biru) (dok: Maria, Feb 2015)

Gambar 16. Variasi Kostum Wayang (dok : Maria, Mei 2015)

Selain kostum dengan warna-warna cerah, wayang juga mengenakan berbagai macam aksesoris. Aksesoris tersebut antara lain


(61)

iket, jangkang, sumping, borosamir, kace/gombyok, sampur, jarik, dan krincing-krincing. Berikut adalah beberapa contoh gambar aksesoris yang biasa dipakai :

Gambar 17. Borosamir (dok: Maria, Feb 2015)

Gambar 18. Jangkang (dok: Maria, Feb 2015)

Gambar 19. Kace/Gombyok (dok: Maria, Feb 2015)


(62)

48

Gambar 20. Sumping (dok: Maria, Feb 2015)

Gambar 21. Angkin (dok: Maria, Sept 2015)

Gambar 22. Sampur (dok: Maria, Sept 2015)


(63)

Gambar 23. Iket (dok: Maria, Feb 2015)

Agar lebih menarik, selain mengenakan seragam beserta aksesorisnya para wayang juga mengenakan make-up. Berbeda dengan rias dalam tokoh pewayangan yang mempunyai pakem tertentu, wayang dalam ebeg hanya mengenakan make-up untuk sebatas merias diri.

Gambar 24. Rias wajah (dok: Gino, Nov 2014)

Selain kostum, tata rias dan aksesoris, alat-alat pendukung pertunjukan ebeg meliputi, pedang, keris, topeng, kostum singo, dll. Semuanya terbuat dari bahan yang sangat sederhana yaitu dari kayu dan tali-tali dari raffia dengan penambahan warna pada sisi yang diinginkan. Selain itu, properti yang harus ada dan selalu ada adalah sajen. Di dalam


(64)

50

sajen terdapat kelapa muda, kembang setaman, jajanan pasar, aneka jenis minuman yaitu kopi, teh, sirup dan air putih, gula batu, kemenyan, daun suruh, dll. Ketika wayang dan penonton mengalami wuru/mendem, biasanya penimbul akan memberikan sajen ini untuk dimakan, menuruti keinginan roh halus yang sedang merasuki wayang atau penonton. Berikut adalah berbagai macam properti yang biasa digunakan:

Gambar 25. Kostum untuk tokoh Singobarong (dok: Maria, Mei 2015)

Gambar 26. Topeng Ganong untuk tokoh Bujang Ganong (dok: Maria, Feb 2015)


(65)

Gambar 27. Sajen (dok: Maria, Mei 2015)

Gambar 28. Pedang dan Keris (dok: Maria, Feb 2015) 5. Bentuk Pertunjukan

Selain musik dan lagu yang berkembang drastis, bentuk pertunjukan ebeg juga mengalami perkembangan yang cukup mencolok. Pertunjukan ebeg biasanya akan dimulai pada siang hari sampai sore dengan durasi empat sampai lima jam. Meskipun dimulai setelah siang,


(66)

52

para pemain sudah akan bersiap sejak sekitar pukul sepuluh pagi untuk menyiapkan panggung atau tenda bagi penayagan, lapangan, kostum dan rias, sesaji, serta berbagai properti lainnya.

Menurut Pak Djarmo, ebeg pada masa perkembangannya dulu akan dimulai sejak pagi sampai sore dan istirahat pada siang hari untuk sekedar makan siang. Setelah istirahat selesai pertunjukan dimulai lagi hingga mencapai pada bagian puncaknya yaitu disore hari.

Sekarang rata-rata pertunjukan ebeg dimulai dari jam satu hingga jam lima sore dan dibagi menjadi tiga babak yang biasa disebut dengan balad I, balad II, dan balad III. Selain membaginya menjadi tiga balad serta memperpendek waktu pertunjukan, seniman ebeg sekarang juga harus lebih pandai dalam mengemas dan memberi konsep pada setiap baladnya. Hal ini untuk menghindari rasa bosan pada penonton, seperti yang disampaikan oleh pak Gino bahwa “Bocah siki pinter yaa, nonton ebeg, ebeg jenis ebeg balad siji sampe telu, ebeg tok mblenger penonton”. (Anak sekarang pintar yaa, menonton ebeg dari balad satu sampai tiga kalau hanya ebeg bosan penontonnya).

Perbedaan setiap baladnya dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Balad I Keprajuritan (Gambyongan)

Bagian pertama dari pertunjukan ini sebagian besar bertema tentang tarian keprajuritan. Bagian ini menurut peneliti masih mengadaptasi gaya lama pertunjukan ebeg. Masih menggunakan jaran kepang dengan pola lantai dua berbanjar ke belakang kemudian pada bagian


(67)

tertentu sedikit memutar. Kemudian untuk tariannya juga masih tetap dengan dominasi gerakan kaki, tangan memegang sampur, dan juga senggakan leher. Dari segi iringan masih menggunakan lagu-lagu banyumasan sama seperti dulu. Suatu waktu juga akan menggunakan lagu dari budalan wayang dengan aransemen musik yang disesuaikan dengan instrumen yang ada. Pada akhir balad satu biasanya hanya beberapa wayang yang akan dijantur. Menurut pak Djarmo saat mendem ini hanya sebagai main-main dan “kalo mendem di awal itu belum pake sesaji, paling hanya minyak wangi. Yang ada dimeja ini

nanti untuk klimaksnya.” Bagian mendem pada balad I juga bisa disebut sebagai pertanda akan berakhirnya balad I.

b. Balad II Dhagelan

Berbeda dengan balad I yang masih banyak mengadaptasi pertunjukan ebeg gaya lama, pada bagian ini seniman ebeg bebas berkreasi untuk mengemas pertunjukan hingga sedemikian rupa. Banyak tema bisa dihadirkan, seperti berawal dari tarian biasa kemudian wayang dijantur dan akhirnya dikondisikan untuk melawak di depan penonton. Dalam posisi seperti ini, wayang akan benar-benar dalam kondisi

seperti “wayang”, sama seperti wayang kulit yang dikendalikan oleh sang dalang. Namun ada juga yang menampilkan pertunjukan serius dengan adegan peperangan. Adegan peperangan ini biasanya sudah disusun menggunakan alur cerita yang sedemikian rupa sehingga membuat penonton tertarik untuk menanti akhir ceritanya.


(68)

54

Balad dua ini menjadi ajang kreasi bagi seniman ebeg agar penonton tidak bosan dan kemudian pergi meninggalkan pertunjukan. Selain dengan guyonan maupun tari-tarian dengan tema beragam, bagian dua ini juga bisa dipadukan dengan kesenian lengger maupun hiburan organ lengkap dengan sinden. Pada bagian ini pula wayang maupun sinden bisa berinteraksi dengan penonton. Lagu-lagu yang disajikan pun lebih beragam, tidak hanya lagu-lagu banyumasan tapi lagu-lagu populer juga terkadang bisa masuk. Penonton juga bisa meminta lagu pada penayagan dan sinden meskipun terkadang lagu tersebut tidak akan masuk dengan iringan yang menggunakan laras slendro maupun pelog, kecuali jika tersedia organ.

c. Balad III Mendem

Bagian terakhir adalah balad ketiga yang merupakan puncak dari pertunjukan ebeg. Di bagian ini penimbul akan membuat sebagian besar wayang mengalami kesurupan dengan cara memanggil arwah-arwah atau jin untuk masuk ke dalam tubuh para wayang sementara penayagan dan sinden terus menyanyikan lagu-lagu banyumasan serta bunyi slompret yang terus menerus.

Semua wayang akan menari dalam balad III ini. Pola lantainya juga banyak menggunakan pola yang biasanya yaitu dua berbanjar. Namun ketika mendekati proses njantur, para wayang akan bergerak dalam formasi lingkaran dan memutar dengan penimbul berada ditengahnya


(69)

serta irama gamelan yang semakin naik dan cepat sebelum akhirnya para wayang berada dalam kondisi setengah sadar yaitu mendem. Ketika dalam posisi mendem ini wayang akan meminta sesajen yang telah disiapkan sebelumnya. Selain menikmati sesajen, kadang ada wayang yang juga meminta lagu pada penayagan dan kemudian menari dengan lincah mengikuti irama lagu.

Bukan hanya wayang yang bisa mengalami mendem, namun beberapa penonton juga bisa mengalaminya. Menurut pak Djarmo, penonton yang seperti ini memiliki semacam candu yang membuat mereka ingin terus merasakan mendem saat menonton pertunjukan wayang. Pertunjukan selesai setelah semua orang yang mengalami mendem berhasil disembuhkan.

B. Apresiasi Masyarakat Desa Karanganyar

Kesenian ebeg merupakan kesenian yang sudah sangat dikenal masyarakat desa Karanganyar. Selain dikenal, ebeg juga begitu dekat dan dicintai masyarakat. Menurut cerita beberapa masyarakat dan juga informan, pertunjukan ebeg selalu ramai dipadati penonton. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat salah satu warga desa yaitu “Ebeg kue dicintai

berbagai kalangan… gedhe cilik tua enom pada seneng ebeg.” (Ebeg itu


(70)

56

Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan dari pak Gino berikut:

“… jan seprene ebeg kue dadi nggo idola nggo favorit. Nggo hiburan favorit. Soale apa sih yaa, murah, meriah, rame.” (Sampai sekarang

ebeg itu buat idola, buat favorit. Buat hiburan favorit. Karena apa yaaa, murah, meriah, ramai.)

Peneliti kemudian mencoba lebih dekat dengan masyarakat untuk mengetahui tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian ebeg. Peneliti telah menyiapkan 30 pernyataan/pertanyaan yang terkait dengan apresiasi dalam sebuah instrumen angket. Pernyataan ini dilandasi dari tiga aspek apresiasi oleh Squire dan Taba, Haris dan Haris yaitu aspek kognitif, emotif, dan evaluatif. Kemudian dari ketiga aspek ini dikembangkan menjadi 7 indikator yaitu pengetahuan, interpretasi, penghargaan, minat, kesadaran, penilaian dan harapan. Setiap indikator dikembangkan lagi menjadi tiga hingga lima butir pernyataan.

Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa tingkat apresiasi masyarakat desa Karanganyar terhadap kesenian ebeg termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dinyatakan berdasar analisis data secara keseluruhan berikut :


(71)

Gambar 29. Tingkat Apresiasi Masyarakat

Berdasar diagram batang tersebut diketahui bahwa tingkat apresiasi masyarakat desa Karanganyar secara umum adalah 7 atau 2,2 % responden dalam kategori sangat tinggi, 296 atau 93,4% responden dalam kategori tinggi dan 14 atau 4,4% responden dalam kategori sedang.

Indikator pengetahuan hasil datanya adalah 92 atau 29% responden dalam kategori sangat tinggi, 213 atau 67,2% responden dalam kategori tinggi, dan 12 atau 3,8% responden dalam kategori sedang. Dalam indikator interpretasi hasil yang diperoleh adalah 3 atau 0,9% responden dalam kategori sangat tinggi, 101 atau 31, 9% responden dalam kategori tinggi, 212 atau 66,9% responden dalam kategori sedang, dan 1 atau 0,3% responden dalam kategori rendah. Jadi untuk aspek kognitif secara keseluruhan didapatkan hasil yaitu 9 atau 2,8% responden dalam kategori sangat tinggi, 236 atau 74,4% responden dalam kategori tinggi, 71 atau 22,4% responden dalam kategori sedang, 1 atau 0,3% responden

7

296

14 0 0 0 50 100 150 200 250 300 350 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(72)

58

dalam kategori rendah. Hasil tersebut dapat diamati dengan jelas dalam diagram berikut:

Gambar 30. Indikator pengetahuan masyarakat

Gambar 31. Indikator interpretasi masyarakat

92

213

12 0 0 0 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 3 101 212

1 0 0 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(73)

Gambar 32. Aspek Kognitif masyarakat

Untuk indikator penghargaan hasil yang diperoleh adalah 23 atau 7,3% responden dalam kategori sangat tinggi, 240 atau 75,7% responden dalam kategori tinggi, 52 atau 16,4% responden dalam kategori sedang dan 2 atau 0,6% responden dalam kategori rendah. Hasil dari indikator minat adalah 34 atau 10,7% responden dalam kategori sangat tinggi, 255 atau 80,4% responden dalam kategori tinggi, dan 28 atau 8,8% responden dalam kategori sedang. Kemudian hasil untuk indikator ketiga yaitu kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian ebeg yaitu 172 atau 54,3% responden dalam kategori sangat tinggi, 139 atau 43,8% responden dalam kategori tinggi, dan 6 atau 1,9% responden dalam kategori sedang. Maka hasil pengolahan data untuk aspek emotif adalah 22 atau 6,9% responden dalam kategori sangat tinggi, 273 atau 86,1% responden dalam kategori tinggi, dan 22 atau 6,9% responden dalam kategori sedang.

9

236

71

1 0 0 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(74)

60

Berikut adalah diagram untuk indikator penghargaan, minat, kesadaran, dan aspek emotif secara keseluruhan:

Gambar 33. Indikator penghargaan masyarakat

Gambar 34. Indikator minat masyarakat

23

240

52

2 0 0 50 100 150 200 250 300 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 34 255 28

0 0 0 50 100 150 200 250 300 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(75)

Gambar 35. Indikator kesadaran masyarakat

Gambar 36. Aspek emotif masyarakat

Aspek evaluasi dengan indikator penilaian hasilnya yaitu 2 atau 0,6% responden dalam kategori sangat tinggi, 171 atau 53,9% responden dalam kategori tinggi, 143 atau 45,1% responden dalam kategori sedang, dan 1 atau 0,3% responden dalam kategori rendah. Kemudian 75 atau 23,7% responden dalam kategori sangat tinggi, 223 atau 70,3% responden

172

139

6 0 0 0 50 100 150 200 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 22 273 22

0 0 0 50 100 150 200 250 300 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(76)

62

dalam kategori tinggi, dan 19 atau 6,0% responden dalam kategori sedang untuk indikator harapan. Jadi, hasil untuk aspek evaluasi adalah 3 atau 0,9% responden dalam kategori sangat tinggi, 216 atau 68,1% responden dalam kategori tinggi, dan 98 atau 30,9% responden dalam kategori sedang. Berikut adalah diagram untuk indikator penilaian, harapan dan aspek evaluasi:

Gambar 37. Indikator penilaian masyarakat

Gambar 38. Indikator harapan masyarakat

2

171

143

1 0 0 50 100 150 200 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah 75 223 19

0 0 0 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(77)

Gambar 39. Aspek evaluasi masyarakat

C. Pembahasan

Kesenian tradisional merupakan kesenian yang lahir dari budaya masyarakat, maka sudah sepantasnya dekat dengan rakyat. Hal ini pula yang terjadi di desa Karanganyar. Meski bukan kesenian asli desa Karanganyar, namun kesenian ini telah menjadi bagian kehidupan masyarakat sejak lama.

Kesenian ebeg yang mengalami perkembangan secara drastis telah menunjukan keeksisannya. Masyarakat masih tetap setia menonton dan mengadakan pertunjukan ebeg, terutama ketika sedang mempunyai hajatan seperti pernikahan, khitanan, maupun acara syukuran. Bukan hanya sebagai pemenuhan hiburan semata, namun juga sebagai penggerak massa dan sarana untuk bersosialisasi.

3

216

98

0 0 0 50 100 150 200 250 Sangat Tinggi

Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah


(78)

64

Hasil analisis kuesioner menunjukkan bahwa 93,4% masyarakat desa Karanganyar memiliki apresiasi yang tinggi terhadap pertunjukan ebeg. Dengan berbagai syarat aspek dan indikator apresiasi yang rumit, masyarakat yang sebenarnya mempunyai tingkat pendidikan menengah ini ternyata benar-benar mencintai dan ingin mempertahankan keberlangsungan kesenian tradisional ebeg.

Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap, pada sekitar tahun 2009 ada kurang dari 50 grup ebeg dan terus bertambah mencapai angka ±120 grup ebeg pada tahun 2014. Hal ini menunjukan bahwa ebeg masih begitu diminati dan dicintai masyarakat, persis seperti pendapat pak Djarmo yaitu “kenapa jumlahnya grup jadi 120an itu kan otomatis karena masyarakat banyak yang nanggap”.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa sebuah kesenian tentu tidak akan bertahan tanpa adanya apresiasi masyarakat serta dukungan dari pemerintah. Pemerintah desa Karanganyar serta Pemda kabupaten Cilacap juga menyadari hal ini. Pemda melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sering mengadakan pelatihan kepada seniman ebeg serta melibatkan kesenian ini dalam hari jadi kabupaten misalnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Pak Djarmo, salah satu

pegawai Disbudpar Cilacap yaitu “Satu, kami mengadakan kegiatan itu,

otomatis jadi mereka banyak wawasan karena saya mengundang narasumber. Narasumber dari Solo dari dosen ISI pun tidak untuk


(79)

mengubah gerak, justru menambah”. Selain mengadakan pelatihan bagi para seniman-seniman ebeg, pemerintah juga sering mengadakan lomba ebeg, baik tingkat Kabupaten Cilacap maupun Karisidenan Banyumas. Pemerintah menetapkan bahwa grup yang telah berhasil meraih juara satu dalam perlombaan tidak diperkenankan untuk mengikuti perlombaan lagi karena ingin memberi kesempatan pada grup lain agar lebih termotivasi dalam kreasinya mengembangkan ebeg.

Perkembangan merupakan salah satu bentuk pertahanan diri, dan bagaimanapun juga memang harus terjadi. Pelaku seni ebeg telah berhasil mengembangkan ebeg menjadi sedemikian rupa tanpa meninggalkan nilai asli ebeg. Namun perkembangan tanpa dukungan dari luar yaitu apresiasi masyarakat serta dukungan pemerintah dalam melestarikan warisan budaya adalah sia-sia, dan keduanya saling mendukung satu sama lain. Kemudian, dampak dari perkembangan ini adalah kesenian ebeg yang masih tetap eksis dan dicintai masyarakat.


(80)

66 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa eksistensi kesenian ebeg dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari dalam yang berupa perkembangan dan dari luar yang merupakan apresiasi masyarakat pendukungnya.

1. Perkembangan

a. Bentuk pertunjukan ebeg telah dibagi menjadi tiga balad. Balad pertama sajiannya sama seperti pertunjukan ebeg mula-mula, balad kedua merupakan ajang kreatifitas pelaku seni dalam menampilkan pertunjukan ebeg yang di dalamnya bisa diisi seperti sendra tari dan dagelan, dan balad ketiga merupakan sesi puncak yaitu saat wayang dan beberapa penonton mengalami mendem.

b. Alat musik yang digunakan sebagai pengiring sudah jauh berkembang. Bukan hanya campur dan slompret tapi sudah dikembangkan dengan tambahan instrumen gamelan lain seperti gong, saron, demung, kendang, kendang jaipong, ketipung, bass drum, snare, cymbal, dan juga penambahan sinden.

c. Lagu-lagu Banyumasan masih tetap dimainkan namun juga bisa ditambah dengan lagu-lagu campursari maupun dangdut disesuaikan dengan permintaan penonton.


(81)

d. Menggunakan kostum beserta aksesoris yang berbeda pada setiap baladnya.

e. Pola lantai para wayang semakin berkembang. Tidak hanya berbanjar dan lingkaran namun juga bisa membentuk pola V, I, dan bahkan sampai burung Garuda, atau pohon beringin, tergantung kreatifitas masing-masing grup.

2. Apresiasi masyarakat desa Karanganyar

Berdasar hasil analisis kuesioner diperoleh data apresiasi masyarakat terhadap kesenian ebeg, yaitu 93, 4% responden masuk dalam kategori tinggi. Untuk aspek kognitif diperoleh data 74,4% responden masuk dalam kategori tinggi. Aspek emotif memperoleh 86,1% responden dalam kategori tinggi. Sedangkan untuk aspek evaluasi memperoleh 68,1% responden dalam kategori tinggi. Indikator pengetahuan hasil datanya adalah 67,2% responden masuk dalam kategori tinggi, indikator interpretasi memperoleh 66,9% responden dalam kategori sedang. Hasil yang diperoleh untuk indikator penghargaan adalah 75,7% responden masuk dalam kategori tinggi, indikator minat memperoleh 80,4% responden dalam kategori tinggi, 54,3% responden masuk dalam kategori sangat tinggi untuk indikator kesadaran. Selanjutnya untuk indikator penilaian hasilnya adalah 53,9% responden masuk dalam kategori tinggi, dan 70,3% responden masuk dalam kategori tinggi untuk indikator harapan.


(82)

68

B. Saran

1. Bagi seniman ebeg untuk terus berkreasi agar ebeg tetap lestari.

2. Bagi wayang yang menggunakan properti, lebih baik properti juga digunakan untuk menari agar properti tidak terkesan pasif.

3. Bagi paguyuban ebeg sudah saatnya untuk merekrut penayagan-penayagan muda. Walaupun belum mahir dan kurang berpengalaman tapi ini merupakan salah satu langkah untuk melatih dan mengenalkan cara permainan musik ebeg kepada kaum muda.

4. Seniman ebeg bisa bekerjasama dengan tokoh kesenian tradisional untuk melakukan pembakuan kesenian atau penentuan pakem yang nantinya akan digunakan sebagai acuan kreasi. Meskipun dengan terpaksa mengikuti perkembangan jaman, dengan adanya pakem akan membuat nilai asli kesenian ebeg tetap terjaga.

5. Bagi masyarakat untuk terus mendukung keberlangsungan kesenian ebeg dan mengenalkannya lebih luas lagi.


(83)

69

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2007. Analisis Eksistensial: Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan Psikiatri. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru

Algesindo.

Arikunto, Suharsimi. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Astuti, Sri Retna, Yustina Hastrini Nurwanti, dkk. 2013. Apresiasi Generasi

Muda Terhadap Lagu-lagu Perjuangan. Yogyakarta: BPNB Yogyakarta.

Damayanti, Deni. 2013. Panduan Lengkap Menyusun Proposal, Skripsi, Tesis, Disertasi untuk Semua Program Studi. Yogyakarta: Araska. Effendie, Pingky Marsella. 2015. Kesenian Ebeg Khas Cilacap. Diunduh

Jum‟at, 20 Februari 2015 pukul 12:17 WIB, dari

http://pingkymarsellae.blogspot.com/2015/01/kesenian-Ebeg -khas-cilacap.html?m=1.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fauzi, A. Bab III Penelitian. Diunduh Rabu, 18 Februari 2015 pukul 10.30 WIB, dari http://eprints.walisongo.ac.id/1571/4/093111027_Bab3.pdf. Hartono. 1980. Reyog Ponorogo. Jakarta: Balai Pustaka.

Haryanto, Edi, Deny Sunarwanto, dkk. 2012. Tugas Seni Budaya SMA Negeri 1 Jeruk Legi Tahun 2012/2013 (Sejarah Ebeg). Diunduh

Jum‟at, 20 Februari 2015 pukul 11:52 WIB dari

http://kholizah12.blogspot.com/2012/09/tugas-seni-budaya-sma-negeri-1.html?m=1.

Hasinta, Faricha. 2012. Eksistensi Manusia. Diunduh Selasa, 11 Maret 2015

pukul 09.21 WIB, dari

http://m.kompasiana.com/post/read/444068/1/eksistensi-manusia.html. Hopskins, K. D. (1984). Statistical Methods in Education and Psichology. New


(1)

LAMPIRAN 12

DOKUMENTASI FOTO


(2)

DOKUMENTASI FOTO

1. Persiapan wayang sebelum pertunjukan (dok: Maria, Mei 2015)

2. Salah satu pola lantai dalam pertunjukan ebeg (dok: Maria, Mei 2015)


(3)

3. Posisi wayang berhadap-hadapan dengan penayagan (dok: Maria, Mei 2015)


(4)

5. Salah satu adegan pada balad II (dok: Maria, Mei 2015)

6. Salah satu wayang yang meminta sajen/sesaji saat mendem


(5)

7. Beberapa penonton yang mengalami kesurupan/mendem

(dok: Maria, Mei 2015)

8. Lokasi pertunjukan yang dipadati penonton (dok: Maria, Mei 2015)


(6)

9. Penonton memadati area pertunjukan (dok: Maria, Mei 2015)

10.Siswa PAUD Perintis Bina Bangsa I desa Karanganyar menari jaranan dalam rangka Hari Anak Nasional tahun 2015