72
3 Memberikan rekomendasi usaha pengumpulan kerapu Epinephelus sp dan napoleon C. undulatus hanya pada kelompok nelayan binaan asal dari
daerah setempat yang bernaung dalam wadah kerjasama dengan pola PIR; 4 Melakukan pembatasan perdagangan ikan napoleon hanya untuk ukuran 1-3
kg baik untuk antar pulau maupun antar daerah; 5 Hanya merekomendasikan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan; dan
6 Mengarahkan usaha budidaya daripada usaha penangkapan ikan di laut untuk mengurangi dampak penggunaan alat tangkap yang merusak.
Pengusaha merupakan stakeholder yang sangat berkepentingan terhadap terjaminnya ketersediaan sumberdaya ikan karang untuk kontinuitas
usahanya. Peran terbesar dari pengusaha adalah distribusi ataupun pemasaran hasil tangkapan ikan karang nelayan serta pemberian bantuan kepada nelayan
untuk melakukan penangkapan ikan. Bentuk bantuan yang diberikan pengusaha tidak hanya terfokus pada pemberian modal operasional penangkapan maupun
penyediaan sarana penangkapan ikan namun juga dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok nelayan dan keluarganya.
Nelayan memilki kepentingan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya ikan karang di wilayah Kepulauan Ayau. Pemanfaatan potensi tersebut
dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi nelayan ataupun untuk dijual kepada pengusaha. Selain pemanfaatan potensi perikanan karang,
nelayan juga terlibat dalam kegiatan pengambilan batu karang untuk pembangunan rumah serta pengambilan pasir untuk memperbaiki lantai rumah.
5.1.5 Peraturan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau
P
engelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau dipengaruhi oleh peraturan-peraturan baik yang bersifat formal yang berasal dari pemerintah
maupun yang bersifat tradisonal yang berasal dari dari norma-norma lokal yang berkembang di masyarakat.
1 Aturan Formal
Acuan formal yang digunakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan karang di wilayah perairan Indonesia adalah Undang-Undang
Perikanan No. 31 Tahun 2004, Undang-Undang No 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumberdaya hayati dan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang
73
pengelolaan lingkungan hidup. Aturan-aturan tersebut berlaku untuk semua wilayah di Indonesia.
Dalam pasal 8 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan secara jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan
danatau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat danatau cara, danatau bangunan yang dapat
merugikan danatau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan danatau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Larangan
tersebut tidak hanya ditujukan pada perorangan namun juga pada Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan dan anak buah kapal Pasal 8
ayat 2 dan Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan danatau operator kapal perikanan Pasal 8 ayat 3.
Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut akan dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling banyak Rp.
1.200.000.000,00 satu miliar dua ratus juta rupiah bagi pelanggaran Pasal 8 ayat 1 dan 2. Untuk pelanggaran pasal 8 ayat 3 akan dikenakan pidana penjara
paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah. Hal tersebut tertuang dalam Bab XV mengenai Ketentuan
Pidana pada Pasal 84 ayat 1 sampai 3. Pada Pasal 12 ayat 1 dikemukakan pula bahwa setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran danatau kerusakan sumberdaya ikan danatau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia. Bagi pelanggar pasal ini dikenakan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua
miliar rupiah Pasal 86 ayat 1. Berkaitan dengan penangkapan ikan kerapu dan ikan karang lainnya
penerbitan izin usaha dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 509KPTSIK120J1995 jo SK Dirjen Perikanan No.
1251KPTSKL 420II98. Dalam izin tersebut disebutkan tentang larangan penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya untuk
menangkap ikan. Peralatan tangkap yang diperbolehkan adalah peralatan tradisional seperti pancing, bubu dan gillnet. Operasi penangkapan ikan karang
tersebut dilakukan dengan cara kerjasama kemitraan antara nelayan tradisonal plasma dengan perusahaan inti yang mengacu pada Pedoman Kemitraan
Usaha Perikanan dengan pola perusahaan inti rakyat PIR. Dalam hal ini
74
penangkapan hanya boleh dilakukan oleh nelayan tradisional dan tidak dibenarkan oleh perusahaan.
Sebagai bentuk implementasi dari SK Menteri Pertanian tersebut, pada tingkatan kecamatan larangan tentang penggunaan bahan peledak, racun, obat
bius, dan bahan kimia lainnya dalam penangkapan ikan dituangkan dalam Surat Edaran Camat No 30032998 tanggal 18 November 1998. Dalam surat daran
tersebut secara jelas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang menangkap ikan dengan menggunakan pottasium, akar tuba dan bahan peledak
lainnya. Peraturan mengenai izin penangkapan napoleon mengacu pada
Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No: HK.330DJ.825995 jo nomor; HK.330DJ.66396 tentang ukuran lokasi dan tata cara penangkapan ikan
napoleon. Berdasarkan peraturan tersebut ukuran ikan napoleon yang boleh ditangkap harus memiliki berat lebih dari 600 gr. Izin penangkapan ini
dikeluarkan dengan syarat dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan pola kemitraan pola PIR. Perusahaan sebagai inti diberikan izin pengumpulan lokal
sedangkan kelompok nelayan sebagai plasma diberikan izin penangkapan. Selain hak perusahaan untuk mengumpulkan ikan, perusahaan juga memilki
kewajiban untuk membudidayakan ikan napoleon di lokasi pengumpulan.
2 Aturan Tradisional
Selain adanya aturan formal tentang pengelolaan perikanan karang, di Kepulauan Ayau berlaku pula aturan tradisional yang besumber dari norma-
norma dan aturan tradisional yang telah berlaku sejak lama. Aturan tradisional yang berlaku dikenal dengan istilah sasi. Sasi pada prinsipnya bertujuan
melindungi sumberdaya laut agar dapat dimanfaatkan
secara berkesinambungan. Dalam prakteknya, sasi merupakan larangan untuk
mengambil ataupun memanfaatkan jenis sumberdaya tertentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Jangka waktu pelaksanaan sasi sekitar 6 enam
bulan dan dapat diperpanjang jika dianggap masih diperlukan. Jenis sumberdaya laut yang akan di sasi ditentukan secara bersama oleh
anggota masyarakat yang terlibat dan selanjutnya disahkan oleh gereja. Pengesahan sasi oleh gereja diawali dengan ritual pemberian persembahan
untuk gereja dalam bentuk uang yang besarnya Rp 50.000. Setelah persembahan diserahkan, majelis umat akan melakukan doa yang merupakan
75
tanda bahwa sumberdaya alam tertentu sedang di tutup atau di sasi untuk semua orang.
Pada saat ini pemberlakukan sasi semakin longgar. Faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah semakin tingginya permintaan
sumberdaya laut yang diikuti dengan tingginya harga komoditas. Dalam pelaksanaan sasi tidak terdapat sanksi tertulis bagi pelanggar aturan. Meskipun
demikian, masyarakat sekitar mempercayai bahwa orang yang melanggar sasi akan terkena musibah sakit keras. Cara pengobatan bagi pelanggar sasi harus
dilakukan dengan pengakuan dosa dan pengampunan melalui gereja.
5.2 Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau
Penilaian status keberlanjutan pengelolaan perikanan karang dilakukan dengan menggunakan 5 indikator, yaitu 1 ekologi, 2 Sosial-kemasyarakatan,
3 Teknologi, 4 Ekonomi dan 5 Kelembagaan. Masing-masing parameter diderivasikan menjadi atribut-atribut yang akan menentukan tingkat keberlanjutan
dari pengelolaan perikanan karang.
5.2.1 Penilaian Indikator Pengelolaan Perikanan Karang 1 Indikator ekologi
ยง Status penangkapan
Hasil pendugaan potensi terhadap dua jenis komoditas ikan karang dominan yaitu napoleon dan kerapu menunjukkan bahwa potensi ke dua ikan
tersebut tiap tahunnya mencapai 10.347,1097 kg dan 30.063,0867. Kisaran tangkapan selama kurun lima tahun terakhir untuk napoleon adalah 2.300-
8.005 kg. Tingkat pemanfaatan maksimum napoleon terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 77,36 . Tingkat pemanfaatan sumberdaya ini masih dibawah
Total Allowable Catch yang besarnya 8227,6878 kgtahun Jumlah tangkapan kerapu setiap tahun berkisar antara 11.941-25.060
kg selama kurun waktu tahun 2000-2004. Kuantitas tangkapan kerapu yang diperoleh tersebut mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan maksimum
dari sumberdaya telah mencapai 83,36 atau melebihi Total Allowable Catch TAC ikan kerapu yang besarnya 24.050,47 kg.
Berdasarkan parameter nilai, status penangkapan perikanan karang di Kepulauan Ayau diberi nilai 1 satu yang berarti status penangkapannnya
sudah mendekati bahkan melebihi TAC namun belum mencapai titik MSY.