74
November 2006 yang diikuti dengan nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat dalam
pemberantasan IL dan perdagangan yang terkait dengannya pada tanggal 17 November 2006; serta e menerima upaya-upaya yang dilakukan Uni
Eropa dalam memberantasan IL dan perdagangan yang terkait dengannya di bawah rencana aksi dari program FLEGT Forest Law
Enforcement, Governance, and Trade yang mulai diadopsi sejak Mei 2003.
Upaya-upaya pemberantasan IL yang dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan kerjasama secara internasional belum menampakkan hasil
yang memuaskan dan memberikan efek jera detterent effects terhadap pelaku dan jaringannya. Masduki 2009 menyebutkan bahwa efektifitas
pemberantasan masih sangat rendah yang diindikasikan dengan hanya 4,3 dari kasus IL pada tahun 2005 yang diputuskan dan memiliki
kekuatan hukum tetap in kracht. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan penegakan hukum IL masih menemui beberapa kendala.
Lebih lanjut Masduki 2009 menyebutkan bahwa kendala penegakan hukum pemberantasan IL di Indonesia disebabkan oleh pengadilan tidak
mendukung pemberantasan IL dan penegakan hukum hanya menyentuh pelaku di tingkat bawah dan kurang menyentuh pelaku utama aktor
tingkat atas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas implementasi
kebijakan pemberantaan IL di Indonesia
6.2. Metode a. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam merupakan data sekunder berupa data kasus IL dan proses penyelesaiannya sampai tingkat pengadilan di
Indonesia. Data kasus IL di Indonesia diperoleh dari institusi penyidik, yaitu Kepolisian Republik Indonesia Polri selama kurun empat tahun
terakhir.
75
b. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan fakta hukum terkait proses pemberantasan IL di Indonesia dengan
memperhatikan karakteristik kasus IL, pelaku IL, dan putusan vonis pengadilan terhadap pelaku IL. Hasil analisis data tersebut akan
memberikan gambaran tentang efektifitas kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Kebijakan pemberantasan IL dikatakan efektif apabila kejadian
IL setelah diterapkannya kebijakan tersebut menunjukkan intensitas yang menurun, sedangkan apabila tidak demikian menunjukkan bahwa
kebijakan pemberantasan IL tidak efektif dijalankan.
6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Penanganan Kasus Illegal logging di Indonesia
Pemberantasan IL di Indonesia menjadi prioritas program nasional yang telah menjadi komitmen pemerintah. Berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk memberantas IL di Indonesia, termasuk mengeluarkan kebijakan berupa Instruksi Presiden Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Kepolisian Republik
Indonesia Polri adalah aparat penegak hukum yang berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 diperintahkan untuk : a Menindak tegas dan
melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya; b Melindungi
dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan
peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia; serta c Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan
penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan. Menindaklanjuti perintah tersebut, Polri melakukan upaya penanganan
pemberantasan IL di Indonesia sesuai dengan kewenangannya sebagai penegak hukum baik melalui upaya penyidikan sendiri maupun
menindaklanjuti laporan yang disampaikan masyarakat. Pihak Polri
76
melakukan upaya pemberantasan IL di Indonesia melalui upaya pre- emptif, preventif, dan represif. Upaya pre-emtif dilakukan dengan melalui
upaya koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka melaksanakan Inpres Nomor 4 Tahun 2005, bekerjasama dengan Menteri Kehutanan
melalui pelaksanaan operasi wanalaga dan operasi hutan lestari, melakukan pengawasan internal yang lebih ketat terhadap anggota Polri
dalam menangani kasus IL, saat melakukan penindakan diberikan pengarahan kepada pelaku tentang pentingnya pengelolaan hutan lestari
dan dorongan untuk mendapatkan pekerjaan lain yang legal, serta meningkatkan kemampuan penyidik di bidang IL. Upaya preventif oleh
Polri dilakukan melalui pengamanan secara mandiri dan terpadu di jalur lalu-lintas keluar masuknya kayu dengan mendirikan pos polisi atau
melakukan patroli, meningkatkan kemampuan sarana dan prasarana untuk kegiatan patroli dan pengawasan lalu lintas peredaran kayu, serta
menindak dengan tegas terhadap siapapun yang terlibat IL termasuk anggota Polri telegram Kapolri No.Pol.: TR201III2004 tanggal 23 Maret
2004. Upaya represif yang dilakukan Polri adalah melakukan tindakan kepolisian secara tegas dan konsisten baik yang bersifat mandiri dan
gabungan antar instansi ditujukan kepada buruh penebang liar, cukong, penadah dan oknum pejabat pemerintah yang melakukan kolusi,
mengusut sampai tuntas setiap informasi, laporan, atau temuan telah terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan IL, serta melakukan
operasi kepolisian mandiri kewilayahan maupun secara terpusat misalnya Operasi Wanalaga I Tahun 2003 di wilayah Polda Jateng, Operasi
Wanalaga II Tahun 2003 di wilayah Polda Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Operasi Wanalaga III Tahun 2003 untuk seluruh
Indonesia, serta Operasi Hutan Lestari I Tahun 2004 dan Operasi Hutan Lestari II Tahun 2005 Bareskrim Polri, 2008.
Kasus IL yang ditangani oleh Polri dalam kurun waktu tahun 2006 sampai dengan Juli 2008 disajikan pada Gambar 7. Kasus IL di Indonesia
yang ditangani Polri cenderung mengalami penurunan, yaitu pada tahun
77
2006 berjumlah 4.819 kasus, tahun 2007 berjumlah 1.790 kasus, dan sampai Juli 2008 berjumlah 454 kasus.
4 ,8 1 9
4 5 4 1 ,7 9 0
- 1,000
2,000 3,000
4,000 5,000
6,000
2006 2007
Januari-Juli 2008
Tahun Jumlah Kasus
Gambar 7. Jumlah kasus IL di Indonesia 2006-Juli 2008 Diolah dari data Bareskrim Polri
Praktek IL di Indonesia melibatkan cukup banyak orang. Pada tahun 2006 jumlah tersangka yang langsung terlibat praktek IL mencapai 5.217
orang, tahun 2007 jumlah tersangka 2.096 orang, dan tahun 2008 sampai bulan Juli sebanyak 579 tersangka Gambar 8. Jumlah tersangka
umumnya adalah pelaku yang langsung di lapangan.
2 ,0 9 6
5 7 9 5 ,2 1 7
- 1,000
2,000 3,000
4,000 5,000
6,000
2006 2007
Januari-Juli 2008
Tahun Jumlah
Tersangka orang
Gambar 8. Jumlah Tersangka kasus IL di Indonesia 2006-Juli 2008 Diolah dari data Bareskrim Polri
78
Masduki 2009 mengemukakan bahwa di tingkat Mahkamah Agung, putusan kasus IL antara tahun 2005-2008 adalah sebanyak 80,77 aktor
yang diproses di tingkat lapangan operator, supir, petani perambah, sedangkan aktor utamanya master minds yang diproses hanya 19,23
Tabel 11. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga yudikatif memiliki political will yang masih rendah dalam pemberantan IL.
Tabel 11. Klasifikasi Aktor Putusan IL di Mahkamah Agung
Aktor Jumlah
Persentase
MastermindPelaku Utama Perwira Polisi, Jaksa,
Pejabat Dishut, Kontraktor, Direktur, Cukong
5 19,23
Pelaksana Lapangan Operator, Supir, Petani
21 80,77
Total 26
100 Sumber : Masduki 2009
Jumlah kayu olahan dan kayu bulat log yang berhasil disita dalam tiga tahun 2006-2008 mengalami penurunan sebagai akibat langsung
dari menurunnya kasus IL di Indonesia Gambar 9 dan Gambar 10. Jumlah kayu olahan sitaan pada tahun 2006, 2007, dan 2008 berturut-
turut adalah 494.810,53 m
3,
311.187,88 m
3
, dan 7.892,22 m
3
. Adapun jumlah kayu bulat yang berhasil diamankan pada tahun 2006, 2007, dan
2008 berturut-turut adalah 690.637 batang, 354.952 batang, dan 13.544 batang.
3 1 1 , 1 8 7 .
7 , 8 9 2 . 2 4 9 4 , 8 1 0 . 5
100,000 200,000
300,000 400,000
500,000 600,000
2 0 0 6 2 0 0 7
J a n u a r i - J u l i 2 0 0 8
Tahun Ju
m la
h K
ay u
O la
ha n
S ita
an m
3
Gambar 9. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Indonesia 2006-Juli 2008 Diolah dari data Bareskrim Polri
79
3 5 4 , 9 5
1 3 , 5 4 6 9 0 , 6 3
- 100,000
200,000 300,000
400,000 500,000
600,000 700,000
800,000
2 0 0 6 2 0 0 7
J a n u a r i - J u l i 2 0 0 8
Tahun Jumlah
Kayu Bulat
Sitaan Batang
Gambar 10. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Indonesia 2006-Juli 2008 Diolah dari data Bareskrim Polri
Walaupun pihak Polri telah banyak melakukan tindakan hukum terhadap pelaku IL di Indonesia, tetapi masih banyak praktek IL dilakukan
di Indonesia. Pemberantasan IL yang dilakukan belum memberikan efek jera deterrent effect terhadap pelaku IL dan jaringannya walaupun
dampak kerugian akibat IL terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup tampak secara signifikan. Sebagai contoh lima belas kasus IL di
Papua dan Papua Barat pada tahun 2005 yang dituntut jaksa dengan tuntutan antara dua tahun sampai dengan tujuh tahun dengan tuntutan
denda antara Rp 100 juta sampai dengan Rp.1 milyar divonis bebas murni oleh pengadilan. Banyak kasus IL di Indonesia yang dituntut pada
akhirnya divonis bebas murni di pengadilan. Tabel 12 menunjukkan kasus IL di Papua pada tahun 2005 semua putusan hakim membebaskan
terdakwa.Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9 tahun dengan
kisaran denda antara satu juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah. Rentang variasi vonis terhadap pelaku IL yang lebar menunjukkan
bahwa masih adanya perbedaan persepsi hukum diantara aparat hukum dalam menegakkan aturan hukum pemberantasan IL di Indonesia Tabel
13.
80
Tabel 12. Perkara Tindak Pidana IL yang Dibebaskan Pengadilan
No Nama
Tersangka Tempat
Sidang Tuntutan
Jaksa Vonis
Denda Keterangan
1 2
3 4
5 6
7 1
Asong Kapuas
Hulu kalbar Bebas
Murni
POLDA PAPUA OHL 11-2005
1 Mr Tang Tung
Kwong Als Freely Tang
WN Malaysia PN Biak
6 Th, denda 500 juta
Bebas Murni
- Kasasi
Lp1011112005IReskdm tgl 8 Maret 2006 tp,
kehutanan di wil Papua
Sureng Anak Gain WN Malaysia
PN Jayapura
3 Th, denda 100 juta.
Bebas Murni
- Kasasi
LP011112D05tDit Polair tgI 26 Feb 2005
2 Jansen Maresit
PN Jayapura
3 Th, denda 100 Juta
Bebas Murni
- H. Simon Suleiman
PN Jayapura
7 Th, denda 1 Milyard
Bebas Mumi
- Kasasi
3 Danang Suhargo,
PN Jayapura
6 Th, denda 1 Milyard
Bebas Murni
- Kasasi
Andi Sele PN
Jayapura 4 Th, 400 juta.
Bebas Murni
- Kasasi
H Romzan PN
Jayapura 3 Th 6 bulan, 50
juta Bebas
Murni -
Kasasi 4
Kasiran PN
Jayapura 3 Th, 50 juta
Bebas Murni
- Kasasi
5 Achmad Trisna
Marseda PN
Jayapura 6 Th, 250 juta
Bebas Murni
- Kasasi
6 Suwanta Als Ook
PN Nabire 2 Th, 250 juta
Bebas Murni
- Kasasi
7 Yanto, Wibowo
PN Nabire Bebas
Murni -
Kasasi 8
Hendro Pitoyo PN Nabire
Bebas Murni
- Kasasi
9 Ir. Rente Lino
PN Nabire Bebas
Murni -
Kasasi 10 Mangga Marwan
PN Nabire 3 Th, Denda 100
Juta Bebas
Murni -
Kasasi 11
Ir. Marthen Kayoi,MM
PN Jayapura
6 th. Bebas
Murni -
Banding Tang Eng Kwee
WN Malaysia Manager PT
Wapoga Mutiara Timber 11 Jayapura
PN Jayapura
7 th. Bebas
Murni -
Kasasi Lp1011112005Reskrim
tgl 8 Maret 2006 tp k ehutanan di wil Papua
12 Ir. Agusthinus
Joumilena SDA
SDA SDA
- 13 Ekan Alhamid
PN Marauke
3 th, 350 juta Bebas
Murni -
Kasasi 14 H. Bachtiar Efendi
PN Marauke
3 th, denda 250 Juta
Bebas Murni
- Kasasi
15 Memberg Beslar PN Sorong
- Bebas
Murni -
Kasasi
Sumber : Bareskrim 2008
81
Tabel 13. Perkara Tindak Pidana IL yang Divonis Penjara dan Denda
Vonis No
Nama Tersangka
Wil Tuntutan
Jaksa Penjara
Denda Keterangan
1 2
3 4
5 6
7 1
- M. Tadeus - Ronny R
6 Th penjara 1 Th
10 Jt 2
Jhonson CV Makmur Bach
PN Manokwari
6 th penjara, denda 500 jt.
2 Th 100 Jt
3 Rahmad Dwi Nur
sda 7 bln
4 Tie Sing Yew Als Mr.
Tie sda
6 tahun penjara, denda 250 jt
7 bln 15 Jt
5 Suyono
sda 3 th, denda 2560 Jt
7 bin 4 hr 10 jt
6 Demanius Jopari
sda 3 th, 250 jt
1 th 100 juta
7 Sulaiman Enuwab
sda 5 th, 100 jt
1 th 10 jt
8 John Larawo
PN Sorong 1 th
1th, 6 bin 9
Andi Sumarta 1 th
50 jt 10
Boy F Kamarea PN Nabire
1 th, 2 bln 100 jt
11 Franky Lauw
sda 10 bin
100 jt 12
Welly VViliyanto Sda
10 bin 100 jt
13 Ismail
Tanah laut kabar
1 Bulan Rp. 1
Juta 14
Amran Sda
6,5 Bulan Rp. 1.5
Juta 15
Eko Wijianto Sda
1 Tahun Rp. 1.,5
Juta 16
Chien Lok Ung Kapuas
Hulu Kalbar
9 th 500 it
LP78VIIDR- III tanggal 11
Juli 2005
17 Ngu Sie Kiong
Sda 9
th
500 it SDA
18 Ling Lik Ung
ada 9
th
500 jt SDA
19 H. Darto S.
Banjarmasin 2,5 Bulan
20 H. S Sihombing
Sda Sda
21 H. Fachrudin
Sda Sda
22 Ardiansyah
Sda Sda
23 H. Fariansyah
Sda Sda
24 Budi Sujarwo Als.
Budi Londo Sda
3 Bulan 25
Nahkoda MV. Qing An Jakarta
5 Bulan 26
Nahkoda MV. Bravery Falcon
Jakarta 2 Tahun
27 Nahkoda KM.
Bahtera Jaya Dumai Riau
4 Juta 28
Nahkoda KM Guna Karya Sda
20 Juta 29
Nahkoda KM Nusa Batam Sda
8 Juta 30
Nahkoda KM Adi Putera Sda
8 Bulan 2 juta
31 Makmur Purwanto
Sda 8 Bulan
5 Juta 32
Dedi Berman sda
5 Juta 33
MV. Niaga 56 Sulsel
6 Bulan, Percobaan
1 th 34
Fernadus Asman NTT
10 Bulan 35
M. Arsyad Saleh Sda
3 Bulan 36
Sunadin Gani Sda
5 Bulan
82
186
88 54
8 20
40 60
80 100
120 140
160 180
200
Penyidikan Kepolisian
Penuntutan Kejaksaan
Persidangan Inkracht
J u
m la
h K
a s
u s
Vonis No
Nama Tersangka
Wil Tuntutan
Jaksa Penjara
Denda Keterangan
1 2
3 4
5 6
7 37
Abdul Hamid Sda
5 Bulan 38
Anton Yusuf Sda
5 Bulan 39
Abdul gani Ali Sda
15 Hari 40
Usman Husen Sda
3 Bulan 41
Samsudin Seni Sda
2 Bulan 15 Hari
Sumber : Bareskrim 2008
Masduki 2009 menilai bahwa efektifitas pemberantasan IL di Indonesia sangat rendah. Gambar 11 menunjukkan bahwa dari 186 kasus
IL pada Operasi Hutan Lindung OHL-2 tahun 2005 hanya 8 kasus atau 4,3 yang inkracht atau divonis oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan
bahwa penegakan hukum IL belum didukung sepenuhnya oleh semua elemen criminal justice systems, sehingga dampak jera detterent effect
terhadap pelaku IL dan jaringannya tidak terjadi. Lebih lanjut Masduki 2009
menyebutkan bahwa
pengadilan kurang
mendukung pemberantasan IL, walaupun Alkostar 2009 menyebutkan bahwa 666
orang hakim pengadilan negeri dan 161 hakim tinggi telah mendapatkan pelatihan lingkungan hidup yang di dalamnya mencakup masalah IL.
Gambar 11. Efektifitas Pemberantaan IL di Operasi Hutan Lestari-2 OHL-2 Masduki,2009
83
Di tingkat Mahkamah Agung, vonis terhadap aktor pelaku IL yang terkategori aktor utama master mind dari 49 pelaku, 35 72 orang
dibebaskan, divonis penjara di atas 1 tahun sebanyak 7 orang 14, divonis penjara antara 1-2 tahun sebanyak 2 orang 4, dan di atas 2
tahun sebanyak 5 orang 10Masduki, 2009. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan
perhatian serius terhadap upaya pemberantasan IL, sehingga dampak jera terhadap pelaku dan jaringannya sangat rendah. Walaupun kinerja
aparat penyidik Polri dan PPNS Kehutanan telah cukup menunjukkan peningkatan kinerja yang cukup baik dalam pemberantasan IL, tetapi
seringkali di tingkat pengadilan majelis hakim membebaskan terdakwa atau memvonisnya dengan hukuman yang sangat ringan.
Gambar 12. Putusan Kasus IL di Mahkamah Agung
6.3.2. Penanganan Kasus Illegal logging di Provinsi Jambi
Untuk mengetahui kondisi penanganan IL di lapangan, maka dilakukan kajian penanganan kasus IL di Provinsi Jambi. Kawasan hutan
di Provinsi Jambi menjadi sasaran target pelaku IL pasca dilakukannya operasi pemberantasan IL secara besar-besaran di Provinsi Riau yang
berbatasan langsung dengannya. Kawasan hutan Provinsi Jambi mencapai 2,2 juta ha Tabel 14 dan Gambar 13. Luas kawasan hutan
menurut wilayah administrasi kabupaten disajikan pada Gambar 14. Persentase luas kawasan hutan produksi di Jambi mencapai 59 dari
luas kawasan hutan yang ditetapkan. Kawasan hutan produksi tetap HP
7; 14 2; 4
5; 10
35; 72
Bebas 1 tahun
1-2 tahun 2 tahun
84
dan hutan produksi terbatas masing-masing mencapai 46 dan 13 dari luas kawasan hutan, selanjutnya diikuti oleh taman nasional TN sebesar
31, hutan lindung HL sebesar 8, dan kawasan hutan lainnya di bawah 1. Adapun sebaran kawasan hutan di Provinsi Jambi disajikan
pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Tabel 14. Luas Kawasan Hutan Di Provinsi Jambi menurut Fungsinya Ha
Kabupaten HP
HPT HPK
HL TN
CA TWA
TAHURA Jumlah
Batang Hari 115044
55820 41186
713 14404
227167 Muaro Jambi
44211 58954
26088 58779
3 188035
Tanjung Jabung Barat
212364 43596
780 16095
13333 2964
289132 Merangin
128287 32085
17906 154410 332688
Sarolangun 135035 103647
63733 7659
371 310445
Kerinci 31893
228479 260372
Bungo 101768
13115 38048
152931 Tanjung Jabung
Timur 49191
31028 123893 7167
211279 Tebo
218638 9476
41668 6482
160 276424
1036431 294102
780 177441
707455 16987
873 14404
2248473
46 13
8 31
1 1
10 20
30 40
50
HP HPT
HPK HL
TN CA
TWA TAHURA
Gambar 13. Persentase Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya
85
Gambar 14. Sebaran Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya
227167 152931
260372 332688
188035 310445
289132
211279 276424
50000 100000
150000 200000
250000 300000
350000
BATANG HARI BUNGO
KERINCI MERANGIN
MUARO JAMBI SAROLANGUN
TANJUNG JABUNG BARAT
TANJUNG JABUNG TIMUR
TEBO
Gambar 15. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Kabupaten Jumlah kasus Praktek IL di Provinsi Jambi dalam kurun waktu tahun
2004 sampai dengan tahun 2008 disajikan pada Gambar 16. Kasus IL di
APL TN
HP
HPT HL
AIR
TAHURA CA
TWA HPK
HPT HPT
HL HL
HP HP
HP TN
HP HP
HP HL
HL
HL HL
HPT HP
HP HP
HP HP
TN
TEBO
MERANGIN BUNGO
SAROLANGUN KERINCI
BATANG HARI MUARO
JAMBI TANJUNG JABUNG
BARAT TANJUNG JABUNG
TIMUR
KOTA JAMBI
86
Jambi yang ditangani polisi pada tahun 2004 relatif sedikit 33 kasus, namun pada tahun 2005 dan 2006 meningkat tajam menjadi 74 dan 93
kasus. Pada tahun 2007 menurun kembali menjadi 71 kasus, tetapi tahun 2008 meningkat menjadi 112 kasus. Peningkatan jumlah kasus sejak
2005 diduga
merupakan imbas
dari dilaksanakannya
operasi pemberantasan IL di Provinsi Riau yang langsung berbatasan dengan
Provinsi Jambi. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan kayu di dalam Provinsi Jambi, sebagian besar kayu ilegal dibawa keluar Provinsi
Jambi. Adapun jumlah tersangka kasus IL cenderung berbanding lurus dengan banyaknya kasus IL di Jambi Gambar 17.
33 74
93 71
112
20 40
60 80
100 120
2004 2005
2006 2007
2008
Tahun
J um
la h
K a
s us
Ilegal Logging
di Provinsi
Jambi
Gambar 16. Perkembangan Kasus IL di Provinsi Jambi
1 2 1 1 7 6
1 6 6
- 20
40 60
80 100
120 140
160 180
200
2006 2007
Januari-Juli 2008
Tahun
Jumlah Tersangka
orang
Gambar 17. Jumlah Tersangka Kasus IL di Provinsi Jambi
87
Jumlah kayu olahan dan kayu bulat yang berhasil disita dalam penegakan hukum pemberantasan IL di Jambi antara tahun 2006 sampai
dengan 2008 disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Jumlah kayu olahan dan kayu bulat yang disita tampaknya tidak mengikuti jumlah
kasus dan tersangka yang berhasil ditangkap, karena setiap kasus memiliki variasi jumlah kayu olahan dan bulat yang berbeda-beda. Selain
itu kondisi ini menunjukkan bahwa sumber kayu ilegal di Provinsi Jambi semakin sulit didapatkan ketika perhatian publik dan tindakan penegakan
hukum terhadap pemberantasan IL di Jambi intensif dilakukan.
8,538.50
638.03 11,334.18
- 2,000.00
4,000.00 6,000.00
8,000.00 10,000.00
12,000.00
2006 2007
Januari-Juli 2008
Tahun
J u
m la
h K
a y
u O
la h
a n
S it
a a
n m
3
Gambar 18. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Provinsi Jambi
88
4,906 3,766
2,278.73
- 1,000
2,000 3,000
4,000 5,000
6,000
2006 2007
Januari-Juli 2008
Tahun
Jumlah Kayu
Bulat Sitaan
Batang
Gambar 19. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Provinsi Jambi Jumlah kasus IL di setiap kabupaten di Provinsi Jambi bervariasi
Tabel 15. Selain kasus IL yang langsung ditangani oleh Polda Jambi, jumlah kasus di atas 25 kasus selama lima tahun terakhir terjadi di
Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Merangin, Sarolangun, Kerinci, dan Bungo Gambar 20. Data Dishut Jambi 2008
menyebutkan bahwa praktek IL di kawasan hutan lindung di daerah hulu berpotensi menimbulkan banjir. Kawasan hutan lindung yang terancam IL
berada di Bukit Panjang-Rantau Bayur seluas 13.075 ha yang berada di Kabupaten Bungo, Bukit Limau seluas 6.657 ha di Kabupaten Tebo,
Gunung Tungkat seluas 2.743 ha di Kabupaten Merangin, Bukit Tinjau Limau seluas 41.449 ha di Kabupaten Soralangun, Bukit Hulu Landai-
Bukit Pale seluas 32.967 di Kabupaten Merangin, Bukit Muncung_Gamut seluas 8.609 ha di Kabupaten Merangin. Adapun hutan lindung gambut
yang terancam penebangan liar adalah di Air Hitam Dalam-Air Hitam Laut seluas 35.375 ha di Kabupaten Muaro Jambi, Bram Hitam seluas 21.474
ha di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Sungai Baluh seluas 17.721 ha di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, serta Sungai Londerang seluas 11.080
ha di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Dishut Jambi, 2008.
Tabel 15. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi 2004-2008
89
PoldaPolres 2004
2005 2006
2007 2008
Jumlah
Polda Jambi 5
18 22
19 29
93 Polres Batang Hari
5 6
15 9
12 47
Polres Bungo 6
4 8
1 6
25 Polres Merangin
2 3
10 8
9 32
Polres Tanjab Barat 8
7 13
1 4
33 Polres Tanjab Timur
2 9
4 3
4 22
Polres Kerinci 5
7 4
7 6
29 Polres Muaro Jambi
14 4
12 15
45 Polres Tebo
6 4
7 3
20 Polres Sarolangun
9 3
19 31
Poltabes Jambi 1
5 6
33 74
93 71
112 383
Sumber: Polda Jambi 2009
47 45
33 32
31 29
25 22
20
6
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Polres Batang Hari
Polres Muaro Jambi
Polres Tanjab Barat
Polres Merangin
Polres Sarolangun
Polres Kerinci
Polres Bungo
Polres Tanjab
Timur Polres Tebo
Poltabes Jambi
Gambar 20. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi menurut Wilayah Polres dalam LimaTahun Terakhir
Kasus IL umumnya terjadi di kabupaten yang masih memiliki potensi kayu yang berasal dari hutan alam yang didukung oleh ketersediaan
jaringan jalan darat dan sungai. Potensi kayu dan ketersediaan akses jalan keluar masuk kawasan adalah dua faktor penting dalam menentukan
target sumber kayu yang akan ditebang secara ilegal. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22 yang menunjukkan bahwa jumlah kasus
IL tidak cenderung mengikuti luasan hutan, tetapi terkait dengan faktor lain
90
seperti aksesibilitas jalan keluar masuk lokasi IL. Adanya akses jalan ini menjadi pertimbangan penting karena pelaku IL sangat jarang
membangun jalan angkutan, tetapi banyak memanfaatkan jalur angkutan yang telah ada, baik jalan darat maupun sungai. Daerah yang rawan IL di
Jambi umumnya memiliki akses terhadap kawasan hutan, terutama kawasan
hutan konservasi,
lindung, dan
produksi terbatas.
Kecenderungan ini disebabkan oleh masih tersedianya standing stocks kayu yang belum dieksploitasi sebagaimana telah dipanen di hutan
produksi. Sungai Batang Hari, Sungai Batang Merangin, Sungai Batang Tembesi merupakan jalur sungai agkutan kayu ilegal di Jambi yang
kesemuanya bermuara di Sungai Batanghari karena bermuara di laut. Wilayah yang rawan terjadinya IL di Jambi adalah : a Petaling yang
berbatasan dengan Sungai Musin, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan; b Taman Hutan Raya Senami Kabupaten
Batanghari, c Taman Nasional Bukit Dua Belas Kabupaten Batanghari dan Tebo, d Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Taman Nasional
Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, e Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Kerinci dan
Kabupaten Merangin, serta f Kawasan Lindung Gambut Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kecenderungan daerah rawan IL berupa
kawasan hutan yang masih memiliki potensi tegakan standing stocks yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kegiatan IL dipengaruhi oleh
adanya mekanisme pasar kayu ilegal. Hal ini didukung oleh fakta bahwa ketika operasi pemberantasan IL besar-besaran terjadi di Provinsi Riau,
maka kasus IL di Provinsi Jambi meningkat akibat terjadinya ketimpangan kebutuhan kayu dengan pasokan kayu yang makin terbatas. Oleh karena
itu, upaya mencari sumber kayu ilegal berimbas ke wilayah Jambi yang berbatasan langsung dengan Riau.
91
Gambar 21. Peta Kecenderungan Kegiatan IL di Provinsi Jambi
15 14
13 12
12 10
9 8
7
32 31
33 20
29 47
22 45
25
2 4
6 8
10 12
14 16
M E
R A
N G
IN S
A R
O L
A N
G U
N TANJUNG
J A
B U
N G
BARAT T
E B
O KERINCI
B A
T A
N G
H A
R I
TANJUNG J
A B
U N
G TIMUR
MUARO JAMBI BUNGO
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Hutan Kasus IL
Gambar 22. Persentase Hutan Per Kabupaten dan Kasus IL di Jambi
Efektifitas pemberantasan IL di Provinsi Jambi relatif sama dengan yang terjadi di Indonesia. Gambar 23 menunjukkan bahwa kasus IL yang
ditangani oleh pihak penyidik kepolisian pada akhirnya banyak yang divonis bebas atau divonis dengan hukum yang rendah. Pada tahun 2004
walaupun persentase vonis pengadilan mencapai 58,82 dari kasus IL
92
yang ditangani kepolisian di wilayah Provinsi Jambi, tetapi vonis yang dijatuhkan tergolong ringan, yaitu antara 3 bulan 10 hari sampai dengan 1
satu tahun penjara. Untuk tahun-tahun berikutnya persentase vonis sangat rendah.
34 74
89 70
110
8
0.00 0.00
58.82
0.00 2.86
1.12
20 40
60 80
100 120
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Tahun J
u m
la h
K a
s u
s
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
P e
rs e
n ta
s e
V o
n is
t e
rh a
d a
p
J u
m la
h K
a s
u s
]
Gambar 23. Jumlah Kasus dan Persentase Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi
Gambar 24 menunjukkan bahwa kasus IL yang telah P.21 surat pemberitahuan dari penuntut umum kepada penyidik yang menyatakan
bahwa berkas dan barang bukti serta tersangka segera dikirimkan ke penuntut umum untuk dilakukan penuntutan jauh lebih banyak daripada
jumlah vonis yang dijatuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja aparat dalam penyidikan perkara IL di Jambi cukup baik dibandingkan dengan
kinerja pengadilan. Hal ini menjadi salahsatu kendala efektifitas pemberantasan IL di Jambi, bahkan di wilayah hukum Indonesia
sekalipun. Belum kuatnya dukungan pengadilan terhadap pemberantasan IL yang dibuktikan dengan banyaknya pelaku IL yang tertangkap dan
divonis bebas atau dihukum dengan hukuman yang sangat ringan menjadi salahsatu indikator belum tegaknya penegakan hukum pemberantasan IL
di Indonesia, khususnya di Provinsi Jambi.
93
61.76 51.35
59.55 61.43
73.64
37.50
0.00 0.00
0.00 58.82
2.86 1.12
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Tahun P
e r
s e
nt a
s e
P .2
1
P e
r s
e n
ta s
e Vonis
Gambar 24.Persentase Kasus yang Sudah P.21 dan Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi
Berdasarkan kajian yang diuraikan sebelumnya, di dalam upaya pemberantasan IL di Indonesia sejauh ini masih dianggap belum efektif.
Beberapa hambatan dalam proses penegakan hukum IL di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Luasnya kawasan hutan di Indonesia yang mencapai lebih dari 100 juta ha menyulitkan pengawasan dilakukan secara intensif. Sementara
itu kegiatan penyidikan IL membutuhkan dukungan dana yang relatif besar untuk mendukung operasional di lapangan;
b. Masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan banyak mengandalkan mata pencahariannya pada kegiatan penebangan kayu
baik secara legal dan ilegal, sehingga dalam beberapa kasus penanganan IL berjalan tidak efektif karena tidak didukung oleh
masyarakat setempat yang terlibat; c. Adanya perbedaan diantara komponen criminal justice system polisi,
jaksa, dan hakim dalam menginterpretasikan pasal-pasal di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan IL. Akibat dari adanya perbedaan persepsi dan
interpretasi tersebut menyebabkan banyak kasus IL yang divonis bebas serta memerlukan waktu yang lama untuk menuntaskannya.
Selain itu di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
94
tersebut sanksi pidana tidak dapat menjerat pelaku intelektual karena ketentuan turut serta dalam tindakan pidana kehutanan belum diatur,
sehingga menyulitkan penuntasan kasus IL sampai ke otak pelakunya. Pengungkapan secara tuntas juga terkendala dengan rapihnya
jaringan pelaku IL dalam sistem organisasi sel, dimana diantara pelaku IL secara hirarki terputus;
d. Dukungan pengadilan terhadap pemberantasan tindak pidana kehutanan, khususnya IL masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya pelaku IL yang tertangkap di tingkat pengadilan divonis bebas atau divonis dengan hukuman yang sangat ringan. Oleh karena
itu komitmen pengadilan sebagai lembaga yudikatif yang memutus perkara tindak pidana di tingkat akhir harus ditingkatkan;
e. Apabila sistem penegakan hukum saat ini dianggap tidak mampu berjalan secara efektif dalam memberantas praktek IL yang dilakukan
secara sistematis dengan melibatkan oknum aparat pemerintah dan penegak hukum, maka usulan untuk membentuk undang-undang
khusus pemberantasan
IL harus
dipertimbangkan termasuk
kemungkinan pembentukan majelis hakim ad hoc yang secara khusus menangani kejahatan dan pelanggaran tindak pidana kehutanan.
f. Koordinasi diantara instansi sesuai dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 belum berjalan dengan baik. Idealnya setiap instansi mampu
menjabarkan instruksi presiden tersebut di dalam lingkup kerja masing- masing instansi, misalnya dengan membuat petunjuk teknis tentang
pemberantasan IL sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
6.4. Kesimpulan