Universitas Sumatera Utara 1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap guru mengenai epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota
Medan tahun 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan guru mengenai penyakit epilepsi di
SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013.
b. Untuk mengetahui bagaimana sikap guru terhadap penyakit epilepsi di SD
Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul Amaliyyah Kota Medan tahun 2013.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
a. Sebagai sumber informasi bagi para guru agar lebih meningkatkan perilaku
mereka terhadap epilepsi. b.
Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah untuk memberikan edukasi kepada para guru tentang epilepsi.
c. Sebagai tambahan pengetahuan kepada peneliti dan pembaca mengenai
gambaran pengetahuan dan sikap guru sekolah dasar terhadap epilepsi. d.
Sebagai informasi tambahan bagi pembaca sebagai bahan acuan untuk penelitian sejenis serta berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epilepsi
2.1.1. Definisi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi
yang berbeda-beda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang
pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanak- kanak dan setelah usia 60 tahun WHO, 2012.
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin untuk kejang dan mengambil alih WHO, 2005. Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein,
yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci.
Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan
penderita epilepsi dalam kehidupan normal. Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil
alih. Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan
Lowenstein, 2010. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan
sebagai kejang epileptik berulang dua atau lebih, yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut Markand, 2009.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan
Universitas Sumatera Utara
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya
muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan
jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh Miller, 2009. Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas Engel Jr, 2006.
2.1.2. Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari 108 negara yang mencakup 85,4 dari populasi dunia. Angka rata-rata orang
dengan epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika
mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka
rata-rata sebanyak 9,97 WHO, 2005. Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan
keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53 per 100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian
epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat insidensi tinggi di negara
berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan
karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju,
insidensi di kalangan orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak. Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular.
Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih
besar pada pria dibandingkan wanita WHO, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum diketahui. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun
insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami
bangkitan dan membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang Hawari, 2011.
2.1.3. Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik
hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase, fenilketonuria.
2. Bayi 1-6 bulan Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik, spasme infantil, Sindroma West. 3. Anak 6 bulan – 3 tahun
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia, infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obat-
obatan. 4. Anak 3-10 tahun
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi, thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi. 5. Remaja 10-18 tahun
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda 18-25 tahun Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi
lainnya. 7. Dewasa 35-60 tahun
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
Universitas Sumatera Utara
8. Usia lanjut 60 tahun Penyakit vascular biasanya pasca infark, tumor, abses, penyakit
degeneratif, trauma.
Gambar 2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia diadaptasi dari berbagai sumber termasuk Hauser dan Annegers serta Engel dan Pedley
Sumber: Ropper dan Brown, 2005
Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik
yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf pusat adalah penyebab umum kejang.
2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against Epilepsi 1981:
A. Bangkitan parsial a. Bangkitan parsial sederhana
1. Motorik 2. Sensorik
3. Otonom 4. Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks 1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
Universitas Sumatera Utara
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik 3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi
umum tonik-klonik B. Bangkitan umum
a. Absans lena b. Mioklonik
c. Klonik d. Tonik
e. Tonik-klonik f.
Atonik C. Tak tergolongkan
Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 Rudzinski dan Shih, 2011:
A. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik primer
1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal Rolandik benigna
2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital 3.
Primary reading epilepsy b. Simtomatik sekunder
1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak Sindrom Kojewnikow
2. Epilepsi lobus temporalis 3. Epilepsi lobus frontalis
4. Epilepsi lobus parietalis 5. Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik B. Umum
Universitas Sumatera Utara
a. Idiopatik primer 1. Kejang neonatus familial benigna
2. Kejang neonatus benigna 3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
4. Epilepsi absans pada anak 5. Epilepsi absans pada remaja
6. Epilepsi mioklonik pada remaja 7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak b. Kriptogenik atau simtomatik
1. Sindroma West spasme infantil dan hipsaritmia 2. Sindroma Lennox Gastaut
3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik 4. Epilepsi dengan absans mioklonik
c. Simtomatik 1. Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara
2. Etiologi atau sindroma spesifik - Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan
a. Serangan umum fokal 1. Kejang neonatal
2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3. Sindroma Taissinare
4. Sindroma Landau Kleffner b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
D. Epilepsi berkaitan dengan situasi a. Kejang demam
b. Berkaitan dengan alkohol
Universitas Sumatera Utara
c. Berkaitan dengan obat-obatan d. Eklamsi
e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik reflek epilepsi
2.1.5. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam munculnya kejang iktogenesis, dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang epileptogenesis. 1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron. - Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-
ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca
2+
, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.
- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi
perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar
Universitas Sumatera Utara
neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca
2+
ekstraseluler menurun sebanyak 85 selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K
2+
. Bagaimanapun, kadar Ca
2+
lebih cepat kembali normal daripada kadar K
2+
. - Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk
aktivasi neuron inhibisi. 2. Mekanisme epileptogenesis
- Mekanisme nonsinaptik Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan
kadar K
2+
ekstrasel atau penurunan kadar Ca
2+
ekstrasel. Kegagalan pompa Na
+
-K
+
akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl
-
-K
+
, yang mengatur kadar Cl
-
intrasel dan aliran Cl
-
inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung
sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing
abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
- Mekanisme sinaptik Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan
inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik. o
GABA Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS cairan
serebrospinal pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang
resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
o Glutamat
Universitas Sumatera Utara
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama
dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi
GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di
glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik Eisai, 2012.
2.1.6. Gejala Klinis
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua
hemisfer otak terlibat secara bersamaan. Tabel 2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi
Tipe kejang Ciri khas
Kejang parsial Parsial sederhana
Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom, atau kejiwaan.
Kesadaran normal. Parsial kompleks
Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom,atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran. Kejang umum
Tonik-klonik Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas
yang sinkron. Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang. Absans
Hilangnya kesadaran yang singkat biasanya 10 detik dengan terhentinya aktivitas yang sedang
berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip. Pola EEG menunjukkan gambaran paku-ombak spike-
and-wave. Mioklonik
Adanya satu atau banyak sentakan otot. Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris. Atonik
Hilangnya tonus otot yang singkat. Tonik
Kontraksi otot yang berkepanjangan. Klonik
Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara berulang-ulang.
Sumber: Miller, 2009
2.1.7. Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu Rudzinski dan Shih, 2011. Diagnosis pasti dapat ditegakkan
hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama Miller, 2009. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak Sunaryo, 2006.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi: a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
Universitas Sumatera Utara
e. Faktor pencetus f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi EEG Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan
bahkan sindrom epilepsi Markand, 2009. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien Smith, 2005.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar
dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur Sunaryo, 2006. Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam spike, paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography SPECT, Positron Emission
Tomography PET, dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010.
2.1.8. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi ODE terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai
berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan obat antiepilepsi OAE, pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat start low, go slow” akan mengurangi risiko intoleransi obat Smith dan Chadwick, 2001.
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi
Louis, Rosenfeld, Bramley, 2009. Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Tipe kejang Lini pertama
Lini kedua Kejang parsial
Parsial sederhana, Parsial kompleks,
Umum sekunder Carbamazepine
Lamotrigine Levetiracetam
Oxcarbazepine Topiramate
Valproate Acetazolamide
Clonazepam Gabapentin
Phenobarbitone Phenytoin
Kejang umum
Tonik-klonik, Klonik
Carbamazepine Lamotrigine
Topiramate Valproate
Acetazolamide Levetiracetam
Phenobarbitone Phenytoin
Absans Ethosuximide
Lamotrigine Valproate
Acetazolamide Clonazepam
Absans atipikal, Atonik,
Tonik Valproate
Acetazolamide Clonazepam
Lamotrigine Phenytoin
Topiramate Mioklonik
Valproate Acetazolamide
Clonazepam Lamotrigine
Levetiracetam
Universitas Sumatera Utara
Phenobarbitone Piracetam
Sumber: Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010 2.
Terapi bedah epilepsi Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.
Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal
didekatnya Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010.
2.2. Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan
atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinnier 1938 dalam Notoatmodjo
2012, perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus. Ia
membedakan adanya dua respons, yaitu:
a. Respondent response atau reflexive, yaitu respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan stimulus tertentu. Stimulus semacam ini disebut
eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
b. Operant response atau instrumental response, yaitu respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu. Stimulus ini
disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Perilaku tertutup covert behavior Respons terhadap stimulus masih terbatas pada perhatian, persepsi
pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain. b. Perilaku terbuka overt behavior
Respons terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan minuman, serta lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan health maintenance b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan health seeking behavior c. Perilaku kesehatan lingkungan
Becker 1979 membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan ini, yaitu:
a. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan atau meningkatkan
kesehatannya. b. Perilaku sakit, mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsi terhadap sakit, dan pengetahuan tentang penyakit. c. Perilaku peran sakit, mencakup tindakan untuk memperoleh kesembuhan,
mengetahui fasilitas atau sarana peyembuhan penyakit yang layak, serta mengetahui hak dan kewajiban orang sakit.
Benyamin Bloom 1908 seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia ke dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom
menyebutnya ranah atau kawasan, yakni: a kognitif, b afektif, c psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Universitas Sumatera Utara 2.2.1.
Pengetahuan Knowledge
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yakni:
1. Tahu know
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali recall sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2.
Memahami comprehension Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi application
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis analysis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
Universitas Sumatera Utara
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5.
Sintesis synthesis Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6.
Evaluasi evaluation Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden Notoatmodjo, 2012.
2.2.2. Sikap Attitude
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Alport 1954 menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen
pokok, yaitu: 1.
Kepercayaan keyakinan, ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2.
Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3.
Kecenderungan untuk bertindak tend to behave.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh total attitude.
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: 1.
Menerima receiving Menerima diartikan bahwa orang subjek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan objek. 2.
Merespons responding Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai valuing
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab responsible
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan- pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden Notoatmodjo,
2012.
2.2.3. Tindakan Practice
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
untuk suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah faktor fasilitas dan faktor dukungan. Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
1. Respons terpimpin guided response
Universitas Sumatera Utara
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indikator tindakan tingkat pertama.
2. Mekanisme mechanism
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai tindakan tingkat kedua. 3.
Adopsi adoption Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu recall. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran
tindakan juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut Notoatmodjo, 2012.
Universitas Sumatera Utara BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Gambar 3.1. Skema kerangka konsep penelitian
3.2. Definisi Operasional dan Variabel
Variabel pada penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap mengenai penyakit epilepsi pada guru SD di Kota Medan.
No. Variabel
Definisi operasional
Alat ukur Hasil ukur
Skala ukur
1. Pengetahuan
Segala sesuatu yang diketahui
responden mengenai epilepsi
Kuesioner 1: Baik
2: Sedang 3: Kurang
Ordinal
2. Sikap
Tanggapan atau reaksi responden
mengenai epilepsi Kuesioner
1: Baik 2: Sedang
3: Kurang Ordinal
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui para guru tentang penyakit epilepsi.
Usia Jenis Kelamin
Pendidikan Lama Mengajar
Sumber Informasi Tingkat Pengetahuan
dan Sikap terhadap Penyakit Epilepsi
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran gambaran pengetahuan guru SD mengenai penyakit epilepsi dilakukan berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden.
Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 6 pertanyaan dan diukur dengan menggunakan skala Guttman. Bila responden
menjawab pernyataan positif dengan ya akan diberi nilai 1 dan tidak diberi nilai 0. Begitu juga sebaliknya pada pernyataan negatif. Sehingga total nilai tertinggi
adalah 6. Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:
a. Tingkat pengetahuan baik apabila jawaban responden benar 75 atau memiliki nilai 4 dari seluruh pertanyaan yang ada.
b. Tingkat pengetahuan sedang apabila jawaban responden benar 40-75 atau memiliki nilai 3-4 dari seluruh pertanyaan yang ada.
c. Tingkat pengetahuan kurang apabila jawaban responden benar 40 atau memiliki nilai 3 dari seluruh pertanyaan yang ada.
2. Sikap
Sikap adalah tanggapan atau reaksi guru SD terhadap penyakit epilepsi. Pengukuran gambaran sikap guru SD mengenai penyakit epilepsi dilakukan
berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan
dan diukur dengan menggunakan skala Likert. Bila responden menjawab pernyataan positif dengan sangat setuju diberi nilai 4, setuju diberi nilai 3, tidak
setuju diberi nilai 2, dan sangat tidak setuju diberi nilai 1. Begitu juga sebaliknya pada pernyataan negatif. Sehingga total nilai tertinggi adalah 40.
Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: d. Tingkat pengetahuan baik apabila jawaban responden benar 75 atau
memiliki nilai 30 dari seluruh pertanyaan yang ada. e. Tingkat pengetahuan sedang apabila jawaban responden benar 40-75 atau
memiliki nilai 16-30 dari seluruh pertanyaan yang ada. f. Tingkat pengetahuan kurang apabila jawaban responden benar 40 atau
memiliki nilai 16 dari seluruh pertanyaan yang ada.
Universitas Sumatera Utara BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian