Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan Tahun 2013

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP GURU SD TERHADAP PENYAKIT EPILEPSI DI SD NEGERI 064969, SD PERCOBAAN NEGERI, DAN SD SHAFIYYATUL AMALIYYAH KOTA MEDAN

TAHUN 2013

Oleh: MEUTIA HASMI

100100070

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP GURU SD TERHADAP PENYAKIT EPILEPSI DI SD NEGERI 064969, SD PERCOBAAN NEGERI, DAN SD SHAFIYYATUL AMALIYYAH KOTA MEDAN

TAHUN 2013

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh: MEUTIA HASMI

100100070

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan Tahun 2013

Nama : Meutia Hasmi NIM : 100100070

Pembimbing Penguji I

(dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)) (dr. Dina Aprillia, A., M.Ked(PD), Sp.PD) NIP. 19660524 199203 1 002 NIP. 19810411 200604 2 001

Penguji II

(Sri Lestari, S.P, M.Kes) NIP. 19710429 200501 2 002

Medan, 13 Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologis kronis yang paling umum dengan insidensi tertinggi terjadi pada anak-anak, terutama di usia sekolah. Kurangnya informasi dan sikap yang negatif merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap stigma dan diskriminasi yang dirasakan oleh orang dengan epilepsi.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan sikap guru sekolah dasar terhadap penyakit epilepsi di Kota Medan.

Populasi penelitian ini adalah guru-guru sekolah dasar yang mengajar di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang telah diuji validitasnya kepada para guru. Analisis data dilakukan menggunakan statistik deskriptif.

Dari hasil penelitian diperoleh 70 responden, 24 responden (34.3%) adalah laki-laki dan 46 responden (65.7%) perempuan. Tingkat pengetahuan guru SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah berada pada kategori sedang, dengan persentase masing-masing sebesar 21,3%, 22,9%, dan 30%. Begitu pula dengan tingkat sikap guru di ketiga sekolah, berada pada kategori sedang dengan persentase masing-masing 24,4%, 27,1%, dan 32,8%.

Guru harus memiliki program pendidikan kesehatan mengenai kondisi penyakit umum seperti epilepsi yang lazim terjadi di usia sekolah. Dengan didapatkannya pengetahuan yang baik tentang epilepsi, maka stigma dan diskriminasi yang ada dapat diperbaiki.


(5)

ABSTRACT

Epilepsy is a chronic neurological disorder that has the highest incidence in children, especially at school age. The lack of information and negative attitudes are factors that most contribute to the stigma and discrimination experienced by people with epilepsy.

This study is a descriptive study that aimed to determine the knowledge and attitudes of primary school teachers towards epilepsy in Medan.

The population was elementary school teachers who teach in SDN 064969, SD Negeri Percobaan, and SD Shafiyyatul Amaliyyah. The sampling method used is total sampling. Data was collected by interview using a questionnaire that its validity has been tested. Data analysis was performed using descriptive statistics.

The results were obtained from 70 respondents, 24 respondents (34.3 %) were male and 46 respondents (65.7 %) were female. Teacher knowledge in SDN 064969, SD Negeri Percobaan, and SD Shafiyyatul amaliyyah is in middle category, the percentage of respectively 21.4 %, 22.9 %, and 30 %. Similarly, the third level of the attitude of teachers in the school is also in middle category with their respective percentage 24.4 %, 27.1 %, and 32.8 %.

Further knowledge and education about epilepsy is still needed among the teachers. Good knowledge and positive attitudes towards epilepsy, is expected to improve the stigma and discrimination that exist in society.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian ini berjudul “Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013”.

Dalam penyelesaian proposal penelitian ini penulis banyak menerima bantuan dari beberapa pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) selaku Dosen Pembimbing atas arahan, ilmu, dan waktu yang telah diberikan untuk membimbing penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Ibu dr. Dina Aprillia, A., M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.

4. Ibu Sri Lestari, S.P, M.Kes, sekalu Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh responden guru-guru di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan yang telah banyak berjasa


(7)

secara sukarela meluangkan waktunya untuk diwawancarai sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

7. Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.

8. Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2010 yang telah memberi saran, kritik, dukungan moral dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Medan, Desember 2013

Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ...……… i

ABSTRAK ……….. ii

ABSTRACT ………... iii

KATA PENGANTAR ...………. iv

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ……….. x

DAFTAR SINGKATAN ……… xi

BAB 1 PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 2

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 3

1.4. Manfaat Penelitian ……… 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……… 4

2.1. Epilepsi ………. 4

2.1.1. Definisi ……… 4

2.1.2. Epidemiologi ……… 5

2.1.3. Etiologi ……… 6

2.1.4. Klasifikasi ……… 7

2.1.5. Patofisiologi ……… 10


(9)

2.1.7. Penegakan Diagnosis ……….. 13

2.1.8. Penatalaksanaan ……….. 15

2.2. Perilaku ……….. 17

2.2.1. Pengetahuan ……… 19

2.2.2. Sikap ……… 21

2.2.3. Tindakan ………. 22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL …. 23

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ………. 23

3.2. Definisi Operasional dan Variabel ……… 23

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ……….. 25

4.1. Rancangan Penelitian ……… 25

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 25

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ………. 25

4.4. Metode Pengumpulan Data ……… 26

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ………. 26

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 27

5.1. Hasil Penelitian ……….. 27

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 27

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ………. 27

5.1.3. Sumber Informasi Mengenai Epilepsi ………. 29

5.1.4. Pengetahuan tentang Epilepsi ……….. 29

5.1.5. Sikat terhadap Penyakit Epilepsi ………. 31

5.2. Pembahasan ……… 34


(10)

5.2.2. Sikap ……… 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……… 40

6.1. Kesimpulan ……….... 40

6.2. Saran ……….. 40

DAFTAR PUSTAKA ……… 42


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi 12 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya 16 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden 28 5.2. Distribusi frekuensi sumber informasi responden 29 5.3. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel 30

pengetahuan

5.4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat 30 pengetahuan

5.5. Distribusi tempat mengajar responden terhadap tingkat 31 pengetahuan

5.6. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap 32 5.7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap 33 5.8. Distribusi tempat mengajar responden terhadap tingkat 34


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia 7 3.1. Skema kerangka konsep penelitian 23


(13)

DAFTAR SINGKATAN

CT : Computed Tomography

EEG : Elektroensefalografi GABA : Gamma-aminobutyric acid

ILAE : International League Against Epilepsy MRI : Magnetic Resonance Imaging

OAE : Obat Anti Epilepsi ODE : Orang Dengan Epilepsi

PET : Positron Emission Tomography

SD : Sekolah Dasar

SPECT : Single Photon Emission Computerised Tomography WHO : World Health Organization


(14)

ABSTRAK

Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologis kronis yang paling umum dengan insidensi tertinggi terjadi pada anak-anak, terutama di usia sekolah. Kurangnya informasi dan sikap yang negatif merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap stigma dan diskriminasi yang dirasakan oleh orang dengan epilepsi.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan sikap guru sekolah dasar terhadap penyakit epilepsi di Kota Medan.

Populasi penelitian ini adalah guru-guru sekolah dasar yang mengajar di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang telah diuji validitasnya kepada para guru. Analisis data dilakukan menggunakan statistik deskriptif.

Dari hasil penelitian diperoleh 70 responden, 24 responden (34.3%) adalah laki-laki dan 46 responden (65.7%) perempuan. Tingkat pengetahuan guru SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah berada pada kategori sedang, dengan persentase masing-masing sebesar 21,3%, 22,9%, dan 30%. Begitu pula dengan tingkat sikap guru di ketiga sekolah, berada pada kategori sedang dengan persentase masing-masing 24,4%, 27,1%, dan 32,8%.

Guru harus memiliki program pendidikan kesehatan mengenai kondisi penyakit umum seperti epilepsi yang lazim terjadi di usia sekolah. Dengan didapatkannya pengetahuan yang baik tentang epilepsi, maka stigma dan diskriminasi yang ada dapat diperbaiki.


(15)

ABSTRACT

Epilepsy is a chronic neurological disorder that has the highest incidence in children, especially at school age. The lack of information and negative attitudes are factors that most contribute to the stigma and discrimination experienced by people with epilepsy.

This study is a descriptive study that aimed to determine the knowledge and attitudes of primary school teachers towards epilepsy in Medan.

The population was elementary school teachers who teach in SDN 064969, SD Negeri Percobaan, and SD Shafiyyatul Amaliyyah. The sampling method used is total sampling. Data was collected by interview using a questionnaire that its validity has been tested. Data analysis was performed using descriptive statistics.

The results were obtained from 70 respondents, 24 respondents (34.3 %) were male and 46 respondents (65.7 %) were female. Teacher knowledge in SDN 064969, SD Negeri Percobaan, and SD Shafiyyatul amaliyyah is in middle category, the percentage of respectively 21.4 %, 22.9 %, and 30 %. Similarly, the third level of the attitude of teachers in the school is also in middle category with their respective percentage 24.4 %, 27.1 %, and 32.8 %.

Further knowledge and education about epilepsy is still needed among the teachers. Good knowledge and positive attitudes towards epilepsy, is expected to improve the stigma and discrimination that exist in society.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang dapat mengenai seluruh usia. Di dunia, 50 juta orang menderita epilepsi dan sebanyak 85% berada di negara berkembang. Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di dunia berkisar antara 23-190 tiap 100.000 penduduk tiap tahun dan bahkan dapat lebih tinggi pada anak-anak, yaitu antara 25-840 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya. Insidensi ini lebih tinggi pada negara berkembang dibandingkan dengan negara maju (WHO, 2012).

Epilepsi merupakan suatu kondisi medis, namun seseorang yang menderita epilepsi juga harus mengatasi berbagai konsekuensi sosial yang timbul (Hills, 2007). Penderita epilepsi merasakan berbagai pelanggaran dan pembatasan dari hak sipil dan hak asasi manusia mereka, seperti dalam mendapatkan akses terhadap jaminan kesehatan, surat izin mengemudi, pekerjaan, perjanjian hukum, dan bahkan pernikahan. Diskriminasi terhadap penderita epilepsi di tempat kerja dan dalam hal untuk memperoleh pendidikan merupakan hal umum yang sering dialami para penderita epilepsi (WHO, 2012). Sebuah penelitian di Bengal menunjukkan hanya 35,9% orang tua yang memperbolehkan anak epilepsi untuk memperoleh pendidikan di sekolah yang sama seperti anak-anak lainnya (Bhattacharya, 2007).

Sebagian besar anak dengan epilepsi bersikap baik di sekolah dan mampu secara kognitif, tetapi mereka lebih sering mengalami masalah dalam pembelajaran, pencapaian prestasi, dan penurunan daya kognitif, sehingga mereka membutuhkan perhatian khusus. Oleh karena itu, perilaku guru terhadap epilepsi penting dalam meningkatkan prestasi sekolah dan perkembangan kemampuan sosial siswa. Guru yang salah persepsi atau mempunyai sedikit pengetahuan


(17)

tentang epilepsi dapat meningkatkan risiko masalah akademik dan sosial siswa

(Institute of Medicine, 2012). Sebuah penelitian komunitas tentang pengetahuan,

sikap, dan persepsi guru mengenai epilepsi di Nigeria menunjukkan adanya kekurangan yang berarti dalam pengetahuan umum tentang epilepsi. Sebanyak 29,2% responden menganggap epilepsi adalah penyakit menular dan 40% beranggapan bahwa anak dengan epilepsi tidak seharusnya berada di kelas biasa (Mustapha, Odu, dan Akande, 2012).

Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011). Penelitian tentang insidensi epilepsi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2004-2008 menunjukkan kasus terbesar sebanyak 30,02% terjadi pada usia 5-14 tahun atau usia sekolah (Putri, 2009).

Jumlah pasien epilepsi di Medan, Sumatera Utara, sampai sekarang belum diketahui. Belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi epilepsi di Medan, Sumatera Utara. Sebuah penelitian tentang perilaku guru terhadap epilepsi di Medan menunjukkan adanya sikap yang buruk dan kesalahpahaman terhadap penyakit epilepsi yang berarti (Rambe dan Sjahrir, 2002).

Guru dianggap sebagai tokoh masyarakat. Oleh karena itu, guru juga mempunyai peranan penting dalam perawatan kesehatan anak dengan epilepsi. Terlebih lagi onset terjadinya epilepsi terbanyak adalah pada usia anak-anak. Hal inilah sebagai dasar bagi peneliti ingin mengetahui pengetahuan dan sikap guru sekolah dasar terhadap epilepsi.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap guru terhadap penyakit epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013?


(18)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap guru mengenai epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013.

1.3.2.Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan guru mengenai penyakit epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013.

b. Untuk mengetahui bagaimana sikap guru terhadap penyakit epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a. Sebagai sumber informasi bagi para guru agar lebih meningkatkan perilaku mereka terhadap epilepsi.

b. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah untuk memberikan edukasi kepada para guru tentang epilepsi.

c. Sebagai tambahan pengetahuan kepada peneliti dan pembaca mengenai gambaran pengetahuan dan sikap guru sekolah dasar terhadap epilepsi. d. Sebagai informasi tambahan bagi pembaca sebagai bahan acuan untuk


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epilepsi 2.1.1. Definisi

Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi yang berbeda-beda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanak-kanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012).

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin untuk kejang dan mengambil alih (WHO, 2005). Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein, yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.

Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil alih. Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan (Lowenstein, 2010).

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut (Markand, 2009).

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan


(20)

atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006).

2.1.2. Epidemiologi

WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari 108 negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka rata-rata sebanyak 9,97 (WHO, 2005).

Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53 per 100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju, insidensi di kalangan orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak. Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular. Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita (WHO, 2005).


(21)

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum diketahui. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan dan membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011).

2.1.3. Etiologi

Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia: 1. Neonatal

Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase, fenilketonuria).

2. Bayi (1-6 bulan)

Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik, spasme infantil, Sindroma West.

3. Anak (6 bulan – 3 tahun)

Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia, infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obat-obatan.

4. Anak (3-10 tahun)

Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi, thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.

5. Remaja (10-18 tahun)

Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.

6. Dewasa muda (18-25 tahun)

Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi lainnya.

7. Dewasa (35-60 tahun)


(22)

8. Usia lanjut (>60 tahun)

Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit degeneratif, trauma.

Gambar 2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia (diadaptasi dari berbagai sumber termasuk Hauser dan Annegers serta Engel dan Pedley)

Sumber: (Ropper dan Brown, 2005)

Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf pusat adalah penyebab umum kejang.

2.1.4. Klasifikasi

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against

Epilepsi (1981):

A. Bangkitan parsial

a. Bangkitan parsial sederhana 1. Motorik

2. Sensorik 3. Otonom 4. Psikis

b. Bangkitan parsial kompleks

1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran

2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan


(23)

c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik 2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik-klonik

B. Bangkitan umum a. Absans (lena) b. Mioklonik c. Klonik d. Tonik

e. Tonik-klonik f. Atonik C. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 (Rudzinski dan Shih, 2011):

A. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik (primer)

1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

3. Primary reading epilepsy

b. Simtomatik (sekunder)

1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom Kojewnikow)

2. Epilepsi lobus temporalis 3. Epilepsi lobus frontalis 4. Epilepsi lobus parietalis 5. Epilepsi lobus oksipitalis c. Kriptogenik


(24)

a. Idiopatik (primer)

1. Kejang neonatus familial benigna 2. Kejang neonatus benigna

3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi 4. Epilepsi absans pada anak

5. Epilepsi absans pada remaja 6. Epilepsi mioklonik pada remaja

7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga 8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

b. Kriptogenik atau simtomatik

1. Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia) 2. Sindroma Lennox Gastaut

3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik 4. Epilepsi dengan absans mioklonik

c. Simtomatik

1. Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara

2. Etiologi atau sindroma spesifik -Malformasi serebral

-Gangguan metabolisme

C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan a. Serangan umum fokal

1. Kejang neonatal

2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3. Sindroma Taissinare

4. Sindroma Landau Kleffner

b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum D. Epilepsi berkaitan dengan situasi

a. Kejang demam


(25)

c. Berkaitan dengan obat-obatan d. Eklamsi

e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

2.1.5. Patofisiologi

Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.

Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).

1. Mekanisme iktogenesis

Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.

- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion voltase dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.

- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar


(26)

neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.

- Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.

2. Mekanisme epileptogenesis - Mekanisme nonsinaptik

Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.

- Mekanisme sinaptik

Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.

o GABA

Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.


(27)

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

2.1.6. Gejala Klinis

Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua hemisfer otak terlibat secara bersamaan.

Tabel 2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi

Tipe kejang Ciri khas

Kejang parsial

Parsial sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom, atau kejiwaan.

Kesadaran normal.

Parsial kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom,atau kejiwaan.

Adanya penurunan kesadaran. Kejang umum

Tonik-klonik Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas yang sinkron.

Dapat disertai inkontinensia.

Diikuti dengan kebingungan pasca kejang.

Absans Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya <10 detik) dengan terhentinya aktivitas yang sedang berlangsung.


(28)

Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip. Pola EEG menunjukkan gambaran paku-ombak

(spike-and-wave).

Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot. Kesadaran normal.

Biasanya bilateral dan simetris. Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat. Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan.

Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara berulang-ulang.

Sumber: (Miller, 2009)

2.1.7. Penegakan Diagnosa

Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama (Miller, 2009).

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006).

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:

a. Pola atau bentuk serangan b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan


(29)

e. Faktor pencetus

f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik dan neurologi

Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi (Markand, 2009). EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien (Smith, 2005). Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006). Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.


(30)

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak

(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi

data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single

Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission

Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk

menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus

Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

2.1.8. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.

Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go

slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith dan Chadwick, 2001).


(31)

Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld, Bramley, 2009). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua

Kejang parsial Parsial sederhana, Parsial kompleks, Umum sekunder Carbamazepine Lamotrigine Levetiracetam Oxcarbazepine Topiramate Valproate Acetazolamide Clonazepam Gabapentin Phenobarbitone Phenytoin Kejang umum Tonik-klonik, Klonik Carbamazepine Lamotrigine Topiramate Valproate Acetazolamide Levetiracetam Phenobarbitone Phenytoin

Absans Ethosuximide

Lamotrigine Valproate Acetazolamide Clonazepam Absans atipikal, Atonik, Tonik

Valproate Acetazolamide

Clonazepam Lamotrigine Phenytoin Topiramate

Mioklonik Valproate Acetazolamide

Clonazepam Lamotrigine Levetiracetam


(32)

Phenobarbitone Piracetam Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010) 2. Terapi bedah epilepsi

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

2.2. Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinnier (1938) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus. Ia membedakan adanya dua respons, yaitu:

a. Respondent response atau reflexive, yaitu respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif

tetap.

b. Operant response atau instrumental response, yaitu respons yang timbul

dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu. Stimulus ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:


(33)

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons terhadap stimulus masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)

b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior)

c. Perilaku kesehatan lingkungan

Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan ini, yaitu:

a. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan atau meningkatkan kesehatannya.

b. Perilaku sakit, mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit, dan pengetahuan tentang penyakit.

c. Perilaku peran sakit, mencakup tindakan untuk memperoleh kesembuhan, mengetahui fasilitas atau sarana peyembuhan penyakit yang layak, serta mengetahui hak dan kewajiban orang sakit.

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia ke dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom menyebutnya ranah atau kawasan, yakni: a) kognitif, b) afektif, c) psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan.


(34)

2.2.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yakni:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur


(35)

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2012).

2.2.2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Alport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).


(36)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2012).

2.2.3. Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung untuk suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah faktor fasilitas dan faktor dukungan. Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:


(37)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indikator tindakan tingkat pertama.

2. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai tindakan tingkat kedua.

3. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran tindakan juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2012).


(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Gambar 3.1. Skema kerangka konsep penelitian

3.2. Definisi Operasional dan Variabel

Variabel pada penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap mengenai penyakit epilepsi pada guru SD di Kota Medan.

No. Variabel Definisi

operasional Alat ukur Hasil ukur

Skala ukur 1. Pengetahuan Segala sesuatu

yang diketahui responden

mengenai epilepsi

Kuesioner 1: Baik 2: Sedang 3: Kurang

Ordinal

2. Sikap Tanggapan atau

reaksi responden mengenai epilepsi

Kuesioner 1: Baik 2: Sedang 3: Kurang

Ordinal

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui para guru tentang penyakit epilepsi. Usia Jenis Kelamin Pendidikan Lama Mengajar Sumber Informasi Tingkat Pengetahuan dan Sikap terhadap


(39)

Pengukuran gambaran pengetahuan guru SD mengenai penyakit epilepsi dilakukan berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 6 pertanyaan dan diukur dengan menggunakan skala Guttman. Bila responden menjawab pernyataan positif dengan ya akan diberi nilai 1 dan tidak diberi nilai 0. Begitu juga sebaliknya pada pernyataan negatif. Sehingga total nilai tertinggi adalah 6.

Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:

a. Tingkat pengetahuan baik apabila jawaban responden benar >75% atau memiliki nilai >4 dari seluruh pertanyaan yang ada.

b. Tingkat pengetahuan sedang apabila jawaban responden benar 40-75% atau memiliki nilai 3-4 dari seluruh pertanyaan yang ada.

c. Tingkat pengetahuan kurang apabila jawaban responden benar <40% atau memiliki nilai <3 dari seluruh pertanyaan yang ada.

2. Sikap

Sikap adalah tanggapan atau reaksi guru SD terhadap penyakit epilepsi. Pengukuran gambaran sikap guru SD mengenai penyakit epilepsi dilakukan berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan dan diukur dengan menggunakan skala Likert. Bila responden menjawab pernyataan positif dengan sangat setuju diberi nilai 4, setuju diberi nilai 3, tidak setuju diberi nilai 2, dan sangat tidak setuju diberi nilai 1. Begitu juga sebaliknya pada pernyataan negatif. Sehingga total nilai tertinggi adalah 40.

Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:

d. Tingkat pengetahuan baik apabila jawaban responden benar >75% atau memiliki nilai >30 dari seluruh pertanyaan yang ada.

e. Tingkat pengetahuan sedang apabila jawaban responden benar 40-75% atau memiliki nilai 16-30 dari seluruh pertanyaan yang ada.

f. Tingkat pengetahuan kurang apabila jawaban responden benar <40% atau memiliki nilai <16 dari seluruh pertanyaan yang ada.


(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survey yang bersifat deskriptif dengan studi cross sectional dimana pengukuran variabel-variabel dilakukan hanya satu kali pada satu saat untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan sikap guru tentang penyakit epilepsi.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Dasar di Kota Medan, yaitu SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah. Penelitian dilaksanakan sejak dari awal penyusunan proposal penelitian sampai seminar hasil penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September sampai November 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru sekolah dasar pada sekolah dasar yang ada di Kotamadya Medan yang berjumlah:

SD Negeri 064969 : 18 orang SD Percobaan Negeri : 22 orang SD Shafiyyatul Amaliyyah : 30 orang

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini diambil dengan cara total sampling, populasi yang berjumlah diambil seluruhnya, yaitu 70 orang.


(41)

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang berasal dari sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket dengan menggunakan instrumen kuesioner.

4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak sekolah berhubungan dengan jumlah guru di sekolah tersebut.

4.4.3. Hasil Uji Validitas dan Uji Reabilitas

Kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian ini akan diuji validitasnya dengan menggunakan teknik korelasi produk momen (Moment product

correlation/Pearson correlation). Kuesioner juga akan diuji realibilitasnya dengan

menggunakan teknik Cronbach (Cronbach Alpha). Uji validitas dan realibilitas ini menggunakan bantuan program statistik.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Tahapan pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan

saving. Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.

Coding berarti mengoreksi ketepatan dan kelengkapan data kemudian diberi kode

oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer. Setelah itu data akan dimasukkan (entry) ke program statistik. Pada tahapan selanjutnya, cleaning, semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer diperiksa kembali guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data. Data yang telah benar-benar tepat akan disimpan (saving) dan siap dianalisis.

Analisis yang akan dilakukan adalah analisis univariat. Analisis data univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari seluruh variabel penelitian. Penyajian akan didistribusikan dalam bentuk tekstual dan tabel.


(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Proses pengumpulan data untuk penelitian ini telah dilakukan dengan pembagian kuesioner yang diisi oleh responden di tempat tanpa dibawa pulang. Hasil kuesioner yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa, sehingga dapat disimpulkan pada hasil penelitian ini.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga tempat, yaitu SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah. Pengambilan data di lakukan di SD Negeri 064969 yang berlokasi di Jalan Seser No.33 Kecamatan Medan Tembung, SD Negeri Percobaan yang berlokasi di Jalan Sei Petani 19 Kecamatan Medan Baru, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah yang berlokasi di Jalan Setia Budi No.191 Kecamatan Medan Sunggal. Tempat pengambilan data dilakukan di ruang guru masing-masing sekolah. Pengumpulan data dari kedua sekolah ini dilakukan pada bulan Oktober 2013.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah guru SD Negeri 064969 sebanyak 18 orang, SD Percobaan Negeri sebanyak 22 orang, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah sebanyak 30 orang, dengan jumlah responden 70 orang.

Gambaran karakteristik responden yang diamati meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan lama mengajar sebagai guru. Data lengkap mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 5.1.


(43)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik responden

Karakteristik n %

Usia 21-30 31-40 41-50 51-60 9 17 29 15 12,9 24,3 41,4 21,4

Jumlah 70 100

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 24 46 34,3 65,7

Jumlah 70 100

Pendidikan Terakhir SMA/Sederajat S1 9 61 12,9 87,1

Jumlah 70 100

Lama Mengajar <10 tahun 10-20 tahun >20 tahun 13 24 33 18.6 34.3 47.1

Jumlah 70 100

Dari data diatas, didapati dari 70 guru yang menyelesaikan kuesioner, 24 (34.3%) adalah laki-laki dan 46 (65.7%) adalah perempuan. Usia rata-rata responden adalah 41 ± 8 tahun (berkisar antara 25-54 tahun). Sebagian besar guru memiliki pendidikan sarjana, yaitu sebanyak 61 orang (87,1%), menandakan tingginya tingkat pendidikan formal. Angka rata-rata lama mengajar adalah 18 tahun (berkisar antara 1-24 tahun).


(44)

5.1.3. Sumber Informasi Mengenai Epilepsi

Sumber informasi mengenai epilepsi dapat diperoleh melalui berbagai media massa ataupun melalui orang disekitar. Melalui sumber informasi yang benar, maka kita akan memiliki pengetahuan yang benar juga. Oleh sebab itu, sumber informasi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan pengetahuan. Data lengkap mengenai sumber informasi yang didapatkan responden dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sumber Informasi Responden

Sumber Informasi Epilepsi n %

Radio, Televisi Keluarga, Teman Majalah, Koran Seminar, Simposium Buku, Brosur Dokter, Perawat 26 20 11 4 6 3 37.1 28.6 15.7 5.7 8.6 4.3

Jumlah 70 100

Dari data yang didapatkan, hampir seluruh responden menyatakan pernah mendengar atau membaca tentang penyakit epilepsi. Sebanyak 37,1% menyatakan bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai epilepsi dari media massa seperti radio dan televisi, sedangkan sebanyak 28,6% mengaku mengenal epilepsi dari keluarga atau teman mereka. Sekitar 90% menyatakan bahwa mereka belum mendapatkan informasi yang baik dan benar tentang epilepsi dan ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai hal tentang epilepsi, seperti penyebab, gejala, dan pengobatan.

5.1.4. Pengetahuan tentang Epilepsi

Pada penelitian ini, dalam lembar kuesioner terdapat 6 pertanyaan mengenai pengetahuan guru SD terhadap epilepsi. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kuesioner tersebut telah diuji validitas dan reabilitasnya, sehingga


(45)

pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menggambarkan pengetahuan responden mengenai epilepsi. Data lengkap distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan

No. Pertanyaan

Jawaban Responden

Benar Salah

n % n %

1. Pengertian epilepsi 60 85,7 10 14,3

2. Pemahaman epilepsi 13 18,6 57 81,4

3. Penyebab epilepsi 65 92,9 5 7,1

4. Tanda serangan epilepsi 59 84,3 11 15,7

5. Pengobatan epilepsi 28 40,0 42 60,0

6. Tindakan yang dilakukan ketika melihat seseorang kejang

41 58,6 29 41,4

Berdasarkan tabel di atas, pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar adalah pada pertanyaan tentang penyebab epilepsi yaitu sebesar 92,9%. Sedangkan pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan salah adalah pada pertanyaan tentang pemahaman terhadap epilepsi, yaitu sebesar 81,4%.

Berdasarkan hasil tersebut, maka tingkat pengetahuan mengenai epilepsi dapat dikategorikan seperti pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan n %

Baik Sedang Kurang 13 52 5 18,6 74,3 7,1


(46)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan dengan kategori sedang memiliki persentase paling besar yaitu 74,3%, tingkat pengetahuan yang dikategorikan baik sebanyak 18,6% dan tingkat pengetahuan yang dikategorikan kurang sebanyak 7,1%.

Penelitian ini dilakukan di tiga sekolah dasar. Data yang diambil dari ketiga sekolah ini dapat dilihat perbandingan hasil untuk pengetahuan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Tempat Mengajar Responden terhadap Tingkat Pengetahuan

Kategori Pengetahuan

Baik Sedang Kurang Total

n % n % n % n %

Tempat Mengajar Responden

SDN

064969 1 1,4 15 21,4 2 2,9 18 25,7 SDN

Percobaan 4 5,7 16 22,9 2 2,9 22 31,5 SD

Shafiyyatul Amaliyyah

8 11,5 21 30,0 1 1,4 30 42,8

Jumlah 13 18,6 52 74,3 5 7,1 70 100

Dari tabel tersebut, tingkat pengetahuan kurang memiliki nilai yang paling kecil pada ketiga sekolah, yaitu sebesar 2,9% dan 1,4%. Untuk tingkat pengetahuan sedang, SD Shafiyyatul Amaliyyah memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan dua sekolah yang lain, yaitu sebesar 30%. Begitu juga untuk tingkat pengetahuan baik, SD Shafiyyatul Amaliyyah memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan dua sekolah yang lain, yaitu sebesar 11,5%.

5.1.5. Sikap terhadap Penyakit Epilepsi

Pada penelitian ini, dalam kuesioner penelitian terdapat 10 pertanyaan mengenai sikap terhadap penyakit epilepsi. Data lengkap distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap dapat dilihat pada tabel 5.6.


(47)

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Sikap

No Pertanyaan

Jawaban Responden Sangat

Setuju Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

n % n % n % n %

1. Orang dengan epilepsi harus diisolir

19 27,1 8 11,4 38 54,3 5 7,1

2. Epilepsi merupakan suatu halangan untuk hidup bahagia

0 0 24 34,3 40 57,1 6 8,6

3. Epilepsi mempengaruhi pendidikan seseorang

10 14,3 32 45,7 23 32,9 5 7,1

4. Orang dengan epilepsi tidak bisa bekerja seperti orang lain

0 0 41 58,6 27 38,6 2 2,9

5. Orang dengan epilepsi harus dilarang

mengemudi

16 22,9 45 64,3 9 12,9 0 0

6. Orang dengan epilepsi tidak mungkin

menjalani kehidupan pernikahan

0 0 11 15,7 31 44,3 28 40,0

7. Orang dengan epilepsi tidak seharusnya memiliki anak

0 0 7 10,0 53 75,7 10 14,3

8. Saya keberatan jika anak saya satu sekolah dengan anak epilepsi

5 7,1 23 32,9 35 50,0 7 10,0

9. Saya akan membiarkan anak saya bermain dengan anak epilepsi

4 5,7 32 45,7 23 32,9 11 15,7

10. Saya tidak

mengizinkan anak saya menikah dengan orang epilepsi


(48)

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pernyataan sikap yang paling banyak dijawab dengan sangat setuju adalah pada pernyataan mengenai orang dengan epilepsi seharusnya diisolir, yaitu sebanyak 27,1%. Pernyataan sikap yang paling banyak dijawab dengan setuju adalah pada pernyataan mengenai orang dengan epilepsi harus dilarang mengemudi, yaitu sebanyak 64,3%. Pernyataan sikap yang paling banyak dijawab dengan tidak setuju adalah pada pernyataan bahwa orang dengan epilepsi tidak seharusnya memiliki anak, yaitu sebanyak 75,7%. Pernyataan sikap yang paling banyak dijawab dengan sangat tidak setuju adalah pada pernyataan bahwa orang dengan epilepsi tidak memungkinkan untuk menjalani kehidupan pernikahan, yaitu sebanyak 40,0%.

Berdasarkan hasil tersebut, maka sikap mengenai epilepsi dapat dikategorikan seperti pada tabel 5.7.

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Sikap

Sikap n %

Baik Sedang Kurang

11 59 0

15,7 84,3 0

Jumlah 70 100

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sikap yang dikategorikan sedang memiliki persentase paling besar yaitu 84,3%, sedangkan sikap yang dikategorikan baik memiliki persentase 15,7%. Pada penelitian ini tidak didapatkan sikap dengan kategori kurang.

Penelitian ini dilakukan di tiga sekolah dasar. Data yang diambil dari ketiga sekolah ini dapat dilihat perbandingan hasil untuk sikap pada tabel 5.8.


(49)

Tabel 5.8 Distribusi Tempat Mengajar Responden terhadap Tingkat Sikap

Kategori Sikap

Baik Sedang Kurang Total

n % n % n % n %

Tempat Mengajar Responden

SDN

064969 1 1,4 17 24,4 0 0 18 25,7

SDN

Percobaan 3 4,3 19 27,1 0 0 22 31,5 SD

Shafiyyatul Amaliyyah

7 10,0 23 32,8 0 0 30 42,8

Jumlah 11 15,7 59 84,3 0 0 70 100

Dari tabel tersebut, dari ketiga sekolah tidak ada guru yang memiliki sikap yang kurang terhadap penyakit epilepsi. Sikap dengan kategori sedang merupakan nilai terbanyak pada SD Negeri 064969, SD Negeri Percobaan, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah dengan nilai 24,4%, 27,1%, dan 32,8%.

5.2. Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan guru sekolah dasar mengenai epilepsi, dan sikap mereka terhadap anak-anak menderita penyakit ini. Penelitian difokuskan pada guru sekolah dasar karena mereka sangat mempengaruhi perkembangan anak pada periode sensitif dari usia sekolah sampai pubertas. Guru juga bagian penting dari masyarakat yang berhubungan erat dengan anak-anak, yang mungkin beberapa di antaranya menderita epilepsi.

5.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan informasi dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman atau pendidikan. Pengetahuan merupakan jumlah dari segala hal yang diketahui. Dalam penelitian ini telah dilakukan pembagian kuesioner untuk mengukur pengetahuan responden mengenai epilepsi pada tingkat pengetahuan yang pertama, yaitu tahu.


(50)

Pada hasil penelitian ini didapatkan beberapa temuan yang tidak menyenangkan. Dari 70 responden, sebanyak 90% menyatakan belum mendapatkan informasi yang baik mengenai epilepsi. Hal serupa ditunjukkan pada penelitian di Osogbo, Nigeria dimana 70% guru menyatakan memiliki pengetahuan mengenai epilepsi yang di bawah rata-rata. Hal ini mungkin dikarenakan mereka jarang kontak dengan anak-anak epilepsi, sehingga mereka hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai epilepsi. Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa guru hanya memiliki pengetahuan yang cukup tentang epilepsi, pelatihan yang tidak memadai, dan ide-ide yang keliru dan berpotensi berbahaya mengenai penanganan pertama kejang (Mustapha, Odu, Akande, 2012).

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 77,1% menyatakan bahwa epilepsi merupakan suatu gangguan pada kesehatan fisik dan mental. Berbeda dengan penelitian Ayapillai (2012) pada masyarakat di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, dimana sebanyak 78,8% responden menganggap epilepsi bukan merupakan penyakit kejiwaan. Sedangkan pada penelitian di Nigeria, sebanyak 50,2% responden menyatakan epilepsi adalah suatu penyakit kejiwaan (Mustapha, Odu, Akande, 2012). Hal ini menyatakan bahwa masih tingginya kekeliruan responden mengenai penyakit epilepsi. Bahkan pada penelitian ini didapatkan sebanyak 37,1% menyatakan bahwa psikoterapi merupakan pilihan pengobatan yang terbaik untuk pasien epilepsi karena mereka beranggapan bahwa epilepsi merupakan suatu masalah pada kejiwaan seseorang. Padahal pilihan utama pengobatan untuk semua jenis epilepsi dapat dilakukan dengan memberikan obat antiepilepsi (OAE) dan pembedahan fokus epilepsi

(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

Pada penelitian ini didapatkan mayoritas responden (92,9%) menyatakan epilepsi disebabkan oleh adanya gangguan pada otak. Dari penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Haydar dan Islam (2011) di kalangan guru sekolah dasar dan perguruan tinggi menyatakan sebanyak 58,5% responden menyebutkan berbagai penyebab epilepsi, termasuk malformasi otak, cedera kepala, faktor keturunan,


(51)

serangan roh jahat, dan infeksi. Menurut Purba (2008), dasar serangan epilepsi adalah adanya gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps.

Beberapa responden menganggap epilepsi merupakan penyakit menular. Penelitian lain juga melaporkan hal serupa di kalangan guru (Haydar dan Islam, 2011). Sedangkan pada penelitian serupa di Zimbabwe, mayoritas responden (73%) mengatakan bahwa epilepsi tidak menular dan menggambarkannya sebagai kondisi kronis. Walaupun hanya sebagian kecil responden yang mengatakan epilepsi tidak menular, tetap didapati adanya keyakinan yang menganggap epilepsi dapat ditularkan (Goronga dkk, 2013). Konsep yang menyatakan bahwa epilepsi sebagai penyakit menular merupakan ide-ide yang ketinggalan zaman dan membuat kehidupan orang dengan epilepsi cukup menyedihkan. Orang-orang dengan epilepsi dipandang dengan ketakutan, kecurigaan dan kesalahpahaman dan menjadi sasaran stigma sosial yang sangat besar. Mereka diperlakukan sebagai orang buangan dan dihukum.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rambe dan Sjahrir (2002), dengan judul “Kesadaran, Sikap dan Pemahaman Guru terhadap Epilepsi di Medan, Indonesia”. Dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya kesalahpahaman yang cukup berarti terhadap epilepsi. Begitu juga pada hasil penelitian ini, dimana sebanyak 74,2% responden memiliki pengetahuan dalam kategori sedang, sehingga tetap memungkinkan adanya kesalahpahaman terhadap penyakit epilepsi. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya edukasi dan penyebaran informasi mengenai penyakit epilepsi di kalangan guru dan masyarakat. Berbeda hasil penelitian Ayapillai (2012) dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit Epilepsi di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan”. Dimana hasil penelitiannya didapatkan pengetahuan responden sangat baik (97%).

Guru seharusnya memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyakit epilepsi. Hal ini dikarenakan epilepsi lebih umum terjadi di kalangan anak-anak sekolah dan guru memiliki banyak pengaruh pada anak-anak, yang menghabiskan bagian terpenting dari kehidupan sosial dan pendidikan di sekolah. Kesalahpahaman dari guru-guru ini akan memiliki dampak negatif terhadap


(52)

prestasi anak-anak dengan epilepsi, saat sekarang maupun di masa depan. Hal ini dikarenakan anak-anak dengan epilepsi berisiko tinggi untuk mendapatkan prestasi yang buruk, masalah kesehatan mental, isolasi sosial, dan menjadi tidak percaya diri.

5.2.2. Sikap

Untuk pengukuran sikap, penelitian juga dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisikan pertanyaan yang berhubungan dengan sikap responden terhadap penyakit epilepsi.

Pada penelitian ini didapatkan sikap positif yang signifikan. Sebanyak 57,1% responden berpikir bahwa epilepsi bukan merupakan suatu halangan untuk hidup bahagia, 50% responden mengizinkan anaknya berada satu sekolah dengan anak epilepsi, dan 45,7% responden setuju anak mereka bermain dengan anak epilepsi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayapillai (2012), sebanyak 97% responden memperbolehkan pergaulan dengan penderita epilepsi. Penderita epilepsi sendiri merasakan isolasi sosial dan adaptasi sosial yang buruk yang disebabkan oleh stigma di masyarakat. Atau juga karena adanya ketergantungan yang berlebihan yang disebabkan oleh orangtua yang terlalu protektif terhadap anak epilepsi. Hal ini menyebabkan dengan epilepsi takut malu dengan kejang, sehingga mereka enggan untuk terlibat dalam interaksi sosial (Hills, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan 44,3% responden setuju jika orang dengan epilepsi dapat menjalani kehidupan pernikahan dan sebanyak 75,7% responden setuju bahwa orang dengan epilepsi dapat memiliki anak. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayapillai (2012) di kalangan masyarakat Medan, dimana sebanyak 87,9% responden menyatakan orang dengan epilepsi dapat menikah, hamil, dan memiliki anak.

Sebanyak 37,1% responden mengizinkan anak mereka menikah dengan orang dengan epilepsi. Menurut penelitian Amira (2008), sebanyak 13,2% responden mengizinkan anak atau salah satu kerabat dekat mereka menikah dengan orang dengan epilepsi dan menurut penelitian Jiamjit (2009) sebanyak


(53)

28,4% tidak keberatan jika anak mereka menikahi seseorang yang kadang-kadang memiliki serangan kejang.

Sebanyak 32,9% responden keberatan jika anak mereka satu sekolah dengan anak epilepsi. Hal ini berbeda dengan temuan positif pada penelitian di Nigeria, sebagian besar guru (lebih dari 70%) tidak merasa bahwa epilepsi adalah penyakit menular dan anak dengan epilepsi dapat ditempatkan di kelas regular (Mustapha, Odu, Akande, 2012).

Meskipun kebanyakan responden menunjukkan sikap positif, ada beberapa yang menunjukkan sikap negatif. Didapati sebanyak 58,6% responden berpikir bahwa orang dengan epilepsi tidak bisa bekerja seperti orang lain, 64,3% responden berpikir orang dengan epilepsi seharusnya dilarang mengemudi.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 45,7% responden menganggap epilepsi mempengaruhi pendidikan seseorang. Hasil penelitian serupa di kalangan masyarakat Medan menunjukkan sebanyak 60,0% responden menyatakan bahwa orang dengan epilepsi memiliki tingkat kecerdasan yang rendah (Daniel, 2012). Menurut Slowik (2013), epilepsi bukan merupakan indikator kecerdasan. Beberapa orang dengan keterbelakangan mental mungkin menderita epilepsi, tetapi kebanyakan orang dengan epilepsi tidak mengalami keterbelakangan mental.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Rambe dan Sjahrir (2002), dengan judul “Kesadaran, Sikap dan Pemahaman Guru terhadap Epilepsi di Medan, Indonesia”. Dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya sikap yang negatif terhadap orang dengan epilepsi. Sedangkan penelitian Ayapillai (2012) dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit Epilepsi di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan”, menunjukkan sikap responden yang sangat baik. Pada penelitian ini diperoleh mayoritas sikap guru berada pada kategori sedang, yaitu 84,3%. Hal ini dikarenakan adanya stigma yang berlaku di masyarakat, sehingga mempengaruhi pandangan sikap seseorang terhadap pasien epilepsi.

Kesalahpahaman dan sikap yang buruk terhadap orang dengan epilepsi akan berkontribusi pada stigma atau diskriminasi yang dirasakan oleh orang


(54)

dengan epilepsi. Kebanyakan penderita epilepsi merasakan berbagai pelanggaran dan pembatasan dari hak sipil dan hak asasi manusia mereka, seperti dalam mendapatkan akses terhadap jaminan kesehatan, surat izin mengemudi, pendidikan, pekerjaan, perjanjian hukum, dan bahkan pernikahan.


(55)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan:

a. Pengetahuan guru sekolah dasar di Kota Medan mengenai penyakit epilepsi berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 74,3%, sedangkan pada kategori baik adalah sebanyak 18,6%, dan pada kategori kurang hanya sebanyak 7,1%.

b. Sikap guru sekolah dasar di Kota Medan terhadap penyakit epilepsi berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 84,3%, sedangkan pada kategori baik sebanyak 15,7%, dan tidak didapatkan adanya sikap pada kategori kurang. c. Tingkat pengetahuan guru SD Negeri 064969 yang terbanyak adalah berada

pada kategori sedang dengan persentase 21,3%. Tingkat pengetahuan guru SD Negeri Percobaan yang terbanyak juga berada pada kategori sedang dengan persentase 22,9%. Begitu pula pada guru SD Shafiyyatul Amaliyyah yang kebanyakan memiliki kategori sedang, yaitu 30%.

d. Tingkat sikap guru SD Negeri 064969 yang terbanyak adalah berada pada kategori sedang dengan persentase 24,4%. Tingkat pengetahuan guru SD Negeri Percobaan yang terbanyak juga berada pada kategori sedang dengan persentase 27,1%. Begitu pula pada guru SD Shafiyyatul Amaliyyah yang kebanyakan memiliki kategori sedang, yaitu 32,8%.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian yang didapat, maka beberapa saran dari peneliti:

a. Pelayanan kesehatan sekolah harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa guru memiliki pengetahuan yang baik tentang penyakit epilepsi ini.


(56)

b. Para guru perlu mengikuti program pendidikan kesehatan tentang kondisi penyakit umum seperti epilepsi, yang lazim terjadi di usia sekolah. Hal ini dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan penerimaan anak dengan epilepsi di sekolah.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Amira, T. Masri, 2008. Familiarity, Knowledge, and Attitudes towards Epilepsy among Attendees of a Family Clinic in Amman, Jordan. Neurosciences 2008: Vol.13.

Ayapillai, Daniel Rajkumar, 2012. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit Epilepsi di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bhattacharya, A. K., 2007. Epilepsy Awareness among Parents of School Children: A Municipal Survey. Journal Indian Medical Association, 105: 243-246.

Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy

Research, 70S: S5-S10.

Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from 2013].

Haydar, E. Babikar, Islam, B. Abbas, 2011. Knowledge, Practice and Attitude toward Epilepsy among Primary and Secondary School Teachers in South Gezira Locality, Gezira State, Sudan. J Family Community Med. 18(1): 17– 21.

Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from:

Hills, Michael D., 2007. The Psychological and Social Impact of Epilepsy.


(58)

ILAE, 1981. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures. From the Communication on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy.

Epilepsia, 22: 489-1981.

Institute of Medicine, 2012. Epilepsy across the Spectrum: Promoting Health and

Understanding. Washington, DC: The National Academies Press.

Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).

Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The

McGraw-Hill Companies, 222-245.

Malaysian Society of Neurosciences, 2010. Consensus Guidelines on the

Management of Epilepsy. Epilepsy Council.

Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical

Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,

511-542.

Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).

Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins, 106-125.

Mustapha, A.F., Odu, O.O., Akande, O., 2012. Knowledge, Attitudes and Perceptions of Epilepsy among Secondary School Teachers in Osogbo South-West Nigeria: A Community Based Study. Nigerians Journal of Clinical

Practice, 16: 12-18.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Purba, S.J., 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter.

Medicinus. FKUI.

Putri, Mustika A., 2009. Prevalensi Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Fatmawati Jakarta pada Tahun 2004-2008. Skripsi Program Studi Pendidikan Dokter


(59)

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Rambe, Aldy S. and Sjahrir, Hasan, 2002. Awareness, Attitudes, and Understanding towards Epilepsy among School Teachers in Medan, Indonesia. Neurol J Southeast Asia, 7: 77-80.

Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.

Ropper, Allan H. and Brown, Robert H., 2005. Epilepsy and Other Seizure Disorders. In: Adams and Victor’s: Principles of Neurology. 8th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, 271-301.

Saint Louis, Erik K., Rosenfeld, William E., Bramley, Thomas, 2009. Antiepileptic Drug Monotherapy: The Initial Approach in Epilepsy Management. Current Neuropharmacology, 7: 77-82.

Smith, D. and Chadwick, D., 2001. The Management of Epilepsy. J Neurology

Neurosurgery Psychiatry, 70(suppl II): ii15-ii21.

Smith, S. J. M., 2005. EEG in the Diagnosis, Classification, and Management of Patients with Epilepsy. J Neurology Neurosurgery Psychiatry, 76(suppl II): ii2-ii7.

Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya

Kusuma, 1.

Suwarba, I Gusti N. M., 2011. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri, 13 (2): 123-128.

WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.


(60)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Meutia Hasmi

Tempat/tanggal lahir : Palembang/23 November 1992

Agama : Islam

Alamat : RSS Griya Harapan A Blok 01 No.20 RT 71/RW 28 Sako, Palembang

No.Telepon/HP : 085268426222

Riwayat Pendidikan : 1. TK Nurul Jannah Palembang (1997-1998)

2. SD Negeri 114 Palembang (1998-2004)

3. SMP Negeri 9 Palembang (2004-2007)

4. SMA Plus Negeri 17 Palembang (2007-2010)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2010-Sekarang)

Riwayat Organisasi : Seksi Administrasi & Kesekretariatan Regional Medical Olympiad 2013


(61)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Saya selaku mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara:

Nama : Meutia Hasmi

Stambuk : 2010

Saat ini saya sedang mengerjakan penelitian guna melengkapi Karya Tulis Ilmiah yang menjadi kewajiban saya untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran. Adapun judul penelitian saya adalah Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan sikap guru SD di Kota Medan.

Saya memerlukan partisipasi Bapak/Ibu sebagai subjek dalam penelitian ini, dimana Bapak/Ibu berperan sebagai responden. Responden diminta untuk mengisi kuesioner sesuai petunjuk yang diberikan. Jawaban yang responden berikan hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja. Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela. Pada penelitian ini identitas Bapak/Ibu akan disamarkan. Kerahasiaan data Bapak/Ibu akan dijamin sepenuhnya. Bila hasil penelitian ini dipublikasikan maka kerahasiaan data Bapak/Ibu akan tetap dijaga.

Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta dalam penelitian ini. Saya akan menanyakan beberapa hal seputar kedekatan, pengetahuan dan sikap Bapak dan Ibu mengenai penyakit epilepsi.

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu sekalian, saya ucapkan terima kasih.

Medan, 2013


(62)

LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ……….

Guru di : ……….

Setelah membaca penjelasan di atas, maka dengan ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Saya akan menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan peneliti dengan sebaik-baiknya.

Medan, ……….. 2013 Responden,


(63)

LAMPIRAN 4

Kuesioner Penelitian Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD

Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan Tahun 2013

Petunjuk:

1. Isilah identitas pribadi Anda.

2. Pilih dan isilah jawaban yang sesuai menurut Anda.

Identitas Responden:

Nama : ………..

Usia : ………..

Jenis kelamin : ฀ Laki-laki ฀ Perempuan Pendidikan terakhir : ฀ SMA/Sederajat

฀ S1 ฀ S2

Lama mengajar : ………..

Pertanyaan Penelitian: A. Sumber Informasi

1. Apakah Anda pernah mendengar atau membaca tentang penyakit epilepsi?

a. Ya b. Tidak

Jika jawaban Ya, lanjutkan ke soal No.2. Jika jawaban Tidak, lanjutkan ke soal no.3.

2. Jika Anda pernah mendengar atau membaca tentang penyakit epilepsi, darimanakah Anda mendapatkan informasinya?

a. Radio, TV d. Seminar, simposium

b. Keluarga, teman e. Buku, brosur c. Majalah, koran f. Dokter, perawat


(64)

3. Apakah Anda berpikir bahwa Anda sudah mendapat informasi yang baik dan benar tentang epilepsi?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah Anda ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang epilepsi?

a. Ya b. Tidak

5. Jika ya, apa hal yang Anda ingin ketahui? (Boleh pilih lebih dari satu) a. Penyebab

b. Tanda dan Gejala c. Pengobatan d. Hak pasien

e. Lainnya ……….

B. Pengetahuan tentang Penyakit Epilepsi

1. Apa yang Anda ketahui tentang epilepsi?

a. Epilepsi adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan fungsi otak b. Epilepsi adalah penyakit keturunan

c. Epilepsi adalah penyakit menular d. Epilepsi adalah penyakit kejiwaan

2. Menurut Anda, epilepsi merupakan suatu masalah pada … a. Kesehatan fisik

b. Kesehatan kejiwaan

c. Kesehatan fisik dan kejiwaan d. Tidak keduanya

3. Apakah penyebab epilepsi?

a. Ditularkan dari orang lain c. Gangguan pada otak

b. Kutukan d. Stress yang berlebihan

4. Apakah tanda dari serangan epilepsi? a. Kehilangan kesadaran

b. Gerakan menghentak yang berulang-ulang c. Pucat dan berkeringat dingin


(65)

5. Bagaimanakah cara untuk mengobati epilepsi?

a. Obat-obatan c. Psikoterapi

b. Operasi d. Tidak bisa diobati

6. Apakah tindakan yang Anda lakukan ketika melihat seseorang mengalami kejang?

a. Langsung dibawa ke rumah sakit b. Menarik lidah keluar

c. Menunggu sampai kejang berakhir d. Menyingkirkan benda-benda disekitarnya

C. Sikap terhadap Penyakit Epilepsi

No. Pertanyaan Sangat

setuju Setuju

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

1. Orang dengan epilepsi harus diisolir.

2. Epilepsi merupakan suatu halangan untuk hidup bahagia. 3. Penyakit epilepsi mempengaruhi

pendidikan seseorang.

4. Orang dengan epilepsi tidak bisa bekerja seperti orang lain.

5. Orang dengan epilepsi harus dilarang mengemudi.

6. Orang dengan epilepsi tidak memungkinkan untuk menjalani kehidupan pernikahan.

7. Orang dengan epilepsi tidak seharusnya memiliki anak.

8. Saya keberatan jika anak saya satu sekolah dengan anak dengan epilepsi.


(66)

9. Saya akan membiarkan anak saya bermain dengan anak dengan epilepsi.

10. Saya tidak mengizinkan anak saya menikah dengan orang dengan epilepsi.


(1)

Universitas Sumatera Utara

S8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 5 7.1 7.1 7.1

2 23 32.9 32.9 40.0

3 35 50.0 50.0 90.0

4 7 10.0 10.0 100.0

Total 70 100.0 100.0

S9

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 11 15.7 15.7 15.7

2 23 32.9 32.9 48.6

3 32 45.7 45.7 94.3

4 4 5.7 5.7 100.0

Total 70 100.0 100.0

S10

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 13 18.6 18.6 18.6

2 26 37.1 37.1 55.7

3 20 28.6 28.6 84.3

4 11 15.7 15.7 100.0


(2)

Universitas Sumatera Utara

Kategori Sikap

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 11 15.7 15.7 15.7

Sedang 59 84.3 84.3 100.0


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan Siswi SMK Negeri 1 Medan Tentang Infeksi Menular Seksual Tahun 2010

3 68 53

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015

0 1 17

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015

0 0 8

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015

0 2 29

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015 Chapter III VI

1 2 50

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015

5 20 4

Efektifitas Media Cerita Bergambar Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Tentang Penyakit Tb Paru Di Sd Negeri 060799 Dan Sd Negeri 060953 Kota Medan Tahun 2015 Appendix

0 0 28

Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan Tahun 2013

0 0 13

Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD terhadap Penyakit Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan Tahun 2013

0 0 19