lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Hutan rakyat mempunyai manfaat positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Hutan rakyat secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan pemilik
hutan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan memacu pembangunan ekonomi daerah, sedangkan secara ekologi hutan rakyat mampu berperan positif dalam
mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air Mustari 2000.
2.1.3 Karakteristik
Hardjanto 2000 mengemukakan beberapa ciri atau karakteristik pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana
petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2.
Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4.
Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari
10 dari pendapatan total.
2.1.4 Bentuk atau Pola
Rahmawaty 2004 menjelaskan bahwa dalam rangka pengembangan hutan rakyat dikenal tiga pola hutan rakyat, sebagai berikut:
1. Pola Swadaya
Hutan rakyat dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri, melalui pola ini
masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.
2. Pola subsidi
Hutan rakyat dibangun melalui subsidi atau bantuan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah melalui Inpres Penghijauan,
Padat Karya dan dana bantuan lainnya atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
3. Pola kemitraan Kredit Usaha Hutan Rakyat
Hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga
ringan. Dasar pertimbangan kerjasama adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat membutuhkan bantuan modal kerja. Pola
kemitraan ini dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai
kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat. Menurut LP IPB 1983 dalam Hardjanto 2003, pola pengembangan hutan
rakyat terdiri dari dua, sebagai berikut: 1.
Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat dengan penanaman tanaman kehutanan di lahan kering pada status lahan milik yang diusahakan oleh
masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Pola tanamnya yaitu campuran antara buah-buahan, misalnya durian Durio zibethinus, melinjo Gnetum
gnemon dengan tanaman lainnya. Bentuk tersebut lebih dikenal dengan pola
usaha tani lahan kering. 2.
Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang penanamannya dilakukan di tanah terlantar yang diprakarsai oleh proyek bantuan penghijauan.
Michon 1983 dalam Hardjanto 2003 menjelaskan mengenai hutan rakyat yang dibedakan menjadi tiga tipe atau bentuk hutan rakyat yaitu pekarangan,
talun, dan kebun campuran. Perbedaan diantara ketiganya dijelaskan sebagai berikut:
1. Pekarangan mempunyai sistem pengaturan tanaman yang jelas dan baik serta
biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha dipagari mulai dari jenis sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dengan
tinggi mencapai 20 meter.
2. Talun mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat,
tinggi pohon-pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba dan liana.
3. Kebun campuran mempunyai jenis tumbuhan cenderung lebih homogen
dengan satu jenis tanaman pokok seperti cengkeh atau papaya dengan berbagai macam jenis tanaman herba.
2.2 Potensi Hutan Rakyat