Universitas Sumatera Utara
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama
dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi
GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di
glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik Eisai, 2012.
2.1.6. Gejala Klinis
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua
hemisfer otak terlibat secara bersamaan. Tabel 2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi
Tipe kejang Ciri khas
Kejang parsial Parsial sederhana
Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom, atau kejiwaan.
Kesadaran normal. Parsial kompleks
Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom,atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran. Kejang umum
Tonik-klonik Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas
yang sinkron. Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang. Absans
Hilangnya kesadaran yang singkat biasanya 10 detik dengan terhentinya aktivitas yang sedang
berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip. Pola EEG menunjukkan gambaran paku-ombak spike-
and-wave. Mioklonik
Adanya satu atau banyak sentakan otot. Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris. Atonik
Hilangnya tonus otot yang singkat. Tonik
Kontraksi otot yang berkepanjangan. Klonik
Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara berulang-ulang.
Sumber: Miller, 2009
2.1.7. Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu Rudzinski dan Shih, 2011. Diagnosis pasti dapat ditegakkan
hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama Miller, 2009. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak Sunaryo, 2006.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi: a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
Universitas Sumatera Utara
e. Faktor pencetus f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi EEG Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan
bahkan sindrom epilepsi Markand, 2009. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien Smith, 2005.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar
dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur Sunaryo, 2006. Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam spike, paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography SPECT, Positron Emission
Tomography PET, dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010.
2.1.8. Penatalaksanaan