56
Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan yang bersifat lex generalis dan memiliki keterkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesi
yaitu : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-
undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001,
Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang- undang No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Sumber data diperoleh dari beberapa instansilembaga yang
berkaitan langsung dengan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan,
Kepolisian Negara Republik Indonesia POLRI, Departemen Kehutanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi,
Pusat Informasi Kehutanan Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jambi, dan EC-FLEGT EC-Indonesia Forest Law Enforcement,
Governance and Trade. Penelusuran peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia dilakukan pula dengan
menggunakan fasilitas penelusuran browsing melalui internet.
b. Analisis Data
Muhadjir 2000 mengemukakan bahwa analisis kualitatif yang relevan untuk penelitian bidang hukum adalah berdasarkan pendekatan
teori kritis di bidang hukum. Pendekatan kritis di bidang hukum tidak hanya menelaah isi content analysis tetapi juga melakukan kritik
57
terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada secara
deskriptif, sehingga
mampu menggambarkan fenomena
implementasi kebijakan dan peraturan perundangan tersebut. Muhadjir 2000 mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis kajian hukum
dan perundang-undangan, yaitu : a mengadakan kritik terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada, b membangun
konstruksi teoritik yang baru, c dari kontruksi teori baru dituangkan dalam program institusional sebagai pijakan pengembangan kelembagaan, dan
d menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik berupa konsekuensi logis internal maupun eksternalnya. Hasil analisis kritis
tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundang- undangan yang selama ini digunakan dalam pengaturan pengelolaan
hutan dan pemberantasan IL sudah efektif dalam mengendalikan permasalahan IL di Indonesia.
5.3. Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia
Praktek IL di Indonesia merupakan tindak pidana kehutanan. Pandor 2008 mendefinisikan tindak pidana kehutanan sebagai segala bentuk
tindakanperbuatan yang dapat dipidana dikenakan hukuman yang berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Lebih lanjut Pandor 2008 menjelaskan bahwa kaitan yang dimaksud adalah dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem pengurusan
hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem penyanggga kehidupan. Tindak pidana kehutanan termasuk
dalam tindak pidana khusus. Nurdjana et.al. 2005 menyebutkan bahwa kriteria yang dapat menunjukkan pidana khusus, yaitu : a orang-
orangnya atau subyeknya yang khusus; dan b perbuatannya yang khusus bijzonder lijk feiten. Berdasarkan dua kriteria tersebut, maka
perbuatan IL dikategorikan sebagai tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana perbuatannya khusus, yaitu menyangkut delik-
delik kehutanan terutama masalah pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan.
58
Perbuatan IL dalam kenyataannya terkait dengan kegiatan-kegiatan lainnya di luar pengelolaan hutan. Dalam hal ini, perbuatan IL secara
instrinsik tidak bisa dipisahkan dari kegiatan perdagangan kayu ilegal, sehingga permasalahan IL secara menyeluruh akan menyangkut tindak
pidana ekonomi termasuk di dalamnya tindak pidana ekonomi pencucian uang.Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan
IL di Indonesia disajikan pada Gambar 5.
Peraturan Perundang-Undangan Bersifat Lex Specialis
Peraturan Perundang-Undangan terkait Pemberantasan Illegal Logging di Indonesia
Peraturan Perundang-Undangan Bersifat Lex Generalis
• Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan •
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya •
Peraturan Pemerntah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
• Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di KawasanHutan dan Peredarannya di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia
•
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
• Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-
Undang No. 20 tahun 2001. •
Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
•
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Dasar Hukum Penindakan Kegiatan Illegal Logging
Gambar 5 . Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Illegal logging di Indonesia
Gambar 5 menunjukkan bahwa peraturan hukum yang ada sebenarnya dapat digunakan untuk menjerat pelaku IL dan jaringannya.
Istilah tindak pidana yang diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van
Strafrecht, yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia KUHP dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1981. Pandor 2008 menyebutkan bahwa
59
pengertian straftbaafeit diartikan dapat diartikan ke dalam beberapa istilah, yaitu tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat
dihukum, delik dan sebagainya. Namun dalam peraturan perundang- undangan istilah yang lebih sering digunakan adalah tindak pidana. Pasal
1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Tindak pidana digolongkan dalam dua kelompok yaitu kejahatan dan
pelanggaran. Di dalam KUHP tidak ditemukan secara khusus tentang tindak
pidana kehutanan, sehingga tindak pidana kehutanan dapat dianggap sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia yang
kemudian diatur dalam beberapa undang-undang yang dibuat kemudian, seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan-ketentuan pidana yang ada di dalam undang-undang tersebut adalah peraturan-
peraturan khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana Umum KUHP.
Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 ayat 1 sampai dengan ayat 15 dan pasal 79 ayat 1 sampai dengan 3, serta ganti tugi
dan sanksi administratif yang diatur dalam pasal 80 ayat 1 sampai dengan 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
biasa dipergunakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum JPU berkenaan dengan IL di Indonesia. Proses penyidikan dan penyusunan
dakwaan yang cenderung hanya menggunakan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang kehutanan tersebut menyebabkan banyaknya
terdakwa yang dibebaskan, padahal tindak pidana kehutanan ada kalanya berkorelasi dengan tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Dalam
hal ini Alkostar 2009 menyarankan digunakannya pasal 2 dan atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
60
Pidana Korupsi yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana telah diterapkan dalam perkara IL yang
melibatkan terdakwa Adelin Lis di Sumatera Utara. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memiliki
kelemahan dalam menjerat pelaku tindak pidana IL. Masduki 2009 menyebutkan bahwa pendekatan hukum dalam undang-undang
kehutanan tersebut bersifat locus delicti , yaitu a menangkap pelaku di lapangan, padahal kejahatan Illegal logging dilakukan secara sistematis
dan berlapis sehingga sulit menjerat pelaku utama Pasal 50 ayat 3 UU 411999 menduduki kawasan hutan, menebang, membawa, menguasai,
memiliki, mengangkut hasil hutan tanpa izin yang sah; serta b tidak mendefinisikan Illegal logging, sehingga dalam praktek penebangan liar
hanya diartikan secara sempit yaitu penebangan pohon yang tidak ada izin, padahal dalam praktik IL dilakukan pula oleh mereka yang punya ijin.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menjerat pelaku IL tidak hanya dengan undang-undang kehutanan saja, tetapi dengan ketentuan
pidana sebagaimana dideskripsikan dalam Lampiran 1, termasuk menerapkan undang-undang pemberantasan korupsi dan undang-undang
pencucian uang dalam kasus IL. Undang-undang yang mengatur kehutanan sendiri perlu direvisi atau disusun undang-undang khusus
tentang pemberantasan IL yang bertujuan untuk : a memperkuat sanksi pidana terhadap praktek IL; b meminimalisir vonis bebas dengan alasan
pembalak liar hanya dapat dijerat sanksi administratif; serta c menjerat kejahatan Illegal logging yang sistematis dan berlapis, dan terkait dengan
kejahatan lain Masduki, 2009. Kelemahan dalam undang-undang kehutanan sebagaimana disebutkan Masduki 2009 kurang memberikan
efek jera terhadap pelaku IL walaupun dampak negatifnya sangat besar terhadap kehidupan manusia dan ekosistemnya. Mengingat dampaknya
yang mengancam kelangsungan kehidupan manusia, maka tindakan IL dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan yang luar biasa
extra ordinary crime yang pemberantasannya tidak hanya mengacu
61
kepada undang-undang kehutanan saja tetapi harus dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sejauh ini sebenarnya perangkat peraturan perundang-undangan yang ada apabila ditegakkan akan memberikan efek jera detterent effect
terhadap pelaku IL, termasuk pejabat pemerintah yang terlibat di dalamnya. Pengembangan upaya pemberantasan IL sampai diluar
peraturan teknis kehutanan disebabkan bahwa praktek IL terkait dengan kegiatan di sektor lainnya, seperti perdagangan, perindustrian, dan
lembaga keuangan. Oleh karena itu di dalam proses penegakan hukum pemberantasan IL, mulai tahapan proses penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutannya selain menggunakan undang-undang kehutanan juga undang-undang lainnya seperti undang-undang yang mengatur tentang
lingkungan hidup, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pemberantasan tindak pidana korupsi, dan tindak pidana pencucian uang.
Dengan adanya tuntutan hukum yang berlapis tersebut dapat menjerat pelaku IL mulai dari pelaku di lapangan sampai dengan pelaku intelektual
dan pemodalnya. Volume dan ukuran kayu ilegal yang besar dan kasat mata tidak
mungkin tidak bisa dilihat dengan kasat mata, sehingga kayu tidak mungkin lolos apabila tidak terjadi kolusi diantara pelaku dengan oknum
aparat teknis dan aparat penegak hukum. Kolusi di dalam praktek IL dilakukan dengan memberikan gratifikasi kepada oknum pejabat
pemerintah dengan dokumen legalitas kayu dan oknum aparat hukum. Kishor 2006 menggambarkan hubungan antara praktek IL dengan
korupsi sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 tersebut menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi IPK Indonesia pada tahun
2002 menduduki peringkat ketujuh negara terkorup dari 102 negara dengan skor IPK 1,9 dari nilai tertinggi 10 untuk negara yang bebas
korupsi. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan IL tidak akan efektif apabila tingkat korupsi dan kolusi masih tetap tinggi,
sehinggga upaya untuk menjerat jaringan pelaku IL tidak hanya berdasarkan atas peraturan perundang-undangan kehutanan saja tetapi
62
juga harus dapat dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti tentang lingkungan hidup, pemberantasan korupsi, bea
cukai, dan pencucian uang.
Gambar 6 . Hubungan antara IL dengan Korupsi Kishor,2006 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan
IL di Indonesia tampaknya cukup memadai untuk digunakan sebagai perangkat hukum untuk menjerat pelaku IL, mulai dari tindakan hukum
terhadap pelanggaran di dalam kawasan hutan sampai dengan tindakan hukum terhadap pelanggaran di luar wilayah kehutanan namun tetap
terkait sebagai kegiatan turunannya, misalnya pencucian uang hasil IL. Walaupun aturan hukumnya telah cukup tersedia, tetapi tidak akan efektif
dijalankan apabila sisi penegakan hukum law enforcement dan penaatan hukum law compliance tidak berjalan. Pada saat penegakan hukum
pemberantasan IL dilakukan, maka persepsi dan interpretasi diantara aparat hukum yang disebut criminal justice system belum sepenuhnya
sama terhadap pasal-pasal yang akan digunakan untuk memvonis pelaku IL, sehingga di tingkat pengadilan banyak pelaku IL divonis bebas atau
dihukum ringan yang tidak sebanding dengan nilai resiko lingkungan yang ditimbulkannya. Dengan demikian pengaturan tentang hukuman minimal
yang bisa memberikan efek jera harus ditetapkan secara tegas. Selain itu pemberian sanksi secara kumulatif berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang terkait IL merupakan pendekatan hukum yang segera bisa dilaksanakan sebelum aturan hukum yang mengatur sanksi minimal bagi
63
pelaku IL ditetapkan. Penetapan sanksi minimal bagi pelaku IL harus mempertimbangkan kondisi sosiologis masyarakat, sehingga efek jera
dapat tercapai yang diindikasikan dengan meningkatnya tingkat penaataan hukum law compliance pelaku usaha kehutanan, masyarakat,
birokrasi kehutanan, penegak hukum, dan pemangku kepentingan lainnya. Praktek kolusi dan korupsi berperan pula dalam mereduksi penaatan
hukum, dimana setiap pelanggaran hukum dapat dikompromikan dengan memberikan gratifikasi kepada oknum pejabat terkait. Tidak berjalannya
kebijakan dan peraturan hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia dapat disebabkan oleh salah satu atau beberapa faktor berikut ini
Rosander, 2008: a. Kerangka kebijakan dan hukum cacat. Kebijakan dan aturan yang
dibuat secara teknis tidak realistik, tidak diterima secara sosial, tidak konsisten, atau terjadi konflik kepentingan antar sektor pada saat
proses legislasinya; b. Keterbatasan
kapasitas untuk
mengimplementasikan atau
menegakkan kebijakan atau aturan yang telah ditetapkan. Keterbatasan sumberdaya manusia, keuangan, dan kapasitas
manajemen untuk menjamin penaatan hukum law compliance dapat dilaksanakan secara efektif;
c. Data dan informasi tentang sumberdaya hutan dan operasi IL tidak tersedia dengan baik, sehingga menyulitkan pengambilan keputusan
yang tepat dalam memonitor praktek IL; d. Korupsi dan kurangnya transparansi dalam tata kelola kehutanan,
termasuk kurangnya tekanan kelompok sipil dalam memonitor pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik;
e. Kebutuhan kayu murah yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri yang kapasitas terpasangnya lebih tinggi dari ketersediaan
pasokan bahan baku kayunya. Selain aturan hukum di tingkat pusat, pengembangan sistem hukum
kelembagaan di tingkat lokal perlu didorong. Hal ini penting dilakukan karena apabila masyarakat di tingkat lokal memiliki atau memahami
64
bagaimana sumberdaya hutannya dikelola, dijaga, dan dilindungi dengan baik, maka perusakan sumberdaya hutan dapat ditekan. Apresiasi
terhadap keberadaan sumberdaya hutan yang diwujudkan dengan penataan kelembagaan masyarakat di tingkat lokal perlu diefektifkan. Di
Provinsi Jambi khususnya di Kabupaten Soralangun, beberapa desa di Kecamatan Limun telah mengeluarkan peraturan desa Perdes tentang
Pengelolaan Hutan Adat. Empat desa yang memiliki Perdes tentang Pengelolaan Hutan Adat adalah : Desa Napal Melintang, Desa Lubuk
Bedorong, Desa Meribung, Desa Mersip. Keempat perdes tersebut memuat beberapa materi yang meliputi : a luas, batas, dan fungsi hutan
adat; b asas pengelolaan, pemanfaatan, dan perijinan; c pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat; d pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan
adat; e pemanfaatan hasl hutan bukan kayu di hutan adat; e tatacara perijinan; f kelompok pengelola, masa jabatan, dan tugas kelompok
pengelola; g bungo kayu dan peruntukannya; h peran serta masyarakat; serta i larangan, sanksi, dan penyelesaian pelanggaran.
Setiap desa memiliki aturan adat yang berbeda. Sebagai contoh beberapa hal penting yang diatur dalam Peraturan Desa Lubuk Bedorong Nomor 2
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Adat adalah sebagai berikut : a. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Adat
1 Untuk kebutuhan perorangan pemanfaatan kayu di hutan adat hanya diperbolehkan untuk bahan ramuan rumah dan bahan
ramuan membangun bilik padi yang lokasinya di Desa Lubuk Bedorong;
2 Untuk kebutuhan umum di desa pemanfaatan kayu di hutan adat hanya diperbolehkan untuk bahan bangunan mesjid, madrasah,
sekolah, kantor desa dan jembatan yang dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat.
3 Pengambilan untuk keperluan bahan ramuan rumah dan bahan ramuan membangun bilik padi maksimal berjumlah 8 meter kubik;
4 Maksimal pengambilan kayu di hutan adat di setiap lokasi dalam satu tahun adalah 80 meter kubik;
65
b. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Adat 1 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di hutan adat digunakan
untuk peningkatan kesejahteraan warga masyarakat Desa Lubuk Bedorong.
2 Jenis hasil hutan bukan kayu yang bisa dimanfaatkan dari hutan adat adalah rotan, damar, karas, jernang, dan tanaman obat-
obatan. c. Larangan dalam kawasan Hutan Adat setiap orang dilarang:
1. melakukan kegiatan penebangan, pembakaran dan kegiatan lainnya yang mengakibatkan rusaknya kelestarian hutan adat;
2. melakukan kegiatan pembukaan lahan baik untuk kepentingan perkebunan dan atau pertanian;
3. memperjualbelikan lahan; 4. melakukan kegiatan pengambilan kayu untuk kepentingan bisnis
atau diperjualbelikan; 5. melakukan kegiatan penebangan kayu baik untuk diambil kayunya
maupun hasil hutan bukan kayu lainnya tanpa izin dari Kelompok Pengelola;
6. melakukan pengambilan hasil hutan kayu ataupun hasil hutan bukan kayu tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh
kelompok pengelola; 7. melakukan kegiatan pengambilan kayu atau hasil hutan bukan kayu
yang tidak sesuai dengan tata cara pengambilan seperti dimaksudkan dalam pasal 7 dan pasal 11 Peraturan Desa Lubuk
Bedorong Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Adat;
d. Sanksi Pasal 20 Perdes Lubuk Bedorong Nomor 2 Tahun 2008
1 Setiap orang yang melanggar ketentuan pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan adat di
Desa Lubuk Bedorong seperti disebutkan pada pasal 9, 10, 11,
66
12 dan 19 akan dikenakan denda secara adat sejumlah satu ekor kambing, beras 20 gantang serta selemak semanis;
2 Peralatan yang digunakan dan barang bukti disita oleh kelompok pengelola hutan adat melalui seksi pengamanan dan
pengawasan untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah desa;
3 Apabila sanksi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi maka kelompok pengelola melalui pemerintah desa akan melaporkan
perbuatan pelaku kepada pihak yang berwajib;
Pasal 21 Perdes Lubuk Bedorong Nomor 2 Tahun 2008 1 Jika pelaku pelanggaran ketentuan pemanfaatan hasil hutan kayu
dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan adat sebagaimana disebutkan pada pasal 9, 10, 11, 12 dan 19 adalah
Kelompok Pengelola, maka dendanya menjadi 2 kali lipat serta yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya;
2 Jika pelaku pelanggaran ketentuan pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan adat
sebagaimana disebutkan pada pasal 9, 10, 11, 12 dan 19 adalah Pemerintah Desa atau Anggota BPD Desa Lubuk Bedorong atau
pengurus Lembaga Adat maka dendanya menjadi 2 kali lipat;
Dasar hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia secara umum sudah memadai, baik yang bersifat lex specialis maupun lex generalis.
Hukum yang tercantum dalam teks peraturan perundang-undangan tersebut tidak akan memiliki kekuatan apabila tidak ditegakkan. Namun
penegakan hukum dalam pengendalian dan pemberantasan IL di Indonesia sejauh ini berjalan tidak efektif dalam memberikan efek jera
terhadap pelaku IL dan jaringannya. Penegak hukum masih melihat penegakan hukum secara tekstual, sedangkan secara kontekstual dalam
kaitannya dengan dampak negatif kegiatan IL belum terintegrasi dalam proses penegakan hukumnya akibat masih kurangnya pemahaman
67
penegak hukum terhadap aspek kelestarian ekosistem hutan. Selain itu tingkat ketaatan hukum law compliance masyarakat, pelaku usaha, serta
oknum aparat pemerintah dan oknum penegak hukum turut memberikan kontribusi terhadap lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan IL
di Indonesia. Oleh karena itu hukum hanya akan memberikan manfaat positif apabila aparat penegak hukumnya mampu untuk menegakkannya
yang dimaksimalkan sinergis dengan law compliance masyarakat.
5.4. Kesimpulan