Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua)
SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN
BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)
ELSYE PENINA RUMBEKWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua), adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Elsye Penina Rumbekwan NIM C.252070181
(3)
ELSYE PENINA RUMBEKWAN, A Scenario of Sustainable Fishery Management Resources (A Case Study of Milkfish Larval Resource in Coastal Area of Kota Jayapura, Papua Province). Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and LUKY ADRIANTO.
The milkfish larvae (Chanos chanos, Forsskal) at the Youtefa Bay and Holtekamp Village have been used as seeds for milkfish ponds in Holtekamp Village since 1993. However, the catch result of these larval fish has been declining since 2003. This research was conducted to find out the distribution patterns of larval milkfish (C. chanos, Forsskal) which would be used to identify the patterns of the bay management so that these larval resources could be protected to ensure the sustainable of fisheries management in coastal of the Kota Jayapura. The analysis results showed that the decrease in larval abundance was caused not only by fish bombing activities but also by natural mortality due to environmental degradation in some parts of the bay in addition to the continuous overfishing. This condition has an impact on the non-sustainability of utilizing the larvae. The analysis of Multi Criteria Decision Making (MCDM) showed that sustainable fisheries in coastal of the Kota Jayapura could be achieved through the protection of mangrove and coral reef ecosystems, and by putting sedimentation and fish bombing activities to an end. These efforts can only be realized in the presence of a good coordination between technical institutions, the support of the local government in Jayapura, and the active participation of the community.
Keywords: milkfish larvae, stock assessment, business continuity, sustainable fisheries, Kota Jayapura.
(4)
ELSYE PENINA RUMBEKWAN, Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua). Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan LUKY ADRIANTO.
Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp merupakan kawasan pesisir yang secara administratif masuk dalam wilayah Kota Jayapura. Berdasarkan RTRW Kota Jayapura, pemanfaatan kedua kawasan ini diarahkan untuk wisata pantai dan budidaya perikanan berbasis masyarakat, termasuk budidaya tambak ikan bandeng. Akan tetapi komitment Pemerintah Daerah setempat dan koordinasi antar instansi teknis dalam mendukung pengelolaan kedua kawasan tersebut masih sangat kurang. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya sedimentasi dan sampah yang berasal dari kawasan bisnis Entrop dan saluran pembuangan Pasar Youtefa, erosi akibat konversi mangrove, dan semakin maraknya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunkanan bom ikan. Permasalahan ini diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis benih alam dari kawasan ini termasuk larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) sejak tahun 2003. Larva ikan bandeng di kedua kawasan ini, dimanfaatkan sebagai benih oleh petambak di Kampung Holtekamp sejak tahun 1993.
Menurunnya suatu populasi ikan di alam disebabkan oleh terbatasnya rekruitment sediaan alami. Untuk mempertahankan rekruitmen ikan di alam agar tetap stabil dibutuhkan jumlah spawning stock biomass (SSB) yang memadai. Jumlah SSB ini sangat bergantung pada kualitas habitat dimana suatu sumberdaya ikan melewati siklus hidupnya dan aktivitas pemanfaatan. Oleh sebab itu, pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus memperhatikan kompleksitas ekosistem, mengontrol pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem dan memperhitungkan dampak, resiko, dan ketidakpastian dari pemanfaatan ekosistem tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk; (1) Mengetahui pola distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) di perairan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, (2) Mengidentifikasikan pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berbasis pada distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura.
Untuk menjawab tujuan satu, dilakukan analisis terhadap keadaan biofisik perairan mencakup; pengukuran parameter suhu dan salinitas, analisis fitoplankton, analisis jenis makanan utama larva ikan bandeng, analisis kelimpahan larva ikan bandeng, analisis faktor kondisi larva ikan bandeng, dan analisis hubungan antara biomassa, faktor kondisi larva ikan bandeng, dan fitoplankton dengan parameter suhu dan salinitas. Tujuan dua dijawab melalui: analisis keadaan sosial ekonomi yang meliputi; analisis alokasi upaya penangkapan dan perilaku pengumpul larva ikan bandeng, analisis pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan analisis skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan.
(5)
stasiun II lebih tertutup dan terlindung oleh dua pulau karang di bagian depannya serta tanjung Kasu di sisi kanannya, dan stasiun III terlindung dalam Teluk Youtefa. Arah angin dominan dari Timur Laut dengan kecepatan 3.0 hingga 8.9 m/det. Di stasiun I, suhu perairan berkisar antara 29 C hingga 31 C dan salinitas antara 28 ‰ hingga 29 ‰. Di stasiun II, suhu antara 27 C hingga 30 C dengan salinitas antara 27 ‰ hingga 29 ‰. Stasiun III, suhu antara 29 C hingga 31 C dengan salinitas antara 28 ‰ hingga 30 ‰. Kisaran suhu dan salinitas di ketiga stasiun ini masih sesuai untuk pertumbuhan optimal larva ikan bandeng.
Hasil perbandingan antara jenis fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan dengan hasil penelitian sebelumnya terkait kebiasaan makan larva ini, maka jenis yang ditemukan sebagai makanan utama larva ini adalah Nitszchia sp., Pleurosigma sp., dan Diploneis sp. (klas Bacillariophyceae) serta Ceratium sp. dan Peridinium sp. (klas Dinophyceae). Jumlah dan jenis fitoplanton di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III.
Hasil analisis terhadap sumberdaya larva ikan bandeng menunjukkan; total tangkapan larva di stasiun I sebanyak 4 780 ekor dengan kelimpahan antara 1 hingga 4 ekor/m2/hari, stasiun II sebanyak 20 505 ekor dengan kelimpahan antara 3 hingga 10 ekor/m2/hari, dan stasiun III sebanyak 6 873 ekor dengan kelimpahan antara 2 hingga 5 ekor/m2/hari. Diinformasikan oleh pengumpul bahwa, antara tahun 1993 hingga 2002 dengan jumlah pengumpul 25 orang, rata-rata hasil tangkap berkisar antara 1 000 hingga 1 500 ekor/org/hari, antara 2003 hingga 2004 hasil tangkapan berkisar antara 104 hingga 208 ekor/org/hari, sedang antara tahun 2005 hingga 2007 berkisar antara 20 hingga 40 ekor/org/hari. Kelimpahan larva ini pada kondisi perairan yang stabil berkisar antara 20 hingga 42 ekor/m2/hari. Penurunan hasil tangkap dan kelimpahan larva ikan bandeng ini menandakan stok larva ini telah sangat berkurang.
Hasil analisis hubungan antara biomassa, faktor kondisi larva ikan bandeng, dan fitoplankton dengan parameter suhu dan salinitas yang menggunakan PCA (AKU), menunjukkan bahwa stasiun II lebih produktif. Hal ini terkait pola arus, arah dan kecepatan angin, serta didukung pula oleh karakteristik fisik stasiun pengamatan.
Hasil tabulasi data indeks musiman bulanan (Ij) (%) dan effort pada diagram bar menunjukkan bahwa pengumpul selalu memberikan respons positif terhadap setiap musim kelimpahan, namun tidak semua pengumpul serentak secara bersama-sama melakukan penangkapan. Hal ini disebabkan jumlah hasil tangkap yang semakin berkurang dan tidak adanya perbedaan harga jual larva ini baik pada saat melimpah atau pun berkurang. Perbandingan antara hasil tangkap, kelimpahan, dan RPUEij pada tahun 2009 dengan tahun 2004 menunjukkan bahwa umumnya alokasi upaya pengumpul selalu mengikuti kelimpahan larva ikan bandeng. Namun karena harga jual larva ini tetap sama, maka dengan pembatasan atau pergiliran effort akan lebih menguntungkan. Hasil perbandingan ini juga menunjukkan selisih dinamika hasil tangkapan, kelimpahan larva ikan bandeng, dan RPUEij pada tahun 2009 dengan 2004 cukup besar. Dinamika tersebut mengalami penurunan pada tahun 2009.
(6)
pesisir Kampung Holtekamp saat ini tidak dapat menjamin adanya keberlanjutan usaha bagi pemanfaat larva ikan bandeng. Bagi usaha pengumpul larva, seluruh nilai riil berada di bawah nilai CTV-nya. Pada petambak, selisih nilai riil dan CTV dari keberadaan larva ikan bandeng tidak sebesar pada pengumpul. Hal ini disebabkan petambak mempunyai daerah penyuplai benih alternatif, sehingga secara ekonomi cukup menguntungkan. Bagi pedagang dari sisi biologi sama dengan kondisi pada petambak, karena kedua usaha ini memiliki keterkaitan erat dalam hal penyediaan ikan bandeng untuk konsumsi pasar. Pendapatan pedagang sangat menguntungkan karena selain memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, harga komoditi ini relatif tinggi. Meskipun secara ekonomi usaha petambak dan pedagang menguntungkan, tetapi tidak akan berkelanjutan karena nilai riil dari ketiga indikator lain berada di bawah nilai CTV-nya.
Skenario pengelolaan terbaik untuk menunjang perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura melalui pendekatan distribusi larva ikan bandeng di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp adalah; perlindungan ekosistem mangrove (menghentikan konversi dan meningkatkan reboisasi) serta pengendalian sedimentasi, dan penghentian aktivitas penangkapan yang menggunakan bom ikan. Ekosistem mangrove di kedua kawasan ini selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi berbagai larva ikan termasuk larva ikan bandeng, berfungsi juga sebagai pencegah terjadinya erosi, pencegah intrusi air laut, serta pelindung daratan dari badai dan hempasan ombak. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan di Teluk Youtefa. Aktivitas bom ikan penting dihentikan karena menyebabkan kerusakan habitat pemijahan dan kematian larva ikan. Untuk itu menunjang skenario ini, dibutuhkan dukungan dan komitment Pemerintah Daerah setempat dalam hal aturan dan finansial serta koordinasi yang baik antar instansi teknis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang program reboisasi yang saat ini dilakukan instansi BAPEDALDA, penataan kembali buangan Pasar Youtefa dan kawasan bisnis Entrop yang masuk ke kawasan Teluk Youtefa, serta penghentian aktivitas penangkapan yang bom ikan.
Keywords: larva ikan bandeng, pengkajian stok, keberlanjutan usaha, perikanan berkelanjutan, Kota Jayapura.
(7)
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(8)
KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)
ELSYE PENINA RUMBEKWAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R
2010
(9)
Nama Elsye Penina Rumbekawan NIM C252070181
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 13 January 2010 Tanggal Lulus :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S :
(10)
(11)
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut
bahaya, sebab Engkau besertaku; gada Mu dan tongkat Mu, itulah
yang menghibur aku. Oleh karena itu ajarlah aku menghitung
hari-hari ku sedemikan, sehingga aku beroleh hati yang bijaksana, tahu
mengucap syukur dalam segala hal.
(Mazmur 23: 4; 90: 12).
(Els’ 2010)
Karya ini ku persembahkan bagi kedua orang tuaku tercinta“Laurenz Rumbekwan dan Solfina Marisan” serta putraku “Gerald Angelo” yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku.
Tidak lupa pula untuk kedua adikku “Evie dan Sufrace” yang setia menjaga kedua orang tuaku selama masa studiku, seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi. Rekan-rekan DISKANLA Kota Jayapura dan DKP Provinsi Papua, sahabat sejati ku Jufri dan istri, serta seluruh masyarakat Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp, terima kasih atas dukungannya.
(12)
Syukur dan terima kasih penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha pengasih atas penyertaanNya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah perikanan berkelanjutan dengan judul “Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua)”, dilaksanakan sejak bulan Mei hingga awal Juli 2009. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta pengembangan usaha pertambakan ikan bandeng di Kota Jayapura ke depan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, January 2010
(13)
Puji syukur pada Tuhan yang Maha Pengasih atas kekuatan, kesehatan dan penghiburan yang diberikan, sehingga tesis dengan judul Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua) dapat penulis selesaikan.
Penulis juga menyadari, bahwa tesis ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis dengan tulus menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:
1. Dr.Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku ketua komisi dan anggota pembimbing, atas waktu, tenaga, pikiran, pengarahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Kedua orang tuaku yang terkasih di masa tua mereka, atas semangat, dorongan, dan doa pada penulis selama studi.
3. Anakku Gerald Angelo dan adikku Suffrace, atas dukungan doa dan semangat yang diberikan pada penulis selama studi.
4. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Ir. Taryono, M.Si, yang telah meluangkan waktu untuk penulis dapat berkonsultasi.
5. Drs. Mr. Kambu, M.Si dan Ir. J.P. Nerokouw MP, selaku Walikota dan Sekda Kota Jayapura, atas perhatian dan dukungan kepada penulis selama menjalani studi dan penelitian hingga penyelesaian tesis ini.
6. Masyarakat Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp terutama ibu-ibu pengumpul larva ikan bandeng serta petambak, atas bantuan dan dukungan selama penulis melakukan penelitian guna penulisan tesis ini.
7. Keluarga besar Program Studi SPL IPB, khususnya adik-adiku yang baik, Salvin, Tyo, Ervien, Subhan, dan Ita.
8. Kedua saudaraku yang baik, ibu Gladys dan pak Riyadi serta tak lupa pula kedua akang yang selalu di PS SPL, pak Zainal dan mas Dindin.
Bogor, ..., 2010 Penulis
(14)
Penulis dilahirkan di Jayapura, Propinsi Papua pada tanggal 28 Agustus 1969 dari pasangan Bapak Laurenz Rumbekwan dan Ibu Solfina Marisan. Penulis merupakan anak ke- 5 dari 10 bersaudara.
Tahun 1988 penulis lulus SMA Gabungan Kristen Khatolik di Jayapura dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1994 hingga akhir tahun 1997, penulis melaksanakan tugas sebagai konsultan IDT di Kabupaten Merauke. Pada bulan Desember tahun 1997, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kota Jayapura. Saat ini penulis tercatat sebagai staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura.
Penulis berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor atas sponsor Pemerintah Daerah Kota Jayapura.
(15)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ………...1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………... 1.2 Perumusan Masalah ………...
1.3 Tjuan Penelitian ……….
1.4 Manfaat Penelitian ……… 1.5 Kerangka Pemikiran ………...
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Integrasi Perikanan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ……... 2.2 Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forsskal) ………... 2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng …… 2.3.1 Suhu Permukaan Perairan ………... 2.3.2 Salinitas ………...
2.3.3 Arus ……….
2.3.4 Ketersediaan Makanan ……… 2.3.5 Ekosistem Mangrove ………... 2.4 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng ……….
2.4.1 Pendugaan Kelimpahan Stok ………... 2.4.2 Faktor Kondisi ………. 2.5 Analisis Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul
Larva Ikan Bandeng ………... 2.6 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ………... 2.6.1 Konsep Perikanan Berkelanjutan ……… 2.6.2 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan ………….. 2.6.3 Skenario Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ………….
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ………... 3.2 Jenis dan Sumber Data ………...
3.2.1 Data Primer ……….
3.2.2 Data Sekunder ………. 3.3 Metode Pengambilan Contoh ……… 3.3.1 Pengambilan Contoh Data Biofisik ………... 3.3.2 Pengambilan Contoh Data Sosial Ekonomi ……... 3.4 Analisis Data ………... 3.4.1 Data Biofisik ………... 3.4.1 Data Sosial Ekonomi ……….. 3.4.2 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ……….... 3.4.4 Multi Criteria Decesion Making (MCDM) ………....
xvi xviii xxi 1 3 5 5 5 8 9 12 12 13 14 15 16 17 17 19 19 20 21 24 24 27 27 28 30 31 31 33 35 35 39 42 44
(16)
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis ……… 4.1.1 Letak dan Luas Wilayah ………. 4.1.2 Keadaan Iklim ………. 4.2 Keadaan Administratif ……….. 4.3 Keadaan Sosial Ekonomi ……….. 4.3.1 Demografi ………... 4.3.2 Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) ………. 4.3.2 Aksessibilitas ……….. 4.4 Ekosisitem Pesisir Lokasi Penelitian ……… 4.4.1 Fisiografi Pantai ………... 4.4.2 Kondisi Dinamika Perairan ………
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Keadaan Biofisisk ………... 5.1.1 Karakteristik Fisik Stasiun Pengamatan ………... 5.1.2 Parameter Suhu dan Salinitas ………. 5.1.3 Arah Arus serta Arah dan Kecepatan Angin …………... 5.1.4 Fitoplankton ………... 5.1.5 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng ………... 5.1.6 Jenis Makanan Utama ……… 5.1.7 Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan
Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas ……... 5.2 Keadaan Sosial Ekonomi ………..
5.2.1 Karakteristik Responden ………. 5.2.2 Dinamika Usaha Responden ………... 5.2.3 Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng ……… 5.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ………... 5.3.1 Penentuan Indikator dan Variabel Pengukur Indikator …... 5.3.2 Penentuan Nilai Riil dan CTV serta Pengertian Hasil
Analisis ………... 5.3.3 Evaluasi Keberlanjutan ………... 5.4 Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ……
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ………... 6.2 Saran ………...
DAFTAR PUSTAKA ………... LAMPIRAN ………...
46 46 46 47 47 47 48 50 51 51 52 55 55 57 59 60 65 72 74 78 78 80 86 90 90 92 94 100 121 123 125 132
(17)
DAFTAR TABEL
Halaman
Jenis dan sumber data biofisik ………....Jenis dan sumber data sosial ekonomi ……….... Jenis dan sumber data sekunder ………. Teknik pengambilan contoh data biofisik ……….. Jenis data responden, dan pertanyaan untuk data sosial ekonomi …. Matriks pembobotan dalam analisis MCDM ………. Luas wilayah Distrik di Kota Jayapura ……….. Luas Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian ……….... Distrik serta Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian ………….... Luas wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut Distrik, tahun 2008 ………... Luas wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk lokasi penelitian, tahun 2008 ………... Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 ……….... Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun 2004-2007 ……….... Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun 2004-2007 ………... Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun 2004-2007 ………... Pertumbuhan PRDB per kapita Kota Jayapura atas dasar harga
berlaku, tahun 2004-2007 ………... Konstanta pasang surut Kota Jayapura ………... Data arus serta arah dan kecepatan angin selama waktu pengamatan Hasil analisis fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan …………... Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan ………... Kisaran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan ………...
28 30 31 32 33 44 46 46 47 48 48 49 49 49 50 50 52 60 62 66 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
(18)
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 ………... Korelasi antara variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 ……….. Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 ………. Korelasi antara variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 ………. Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha ………. Jumlah responden petambak menurut klasifikasi lama usaha ……….. Jumlah responden pedagang ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha ………... Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi rata-rata hasil
tangkapan per musim tangkap ……….. Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi besarnya pendapatan
Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kepemilikan luasan tambak ... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi luasan tambak yang dikelola per musim tanam ………... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kebutuhan benih per musim tanam ………...
Jumlah responden petambak menurut klasifikasi hasil produksi per musim tanam ………... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per
musim tanam ………. Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per bulan Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut
klasifikasi hasil produksi per bulan ………... Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut
klasifikasi pendapatan ………... Pembobotan nilai Gini Ratio Indeks (GRI) ………...
75 75 77 77 79 80 80 81 81 82 82 83 83 84 84 85 86 94
(19)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 7 10 11 11 34 40 54 55 56 57 58 59 63 64 68 68 68 71 71 71 74 76 Kerangka pemikiran penelitian ………..Ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) ……….. Habitat ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) dari larva hingga dewasa (Bagarinao 1991) ……….. Larva ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) ……… Peta pengambilan contoh data penelitian ……….. Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden ………. Peta administrasi KotaJayapura (BAPPEDA KotaJayapura) … Topografi pantai stasiun I ……….. Topografi pantai stasiun II ………. Topografi pantai stasiun III ………... Sebaran suhu permukaan di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni 2009 ……… Sebaran salinitas di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni, 2009 ……….. Komposisi kelimpahan jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada tanggal 25 dan 27 Mei 2009) ……….... Komposisi kelimpahan jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada tanggal 25 dan 29 Juni 2009) ……….... Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun I ……….. Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di
stasiun II ………. Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun III ………... Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun I ……… Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun II ……….. Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun III ………. Empat dari lima jenis makanan larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp ……….. Hasil analisis AKU untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei, 2009 ………...
(20)
Halaman 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 77 87 87 88 89 91 91 92 92 97 97 98 101 103 103 104 105 106 107 109 Hasil analisis AKU untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni
2009 ………. Indeks Musiman Bulanan (Ij) (%) selama waktu pengamatan ... Indeks Musiman Bulanan (Ij) (%) dan effort ……….. Dinamika RPUEIj, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan (ind./m2) larva ikan bandeng, tahun 2009 ……….. Dinamika RPUEj, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan (ind./m2) larva ikan bandeng, tahun 2004 ………... Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur
indikator ekologi ………. Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur
indikator ekonomi ………... Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur
indikator sosial ……… Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur
indikator kebijakan ……….. Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pengumpul larva ikan bandeng ………... Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha petambak ikan bandeng ………... Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pedagang
pengumpul ikan bandeng ……… Struktur hirarki untuk analisis MCDM ………... Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi ……… Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi ……… Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi ……… Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi ………. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi ……….. Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekonomi ……….. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekonomi ………..
(21)
Halaman
43
44
45
46
47
48
49
110
112
114
115
117
117
119 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan
terhadap kriteria ekonomi ……… Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial ……… Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria sosial ……… Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria sosial ……….
Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria sosial ……… Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura ……….. Skor akhir persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario ………..
(22)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 132 133 134 134 136 137 138 139 139 139 140 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 152 Alat yang digunakan ………...Data pasang surut pada seluruh waktu pengamatan …………... Data komposisi jenis fitoplankton pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei, 2009 ……… Data komposisi jenis fitoplankton pada pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni, 2009 ……… Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun I ……….. Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun II ……… Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun III ………... Sebaran suhu dan salinitas selama pengamatan ……….. Data parameter suhu, salinitas, biomassa larva ikan bandeng, kelimpahan fitoplankton, faktor kondisi untuk AKU …………. Komponen analisis AKU ……… Data total tangkapan larva ikan bandeng pada setiap musim (bulan) kelimpahan periode I tahun 2009 ………... Data total tangkapan larva ikan bandeng pada setiap musim (bulan) kelimpahan periode I tahun 2004 ………... Tabulasi data untuk perhitungan nilai Indeks Musiman Bulanan (Ij) dalam persen ………. Data hasil perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi, periode I tahun 2009 ………... Data hasil perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi, periode I tahun 2004 ………... Data hasil perhitungan bobot persepsi responden untuk analisis indikator domain ………. Data bobot persepsi responden pengumpul untuk MCDM ……. Data bobot persepsi responden petambak untuk MCDM ……... Data bobot persepsi responden pedagang untuk MCDM ……... Data bobot persepsi responden pengambil kebijakan untuk MCDM ……… Data agregat persepsi responden untuk analisis MCDM ……... Data karakteristik responden pengumpul larva ikan bandeng …
(23)
Halaman
23 24 25
153 155
155 Data karakteristik responden petambak ikan bandeng ………… Data karakteristik responden pedagang ikan bandeng ………… Responden pengambil kebijakan lingkup PEMDA Kota
(24)
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir bagian timur mencakup kawasan Teluk Yotefa, Kampung Holtekamp, Kampung Skouw Yambe, Kampung Skouw Mabo dan Kampung Skouw Sae yang berbatasan lansung dengan negara Papua New Gunea (PNG). Teluk Yotefa berada di bagian dalam Teluk Yos Sudarso, sedang Kampung Holtekamp berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Secara ekologis, kawasan Teluk Yotefa dan pesisir Kampung Holtekamp didominasi ekositem mangrove yang memberikan sumbangan nutrien bagi kesuburan perairan. Kondisi ini diduga mendukung kedua kawasan tersebut sebagai feeding ground,spawning ground dan nursery ground. Kedua kawasan pesisir ini terhubung oleh Tanjung Kasuary (Cawery). Secara komunitas, dalam kawasan Teluk Youtefa terdapat tiga kampung dan dua Kelurahan, yaitu; Kampung Tobati, Kampung Enggros, Kampung Nafri, Kelurahan Entrop, dan Kelurahan Abepantai.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 372/KPTS/Um/1/1978 tanggal 9 Juni 1978, Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam yang disebut “Taman Wisata Teluk Youtefa (TWTY)”. Pemanfaatan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura (PERDA Kota Jayapura No. 16 tahun 1995), diarahkan untuk wisata pantai serta budidaya perikanan laut dan payau berbasis masyarakat. Upaya Pemerintah Kota Jayapura untuk menjadikan kedua kawasan ini sebagai pusat pengembangan budidaya laut dan payau didasarkan pada ketersediaan benih alam termasuk larva ikan bandeng (Chanos chanos Frosskal), keterbatasan produktivitas perikanan tangkap, dan permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun terhadap komoditi ikan segar seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Kota Jayapura.
Budidaya tambak ikan bandeng di Kota Jayapura telah dilakukan sejak tahun 1993 yang dipusatkan di Kampung Holtekamp. Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Kota Jayapura berupaya untuk meningkatkan produktivitas
(25)
usaha ini namun terkendala pada ketersediaan benih, karena hasil tangkapan larva ikan tersebut yang selama ini dimanfaatkan sebagai benih semakin berkurang.
Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya pengelolaan teluk memerlukan keterpaduan berbagai aspek baik antar wilayah, antar sektor, antar pelaku, maupun antar sektor yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tercipta perencanaan pembangunan wilayah yang seimbang, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan keadilan bagi masyarakat pesisir secara berkelanjutan. Pembangunan yang selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem, pada satu ketika akan mengakibatkan penurunan mutu lingkungan pada skala waktu tertentu dan berdampak pada berkurangnya sumberdaya ikan di dalamnya. Kondisi ini terjadi pula di kawasan pesisir Kota Jayapura termasuk kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Walaupun peruntukan kedua kawasan ini telah diatur dalam RTRW Kota Jayapura, konsekuensi Pemerintah Daerah dalam mendukung peruntukan kedua kawasan tersebut masih kurang. Demikian pula dengan keterpaduan program antar instansi teknis dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut. Didorong oleh semangat otonomi khusus (OTSUS) untuk memberdayakan masyarakat lokal dan memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Jayapura, berdampak pada banyaknya kegiatan pembangunan baik sektor ekonomi maupun jasa yang dipaksakan masuk ke kedua kawasan ini, tanpa melihat karakteristik dan kapasitas kedua kawasan tersebut. Akibatnya, kedua kawasan tersebut terutama Teluk Youtefa beberapa tahun terakhir banyak menerima tekanan akibat aktivitas masyarakat seperti; meningkatnya sedimentasi dan sampah yang berasal dari kawasan bisnis Entrop dan saluran pembuangan Pasar Youtefa, erosi akibat konversi mangrove untuk pembangunan dan perluasan areal pertambakan, serta semakin maraknya aktivitas bom ikan. Tekanan ini, diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis benih alam dari kedua kawasan ini termasuk larva ikan bandeng sejak tahun 2003. Dikatakan oleh Odum (1993); Effendi (1978); Matarase et al. (1989); Mantiri (1995), sumberdaya ikan dalam siklus hidupnya akan melewati stadia sebagai larva yang bersifat meroplankton dan sangat peka terhadap perubahan lingkungan biofisik perairan dan predator. Bila terjadi gangguan yang mengakibatkan perubahan
(26)
kondisi lingkungan habitat suatu populasi larva ikan, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup populasi tersebut.
Untuk mencapai perikanan berkelanjutan dibutuhkan strategi pengelolaan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, sehingga dapat memberikan manfaat sosial ekonomi secara berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks perikanan berkaitan dengan keseimbangan antara teknologi penangkapan, kualitas sumberdaya perikanan dan daya dukung perairan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu strategi pengelolaan yang memberikan ambang batas bagi laju pemanfaatan ekosistem alami dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya termasuk sektor perikanan (Dahuri et al. 2004). Sementara itu menurut Munasinghe (2001), konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu; (1) Ekologi, (2) Ekonomi, (3) Sosial, serta (4) Hukum dan Kelembagaan. Tujuannya, meningkatkan kemampuan konsumsi barang dan jasa, melindungi dan mempertahankan sistim dalam ekologi dan pengembangan hubungan manusia untuk pencapaian aspirasi yang ingin dicapai baik secara individu maupun komunitas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian tentang distribusi larva ikan bandeng dan beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahannya, seperti; biofisik lingkungan serta prilaku pemanfaat sumberdaya ini khususnya di perairan pesisir Kampung Holtekamp dan sekitar Kampung Enggros yang dapat digunakan untuk merumuskan suatu strategi pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura.
1.2 Perumusan Masalah.
Peningkatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk Kota Jayapura, berdampak pada peningkatan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang multi guna sehingga terjadi tekananan ekologis yang kompleks. Konversi mangrove serta sampah dan sedimentasi merupakan masalah krusial saat ini bagi kawasan Teluk Youtefa, sedang permasalahan pesisir Kampung Holtekamp adalah meningkatnya konversi mangrove dan penggunaan bom ikan.
Pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura dalam hal ini pesisir Kampung Holtekamp, untuk memenuhi kebutuhan benih usaha
(27)
pertambakan. Di Kota Jayapura luasan tambak yang tersedia saat ini ± 554 hektar, dikelola 316.5 hektar. Kebutuhan benih petambak antara tahun 1993 hingga tahun 2002 sepenuhnya bergantung pada ketersediaan larva ikan bandeng secara alami di pesisir Kampung Holtekamp. Namun setelah tahun 2003, ketersediaan sumberdaya ini terus menurun. Diinformasikan oleh pengumpul bahwa, antara tahun 2005 hingga 2007 dengan jumlah pengumpul sebanyak 25 orang, bila penangkapan dilakukan secara bersama-sama, rata-rata hasil tangkapan berkisar antara 20 hingga 40 ekor per hari selama periode kelimpahan. Antara tahun 1993 sampai tahun 2002, rata-rata setiap pengumpul bisa mendapatkan 1000 hingga 1500 ekor larva per orang per hari. Antara tahun 2003 hingga tahun 2004 jumlah tangkapan berkurang menjadi 104 hingga 208 ekor per orang per hari. Menurut oleh Tzeng and Yu (1992), terbatasnya ketersediaan larva ikan bandeng di alam karena sangat bergantung pada rekruitment sediaan alami. Untuk mengatasi kekurangan benih ini, petambak mendatangkan dari Makasar tetapi dalam jumlah yang terbatas dengan tingkat kematian yang tinggi. Kondisi ini berdampak pada banyaknya tambak yang tidak produktif saat ini.
Dengan terus meningkatnya usaha pertambakan di Kampung Holtekamp, dimana kebutuhan benih sepenuhnya bergantung pada alam, maka dalam kondisi semakin tingginya konversi mangrove dan sedimentasi di Teluk Youtefa serta semakin meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas pengeboman ikan di Kampung Holtekamp, ketersediaan larva ikan bandeng dikuatirkan akan terus berkurang.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasikan terkait dengan permasalahan pengelolaan sumberdaya larva ikan bandeng berkelanjutan di pesisr Kota Jayapura adalah sebagai berikut:
(1) Meningkatnya permintaan larva ikan bandeng alami oleh pembudidaya tambak dikuatirkan akan mendorong pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya ini.
(2) Belum diketahui berapa besar stok larva ikan bandeng alami dan pengaruh biofisik lingkungan terhadap dinamika stoknya secara alami di kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp.
(28)
(3) Belum adanya alternatif pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp dalam kerangka pemanfaatan larva ikan bandeng sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masalah sosial ekonomi masyarakat di kedua kawasan ini.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui pola distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng di perairan
kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp.
(2) Mengidentifikasi pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berbasis pada distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan dalam hal ini larva ikan bandeng untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta pengembangan usaha pertambakan ikan bandeng di Kampung Holtekamp ke depan, sehingga dapat memberikan hasil yang berkelanjutan baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial.
1.5 Kerangka Pemikiran
Hasil tangkap larva ikan bandeng di pesisir Kampung Holtekamp yang dimanfaatkan sebagai benih oleh petambak di Kampung Holtekamp sejak tahun 1993, jumlahnya terus menurun sejak tahun 2003. Menurut Sparre and Veneme (1999), perubahan ukuran stok dalam kurun waktu tertentu, dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam lingkungan, rekruitment, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, pemangsa (predator), dan atau pesaing (competitor). Menurut Effendie (1978); Matarase et al. (1989); Mantiri (1995), penyebab tingginya tingkat mortalitas alami pada iktioplankton karena sangat peka terhadap predator dan perubahan lingkungan, seperti; suhu, salinitas, dan ketersediaan makanan. Terkait dengan semakin menurunnya stok larva ini di alam dan dihubungkan dengan kondisi pengelolaan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir
(29)
Kampung Holtekamp saat ini, maka dipandang perlu untuk mengetahui distribusi dan kelimpahannya secara alami, yang dapat digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura.
Ukuran keberhasilan pengelolaan perikanan berkelanjutan berkembang sejalan dengan dinamika pemahaman tentang apa yang ingin dicapai dan apa yang harus dihindari dari upaya pengelolaan yang akan dilakukan. Menurut Charles (2001) in Adrianto et al. (2004), ukuran menejemen pemanfaatan sumberdaya perikanan yang baik bukan terletak pada keberhasilan menjaga stok ikan pada level yang memungkinkan untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang, akan tetapi bagaimana mengupayakan agar pemanfatan sumberdaya tersebut selalu memperhatikan efesiensi dengan memperhitungan profit (keuntungan) yang akan diperoleh. Oleh sebab itu menejemen pengelolaan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh dengan keterlibatan semua pihak mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penurunan stok yang mendorong kepunahan sumberdaya perikanan. Evaluasi keberlanjutan terhadap suatu kebijakan pengeloaan sumberdaya ikan seyogyanya dilakukan terhadap aspek ekologi, sosial, ekonomi, etis, maupun kelembagaan guna merumuskan model pengelolaan yang lebih obyektif. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan pangan, baik untuk saat ini atau masa yang akan datang.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura diharapkan dapat memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi pemanfaatnya dan sekaligus mempertahankan kesehatan populasi stoknya di alam. Untuk itu dibutuhkan suatu pola pengelolaan terpadu untuk menjawab dua permasalahan pokok, yakni; (1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan populai sumberdaya ini di alam dan (2) kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya ini secara rasional sehingga mencapai keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariannya di pesisir Kota Jayapura. Dengan demikian kerangka pemikiran yang dikembangkan sebagai pendekatan untuk penelitian ini adalah seperti pada Gambar 1.
(30)
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Habitat Larva Ikan Bandeng
Waktu Tangkap Jumlah Tangkapan Kajian Kelimpahan Stok
Waktu Kelimpahan Larva Ikan Bandeng
Ketersediaan dan Jenismakanan Biofisik Lingkungan
Pola Sebaran Aspek
EkobiologiIkan Bandeng
Dinamika Kelimpahan Larva Ikan Bandeng
Sebaran Ukuran
Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan di pesisir
Kota Jayapura
Ekosistem Teluk Yotefa dan pesisir Kampung Holtekamp
Analisis Keberlanjutan: -Biologi -Ekologi -Ekonomi -Sosial
Analisis Dinamika Revenue :
- Indeks Musiman Bulanan
- Prakiran Keuntungan ekonomi
(31)
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Integrasi Perikanan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Pertumbuhan dan kelahiran ikan sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Jika lingkungan dalam kondisi baik, populasi ikan akan tumbuh dan berkembang hingga mencapai batas pertumbuhan dan perkembangan yang mampu didukung lingkungan secara alami. Demikian sebaliknya, bila kondisi lingkungan dimana suatu sumberdaya ikan hidup terganggu, maka populasinya akan berkurang bahkan hilang (Nikijuluw 2002). Dikatakan oleh Adrianto et al. (2004), keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan terkait erat dengan kualitas lingkungan dan ekosistem dimana sumberdaya tersebut berada secara ekologi, sehingga ekosistem merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berkes et al. (2001) in Adrianto et al. (2004) menyatakan juga bahwa, tujuan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem selain untuk memelihara kesehatan dan keberlanjutan ekosistem guna melindungi spesies atau stok di dalamnya, bertujuan pula untuk melindungi kemampuan ekosistem dalam memproduksi kemampuan aliran energi. Ditambahkan oleh Adrianto et al. (2004), salah satu prinsip dasar yang harus diketahui dalam merumuskan rencana pengelolaan perikanan adalah memahami karateristik perikanan itu sendiri, terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena komoditi ikan sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharuhi (renewable) dan memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa, maka pengelolaannya memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan kompleksitas ekosistem, mengontrol pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem, dan memperhitungkan dampak, resiko, dan ketidakpastian dari pemanfaatan ekosistem.
Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun atas berbagai ekosistem yang saling terkait. Perubahan atau kerusakan pada suatu ekosistem akan berdampak pada ekosistem lainnya. Kualitas lingkungan ekosistem pesisir tergantung pada aktivitas manusia maupun proses-proses alami yang terjadi di kawasan sekitarnya, lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Saling ketergantungan inilah yang menyebabkan pengelolaan kawasan pesisir secara sektor tidak akan
(32)
mencapai hasil yang memuaskan. Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya sumberdaya perikanan agar dapat berdampak posistif bagi pemanfaatnya secara berkelanjutan, maka harus dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) (Dahuri et al. 1996; Cincin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999; Masalu 2000).
Menurut Dahuri et al. (2004), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dikatakan oleh Masalu (2000) dan Dahuri et al. (2004), keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus memiliki tiga dimensi, yaitu; (1) keterpaduan sektoral, (2) keterpaduan bidang ilmu, dan (3) keterpaduan atau keterkaitan ekologis. Selanjutnya menurut Kay and Alder (1999), pengelolaan pesisir terpadu akan berhasil, bila; (1) keputusan pengelolaan komprehensif yang didasarkan pada kondisi suatu wilayah pesisir, (2) evaluasi dilakukan secara menyeluruh (agregat), dan (3) pengelolaan harus konsisten dengan melibatkan semua level kebijakan dalam pelaksanaannya. Ditambahkan oleh Masalu (2000), suatu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif tidak hanya didasarkan pada suatu analisa aktivitas dan dampaknya saja, tetapi harus diperhatikan juga efek dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pengelolaan sistem yang kompleks ini memerlukan suatu pendekatan terintegrasi yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan secara terorganisir, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi secara optimal untuk generasi mendatang, tidak mengurangi sumberdaya itu sendiri, dan tetap memelihara proses yang berlangsung secara ekologis. Pengelolaan pesisir yang terpadu adalah dasar untuk pembangunan berkelanjutan, karena akan mengurangi dampak pencemaran, mengoreksi dampak lain, dan mengurangi konflik, baik untuk saat ini maupun di masa datang.
2.2 Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forsskal)
Ikan bandeng (Gambar 2), lebih dikenal dengan sebutan milkfish dan merupakan spesies euryhaline. Di Inggris, ikan ini dikenal sebagai s
(33)
almon-herring, sedang di Jepang dikenal dengan sabahi. Klasifikasi ikan tersebut menurut Saanin (1984), adalah:
Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata Kelas: Osteichthyes
Subkelas: Actinopterygii Ordo: Gonorynchiforme
Famili: Chanidae Genus: Chanos
Spesies : Chanos chanos (Forsskal)
Sumber : eol;org/pages/224731 [diakses : 1 Desember 2009]
Gambar 2 Ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal)
Sebagai spesies euryhaline, ikan bandeng dalam siklus hidupnya selalu bermigrasi ke perairan dengan salinitas berbeda seiring dengan pertumbuhannya. Melewati masa mudanya di perairan pesisir, kemudian seiring dengan kematangan seksual akan beruaya ke laut lepas untuk memijah dekat permukaan pada kedalaman 10 hingga 40 meter yang bersubsrat pasir dan koral (Nontji 1986). Bardach et al. (1982) in Budiono et al. (1984), menyatakan bahwa ikan bandeng akan siap memijah setelah berumur 6 tahun dan dilakukan pada malam hari. Secara alami setiap induk bandeng akan memijah 1 atau 2 kali dalam setahun. Selanjutnya habitat ikan bandeng dari larva hingga dewasa dapat dilihat pada Gambar 3.
(34)
Gambar 3 Habitat ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) dari larva hingga dewasa (Bagarinao 1991).
Larva ikan bandeng yang baru dipijahkan disebut yolk-sac larvae hingga kuning telurnya diserap. Disebut larva bila ukuran tubuh berkisar antara 6 hingga 10 mm, berumur 2 hingga 3 minggu setelah pemijahan, dan mulai bermigrasi ke perairan pantai (Lee et al. 1986). Menurut Lee et al. (1986); Nontji (1986), sebutan frydiberikan untuk fase akhir dari larva yang berumur antara 3 hingga 4 minggu setelah pemijahan, dengan ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, yang selanjutnya muncul di perairan pantai, bergerak lincah, dan selalu berada di permukaan secara bergerombol. Setelah itu akan memasuki kawasan manggrove, hidup disana hingga berumur ± 3 bulan, kemudian akan bermigrasi kembali ke laut (Lee et al. 1986). Pola distribusi seperti ini berkaitan erat dengan kondisi perairan, seperti ketersediaan makanan, faktor fisik, dan kimia perairan (Boehlert et al. 1985). Warna larva tersebut pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 12 mm adalah bening (transparan). Pada ukuran panjang tubuh antara 13 hingga 15 mm dengan berat tubuh antara 6 hingga 7 mg, memiliki sebuah titik putih di bagian tengah badan yang berfungsi sebagai gelembung udara (Mardjono et al. 1985). Bentuk larva ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Larva ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal)
Pantai Laut lepas Daerah pemijahan Laut lepas
(35)
Nontji (1986), menyatakan bahwa larva ikan bandeng yang muncul di perairan pesisir di Indonesia dikenal dengan sebutan nener. Larva ikan ini umumnya ditemukan di perairan pesisir yang jernih, bebas pencemaran, masih dipengaruhi pasang surut, dan bersubsrat dasar pasir atau pasir dengan sedikit berbatu terutama pantai berpasir yang mendapat suplai air tawar. Ini dikarenakan larva tersebut dalam fase pertumbuhannya memerlukan salinitas yang lebih rendah untuk berkembang menjadi ikan muda (Mardjono et al. 1985). Penyebaran larva ini banyak ditentukan oleh angin dan arus, terutama arus pasang surut serta ketika angin bertiup ke arah pantai. Muncul di pantai pada saat air mulai pasang atau mulai surut (Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji 1986; Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mudjiman 1987).
2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng
Faktor biofisik laut seperti, cahaya, suhu, salinitas, arus, pasang surut, dan ketersediaan makanan telah dipandang sebagai faktor abiotik dan biotik pada ekosistem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup biota laut termasuk larva ikan bandeng, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Menurut Lee et al. (1986), kelangsungan hidup (survival) larva ikan bandeng banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan habitatnya, seperti; (1) suhu, (2) oksigen terlarut, (3) salinitas, (4) kekeruhan, (4) intesitas cahaya, (5) densitas plankton, (6) fase bulan, (7) cuaca, dan (8) keberadaan ekosistem mangrove.
2.3.1 Suhu Permukaan Perairan
Suhu perairan terutama lapisan permukaan dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari, arus permukaan, keadaan awan, up welling, divergensi dan konvergensi terutama di sekitar estuari dan sepanjang garis pantai (Hela and Laevastu 1970). Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti; penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaman udara, dan kecepatan angin. Oleh sebab itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musim. Contohnya pada musim pancaroba, kecepatan tiupan angin biasanya lemah sehingga permukaan laut tenang dan proses pemanasan sangat tinggi yang mengakibatkan suhu lapisan permukaan mencapai maksimum (Nontji 1986).
(36)
Sulliva (1954) in Hayes and Laevastu (1982) menyatakan bahwa, pengaruh suhu terhadap ikan antara lain; (1) sebagai modifier proses metabolik (kebutuhan makan dan pertumbuhan), (2) sebagai modifier bagi aktivitas badan (laju renang), dan (3) sebagai stimulus saraf. Dikatakan oleh Lee et al. (1986), ikan bandeng dapat mentolerir kisaran suhu dari 10 0C hingga 40 0C, hidup sehat pada suhu 15 0C hingga 30 0C, dengan pertumbuhan optimal pada suhu 25 0C hingga 30 0C. Hasil penelitian Villaluz and Unggai (1983) in Watanabe (1986) menemukan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan larva ini cepat pada suhu 28.9 0C hingga 35.2 0C, sedang pada suhu 23.7 0C hingga 28.9 0C, dan lambat pada suhu 17.5 0C hingga 23.6 0C.
Pengkonsentrasian makanan ikan sangat erat hubungannya dengan suhu, disamping beberapa faktor linkungan lain. Dengan mengetahui suhu optimum suatu spesies ikan akan dapat digunakan untuk meramal daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman, dan distribusi atau migrasi ikan (Baskoro et al. 2004). Dari studi kebiasaan makan juvenil milkfish yang diambil dari lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati oleh Luckstadt and Reiti (2002), dimana suhu perairan pada pukul 06.00 adalah 27.2 0C dan 35.2 0C pada pukul 16.00, makanan yang ditemukan mendominasi isi perut juvenil milkfish di perairan tersebut adalah Chlorophycea dan Cyanophycea yang merupakan jenis algae hijau bersel tunggal.
2.3.2 Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam dalam gram yang terdapat didalam satu kilogram air laut. Salinitas bersifat lebih stabil di lautan terbuka, dibanding daerah intertidal (Nybakken 1986). Fluktuasi salinitas di intertidal dapat terjadi karena upwelling, masuknya air tawar dalam debit yang besar, dan atau karena pengaruh hujan yang turun secara terus menerus. Namun demikian, perubahan salinitas ini relatif kecil kecuali daerah dekat sungai yang mengeluarkan debit air tawar dalam jumlah besar (Kinne 1963; Nybakken 1986). Menurut Kinne (1963), fluktuasi salinitas berdampak pada perubahan masa air dan perubahan stabilitas kondisi suatu perairan yang mana dapat mempengaruhi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme perairan. Hal ini disebabkan dalam tahapan pertumbuhan ikan, perubahan salinitas akan mempengaruhi pengaturan osmotik ikan dan menentukan daya apung dari
(37)
telur-telur ikan pelagis. Ditambahkan oleh Hayes and Laevastu (1982), salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubunganya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungannya. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik fitoplankton, zooplankton, maupun iktioplankton. Menurut Lignot et al. (2000), meski iktioplankton biasanya dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik, namun cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, sehingga secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusinya.
Beberapa spesies ikan dapat hidup pada salinitas yang berbeda-beda, tetapi ada pula yang hanya dapat hidup pada salinitas tertentu. Duenas and Young (1984) in Watanabe (1986), mendapati larva ikan bandeng pada nol hari sampai hari ke tujuh tergolong euryhaline sedang (8-7 ‰), pada hari ke tujuhhingga ke empat belas stenohaline (27-28 ‰), dan euryhaline tinggi (0-70 ‰) pada hari ke dua puluh satu.
Hasil studi Lin et al. (2003), tentang expresi Natrium (Na), Kalium (K), dan Adenosin Tri Phospat (Na,K-ATPase) insang juvenil milkfish terhadap penyesuaian salinitas, menunjukkan bahwa aktivitas NKA meningkat bersamaan dengan meningkatnya protein. Peningkatan NKA pada insang juvenil di perairan tawar lebih tinggi dibanding pada air payau sedang pada juvenil di air laut sangat kecil. Hasil studi ini menunjukkan, perubahan salinitas yang sangat ekstrim akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan protein yang lebih banyak untuk meningkatkan NKA sebagai upaya osmoregulator untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang hiposaline. Dengan kata lain, peningkatan osmoregulasi terhadap perubahan salinitas yang sangat ekstrim, akan menyerap sebagian besar protein guna meningkatkan aktivitas NKA dengan maksud menyediakan energi untuk bergerak dibandingkan untuk pertumbuhan. Oleh sebab itu dapat dikatakan juga bahwa meski ikan bandeng adalah spesies euryhaline namun perubahan salinitas yang sangat ekstrim dapat menghambat pertumbuhannya.
2.3.3 Arus
Arus berperan dalam transportasi ikan dan larvanya di laut. Karakter arus bervariasi setiap tahun dan berperan penting dalam migrasi musiman ikan pelagis dan semi pelagis. Anomali arus permukaan dapat mempengaruhi distribusi
(38)
iktioplankton, juwana, dan juga migrasi pemijahan ikan (Laevastu and Hayes 1982). Menurut Wahbah et al. (2001), adanya arus yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di laut. Pola aliran arus mempengaruhi pola penyebaran nutrient, transport sedimen, plankton, ekosistem laut, dan geomorfologi pantai. Sverdrup et al. (1972), membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu :
1. Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut, dimana arus dengan densitas lebih berat akan mengalir ke tempat air berdensitas lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan sejumlah besar massa air ke tempat lain.
2. Arus yang ditimbulkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air ke satu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu.
3. Arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus jenis ini mengalir bolak balik dari dan ke pantai atau berputar.
Pada daerah teluk, pola arus lebih didominasi oleh pasang surut dan angin. Pengaruh gaya pasang surut untuk membangkitkan arus jauh lebih besar dibanding yang dibangkitkan oleh gaya gesek angin pada permukaan air laut.
2.3.4 Ketersediaan Makanan
Di perairan, keberadaan makanan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik seperti; suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan. Selanjutnya jenis makanan ikan dipengaruhi oleh umur, tempat, dan waktu (Effendi 1997). Suresh et al. (2006) menyatakan bahwa, jenis makan yang dimakan oleh ikan berbeda menurut spesies dan umur. Jenis makan pun dapat berbeda pada spesies yang sama tetapi berbeda tempat. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan suatu jenis makan di habitat tersebut.
Umumnya makanan yang pertama kali dimakan oleh semua ikan dalam mengawali hidupnya (fase larva dan juvenil) adalah planktonbersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Dapat berupa fitoplankton atau zooplankton (Sverdrup et al. 1972; Nybakken 1986; Odum 1993). Dari hasil studi kebiasaan makan juvenil milkfish di lagoons payau Tarawa Selatan Kiribati, yang dilakukan oleh Luckstadt and Reiti (2002), ditemukan makanan yang dominan dalam saluran pencernaan
(39)
juvenil milkfish adalah jenis algae hijau bersel tunggal yang terdiri dari Chlorophycea dan Cyanophycea yang mencapai 60 % dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari. Sementara itu Diatome, Copepoda, Phyleeopod, dan Naupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka.
Komunitas fitoplankton akan mengalami suatu suksesi dominasi jenis secara terus menerus, yang dipengaruhi oleh; cahaya, konsentrasi dan rasio unsur hara, serta bentuk-bentuk kimia unsur hara (Goldman and Carpenter 1974). Menurut Sanders et al. (1987), peningkatan unsur hara yang terus menerus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan struktur komunitas fitoplanton. Karena setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan kebutuhan untuk berbagai nutrien. Perubahan pada struktur komunitas terjadi karena perubahan fluks dan konsentrasi relatif unsur hara. Dikatakan oleh Effendi (1997), dengan mempelajari kebiasaan makan ikan, dapat mengetahui kandungan gisi alami, dapat digunakan untuk mempelajari hubungan ekologis antara keberadaan suatu populasi organisme dengan lingkungannya, misalnya; bentuk pemangsaan, persaingan makanan, dan rantai makanan.
2.3.5 Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi 1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Detritus mangrove yang terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al. 1984; Hatcher et al. 1989; Fleming et al. 1990; Marguillier et al. 1997). Ekositem mangrove juga merupakan tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal (Robertson and Duke 1987). Oleh karena ekositem mangrove berperan dalam menstimulasi produktivitas pantai, maka daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994). Keberadaan ekosistem mangrove bagi sumberdaya larva ikan bandeng adalah sebagai daerah asuhan untuk menjadi ikan muda (Lee et al. 1986; Watanabe 1986; Bagarinao 1991).
(40)
Melena et al. (2000) menyatakan bahwa, ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi bagi kehidupan di bumi. Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:
1. Menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang, dan kepiting, serta mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.
2. Menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.
3. Melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut, dan topan.
4. Menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah perairan pesisir dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan tersebut.
5. Menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.
6. Menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak untuk budidaya perikanan.
2.4 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng 2.4.1 Pendugaan Kelimpahan Stok
Stok didefenisikan sebagai suatu subgugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama serta menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Merupakan kelompok hewan terpisah secara geografis tetapi hidup bercampur dengan kelompok lainnya (Sparre and Venema, 1999). Definisi stok yang lain yang diberikan oleh Gulland (1983) in Sparre and Venema (1999), bahwa suatu subkelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan dalam kelompok tersebut dan percampuran dengan kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang absah.
Pengkajian stok dimaksudkan untuk mendeskripsikan hubungan antara proses masukan dan keluaran serta alat yang digunakan, yang disebut model. Dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan maksimum untuk
(41)
memberikan saran dalam pemanfaatan jangka panjang suatu sumberdaya. Model pengkajian stok terbagi atas model analitik dan model holistik. Model analitik lebih dapat mengeluarkan hasil peramalan yang lebih dapat dipercaya, karena deskripsi stok dilakukan berdasarkan data yang lebih rinci. Data tersebut mencakup; (1) data survival, (2) data hasil tangkapan dan upaya, (3) data frekuensi panjang, (4) tangkapan per upaya, dan (5) data frekuensi umur dalam runtun waktu tertentu. Model holistik digunakan pada keadaan dimana data yang tersedia terbatas pada; (1) data survival saja, (2) data hasil tangkapan dan upaya saja, (3) data frekuensi panjang saja, dan atau (4) data tangkapan per upaya dan frekuensi panjang saja. Model holistik tidak mengharuskan untuk menggunakan data struktur umur atau panjang ikan, tetapi mengganggap stok ikan tersebut sebagai biomassa yang homogen. Oleh sebab itu dalam model holistik, tipe data apapun yang dipunyai dapat digunakan untuk menghasilkan informasi dan saran-saran (Sparre and Venema 1999).
Aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengkajian stok adalah metode yang hendak digunakan untuk menganalisa kumpulan data yang dimiliki. Untuk mengkaji stok sesaat (standing stock) dari benih alam komersial dan ikan demersal, dapat dilakukan dengan metode trawl dasar (Sparre and Venema 1999). Model holistik yang paling sering digunakan adalah metode swept area (alur sapuan efektif per luas sapuan) (Widodo et al. 1998; Sparre and Venema 1999). Ditambahkan oleh Sparre and Venema (1999), metode swept area didasarkan pada ”hasil tangkapan per satuan area” dari survei dengan trawl.
Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah total individu maupun berat total individu (biomassa). Jumlah total individu maupun biomassa suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Densitas atau kelimpahan ikan diartikan sebagai jumlah atau berat individu yang disapu oleh alat tangkap pada luasan tertentu (CPUA) (Effendie 1997; Widodo et al. 1998). Nilai dugaan CPUA menurut Sparre and Venema (1999), adalah hasil tangkapan dibagi luas sapuan (mil laut, km2 atau m2). Luas sapuan disimbolkan dengan “A” dan diasumsikan sebagai perkalian antara panjang alur dengan lebar
(42)
mulut jaring (trawl dan atau seser). Lebar mulut jaring tersebut tidak akan berbeda untuk tiap tarikan. Posisi awal dan posisi akhir tarikan perlu ditentukan untuk menghitung jarak sapuan. Akurasi nilai dugaan kelimpahan ini bergantung pada akurasi dari nilai dugaan luas sapuan. Ditambahkan pula oleh Aziz (1989), pendugaan kelimpahan stok atau kelimpahan relatif adalah penting dalam menejemen perikanan sebagai suatu langkah untuk menduga parameter penting lainya. Beberapa pendugaan kelimpahan diperlukan untuk mengevaluasi dampak dari besarnya unit dan usaha menejemen terhadap suatu populasi ikan, disamping untuk menduga laju eksploitasi akibat penangkapan atau sebab lain.
2.4.2 Faktor Kondisi
Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka. Faktor kondisi ikan berkorelasi dengan panjang tubuh, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, dan umur ikan. Selain itu, faktor kondisi juga digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan (kondisi perairan dan kualitas air) dengan ikan. Oleh sebab itu, perhitungan faktor kondisi dapat digunakan sebagai indikator kondisi perairan bagi pertumbuhan ikan. Perhitungan faktor kondisi, didasarkan pada panjang dan berat ikan (Royce 1972 in Effendi 1997). Ditambahkan oleh Oymak et al. (2001), faktor kondisi bervariasi menurut pertumbuhan, umur serta kebiasaan makan, dan kepadatan ikan di suatu perairan.
2.5 Analisis Alokasi Upaya dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Menurut Bene and Tewfik (2000), untuk memelihara sumberdaya ikan yang sehat guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya tersebut perlu memperhitungkan dinamika stok serta memperhatikan; integrasi antara dinamika armada, perilaku nelayan, dan dinamika aturan. Oleh sebab itu, suatu peraturan yang dibuat untuk mengatur pengusahaan suatu sumberdaya perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut dan aktivitas masyarakat yang memanfaatkannya dapat berjalan dengan baik, maka seluruh proses yang mempengaruhi dinamika sumberdaya tersebut harus dipahami dengan baik. Suatu contoh diberikan oleh Hilborn (1985) in Bene and Tewfik (2000), tentang krisis yang terjadi pada pengelolaan ikan Cod dan Salmon di Canada pada tahun 1980-an. Pada krisis ini, penurunan stok kedua sumberdaya
(43)
tersebut bukan disebabkan oleh ketidaktahuan nelayan tentang berapa stok yang harus dimanfaatkan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang bioekologi kedua ikan tersebut dan pengaturan nelayan.
Pendekatan analisis sistem dalam menentukan alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan merupakan kerangka analisis multidisipliner terpadu untuk menganalisa hubungan (interaksi) antara komponen berbeda dari pengusahaan suatu sumberdaya perikanan. Komponen-komponen tersebut terdiri atas; mekanisme biologis, ekonomis, dan sosial yang secara langsung menentukan keberlanjutan usaha. Dalam analisis sistem, pemahaman respon nelayan terhadap perubahan biologi, ekonomi, dan kondisi kebijakan (aturan) dapat digunakan sebagai masukan yang sangat menunjang untuk merancang upaya pengelolaan sumberdaya tersebut. Keistimewaan dari analisis ini adalah, data yang digunakan dapat berupa data harian, bulanan, atau tahunan tergantung fenomena yang diamati. Disamping itu, dapat juga digunakan data kualitatif seperti, data hasil penelitihan sebelumnya dan data pribadi yang tidak dipublikasikan untuk menggambarkan karakteristik sosial dari masyarakat yang menjadi objek pengamatan (Bene and Tewfik 2000).
Pendekatan analisis sistem untuk menduga alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan dapat dilakukan melalui perhitungan; (1) indeks musiman bulanan (Ij) dalam persen, (2) prakiraan keuntungan ekonomi, dan (3) perilaku nelayan. Tujuannya adalah, untuk mengetahui apakah nelayan memberikan respons terhadap setiap musim kelimpahan dan keuntungan yang akan diperoleh. Hasil analisis ini digunakan untuk mempelajari fenomena yang terjadi pada pemanfaatan suatu sumberdaya larva ikan disuatu kawasan perairan tertentu (Bene and Tewfik 2000).
2.6 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Selama ini, evaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lebih difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target melalui referensi biologi dan referensi ekologi. Pendekatannya masih menggunakan referensi dari spesies target sebagai indikator dari status sumberdaya dan sinyal early warming bagi terlampauinya level ekstraksi. Permasalahannya, pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan kelestarian
(44)
sumberdaya tersebut, melainkan perlu juga mempertimbangkan interaksi antara sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan dengan aktivitas manusia untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Adrianto et al. 2004; Fauzi 2006). Untuk mendisain suatu perencanaan pengelolaan yang dapat menjamin kelangsungan suatu sumberdaya perikanan dan aktivitas masyarakat yang tergantung pada sumberdaya tersebut, maka faktor biologi, ekologi, mekanisme ekonomi, dan aturan yang mempengaruhi alokasi upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut sangat penting untuk dipahami (Bene and Tewfik 2000).
2.6.1 Konsep Perikanan Berkelanjutan
Konsep keberlanjutan telah lama diperdebatkan dalam ilmu perikanan. Charles (2001) in Adrianto et al. (2004) menyatakan bahwa, ada tiga paradigma yang mendasari munculnya konsep keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu:
(1) Paradigma Konservasi
Dalam paradigma konservasi, konsep keberlanjutan diartikan sebagai cara mengendalikan upaya tangkap agar optimal dan berkelanjutan. Stok ikan harus dapat dilindungi tanpa memperhatikan tujuan manusia memanfaatkan stok tersebut sebagai obyek. Akibatnya, dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan manfaat yang kecil. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjang konsep konservasi dalam dunia perikanan adalah maximum sustainable yield (MSY).
(2) Paradigma Rasionalisasi
Paradigma rasionalisasi memperhitungkan kepentingan pemanfaat sumberdaya dan pemilik sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus rasional dan efesien secara ekonomi, dengan memperhitungkan keuntungan (profit) yang akan diperoleh. Pandangan dalam paradigma rasionalisasi ini kemudian mendasari lahirnya konsep produksi lestari yang memberikan nilai ekonomi (penerimaan netto) terbesar, atau diistilahkan sebagai maximum economic yield (MEY).
(45)
(3) Paradigma Sosial (Komunitas)
Paradigma ini muncul karena kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan selalu berorientasi pada kepentingan manusia. Dalam paradigma ini cara yang paling baik dalam mencapai perikanan berkelanjutan adalah melalui analisis sistimatik dan kompleks pada cara pemanfaatan. Target dalam paradigma ini adalah produksi optimum lestari (optimum sosial yield/OSY), yang mengakomodir aspek keberlanjutan komunitas menyangkut; (a) pengontrolan panen, (b) penggunaan teknologi tepat guna, (c) memperhitungan resiliensi jangka panjang, dan (d) keragaman. Dengan kata lain keberlanjutan tidak hanya difokuskan pada konservasi sumberdaya ikan semata ataupun memaksimalkan pemanfatan ekonomi saja, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana menyediakan sumber pendapatan bagi komunitas nelayan.
Berdasarkan ketiga paradigma tersebut di atas, selanjutnya ditambahkan oleh Adrianto et al. (2004), perikanan berkelanjutan harus didefinisikan secara luas karena menyangkut kepentingan manusia. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Salim (1991), bahwa saat ini pengelolaan sumberdaya ikan selalu dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut pertumbuhan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungannya, perkembangan teknologi, dan ruang lingkup internasional. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang “sehat” menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Menurut Adrianto et al. (2004); Fauzi (2006), konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung beberapa aspek yaitu:
(1) Keberlanjutan Ekologi (Ecological sustainability)
Untuk menjamin keberlanjutan ekologi, model pengelolaan yang sudah berjalan perlu dikaji ulang untuk menghindari habisnya stok ikan dan bagaimana memelihara stok tersebut pada level yang stabil, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Dengan kata lain, upaya untuk memelihara keberlanjutan stok atau biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta memberikan perhatian utama untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.
(46)
(2) Keberlanjutan Sosial Ekonomi (Socioeconomic sustainability)
Keberlanjutan sosial ekonomi, harus bersifat makro sehingga dapat mencapai tingkat kesejahteraan sosial ekonomi secara menyeluruh untuk jangka panjang. Dalam menilai keberlanjutan sosial ekonomi, perlu diperhitungkan kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Kriteria ekonomi meliputi tingkat pemanfaatan sumberdaya dan ktriteria sosial meliputi pemerataan kesejakteraan. Secara ekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan harus relevan dan secara sosial memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Permasalahannya, hal ini sulit dipisahkan di tingkat kebijakan. Keberlanjutan sosial ekonomi dapat dicapai dengan memperhatikan keberlanjutan dari kesejakteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan menjamin keberlanjutan dari semua sistim ekonomi, baik lokal maupun global, dapat memberikan manfaat yang merata bagi semua pengelola perikanan.
(3) Keberlanjutan Komunitas (Community sustainability)
Pembangunan perikanan yang berkelanjutan, harus memperhatikan keberlanjutan kesejakteraan dari sisi komunitas atau masyarakat secara terpadu, baik kesejakteraan ekonomi mapun sosial budaya dan kesehatan jangka panjang.
(4) Keberlanjutan Kelembagaan (Institutional sustainability)
Keberlanjutan kelembagaan, menyangkut pengelolaan dan pemeliharanan aspek financial, administrasi yang baik dan sehat serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang. Pengelolaan aspek financial dan administrasi yang baik serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang, merupakan syarat dari tiga komponen pembangunan perikanan berkeberlanjutan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan, keberlanjutan kelembagaan sangat terkait dengan perangkat peraturan dan kebijakan pengelolaan yang dikuasai oleh nelayan. Dengan kata lain, keberlanjutan pemanfaatan suatu sumberdaya hanya dapat dicapai pada model pengelolaan yang dikuatkan oleh peraturan.
(1)
131
Suseno S. 1984. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Jakarta: Gramedia.
Suresh VR., BK. Biawas, GK. Vinci, K. Mitra, A. Mukherjee 2006. Biology and
Fishery of Barred Spiny Eel, Macrognathus pancalus, Hamilton. Journal of
Acta Ichthyological et Piscatoria, 36 (1): 31-37.
Sverdrup HV., MW. Johson, RH. Fleming 1972. The Ocean. Their Physich,
Chemistry and General Biology. Englewood Cliffs. Prectice Hall Inc.
[UNIPA] Universitas Negeri Papua 2006. Survei Potensi Sumberdaya Teluk
Youtefa Berbasis Masyarakat Di Kota Jayapura. Manokwari: UNIPA.
Tang YA., TL. Hwang 1972. Stock Manipulation of Coastal Fish Farms, p:
438-453. In T.V.R. Pillay, ed. Coastal Aquaculture in the Indo-Pasific
Region. Fishing News (Books) Ltd., London.
Tzeng WN., SY. Yu 1992. Effects of Starvation on the Formation of Daily
Growth Incraments in the Otoliths of Milkfish Larvae (Chanos chanos,
Forsskal). J. Fish Biol., 40: 39-40.
Wahbah MI., Mohammad BZ. 2001. Temporal Distribution Of Chlorophyll, a
Suspended Matter, and The Veritical Flux Of Particles In Aqaba (Jordan).
Hydrobiologia, 459 : 147-156.
Watanabe WO. 1986. Larvae and Larva Culture. Oceanic Institute. Hawaii. In;
C. Sheng Lee and M.S. Gordon and W.O., 1986. Aguaculture of milkfish
(Chanos chanos F). State of the art ; 117- 143.
Widodo J., Naamin N., Aziz KA. 1998. Metode Pengkajian Stok (Stock
Assessment). Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia.
Wilhm JF. 1975. Biological Indicators of Pollution. In BA. Whitton (Ed.), River
Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publication.
(2)
(3)
Lampiran
n 1 Alat yang
Sese
Plankt
g digunakan
er (alat pengu
R
tonnet
n
umpul larva
Refraktometer
Termomete
ikan bande
r
er
Timbanga
(
ketelitian
eng)
an Digital
0.0001 gr
)
(4)
Lampiran 9 Data kelimpahan larva ikan Bandeng (C chanos, Froskal) dalam individu (ekr/m2/hr).
Waktu STASIUN I STASIUN II STASIUN III
(Tgl) Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr Luas Alur Jml.Nnr Klmphn Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr Luas Alur Jml.Nnr Klmphn Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr Luas Alur Jml.Nnr Klmphn
24-Mei 179,953 0,84 151,16 250 2 187,245 0,84 157,29 477 3 96,578 0,84 81,13 300 4
25-Mei 179,953 0,84 151,16 571 4 187,245 0,84 157,29 976 6 96,578 0,84 81,13 388 5
26-Mei 179,953 0,84 151,16 651 4 187,245 0,84 157,29 1155 7 96,578 0,84 81,13 389 5
27-Mei 179,953 0,84 151,16 193 1 187,245 0,84 157,29 1260 8 96,578 0,84 81,13 441 5
28-Mei 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 840 5 96,578 0,84 81,13 320 4
29-Mei 179,953 0,84 151,16 342 2 187,245 0,84 157,29 857 5 96,578 0,84 81,13 324 4
30-Mei 179,953 0,84 151,16 513 3 187,245 0,84 157,29 1513 10 96,578 0,84 81,13 441 5
∑ 2520 17 ∑ 7078 45 ∑ 2603 32
Rata-rata 420 3 Rata-rata 1011 6 Rata-rata 372 5
01-Jun 179,953 0,84 151,16 522 3 187,245 0,84 157,29 750 5 96,578 0,84 81,13 262 3
02-Jun 179,953 0,84 151,16 200 1 187,245 0,84 157,29 900 6 96,578 0,84 81,13 360 4
03-Jun 179,953 0,84 151,16 519 3 187,245 0,84 157,29 1516 10 96,578 0,84 81,13 440 5
04-Jun 179,953 0,84 151,16 495 3 187,245 0,84 157,29 809 5 96,578 0,84 81,13 396 5
05-Jun 179,953 0,84 151,16 524 3 187,245 0,84 157,29 872 6 96,578 0,84 81,13 363 4
∑ 2260 15 ∑ 4847 31 ∑ 1821 22
Rata-rata 452 3 Rata-rata 969 6 Rata-rata 364 4
25-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 793 5 96,578 0,84 81,13 198 2
26-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 976 6 96,578 0,84 81,13 192 2
27-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 1007 6 96,578 0,84 81,13 216 3
29-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 1242 8 96,578 0,84 81,13 219 3
30-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 593 4 96,578 0,84 81,13 172 2
∑ 0 0 ∑ 4611 29 ∑ 997 12
Rata-rata 0 0 Rata-rata 922 6 Rata-rata 199 2
01-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 435 3 96,578 0,84 81,13 176 2
03-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 415 3 96,578 0,84 81,13 211 3
04-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 1125 7 96,578 0,84 81,13 310 4
05-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 782 5 96,578 0,84 81,13 288 4
06-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 502 3 96,578 0,84 81,13 163 2
07-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0 187,245 0,84 157,29 710 5 96,578 0,84 81,13 304 4
∑ 0 0 ∑ 3969 25 ∑ 1452 18
(5)
Lampiran 10 Data kelimpahan larva ikan bandeng (Cchanos
, Froskal) dalam biomassa (gr/m2/hr).
Waktu STASIUN I STASIUN II
(Tgl) Pjg.Alur Lbr .Mlt.Ssr Luas Alur Jml.Nnr Rt2 Brt TTL Brt Biomassa Pjg.Alur Lbr .Mlt.SsLuas Alur Jml.Nnr Rt2 Brt TTL Brt Biomassa 24-Mei 179,953 0,84 151,16 250 0,002 0,50 0,003 187,245 0,84 157,29 477 0,002 0,95 0,006 25-Mei 179,953 0,84 151,16 571 0,002 1,14 0,008 187,245 0,84 157,29 976 0,004 3,90 0,025 26-Mei 179,953 0,84 151,16 651 0,004 2,60 0,017 187,245 0,84 157,29 1155 0,005 5,78 0,037 27-Mei 179,953 0,84 151,16 193 0,004 0,77 0,005 187,245 0,84 157,29 1260 0,004 5,04 0,032 28-Mei 179,953 0,84 151,16 0 0 0 0 187,245 0,84 157,29 840 0,005 4,20 0,027 29-Mei 179,953 0,84 151,16 342 0,004 1,37 0,009 187,245 0,84 157,29 857 0,005 4,29 0,027 30-Mei 179,953 0,84 151,16 513 0,004 2,05 0,004 187,245 0,84 157,29 1513 0,005 7,57 0,048
∑ 2270 0,020 8,44 0,046 ∑ 7078 0,03 31,72 0,202
Rata-rata 378 0,003 1,41 0,009 Rata-rata 1011 0,004 4,53 0,029 01-Jun 179,953 0,84 151,16 522 0,002 1,04 0,007 187,245 0,84 157,29 750 0,003 2,25 0,014 02-Jun 179,953 0,84 151,16 200 0,003 0,60 0,004 187,245 0,84 157,29 900 0,004 3,60 0,023 03-Jun 179,953 0,84 151,16 519 0,004 2,08 0,014 187,245 0,84 157,29 1576 0,005 7,88 0,050 04-Jun 179,953 0,84 151,16 495 0,003 1,49 0,010 187,245 0,84 157,29 809 0,005 4,05 0,026 05-Jun 179,953 0,84 151,16 524 0,004 2,10 0,014 187,245 0,84 157,29 872 0,005 4,36 0,028
∑ 2260 0,016 7,30 0,048 ∑ 4907 0,022 22,14 0,141
Rata-rata 452 0,003 1,46 0,010 Rata-rata 981 0,004 4,43 0,028
25-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 793 0,005 3,97 0,025 26-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 976 0,006 5,86 0,037 27-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 1007 0,006 6,04 0,038 29-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 1242 0,006 7,45 0,047 30-Jun 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 593 0,006 3,56 0,023
∑ 0 0,000 0,000 0,000 ∑ 4611 0,029 26,87 0,171
Rata-rata 0 0,000 0,000 0,000 Rata-rata 922 0,006 5,37 0,034 01-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 435 0,004 1,74 0,011 03-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 415 0,005 2,08 0,013 04-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 1125 0,006 6,75 0,043 05-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 782 0,006 4,69 0,030 06-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 502 0,005 2,51 0,016 07-Jul 179,953 0,84 151,16 0 0,000 0,000 0,000 187,245 0,84 157,29 710 0,006 4,26 0,027
∑ 0 0,000 0,000 0,000 ∑ 3969 0,032 22,03 0,140
(6)
Lanjutan ….. … Lampiran 10
STASIUN III
(Tgl) Pjg.Alur br .Mlt.Ss Luas Alur Jml.Nnr Rt2 Brt TTL Brt Biomassa (Tgl) Jml.Nnr Rt2 Brt TTL Brt Biomassa 24-Mei 96,578 0,84 81,13 300 0,002 0,60 0,007 25-Jun 198 0,003 0,59 0,007 25-Mei 96,578 0,84 81,13 388 0,003 1,16 0,014 26-Jun 192 0,004 0,77 0,009 26-Mei 96,578 0,84 81,13 389 0,004 1,56 0,019 27-Jun 219 0,004 0,88 0,011 27-Mei 96,578 0,84 81,13 441 0,004 1,76 0,022 29-Jun 219 0,004 0,88 0,011 28-Mei 96,578 0,84 81,13 320 0,003 0,96 0,012 30-Jun 172 0,003 0,52 0,006 29-Mei 96,578 0,84 81,13 324 0,004 1,30 0,016 ∑ 1000 0,018 3,63 0,045 30-Mei 96,578 0,84 81,13 441 0,004 1,76 0,022 Rata-rata 200 0,004 0,73 0,009
∑ 2603 0,024 9,10 0,112 01-Jul 176 0,003 0,53 0,007
Rata-rata 372 0,003 1,30 0,016 03-Jul 211 0,004 0,84 0,010 01-Jun 96,578 0,84 81,13 262 0,003 0,79 0,010 04-Jul 310 0,004 1,24 0,015 02-Jun 96,578 0,84 81,13 360 0,004 1,44 0,018 05-Jul 288 0,005 1,44 0,018 03-Jun 96,578 0,84 81,13 440 0,005 2,20 0,027 06-Jul 163 0,005 0,82 0,010 04-Jun 96,578 0,84 81,13 396 0,005 1,98 0,024 07-Jul 304 0,005 1,52 0,019 05-Jun 96,578 0,84 81,13 363 0,005 1,82 0,022 ∑ 1452 0,026 6,39 0,079 ∑ 1821 0,022 8,22 0,101 Rata-rata 242 0,004 1,06 0,013