Monitoring Luas Hutan Rakyat Berdasarkan Citra Landsat : Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan hutan rakyat di Pulau Jawa mulai dikenal setelah dilaksanakan proyek penghijauan yang bersumber dari dana APBN dan Inpres pada tahun 1975/1976. Dalam SK Dirjen Kehutanan No. 161/D1/1/1975 tanggal 25 Oktober 1975 ditetapkan sasaran reboisasi dan penghijauan yang arealnya meliputi hutan yang rusak, belukar, padang alang-alang, tanah kosong/gundul dan tanah-tanah terlantar serta tanah tegalan lainnya. Tujuan pembangunan hutan rakyat berawal dari upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan ternyata hasilnya (kayu) telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahan penghasilan.

Dinamika perkembangan hutan rakyat berkembang semakin cepat dengan semakin tingginya permintaan kayu dari pasar, sementara persediaan kayu yang disediakan oleh hutan alam dan hutan tanaman tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar. Luasan hutan rakyat yang terus meningkat menunjukkan dampak positif yang sangat besar yang diberikan hutan rakyat terutama bagi perekonomian masyarakat.

Data Ditjen RLPS, Kementrian Kehutanan (2009) dalam Persaki (2010) menyatakan bahwa luas total hutan rakyat di seluruh Indonesia mencapai 3.589.343 ha dengan potensi dalam bentuk standing stock sebanyak 125.627.018 m³ dan potensi siap panen dari standing stock tersebut mencapai 20.937.836 m³. Kecamatan Cikalong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat yang mempunyai potensi kayu rakyat yang cukup besar dengan berbagai jenis kayu diantaranya adalah Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dan Akasia (Acacia mangium). Menurut data Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010, produksi kayu rakyat Kecamatan Cikalong adalah sebesar 12.457 m³.

Seiring dengan semakin berkembangnya luas hutan rakyat yang ada, maka diperlukan monitoring secara spasial terhadap hutan rakyat tersebut agar dapat digunakan untuk menunjang usaha pengembangan pengelolaan kedepannya. Data


(2)

monitoring perkembangan luasan hutan rakyat diperlukan sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah untuk hutan rakyat dimasukkan dalam rencana dan skala proritas dalam tata ruang dan terciptanya pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Penggunaan teknologi penginderaan jauh merupakan alternatif yang sangat baik dalam membantu menyajikan informasi penutupan lahan secara cepat dibandingkan dengan cara teristis di lapangan. Keunggulan teknologi penginderaan jauh yang sudah semakin berkembang diantaranya adalah dalam hal: perangkat pengumpul data, perangkat penyaji data, memberikan gambaran unsur-unsur spasial yang komprehensif dengan bentuk-bentuk geometri relatif dan hubungan ketetanggaan yang benar, periode pengukuran (pengamatan) relatif singkat dan dapat diulang kembali dengan cepat dan konsisten (presisi), skala (akurasi data spasial) yang didapat dapat bervariasi dari yang kecil hingga besar, kecenderungan mendapatkan data yang paling uptodate (terbaru), dan biaya survey keseluruhannya (waktu, personil, dan biaya) terhitung relatif murah (Prahasta 2008).

Kemajuan teknologi penginderaan jauh dapat dibuktikan melalui diluncurkannya satelit sumberdaya alam, seperti satelit Landsat, Alos, SPOT, Ikonos. Citra Landsat merupakan salah satu citra yang banyak digunakan oleh berbagai instansi pemerintah maupun swasta dalam pengumpulan informasi yang berbasis sumberdaya alam. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit Landsat dapat mendeteksi pola penggunaan lahan di muka bumi. Citra Landsat mempunyai resolusi spasial sebesar 30 meter sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam analisis multi waktu/temporal terhadap perubahan penggunaan lahan (Land use change) guna mendapatkan data perubahan luas lahan hutan rakyat. Oleh karena itu peneliti ingin mencoba penerapan teknologi tersebut melalui penelitian dengan judul: monitoring luas hutan rakyat berdasarkan citra Landsat kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.


(3)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan melakukan analisis perubahan luasan hutan rakyat yang terjadi di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya sejak 1994 berdasarkan citra Satelit Landsat resolusi 30 meter tahun 1994, 2000, 2005, 2010 dan melakukan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luasan hutan rakyat.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang hutan rakyat di lokasi penelitian dan diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan terutama bagi pemerintah daerah sebagai bahan pertimbangan dalam terciptanya tata ruang daerah demi menunjang pembangunan ekonomi masyarakat desa berbasis hutan rakyat.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannnya, dapat menghasilkan iklim mikro dan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan rakyat adalah hutan yang berada di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat atau yang sering disebut hutan milik. Hutan milik adalah hutan yang tumbuh diatas lahan yang dibebani hak milik (Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999). Sedangkan hutan negara adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini menjelaskan bahwa tanah negara mencakup tanah-tanah yang tidak dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).

Ada beberapa karakteristik hutan rakyat jika ditinjau dari aspek manajemen hutan (Awang et al 2007) yaitu :

1. Hutan rakyat berada di tanah milik, dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan kurang subur, kondisi topografi sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil.

2. Hutan rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. 3. Penebangan kayu dilakukan berdasarkan kebutuhan, sehingga konsep kelestarian

hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.

4. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat.

5. Pengelolaan hutan rakyat berbasis pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.


(5)

6. Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga belum ada jaminan dari petani hutan rakyat terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.

7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat.

Pada awalnya pembuatan hutan rakyat dimaksudkan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis, tetapi dengan berjalannya waktu manfaat kayu memberi peluang meningkatkan pendapatan petani. Menurut (Sumedi 2008), tujuan pembangunan hutan rakyat adalah :

1. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan terutama petani di daerah kritis.

2. Memanfaatkan secara optimal dan lestari lahan yang tidak produktif untuk usaha tani tanaman pangan.

3. Meningkatkan produksi kayu bakar untuk mengatasi kekurangan energi dan kekurangan kayu perkakas.

4. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan masyarakat. 5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang

berada di kawasan perlindungan di daerah-daerah hulu suatu DAS.

Simon (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat, akan memberikan sumbangan yang positif terhadap pembangunan nasional dalam bentuk :

1. Meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan ikutan. 2. Memperluas aksesibilitas dan kesempatan kerja di pedesaan.

3. Memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan permukaan tanah dan bahaya erosi.

4. Meningkatkan proses penyerapan karbon dioksida ( ) dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses fotosintesis di permukaan bumi. 5. Menjaga kadar oksigen udara tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi


(6)

6. Menyediakan habitat yang dapat menjaga keragaman hayati, flora, dan fauna.

2.2 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, seni, dan teknik untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Penginderaan jauh tidak hanya mencakup pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual analisis citra (interpretasi) dan penyajian data yang diperoleh (Jaya 2010).

Lebih lanjut Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa proses dan elemen yang terkait di dalam sistem penginderaan jauh meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Elemen proses pengumpulan data meliputi: 1. Sumber energi.

2. Perjalanan energi melalui atmosfer.

3. Interaksi antara energi dengan kemampuan di muka bumi. 4. Sensor dan wahana berupa pesawat terbang atau satelit.

5. Hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial dan bentuk numerik. Sedangkan proses analisis data meliputi:

1. Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial, dan atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik.

2. Penyajian informasi dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan.

3. Penggunaan data untuk proses pengambilan keputusan.

Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Berbagai sensor pengumpul data jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit, atau wahana lainnya. Obyek yang diindera adalah


(7)

obyek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer (dirgantara), dan antariksa. Pengumpulan data penginderaan jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan.

Menurut Wicaksono (2006), teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara atau metode yang sangat efektif untuk memantau sumberdaya alam, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain:

1. Menghasilkan data sinoptik (meliputi wilayah yang luas dalam waktu yang hampir bersamaan) dalam dua dimensi dengan resolusi tinggi dan mampu menghasilkan data deret waktu (time series) dalam frekuensi yang rendah.

2. Mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan memberikan informasi tentang lapisan yang terpenting yaitu lapisan permukaan.

3. Pengamatan terhadap suatu objek dapat dilakukan dengan menggunakan sensor yang bersifat multi spektral, mulai dari sinar tampak (visible), inframerah (infrared), dan gelombang (microwave). Hal ini memungkinkan dilakukannya analisis multi spektral dengan mengimplementasikan berbagai model matematik untuk mendapatkan informsi yang lebih akurat.

Penginderaan jauh juga mempunyai beberapa keterbatasan antara lain:

1. Akurasi yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan pengukuran atau pengamatan secara terestis.

2. Untuk meghasilkan citra yang memiliki informasi yang akurat, harus disertai pengecekan daerah atau objek yang diamati.

3. Waktu pendeteksian satelit terbatas hanya pada saat satelit tersebut melintas di atas lokasi pengamatan.

4. Kondisi atmosfer yang beranekaragam awan, kabut, dan hujan menyebabkan citra yang diperoleh kurang baik untuk keperluan monitoring daerah lautan maupun daratan. Awan dan kabut akan menyebabkan citra visual kurang jelas. Namun dengan dikembangkannya penginderaan jauh secara aktif dengan menggunakan radar yang bisa menembus awan, kabut, dan hujan maka beberapa kekurangan itu dapat teratasi.


(8)

Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena yang diindera atau diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis atau interpretasi data. Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interpretasi secara visual dan interpretasi secara digital.

2.3 Jenis-Jenis Satelit Dalam Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh berkembang dengan cepat seiring dengan peluncuran berbagai satelit dengan karakteristik masing-masing yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia, misalnya satelit SPOT-5 (Sisteme Pour l’Observation de la Terre) merupakan kelanjutan dari program seri satelit remote sensing komersial Perancis. Satelit yang dikembangkan oleh badan keruang-angkasaan Perancis CNES (Centre national d’etudes spatiales) yang bekerja-sama dengan beberapa organisasi di Eropa ini diluncurkan pada tanggal 3 Mei 2002 dengan orbit sun-synchronous, ketinggian 832 km di atas ekuator, ukuran scene (scene width) 60km x 60km, sudut inklinasi 98º, periode orbit 101 menit, dan repeat cycle setiap 26 hari (Prahasta 2008). Ikonos-2 merupakan satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh Geoeye. Satelit yang diluncurkan pada tanggal 24 September 1999 di Vadenberg Air Force Base, California, Amerika Serikat ini berorbit sun-synchronous, sudut inklinasi 98,1º, periode orbit 98 menit, ketinggian orbit 681 km, revisit time 1 sampai 3 hari, memiliki resolusi spasial yang bervariasi (di nadir : citra multi spektral 3,2 m pankromatik 0,82 m ; di luar nadir : citra multi spektral 4 m pankromatik 1 m), dan masa operasional 8,5 tahun (Prahasta 2008).

QuickBird-2 merupakan satelit resolusi tinggi yang telah diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di Vandenberg Air Force Base (California). Satelit yang dimiliki dan dioperasikan oleh Digital Globe ini diluncurkan dengan periode orbit 93,5 menit, sun-synchronous pada ketinggian 450 km, sudut inklinasi 97,2º, revisit time 1 hingga 4 hari, dan menghasilkan scene dengan ukuran sekitar 16 km x 16 km


(9)

(Prahasta 2008). Produk-produk sensor Satelit Quickbird merupakan sumber daya yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di bidang-bidang analisis perubahan lahan, pertanian, industri minyak dan gas, monitoring infrastruktur rekayasa dan konstruksi, dan kehutanan.

Satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 (the Japanese Earth Resource Satellite-1) dan ADEOS (the Advance Earth Observing Satellite) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju (JAXA 2006). ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu PRISM (Pancrhomatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping) yang memancarkan gelombang pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 meter, AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) yang dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga beroperasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga ± 44º, dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar) yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengamatan yang bebas dari tutupan awan pada siang atau malam hari.

2.4 Karakteristik Citra Landsat

Landsat merupakan Satelit Sumberdaya Bumi yang pada awalnya bernama ERST-1 (Earth Resource Technology Satellite) atau Landsat 1 yang diluncurkan pertama kalinya tanggal 23 Juli 1972 dan kemudian satelit berikutnya ERST-2 atau Landsat 2 diluncurkan pada tanggal 22 Januari 1975, dan secara resmi NASA mengganti program ERST menjadi program Landsat. Pada tanggal 5 Maret 1978 diluncurkan Landsat 3 yang kemudian diikuti dengan peluncuran Landsat 4, 5, 6, dan 7. Menurut Paine (1992), Citra Landsat dirancang untuk meliputi daerah yang luas untuk pandangan secara keseluruhan. Keberadaan atau ciri-ciri geologi yang besar tertentu dapat nampak secara jelas pada citra Landsat tetapi mudah diabaikan pada


(10)

fotografi konvensional karena dibutuhkan foto udara yang banyak untuk meliputi suatu kawasan yang sama.

Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, citra Landsat TM (Thematic Mapper) mempunyai kelebihan lebih baik dari generasi citra Landsat sebelumnya. Menurut Jaya (2002) menyatakan bahwa TM merupakan alat scanning mekanis dengan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spektral sebanyak 7 (tujuh) band, resolusi spasial (30 m x 30 m) dan radiometrik (8 bit) yang lebih baik. Karakteristik spektral Landsat TM dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik band pada Landsat TM Band Panjang

Gelombang

Resolusi

spasial Aplikasi

1 (0,45-0,52) µm 30 m Dirancang untuk membuahkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, dan juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi.

2 (0,52-0,60) µm 30 m Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan perbedaan vegetasi dan penelitian kesuburan.

3 (0,63-0,69) µm 30 m Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi.

4 (0,76-0,90) µm 30 m Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air.

5 (1,55-1,75) µm 30 m Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembapan tanah.

6 (2,08-2,35) µm 30 m Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan. 7 (10,0-12,50) µm 120 m Saluran informasi termal yang dikenal bermanfaat

untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembapan tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)

2.5 Klasifikasi Penutupan dan Penggunaan Citra Landsat untuk Identifikasi Tutupan Lahan

Klasifikasi diartikan sebagai proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (Brightnes value/BV atau Digital Number/DN) piksel yang bersangkutan (Jaya 2010).


(11)

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan istilah penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penutupan lahan merupakan hasil akhir dari penggunaan lahan. Penutupan lahan meliputi bukan hanya bangunan dan penutupan vegetasi atau modifikasi yang dibuat langsung oleh manusia. Sedangkan penggunaan lahan adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad 1989).

Informasi penutupan atau penggunaan lahan antara lain dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rencana tata ruang. Secara ideal, informasi penutupan lahan dan penggunaan lahan disajikan secara terpisah akan tetapi, jika data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber informasi utama, maka akan lebih efisien untuk menggabungkan kedua informasi tersebut. Pada citra penginderaan jauh, informasi penutupan lahan umumnya mudah dikenali, sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir pada citra akan tetapi dapat dideteksi dari kenampakan penutupan lahan dan dilakukan kegiatan ground check lapangan.

Klasifikasi penutupan lahan dengan mengunakan citra Landsat telah dilakukan oleh berbagai instansi seperti Badan Pertanahan Indonesia (BPN), Kementrian lingkungan Hidup (KLH), Tropenbos Internasional (TBI) yang disajikan pada Tabel 2. Pendekatan dan ketelitian yang dilakukan oleh instansi tersebut berbeda-beda sehingga menghasilkan tipe penutupan atau penggunaan lahan yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2005 menunjukkan 13 tipe penutupan lahan. Sedangkan pada tahun 2008 Direktorat Planologi Kehutanan mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data yang diperoleh dari intrepetasi citra Landsat menunjukkan terdapat 29 tutupan lahan dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer dan sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering).


(12)

Tabel 2 Klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan Klasifikasi Badan Planologi

Departemen Kehutanan (2001)

Klasifikasi Badan Pertanahan Nasional

(1969)

Klasifikasi KLH (2005) 1. Hutan lahan kering primer

dataran rendah

1. Hutan 1. Hutan mangrove

2. Hutan lahan kering primer pegunungan rendah

2. Lahan kering 2. Hutan lahan kering 3. Hutan lahan kering primer

pegunungan tinggi

3. Tadah hujan 3. Hutan rawa

4. Hutan lahan kering primer sub-alpine

4. Ladang berpindah 4. Hutan tanaman 5. Hutan lahan kering sekunder

dataran rendah

5. Padang penggembalaan 5. Pertanian lahan kering 6. Hutan lahan kering sekunder

pegunungan rendah

6. Rawa 6. Padang rumput

7. Hutan lahan kering pegunungan sub-alpine

7. Semak belukar 7. Semak belukar

8. Hutan rawa primer 8. Padi 8. Sawah

9. Hutan rawa sekunder 9. Perkebunan 9. Perkebunan

10. Hutan rawa primer 10. Perumahan, ladang, dan padi

10. Kebun campuran 11. Hutan mangrove primer 11. Pemukiman desa 11. Pemukiman 12. Hutan mangrove sekunder 12. Pemukiman / perkotaan 12. Lahan kosong

13. Semak/belukar 13. Kolam/tambak 13. Tubuh air

14. Semak/belukar rawa 14. Lapangan udara

15. Savana 15. Badan air

16. HTI 17. Perkebunan

18. Petanian lahan kering

19. Pertanian lahan kering bercampur dengan semak

20. Transmigrasi 21. Sawah 22. Tambak 23. Tanah terbuka 24. Pertambangan 25. Salju

26. Permukiman 27. Tubuh air 28. Rawa 29. Awan

Sumber : IPB dan JICA (2011)

2.6 Analisis Perubahan Penutupan Lahan

Perubahan penutupan lahan terdiri dari perubahan yang bersifat tetap (land use) dan bersifat sementara (land cover). Perubahan yang bersifat tetap artinya perubahan dari satu jenis penggunaan menjadi penggunaan lahan jenis lain, sedangkan


(13)

perubahan sementara artinya yang berubah hanya tutupan lahannya, jenis penggunaan lahannya tetap (Lo 1995). Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena kegiatan manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda.

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan pengindraan jauh yang tepat. Pemantauan perubahan penutupan lahan adalah proses mengidentifikasi perubahan suatu objek atau fenomena dengan mengamatinya pada waktu berbeda. Registrasi yang akurat dari sedikitnya dua citra sangat diperlukan dalam mendeteksi perubahan. Citra tersebut dapat berupa data mentah penginderaan jauh atau dua peta klasifikasi citra yang diperoleh dari waktu yang berbeda.

Dalam pemantauan perubahan secara digital, respon spektral suatu piksel pada dua waktu yang berbeda dapat diketahui jika penutupan lahan berubah dari penutupan lahan satu menjadi penutupan lahan yang lainnya. Band yang sensitif terhadap perubahan dapat ditentukan dengan karakteristik reflektansi spektral masing-masing band terhadap vegetasi, tanah, dan air. Analisis perubahan lahan dapat dilakukan beberapa metode diantaranya : image overlay, diferensiasi citra (image differencing), analisis komponen utama (principal component analysis), dan perbandingan hasil klasifikasi (classification comparasion) (Sunar 1996 dalam Kosasih 2002).

Analisis perubahan lahan didasarkan pada matrik perubahan lahan yang dihasilkan dari analisis pada citra hasil overlay (penggabungan) dengan mengganti formulasinya. Dalam analisis perubahan tersebut akan ditemukan areal yang mengalami perubahan yaitu areal pada piksel-piksel kedua citra klasifikasi yang berbeda. Sedangkan areal yang tidak berubah adalah piksel pada kedua citra klasifikasi dengan lokasi dan atribut yang sama.


(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar 1). Pra pengolahan citra dilakukan pada bulan Mei 2012 sampai dengan Juni 2012.

Gambar 1 Peta administrasi Kecamatan Cikalong

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Citra Landsat Kecamatan Cikalong Tasikmalaya tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010.


(15)

3. Tegakan hutan rakyat di wilayah Kecamatan Cikalong.

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan, yaitu: GPS Garmin 60 csx, kamera digital, alat tulis sebagai peralatan di lapangan. Sedangkan untuk analisis data, digunakan satu unit peralatan komputer dengan software ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 9.1, Microsoft Office 2007, Google Earth.

3.3 Tahapan kegiatan penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam enam tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan awal citra (pre-image processing), pengambilan data di lapangan (ground check), pengolahan citra (image processing), analisis perubahan penutupan lahan, dan pengolahan data wawancara di lapangan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan luasan hutan rakyat.

3.3.1 Pengumpulan data

Data-data yang dikumpulkan meliputi: Citra satelit Landsat tahun perekaman 1994, 2000, 2005, dan 2010, Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Tasikmalaya skala 1:25000 tahun 2000, data sebaran dan luasan hutan rakyat Kecamatan Cikalong, dan data wawancara lapangan dengan petani responden.

3.3.2 Pengolahan awal citra (pre-image processing) 3.3.2.1 Penentuan kombinasi band citra Landsat

Dalam intrepetasi citra, pengaturan kombinasi band terbaik menjadi sangat penting dilakukan untuk mencirikan kenampakan objek untuk memudahkan intrepeter dalam melakukan analisis visual atau digital citra. Kombinasi band yang dipilih mengacu pada komposit warna standar Dephut dengan kombinasi band 5-4-3 dan tampilan komposit ini mendekati alami yang dibuat dengan menggunakan panjang gelombang ( ) atau spektrum infra-merah sedang ( 1,2 ~ 3,2 m), infra-merah dekat ( 0,7 ~ 0,9 m) da spektrum merah atau hijau ( 0,6 ~ 0,7 atau 0,5 ~ 0,6 m) secara berturut-turut pada bidang warna RED, GREEN, dan BLUE pada saat mendisplai citra (JICA et al 2011).


(16)

Keterangan: skala 1:20000

Gambar 2 Tampilan visual citra Landsat kombinasi band 5-4-3 resolusi 30 m tahun1994

3.3.2.2 Koreksi geometrik citra

Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan objek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber lain agar tidak mengalami distorsi luas atau memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel (Jaya 2002). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan metode berdasarkan titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP). Secara umum, tahapan melakukan rektifikasi adalah sebagai berikut (Jaya 2010) :

1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP). GCP tersebut sedapat mungkin adalah titik-titik atau obyek yang tidak mudah berubah dalam jangka waktu lama misalnya belokan jalan, tugu di persimpangan jalan dan atau sudut-sudut gedung (bangunan). Hindari menggunakan belokan sungai atau delta sungai karena mudah berubah dalam jangka waktu tertentu. GCP juga harus tersebar merata pada citra yang akan dikoreksi.

2. Membuat persamaan tranformasi yang digunakan untuk melakukan interpolasi spasial persamaan ini umumnya berupa persamaan polynomial baik orde 1, 2, maupun 3.


(17)

3. Menghitung kesalahan (Root Mean Square Error/RMSE) dari GCP yang terpilih. Umumnya tidak boleh lebih besar dari 0,5 piksel.

4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) dengan salah satu metode berikut, yaitu nearest neigbour, bilinier, dan cubic convolution, sekaligus membuat citra baru dengan sistem koordinat yang ditentukan.

Pada penelitian ini, proses koreksi geometrik dilakukan pada citra satelit Landsat resolusi 30 m tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010. Koreksi geometrik dikakukan pada masing-masing citra untuk mencocokkan koordinat citra dengan koordinat geografis di lapangan.

3.3.2.3 Pemotongan citra (cropping)

Sebelum melakukan analisis visual dan digital citra, dilakukan pemotongan citra satelit Landsat resolusi 30 m dengan kombinasi band 5-4-3 dengan luasan sebagian daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sesuai dengan lokasi penelitian yang akan dilakukan yaitu Kecamatan Cikalong.

3.3.2.4 Identifikasi awal tutupan lahan

Identifikasi awal citra Landsat kombinasi RGB 5-4-3 untuk mengetahui perubahan tata guna lahan yang digunakan untuk hutan rakyat. Metode yang digunakan dalam intrepetasi awal citra adalah metode analisis visual pada citra Landsat tahun 2010 dan 2005 dan metode analisis digital pada tahun 2000 dan 1994.

Menurut Jaya (2010), analisis diartikan sebagai kegiatan penguraian dan atau penelaahan data serta hubungan antar komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai kecerahan (Brightness Value/BV) atau nilai digital (Digital Number/DN). Analisi citra Landsat dapat menggunakan metode analisis visual dan analisis digital. Analisi visual merupakan kegiatan mengamati citra secara visual yang dilakukan oleh intrepeter dengan tujuan untuk mengidentifikasi objek dari citra tersebut.

Dalam analisis ini, ketepatan proses identifikasi objek tergantung dari kemampuan masing-masing intrepeter dalam identifikasi citra sehingga dalam penggunaan analisis ini sering terjadi perbedaan hasil identifikasi dari tiap intrepeter. Sedangkan analisis digital merupakan analisis citra yang mengacu pada data-data numerik yang besarannya dinyatakan dengan bit. Semakin besar bitnya maka semakin


(18)

banyak kemungkinan kandungan informasi yang ada di dalamnya (Jaya 2010). Pada citra Landsat TM yang digunakan adalah data 8 bit dengan variasi sebesar 256 level (

3.3.2.5 Pembuatan titik lokasi pengamatan

Penentuan titik lokasi pengamatan di lapangan ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling dengan mempertimbangkan tingkat keterwakilan dari tiap kelas dan tingkat penyebaran titik pada lokasi penelitian. Total jumlah titik lokasi pengamatan yang digunakan adalah 110 titik dengan rincian 65 titik untuk kelas hutan rakyat dan 5 titik untuk tiap kelas yang lain dengan jumlah 9 kelas.

3.3.3 Pemeriksaan lapangan (Ground check)

Pemeriksaan di lapangan bertujuan untuk mencocokkan tutupan yang telah diidentifikasi pada masing-masing citra dengan melihat kenampakan tutupan lahan yang sebenarnya di lapangan. Selain itu, pemeriksaan di lapangan juga bertujuan untuk mencari informasi tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan pengolahan lahan dengan hutan rakyat. Dalam menggali informasi tersebut digunakan teknik open type interview dan nonstructured interview. Kegiatan pemeriksaan di lapangan dilakukan dengan menelusuri lokasi-lokasi pengamatan yang telah ditentukan meliputi pengambilan titik-titik pengamatan, dokumentasi contoh-contoh penutupan atau penggunana lahan, dan wawancara terhadap patani hutan rakyat di lokasi pengamatan yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan untuk memahami serta mengenal kondisi daerah penelitian yang dilakukan.

3.3.4 Pengolahan citra satelit Landsat 3.3.4.1 Klasifikasi visual

Klasifikasi visual citra Landsat dilakukan dengan bantuan Google Earth dan mengacu pada buku panduan intrepetasi Landsat. Unsur-unsur yang digunakan sebagai dasar analisis dalam intrepetasi tipe penggunaan lahan/vegetasi diuraikan sebagai berikut (Lillesand dan Keifer 1994) :


(19)

1 Ukuran

Ukuran meliputi panjang, lebar, luas, sehingga antara objek yang satu dengan yang lain dapat dibedakan dan dibuat batasan.

2 Rona (Tone)

Rona menunjukkan perbedaan gelap terangnya suatu objek yang dipengaruhi oleh tingkat kelembaban, misalnya adanya genangan atau keadaan vegetasi penutup tanah itu sendiri.

3 Warna

Warna sangat dipengaruhi oleh reflektansi yang berbeda, dan setiap vegetasi atau tanaman dapat memberikan warna alami (true colour) maupun warna semu (false colour).

4 Tekstur

Tekstur merupakan gabungan antara rona dengan ukuran serta jarak yang satu dengan yang lain. Tekstur dapat dibedakan menjadi halus atau kasar, seragam atau tidak seragam.

5 Pola

Pola merupakan susunan suatu objek yang terjadi secara alami ataupun buatan. 6 Asosiasi

Asosiasi digunakan untuk memperhatikan keterkaitan antara suatu obyek atau fenomena dengan obyek atau fenomena lain, yang digunakan sebagai dasar mengenali obyek yang dikaji.

3.3.4.2 Klasifikasi terbimbing (supervised classification)

Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised) dengan kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (signature class) yang diperoleh analisis melalui pembuatan “training area” (Jaya 2010). Tahap ini dilakukan secara otomatis oleh komputer untuk mendapatkan hasil berupa citra yang terklasifikasi.

Metode ini bertujuan untuk mengelompokkan piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata dan matriks ragam peragam dari setiap pola spektral kelas informasi. Piksel dimasukkan menjadi salah satu kelas yang memiliki


(20)

probability (peluang) paling kecil. Klasifikasi terbimbing disederhanakan menjadi 6 tahapan , yaitu tahap penentuan kelas contoh (training area), penandaan area contoh (signature), klasifikasi, analisis keterpisahan kelas, akurasi, serta tahap penyajian hasil (output).

3.3.4.3 Analisis separabilitas

Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat keterpisahan kelas yang diwakili oleh area contoh dengan mengukur jarak antar kelas secara statistik. Jarak ini digunakan untuk menggambarkan apakah kelas-kelas contoh yang diambil cukup homogen dan mempunyai ragam kecil. Ukuran keterpisahan kelas dihitung berdasarkan persamaan Transformed Divergence (TD), yaitu :

= 2000 (1 – exp ) …………(Jaya 2010)

Keterangan :

TD = Transformed Divergence

= Divergence baris ke-i dan kolom ke-j

i dan j = The two signatures (classes) being compared

Hasil analisis separabilitas diukur berdasarkan beberapa kriteria yang dikelompokan ke dalam lima kelas dimana setiap kelasnya mendeskripsikan kuantitas keterpisahan tiap tutupan lahan. Kelima kelas yang diklasifikasikan dalam Jaya (2002) tersebut yaitu :

1. Tidak terpisah = <1600 2. Cukup baik = 1600 – 1699 3. Baik = 1700 – 1899 4. Sangat baik = 1900 – 1999 5. Sempurna = 2000

3.3.4.4 Uji akurasi

Pada penelitian ini, untuk mengetahui tingkat keakuratan klasifikasi tutupan lahan hasil intrepetasi citra, perlu dilakukan uji akurasi klasifikasi. Akurasi klasifikasi merupakan akurasi yang sering dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasikasi. Matrix ini juga sering disebut dengan “error matrix” atau “confusion matrix”.


(21)

Akurasi klasifikasi umumnya dilakukan dengan metode overall accuracy, akan tetapi akurasi ini umumnya terlalu over estimate sehingga jarang digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal suatu matrik contingency. Secara matematis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

OA = ∑

Menurut (Jaya 2010), saat ini akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matrik. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut :

K = ∑ ∑

Keterangan :

= nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

= jumlah piksel dalam baris ke-i

= banyaknya piksel dalam contoh Tabel 3 Skema perhitungan akurasi

Kelas referensi

Dikelaskan ke kelas - Jumlah Piksel

Akurasi Pembuat

A B C Total Piksel

A

B

C

Total piksel

Akurasi Pengguna

Sumber: Jaya (2010)

Presentase ketepatan klasifikasi juga dapat dilihat dari nilai akurasi pembuat dan akurasi penggunanya. Secara matematis dapat ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut (Jaya 2010) :

UA =

PA =

Keterangan :

UA = User accuracy PA = Producer’s accuracy

= Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = Jumlah piksel dalam kolom ke-i


(22)

Producer’s accuracy adalah probabilitas atau peluang rata-rata (%) suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dan secara rata-rata menunjukkan seberapa baik setiap kelas di lapangan telah diklasifikasi. Ukuran ini juga dapat digunakan untuk menduga rata-rata dari kesalahan omissi (omission error). Sedangkan user’s accuracy adalah probability atau peluang rata-rata suatu piksel dari citra yang telah terklasifikasi, secara aktual mewakili kelas-kelas tersebut di lapangan. Ukuran ini juga menduga kesalahan komisi (commission error).

3.3.5 Analisis perubahan tutupan lahan hutan rakyat

Analisis perubahan tutupan lahan hutan rakyat adalah proses mengidentifikasi perubahan suatu obyek atau fenomena yang dilakukan dengan membandingkan secara langsung antara citra-citra digital yang direkam pada saat yang berbeda : time series analysis. Perubahan yang terdapat pada citra-citra beda waktu tidak sekedar mengimplikasikan perbedaan di dalam karakteristik unsur-unsur di permukan bumi, tetapi juga dapat merefleksikan variasi normal yang belum terkarakteristikkan dan dapat ditemukan pada suatu periode waktu ke waktu berikutnya (Prahasta 2008).

Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra multi waktu, selanjutnya dilakukan analisis perubahan penutupan lahan hutan rakyat dengan cara menumpang tindihkan (overlay) citra hasil klasifikasi pada tiap waktu. Selain itu, analisis perubahan tutupan lahan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara diklasifikasikan secara terpisah, kemudian dilakukan perbandingan (post-classification comparasion). Dengan cara ini, dapat mengetahui luas perubahan tutupan lahan hutan rakyat yang terjadi.

3.3.6 Identifikasi faktor-faktor penyebab berubahnya luas hutan rakyat

Pengolahan dan analisis data wawancara hasil observasi langsung ke lapangan dilakukan secara deskriptif dengan menjelaskan informasi tentang faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dinamika perkembangan hutan rakyat. Menurut Hardjanto (2003) dalam Rato (2011), faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat di Jawa, yaitu :

1. Faktor tradisi, fungsi ekonomi rumah tangga, dan fungsi tata air sebagai faktor kekuatan internal.


(23)

2. Luas pemilikan lahan, teknologi pemanenan dan pasca panen, serta keterbatasan modal dan informasi sebagai faktor kelemahan internal.

3. Tingginya permintaan pasar, pertumbuhan industri kayu, dan infrastruktur jalan desa sebagai faktor kesempatan eksternal.

4. Besarnya permintaan kayu, ketergantungan kepada agen pemasaran, pertumbuhan tenaga kerja, dan ketidakpastian pemanfaatan lahan terlantar sebagai faktor ancaman eksternal.


(24)

Tabel 4 Bagan alir pengolahan dan analisis data

Citra landsat tahun 1994, 2000, 2005, 2010

Citra hasi klasifikasi

Data wawancara petani responden Analisis perubahan tutupan lahan hutan

Rakyat

Data perubahan luas hutan rakyat dan faktor-faktor penyebab

Pengumpulan data

Ground Check (Cek lapangan)

Peta rupa bumi Jawa Barat skala 1:25000

Analisis hasil pengamatan lapangan : - Klasifikasi visual

- Klasifikasi terbimbing - Analisis separabilitas - Akurasi kappa

Overlay - Koreksi geometrik - Cropping

- Identifikasi awal tutupan lahan dengan analisis visual dan digital


(25)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Kecamatan Cikalong 4.1.1 Luas dan Letak Geografis

Kecamatan Cikalong merupakan satu dari 39 kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Secara geografis Kecamatan Cikalong terletak antara 7º 40’ 20’’ LS – 7º 49’ 00’’ LS dan 108º 08’ 45’’ BT – 108º 20’ 30’’ BT dengan ketinggian tempat antara 0,5 – 600 meter dari permukaan laut. Kecamatan Cikalong dibatasi oleh beberapa wilayah, yaitu :

 Sebelah Utara : Kecamatan Cikatomas.

 Sebelah Timur : Kabupaten Ciamis.

 Sebelah Selatan : Samudera Hindia.

 Sebelah Barat : Kecamatan Karangnunggal.

4.1.2 Topografi dan iklim

Topografi Kecamatan Cikalong mempunyai persentase kemiringan yang bervariasi dari mulai datar sampai curam. Topografi mempunyai prosentase kemiringan sebagai berikut :

- Kemiringan 0-2 % sebanyak 13 % dari luas wilayah - Kemiringan 3-15 % sebanyak 65 % dari luas wilayah - Kemiringan 16-40 % sebanyak 17 % dari luas wilayah - Kemiringan 41 ke atas sebanyak 5 % dari luas wilayah

Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum ( PU ) Kabupaten Tasikmalaya, Kecamatan Cikalong mempunyai curah hujan rata-rata per bulan 260 mm, curah hujan rata-rata pertahun 3.187 mm, rata-rata bulan kering 1,4 mm, rata-rata bulan basah 7,6 mm, suhu rata-rata harian 23o -27o celcius dan ketinggian tempat 250-350 dpl. Dalam tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson, Kecamatan Cikalong mempunyai tipe curah hujan basah ( tipe B ) dengan nilai Q sebesar 0,184 ( A.G )


(26)

4.1.3 Jenis Tanah

Keadaan jenis tanah di wilayah kerja bervariasi dari mulai podsolik merah kuning, alluvial maupun latosol. Biasanya tanah yang subur merupakan tanah dengan kompleks liat dengan humusnya tinggi yang masih belum tererosi oleh air, mempunyai produktivitas tinggi dan dapat menyediakan unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Tabel 5 Jenis tanah Kecamatan Cikalong

No Desa Jenis tanah Kepekaan terhadap erosi

1 Cikalong Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

2 Singkir Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

3 Kalapagenep Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

4 Cibeber Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

5 Cikancra Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

6 Cikadu Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

7 Panyiaran Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

8 Mandalajaya Latosol, podsolik Tidak peka, peka

9 Sindangjaya Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka 10 Kubangsari Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

11 Cidadali Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

12 Cimanuk Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

13 Tonjongsari Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

Sumber : Kecamatan Cikalong dalam angka tahun 2012

4.1.4 Kondisi Hutan Rakyat

Kondisi hutan rakyat yang terdapat di Desa Cikalong memiliki sebaran umur yang beragam. Salah satu tanaman pokok yang sering ditanam oleh petani adalah Sengon. Adapun jenis lain yang ditanam oleh petani di Desa Cikalong adalah jenis Jati (Tectona grandis) dan Mahoni (Swietenia macrophyla), Akasia, dan Jabon (Anthochepalus cadamba). Namun, untuk jenis Jati dan Mahoni hanya sebagai tanaman pengisi saja dan terbatas jumlahnya. Pola yang digunakan oleh petani dalam menanam pohon sengon adalah dengan menggunakan pola agroforestry dengan mengkombinasikan tanaman kayu dengan jenis tanaman yang lain seperti kelapa dan pisang. Perkembangan hutan rakyat khususnya jenis tanaman sengon di Kecamatan Cikalong dimulai dari adanya info dagang dari pengepul atau bandar kayu kepada masyarakat. Sejak saat itu masyarakat banyak yang menanam tanaman sengon.


(27)

4.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 4.1.5.1 Jumlah penduduk

Jumlah penduduk di Kec.Cikalong sampai dengan akhir tahun 2012 sebanyak 64.792 jiwa, terdiri dari laki-laki 31.227 Jiwa dan perempuan 33.565 Jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 19.677 KK. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin selengkapnya tersaji dalam Tabel 6 dan berdasarkan kelompok umur pada Tabel 7.

Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

No Desa Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Jumlah KK

1. Cikalong 3.633 3.820 7.453 2.310

2. Singkir 2.259 2.367 4.626 1.357

3. Kalapagenep 2.809 2.666 5.475 1.737

4. Cibeber 3.525 3.359 6.881 2.085

5. Cikancra 1.651 1.589 3.240 1.060

6. Cikadu 1.570 1.569 3.139 1.088

7. Panyiaran 2.400 4.838 7.238 1.486

8. Mandalajaya 2.877 3.038 5.915 1.793

9. Sindangjaya 2.390 2.372 4.762 1.484

10. Kubangsari 1.699 1.709 3.408 1.098

11. Cidadali 2.313 2.133 4.446 1.541

12. Cimanuk 1.962 1.921 3.883 1.198

13. Tonjongsari 2.139 2.187 4.326 1.440

Jumlah 31.227 33.565 64.792 19.677

Sumber data : Kecamatan Cikalong dalam angka tahun 2012

Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

No Desa 0 – 5 Jiwa 6-15 Jiwa 16 – 60 Jiwa > 60 Jiwa Jumlah

1. Cikalong 622 1.062 5.199 369 7.123

2. Singkir 362 698 3.211 334 4.656

3. Kalapagenep 492 904 3.446 360 5.221

4. Cibeber 704 869 3.573 439 5.325

5. Cikancra 436 694 2.079 393 3.469

6. Cikadu 335 631 1.985 334 3.293

7. Panyiaran 349 706 3.190 335 4.605

8. Mandalajaya 496 669 3.514 396 4.913

9. Sindangjaya 953 724 3.299 358 4.760

10. Kubangsari 601 401 1.490 323 1.794

11. Cidadali 263 730 2.823 490 4.422

12. Cimanuk 300 746 2.500 272 3.933

13. Tonjongsari 669 767 3.065 387 4.583

Jumlah 6.582 9.200 39.074 4.689 58.097

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kecamatan Cikalong tergolong penduduk usia produktif, yaitu sebanyak 37.641 orang atau 86,41 persen


(28)

dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Penduduk yang berada pada usia produktif ini relatif masih mempunyai kekuatan fisik yang cukup menunjang dalam melaksanakan usaha, demikian pula dengan kekuatan mental dan pikiran yang relatif terbuka terhadap inovasi yang diperlukan dalam meningkatkan efisiensi usaha yang dilaksanakannya.

4.1.5.2 Tingkat pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan di Desa Cikalong masih tergolong rendah, hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduknya hanya sampai tamatan Sekolah Dasar (SD) saja, sebagian kecil pendidikan SLTP, SLTA dan akademik atau Perguruan Tinggi (PT) yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Keadaan Pendidikan Penduduk di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

No Desa Tdk / blm

sekolah SD/MI SLTP SLTA PT Jumlah

1. Cikalong 498 1.275 704 567 294 3.338

2. Singkir 127 396 218 96 63 900

3. Kalapagenep 66 1.207 2.056 1.951 47 5.327

4. Cibeber 384 3.779 634 333 159 5.289

5. Cikancra 55 461 193 84 81 874

6. Cikadu 91 335 212 34 21 693

7. Panyiaran 47 2.648 1.200 487 73 4.455

8. Mandalajaya 90 3.075 613 354 116 4.248

9. Sindangjaya 130 1.840 243 166 85 2.464

10. Kubangsari - 2.123 270 211 30 2.634

11. Cidadali 174 441 174 130 13 932

12. Cimanuk 38 950 500 210 35 1.733

13. Tonjongsari 47 1.236 201 136 19 1.639

Jumlah 1.747 19.766 7.218 4.761 1.043 34.526

Sumber data : Kecamatan Cikalong dalam angka tahun 2012

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kecamatan Cikalong adalah tamatan Sekolah Dasar (SD) atau sederajat, yaitu sebanyak 19.766 orang atau 19,76 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan penduduk yang menamatkan pendidikan perguruan tinggii hanya 1.043 orang atau 0,9 persen. hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Cikalong masih relatif rendah.

Fasilitas pendidikan yang ada di Kecamatan Cikalong meliputi tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) yang terdiri dari tingkat TK sebesar 8 unit, Sekolah dasar (SD) atau sederajat negeri dan swasta sebesar 55 unit, Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat negeri dan swasta sebesar 13 unit,


(29)

Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat negeri dan swasta sebesar 4 unit, dan Perguruan Tinggi (PT) sebesar 1 unit. Perguruan tinggi (PT) disini merupakan Perguruan Tinggi Swasta cabang dari Perguruan Tinggi yang terdapat di Kota Tasikmalaya. Jumlah penduduk menurut usia kelompok pendidikan terbagi menjadi empat, yaitu kelompok usia 4-6 tahun berjumlah 713 orang, kelompok usia 7-12 tahun berjumlah 715 orang, kelompok usia 13-15 tahun berjumlah 482 orang, dan kelompok usia 19 tahun keatas berjumlah 3.425 orang.

4.1.5.3 Tingkat kesehatan

Berdatarkan data BPS Kecamatan Cikalong tahun 2010, angka harapan hidup (AHH) 68,63 Indek AHH 72,72. Sedangkan fasilitas kesehatan yang ada terdiri dari Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebanyak 1 unit Poskesdes (Posko Kesehatan Desa) sebanyak 10 unit, Posyandu sebanyak 77 unit, dan jumlah apotek sebanyak 3 unit. Untuk tenaga teknis kesehatan terdiri dari Dokter sebanyak 1 orang, Bidan 21 orang, Paramedis 7 orang, dan Dukun Bayi 46 orang.

4.1.5.4 Tingkat mata pencaharian penduduk

Pada umumnya mata pencaharian penduduk Kecamata Cikalong adalah bertani dan berkebun. Sebagian kecil masyarakat Cikalong yang mengandalkan mata pencahariannya sebagai pedagang, buruh, industri, sopir, PNS dan sebagainya yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Tingkat mata pencaharian penduduk di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

No Desa Petani Buruh tani Swasta Pedagang PNS/ TNI/

POLRI Jumlah

1. Cikalong 3980 212 197 116 60 4565

2. Singkir 4108 17 37 45 35 4244

3. Kalapagenep 1123 32 49 15 63 1282

4. Cibeber 3985 144 142 223 44 4538

5. Cikancra 3576 25 56 37 57 3751

6. Cikadu 4937 32 68 46 68 5149

7. Panyiaran 1900 27 64 14 14 1985

8. Mandalajaya 4481 754 9 115 35 5384

9. Sindangjaya 2288 17 22 19 26 2367

10. Kubangsari 2947 13 17 12 21 3009

11. Cidadali 2947 33 21 15 23 3043

12. Cimanuk 1300 16 20 11 8 1356

13. Tonjongsari 2128 30 21 16 23 2203

Jumlah 39.700 1352 639 674 466 42.885


(30)

Kegiatan bertani dan berkebun telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu dan berlangsung secara turun temurun di masyarakat sehingga ini menjadi kearifan lokal masyarakat sekitar. Ketersediaan lahan menjadi sangat penting dibutuhkan oleh masyarakat untuk memperoleh pendapatan karena kurangnya tingkat kualitas sumberdaya manusia dari tingkat pendidikan formal sehingga terbatasnya peluang masyarakat untuk bekerja di luar sektor bertani dan berkebun.

4.1.5.5 Sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan Cikalong antara lain:

1. Sarana perekonomian : 8 buah pasar permanen, 2 buh mini market, 166 buah toko kelontong.

2. Sarana umum : 16 buah restoran, 473 buah kedai makanan, 2 buah penginapan.

3. Sarana ibadah : 166 buah masjid, 136 buah langgar, 128 buah musholla.


(31)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan

Pengamatan tutupan lahan di lapangan dilakukan di Kecamatan Cikalong yang terdiri dari 13 desa. Titik pengamatan yang digunakan sebanyak 110 titik dengan rincian 65 titik untuk kelas hutan rakyat dan 5 titik untuk setiap kelas tutupan lahan yang lain dengan jumlah 9 kelas. Hasil pengamatan lapangan diperoleh sebanyak 10 (sepuluh) kelas tutupan lahan. Jenis tutupan lahan di lapangan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Jenis tutupan lahan hasil pengamatan lapangan

No Tutupan lahan Jumlah titik

pengamatan lapangan

Foto lapangan

1. Badan air 5

2. Hutan tanaman jati 5


(32)

Tabel 10 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan

Foto lapangan

4. Pemukiman 5

5. Hutan rakyat 65

6. Kebun campuran 5


(33)

Tabel 10 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan

Foto lapangan

8. Rawa semak 5

9. Sawah 5

10. Semak/belukar 5

Jumlah titik pengamatan lapangan 110

5.2 Analisis Visual dan Analisis Digital Citra Landsat

Penafsiran citra Landsat dalam penelitian ini menggunakan metode analisis visual dan analisis digital. Penggunaan kedua metode ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat akurasi penafsiran citra yang dilakukan intrepeter dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dan kualitas hasil perekaman citra Landsat yang digunakan dalam penelitian. Citra Landsat merupakan salah satu jenis citra optik yang dipengaruhi oleh cuaca sehingga ada beberapa wilayah yang tertutup oleh


(34)

objek awan dan bayangannya sehingga sulit untuk mengidentifikasi objek yang ada di bawahnya.

Pada analisis digital, citra Landsat yang dipilih adalah citra tahun 1994 dan 2000. Citra yang digunakan adalah citra yang mempunyai tingkat kenampakan objek yang jelas dan tidak mengalami stripping disajikan pada Gambar 3. Proses terjadinya stripping pada citra Landsat diakibatkan karena adanya kerusakan pada sensor optik satelit tersebut sehingga menyebabkan terjadinya sejumlah garis dengan ukuran lebar beberapa piksel kehilangan datanya (DN=0).

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 110000

Gambar 3 Citra Landsat tahun 1994 (a) dan 2000 (b)

Pada analisis visual, citra Landsat yang digunakan adalah citra tahun 2005 dan 2010. Pemilihan kedua citra tersebut adalah dengan melihat kualitas kedua citra yang mengalami stripping (Gambar 4).


(35)

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 110000

Gambar 4 Citra Landsat tahun 2005 (a) dan 2010 (b)

Hasil penafsiran citra Landsat dengan metode analisis digital dapat diidentifikasi sebanyak 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, hutan tanaman, lahan terbuka, pemukiman, hutan rakyat, kebun campuran, pertanian lahan kering, rawa semak, sawah, semak/belukar, awan, dan bayangan awan. Hasil penafsiran dengan metode analisis digital dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Sedangkan untuk hasil identifikasi penafsiran citra Landsat dengan menggunakan metode analisis visual diperoleh sebanyak 10 kelas dengan jenis kelas tutupan lahan yang sama dengan analisis digital tanpa terdapat kelas awan dan kelas bayangan awan. Hasil penafsiran dengan metode analisis visual dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.

Pada citra Landsat resolusi 30 m ini, ada beberapa wilayah yang tertutup oleh objek awan dan bayangannya sehingga sulit untuk mengidentifikasi objek yang ada di bawahnya. Dalam analisis visual citra Landsat yang terdapat awan dan bayangannya. Identifikasi objek yang berada di bawahnya dilakukan dengan melihat asosiasi dari objek yang berada pada objek yang tertutup oleh awan dan bayangannya. Selain itu, teknik identifikasi yang juga dilakukan yaitu dengan mencocokkan hasil identifikasi awal dengan melakukan overlay dengan citra resolusi tinggi GeoEye secara online dengan bantuan software Google Earth dan berdasarkan data wawancara di lapangan


(36)

dengan penduduk sekitar. Sedangkan dalam analisis digital, awan dan bayangannya yang terdapat pada citra digolongkan dalam kelas tutupan lahan sehingga objek yang berada dibawahnya tidak teridentifikasi sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Kelas hutan rakyat pada citra Landsat memiliki warna hijau tua hingga hijau kekuningan dengan pola yang tidak teratur dan bentuk yang berbeda-beda tergantung dari luasan hutan rakyat tersebut. Adanya perbedaan kenampakan warna hutan rakyat ini dari warna hijau tua hingga hingga kekuningan dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jarak tanam tanaman kayu yang dibudidayakan dalam pengelolaan hutan rakyat. Pada kenampakan warna hijau hingga hijau tua, pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan cenderung dengan membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman kayu seperti mahoni, sengon dan kelapa di suatu lokasi, dan jarak tanam yang digunakan cukup rapat. Sedangkan pada kenampakan warna hijau hingga hijau kekuningan (Gambar 5a), pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan cenderung dengan membudidayakan tanaman kayu secara monokultur di suatu lokasi. Dalam penelitian ini, kelas hutan rakyat yang banyak teridentifikasi adalah hutan rakyat campuran dengan membudidayakan dua atau lebih tanaman kayu dan tanaman pertanian dengan kenampakan warna hijau hingga hijau tua (Gambar 5b).

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 5000

Gambar 5 Kenampakan citra Landsat pada hutan rakyat monokultur (a) dan campuran (b)

Dalam analisis visual, kenampakan hutan rakyat terkadang juga memiliki rona warna hijau kekuningan bercampur merah. Hal ini dikarenakan hutan rakyat mempunyai karakter dalam hal letak atau lokasi tempat pengelolaan yang berada di


(37)

dekat perkampungan sehingga dengan karakter citra Landsat yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 m, untuk ketelitian hasil analisis visual perlu dilakukan pembuatan titik-titik ground check lapangan yang jumlahnya mewakili dari jumlah keseluruhan objek yang teridentifikasi hutan rakyat dan posisi titik-titik ground check lapangan yang sifatnya menyebar.

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 6 Kenampakan citra Landsat pada kelas hutan tanaman (a) dan kebun campuran (b)

Hutan tanaman (Gambar 6a) memiliki tampilan warna hijau bercampur warna coklat dan merah yang dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman Jati (Tectona grandis). Tanaman Jati hidup di daerah kering dan mempunyai tutupan daun yang tidak rapat sehingga mempengaruhi terhadap tampilan rona dan warna pada citra. Kebun campuran (Gambar 6b) mempunyai tampilan warna hijau tua dengan tekstur kasar yang dipengaruhi oleh komposisi jenis yang beragam dan menggunakan pola tanam yang rapat. Kebun campuran dan hutan rakyat umumnya sulit diidentifikasi karena beberapa hutan rakyat mempunyai karakter budidaya kayu dengan komposisi jenis yang beragam.


(38)

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 7 Kenampakan citra Landsat pada kelas lahan terbuka (a) dan pemukiman (b)

Hasil analisis visual citra Landsat pada kelas pemukiman (Gambar 7b) dan lahan terbuka (Gambar 7a) umunya memiliki warna kombinasi pink, merah, dan merah tua. Pada kelas pemukiman dan lahan terbuka sulit dilakukan identifikasi karena memiliki kombinasi tampilan warna yang cukup sama. Pemukiman biasanya memiliki jaringan jalan yang tinggi sehingga jaringan jalan pada poligon pemukiman lebih rapat dan teratur dibandingkan dengan yang lainnya.

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 8 Kenampakan citra Landsat pada kelas sawah berair (a) dan sawah bervegetasi (b)

Pada kelas tutupan sawah cenderung lebih mudah dibedakan dengan kelas lainnya adalah pada sawah dengan fase sedang diolah dan digenangi air. Pada sawah dengan tahapan sedang diolah dan digenangi air (gambar 8a) memiliki tampilan


(39)

warna biru dengan tone gelap dan tekstur halus, sedangkan pada sawah dengan fase sawah bervegetasi (Gambar 8b) memiliki tekstur halus dengan tampilan warna hijau kecoklatan. Pada analisis visual citra landsat di kelas ini memiliki kesulitan dalam membedakan antara sawah irigasi dan sawah tadah hujan. hal ini dikarenakan adanya kesamaan elemen intrepetasi yaitu berwarna biru pada sawah di fase berair dan ditanami dan hijau kecoklatan pada fase bervegetasi.

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 9 Kenampakan citra Landsat pada kelas badan air (a) dan rawa semak (b) Kelas badan air (Gambar 9a) merupakan semua kenampakan perairan, sungai, waduk, danau, kolam, dll yang tampak dalam tampilan warna citra Landsat. Badan air memiliki ciri dengan tekstur halus, berwarna biru dalam bentuk memanjang dan berliku-liku pada sungai. Kelas rawa semak dan sawah dengan fase tergenang air dan ditanami cukup sulit dibedakan karena kedua kelas mempunyai tekstur halus dan tampilan rona yang cukup sama. Kelas rawa semak (Gambar 9b) memiliki tampilan kombinasi warna biru tua dan coklat tua. Kelas ini memiliki tekstur yang lebih kasar dari pada kelas badan air. hal ini dikarenakan kondisi lapangan pada kelas rawa semak adalah genangan air yang bercampur dengan tanaman semak.


(40)

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 10 Kenampakan citra Landsat pada kelas pertanian lahan kering (a) dan semak belukar (b)

Pada kelas pertanian lahan kering (Gambar 10a) memiliki tampilam kombinasi warna pink, merah, hijau, dan kuning. Kelas pertanian lahan kering dan pemukiman memiliki kesulitan dalam membedakan kedua kelas tersebut. Hal ini dikarenakan kelas pertanian lahan kering biasanya terdapat disekitar kelas pumukiman. Kelas semak belukar (gambar 10b) memiliki kombinasi tampilan warna hijau muda dan hijau tua. Adanya kombinasi warna tersebut dikarenakan beragam kombinasi jenis tanaman semak.

Informasi tambahan sangat diperlukan dalam penafsiran citra khususnya pada kelas tutupan lahan yang memiliki tampilan yang sama secara visual dan sulit dibedakan. Informasi tambahan tersebut dapat berupa peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, informasi ketinggian tempat, serta peta sebaran dan kelas umur hutan tanaman.


(41)

Gambar 11 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 1994


(42)

Gambar 13 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 2005


(43)

5.3 Analisis Separabilitas

Analisis separabilitas dilakukan untuk mengukur keterpisahan tiap kelas dengan melihat perbedaan digital number (DN) di setiap piksel pada masing-masing kelas tutupan lahan. Analisis ini dilakukan pada klasifikasi citra Landsat tahun 2000 dan tahun 1994. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pada proses separabilitas, metode yang dipilih yaitu transformed divergence karena metode ini baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar kelas dan memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas (Jaya 2010).

Metode ini juga dapat mengukur tingkat keterpisahan tiap kelas dengan mengukur jarak antar kelas secara statistik. Semakin besar jarak antar satu kelas dengan kelas yang lain maka kelas-kelas yang diambil cukup homogen sehingga ragamnya kecil. Kombinasi band yang dipilih dalam klasifikasi ini mengacu pada komposit warna standart Departemen Kehutanan dengan kombinasi band 5-4-3 dengan warna berturut-turut red, green, blue.

Dari tabel 12 diatas menunjukkan bahwa klasifikasi citra Landsat tahun 1994 memiliki rata-rata tingkat keterpisahan sebesar 1957. Dari 66 pasangan klasifikasi tutupan lahan yang diuji, sebanyak 40 pasang mempunyai separabilitas yang sangat baik, 19 pasang mempunyai separabilitas baik, 1 pasang mempunyai separabilitas cukup, 3 pasang mempunyai separabilitas kurang, 3 pasang mempunyai separabilitas tidak terpisahkan. Pasangan yang tidak dapat dipisahkan yaitu kelas rawa semak dengan kelas sawah dengan nilai separabilitas 1095, kelas pemukiman dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas 1584, dan kelas lahan terbuka dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas 1593.

Pada umumnya kelas yang tidak dapat dipisahkan dikarenakan adanya kesamaan penampakan visual dalam bentuk rona dan asosiasi antar objek pada setiap kelas. Pada kelas sawah yang berair dan bervegetasi, memiliki penampakan tekstur dan rona warna yang sama dengan kelas rawa semak dengan warna biru hingga biru tua dengan tekstur halus. Sedangkan pada beberapa kelas hutan rakyat yang berada di sekitar pemukiman penduduk, memilki penampakan rona warna yang sama dengan


(44)

kelas pemukiman yaitu kombinasi warna hijau muda dan merah. Hal ini dikarenakan beberapa pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan sistem pekarangan sehingga pada beberapa titik penampakan visual kelas hutan rakyat menyerupai kelas pemukiman. Pada kelas hutan rakyat yang telah dilakukan penebangan dan hutan rakyat yang baru dilakukan penanaman pasca tebangan (replanting) mempunyai penampakan rona warna yang menyerupai kelas lahan terbuka yaitu warna hijau muda dan merah muda (pink). Nilai separabilitas selengkapnya disajikan pada Tabel 11 untuk tahun 1994 dan Tabel 12 untuk tahun 2000.

Tabel 11 Matrik keterpisahan tiap kelas pada citra Landsat tahun 1994

Kelas Klasifikasi

BA SW HR AW BA RS HT PM SB KC LT PLK

Badan air 0 200

0

2000 2000 2000 2000 2000 2000 200 0 200 0 200 0 2000

Sawah 2000 0 2000 2000 1791 1095 2000 1978 200

0 200 0 200 0 2000 Hutan rakyat

2000 200 0

0 1974 1997 2000 1907 1584 200

0 200 0 159 3 2000

Awan 2000 200

0

1974 0 2000 2000 2000 1998 200

0 200 0 191 0 2000 Bayangan awan

2000 179 1

1997 2000 0 1787 2000 1767 200

0 200 0 200 0 2000 Rawa semak 2000 109

5

2000 2000 1787 0 2000 1931 200

0 200 0 200 0 2000 Hutan tanaman

2000 200 0

1907 2000 2000 2000 0 1842 200

0 200 0 200 0 2000 Pemukiman 2000 197

8

1584 1998 1767 1931 1842 0 200

0 200 0 199 6 2000 Semak belukar

2000 200 0

2000 2000 2000 2000 2000 2000 0 200

0 200 0 2000 Kebun campuran

2000 200 0

2000 2000 2000 2000 2000 2000 200 0

0 200

0

2000 Lahan

terbuka

2000 200 0

1593 1910 2000 2000 1999. 99

1996 200 0

200 0

0 2000

Pertanian lahan kering

2000 200 0

2000 2000 2000 2000 2000 2000 200 0 200 0 200 0 0

Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 1994

Pada hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2000 menunjukkan hasil klasifikasi memiliki rata-rata tingkat keterpisahan sebesar 1959. Dari 66 pasangan klasifikasi tutupan lahan yang diuji, sebanyak 37 pasang mempunyai separabilitas yang sangat baik, 22 pasang mempunyai separabilitas baik, 1 pasang mempunyai separabilitas cukup, 4 pasang mempunyai separabilitas kurang, 2 pasang mempunyai separabilitas tidak terpisahkan. Pasangan yang tidak dapat dipisahkan yaitu kelas pertanian lahan kering dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas 1438. Hal ini dikarenakan


(45)

adanya kesamaan rona warna kedua kelas tersebut pada kelas hutan rakyat yang dikelola dengan sistem agroforestry antara tanaman sengon dengan tanaman pertanian. Selain itu, kelas pertanian lahan kering dengan kelas hutan tanaman juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai separabilitas 1593. Nilai ini didapatkan karena kelas hutan tanaman di lokasi penelitian dikelola dengan melakukan budidaya tanaman Jati yang memiliki penampakan visual menyerupai kelas pertanian lahan yaitu kombinasi hijau muda, kuning, dan merah muda (pink).

Tabel 12 Matrik keterpisahan tiap kelas pada citra Landsat tahun 2000

Kelas Klasifikasi

BA SW HR AW BA RS HT PM SB KC LT PLK

Badan air 0 2000 2000 200

0

200 0

200 0

2000 2000 2000 200

0

2000 2000

Sawah 200

0

0 1985 200

0

200 0

200 0

2000 1956 1911 200

0

2000 1985 Hutan

rakyat

200 0

1985 0 200

0

200 0

200 0

1617 2000 1999 200

0

1667 1438

Awan 200

0

2000 2000 0 200

0

200 0

2000 2000 2000 200

0

2000 2000 Bayangan

awan

200 0

2000 2000 200 0

0 185

3

2000 2000 2000 200

0

2000 2000 Rawa semak 200

0

2000 2000 200 0

185 3

0 2000 2000 2000 200

0

2000 2000 Hutan

tanaman

200 0

2000 1617 200 0

200 0

200 0

0 2000 2000 198

8

1948 1593 Pemukiman 200

0

1956 2000 200 0

200 0

200 0

2000 0 1733 200

0

2000 1952 Semak

belukar

200 0

1911 1999 200 0

200 0

200 0

2000 1733 0 199

9

2000 1929 Kebun

campuran 200 0

2000 2000 200 0

200 0

200 0

1988 1997 1999 0 2000 1772

Lahan terbuka

200 0

2000 1667 200 0

200 0

200 0

1948 2000 2000 200

0

0 1981

Pertanian lahan kering

200 0

1985 1438 200 0

200 0

200 0

1593 1952 1929 177

2

1981 0

Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 2000

5.4 Perhitungan Uji Akurasi Hasil Klasifikasi

Penghitugan uji akurasi dilakukan untuk melihat keakuratan atau ketelitian hasil dari klasifikasi objek pada citra. Dalam melakukan uji akurasi, dibutuhkan data atau referensi untuk membandingkan hasil klasifikasi yang dihasilkan. Data yang digunakan adalah data keadaan sebenarnya di lapangan dalam bentuk peta atau titik-titik ground check lapangan. Untuk menguji tingkat akurasi klasifikasi objek pada citra, idealnya data yang menjadi acuan adalah data keadaan sebenarnya di lapangan


(46)

pada tahun yang sama dengan tahun perekaman citra yang diklasifikasi. Data acuan yang digunakan untuk menguji akurasi citra pada tahun yang lampau dapat juga menggunakan data tahun ini, namun nilai hasil klasifikasi yang dihasilkan akan cenderung kurang akurat karena adanya perbedaan tahun tersebut memiliki kemungkinan terjadinya perubahan tutupan lahan sebenarnya di lapangan sehingga nilai penghitungan akurasi pembuat (producer’s accuracy), akurasi pengguna (user’s accuracy), akurasi umum (overall accuracy), dan akurasi kappa yang dihasilkan menjadi kurang akurat.

Dalam pengujian hasil akurasi pada citra tahun perekaman tahun 1994, 2000, 2005, 2010 dilakukan dengan menggunakan data acuan titik-titik ground check lapangan tahun 2012. Hasil uji akurasi selengkapnya disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010

Tahun Akurasi

Kappa (%) Overall (%) User (%) Producer (%)

1994 89,03 90,32 90,93 84,45

2000 89,6 90,44 91,88 85,86

2005 93,03 95,45 92,62 97,39

2010 97,21 98,18 96,66 97,85

Sumber : Analisis akurasi citra Landsat tahun perekaman 1994, 2000, 2005, 2010

Berdasarkan Tabel 13, pada uji akurasi citra Landsat tahun 1994, nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) terbesar terdapat pada 3 kelas yaitu kelas badan air, awan, dan bayangan awan. Pada kelas tersebut diperoleh nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) sebesar 100 %. Sedangkan untuk nilai yang terkecil terdapat pada kelas lahan terbuka, yaitu sebesar 33,33 %. Hal ini dikarenakan adanya piksel kelas lain yang masuk kelas lahan terbuka, yaitu 1 piksel kelas pertanian lahan kering dan 11 piksel kelas hutan tanaman.

Pada klasifikasi ini juga diperoleh nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) terbesar yang terdapat pada 3 kelas, yaitu kelas awan, bayangan awan, dan rawa semak. Pada kelas tersebut diperoleh nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) sebesar 100 %. Sedangkan untuk nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) terkecil terdapat pada kelas semak belukar, yaitu sebesar 78,57 %. Hal ini dikarenakan dari total 42 piksel yang digunakan sebagai training area pada kelas semak belukar,


(1)

Lampiran 3 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2005

Kelas BA HT LT PM HR KC PLK RS SW SB Total PA (%)

BA 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

HT 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

LT 0 0 4 1 0 0 0 0 0 0 5 80

PM 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 5 100

HR 0 0 0 0 61 2 0 0 0 2 65 93.85

KC 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 5 100

PLK 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 5 100

RS 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5 100

SW 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 5 100

SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 5 100

Total 5 5 4 6 61 7 5 5 5 7 110 -

UA (%) 100 100 100 83.33 100 71,43 100 100 100 71.43 - -

OA (%) 95.45

Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 2005

Lampiran 4 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2010

Kelas BA HT LT PM HR KC PLK RS SW SB Total PA (%)

BA 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

HT 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

LT 0 0 4 1 0 0 0 0 0 0 5 80

PM 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 5 100

HR 0 0 0 0 64 0 0 0 0 1 65 98.46

KC 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 5 100

PLK 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 5 100

RS 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5 100

SW 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 5 100

SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 5 100

Total 5 5 4 6 64 5 5 5 5 6 110 -

UA (%) 100 100 100 83.33 100 100 100 100 100 83.33 - -

OA (%) 98.18


(2)

70

LAMPIRAN

Lampiran 1 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2000

Kelas BA SW HR AW BW RS HT PM SB LT KC PLK Total PA (%)

BA 11 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 13 86.42

SW 0 77 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 80 96.25

HR 0 0 199 0 0 0 6 0 0 0 6 5 216 92.13

AW 0 1 0 86 0 0 0 1 0 0 0 0 88 97.73

BW 0 0 0 0 84 3 0 0 0 0 0 0 87 96.55

RS 0 0 0 0 9 66 0 0 0 0 0 0 75 88

HT 0 0 16 0 0 0 93 0 0 1 0 6 116 80.17

PM 0 0 0 2 0 0 0 64 1 0 0 0 67 95.52

SB 0 2 0 0 0 0 0 5 37 0 0 1 45 82.22

LT 0 0 0 0 0 0 1 0 0 6 0 3 10 60

KC 0 0 12 0 0 0 1 0 0 0 55 0 68 80.88

PLK 0 0 5 2 0 0 5 0 0 0 0 35 47 74.47

Total 11 80 232 90 94 71 106 71 39 7 61 50 912 -

UA (%) 100 96.25 85.78 95.56 89.36 92.96 87.74 90.14 94.87 85.71 90.16 70 - -

OA (%) 89.14


(3)

Lampiran 2 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1994

Kelas BA SW HT KC PM SB LT PLK AW BW HR RS Total PA (%)

BA 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 40 100

SW 1 59 3 0 1 3 0 0 0 0 0 0 67 88.06

HT 0 0 81 0 0 0 1 9 0 0 7 0 98 82.65

KC 0 0 1 39 0 0 0 0 0 0 1 0 41 95.12

PM 0 0 0 0 25 4 0 0 0 0 0 0 29 86.21

SB 0 10 0 0 0 33 0 2 0 0 1 0 46 71.74

LT 0 0 11 0 0 0 6 1 0 0 0 0 18 33.33

PLK 0 0 2 0 0 2 0 58 0 0 0 0 62 93.55

AW 0 0 0 0 0 0 0 0 48 0 0 0 48 100

BW 0 0 0 0 0 0 0 0 0 118 0 0 118 100

HR 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 133 0 136 97.79

RS 0 5 1 1 0 0 0 0 0 0 0 13 20 65

Total 41 74 102 40 26 42 7 70 48 118 142 13 723 -

UA (%) 97.56 79.73 79.41 97.50 96.15 78.57 85.71 82.86 100 100 93.66 100 - -

OA (%) 90.32


(4)

72

Lampiran 3 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2005

Kelas BA HT LT PM HR KC PLK RS SW SB Total PA (%)

BA 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

HT 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

LT 0 0 4 1 0 0 0 0 0 0 5 80

PM 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 5 100

HR 0 0 0 0 61 2 0 0 0 2 65 93.85

KC 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 5 100

PLK 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 5 100

RS 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5 100

SW 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 5 100

SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 5 100

Total 5 5 4 6 61 7 5 5 5 7 110 -

UA (%) 100 100 100 83.33 100 71,43 100 100 100 71.43 - -

OA (%) 95.45

Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 2005

Lampiran 4 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2010

Kelas BA HT LT PM HR KC PLK RS SW SB Total PA (%)

BA 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

HT 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 5 100

LT 0 0 4 1 0 0 0 0 0 0 5 80

PM 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 5 100

HR 0 0 0 0 64 0 0 0 0 1 65 98.46

KC 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 5 100

PLK 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 5 100

RS 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5 100

SW 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 5 100

SB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 5 100

Total 5 5 4 6 64 5 5 5 5 6 110 -

UA (%) 100 100 100 83.33 100 100 100 100 100 83.33 - -

OA (%) 98.18


(5)

SYAUQI AHMADA. E14080121. 2013. Monitoring Luas Hutan Rakyat Berdasarkan Citra Landsat : Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh

Dr. Ir. Emi Karminarsih, MS. dan Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si.

Seiring dengan semakin berkembangnya luas hutan rakyat yang ada, maka diperlukan monitoring secara spasial terhadap perkembangan hutan rakyat tersebut agar data yang dihasilkan dapat digunakan untuk menunjang usaha pengembangan pengelolaan kedepannya. Untuk membantu dalam menyajikan informasi yang dapat diupdate secara cepat, penggunaan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra Satelit Landsat merupakan salah satu cara untuk melakukan monitoring terhadap perubahan luas hutan rakyat tersebut

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan menggunakan citra Landsat tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010. Klasifikasi tutupan lahan dilakukan secara visual pada citra tahun 2005 dan 2010 dan secara digital pada citra tahun 1994 dan 2000. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan luas hutan rakyat dilakukan secara open type interview dan nonstructured interview. Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan uji akurasi (kappa, overall, user, dan producer) serta analisis separabilitas. Sedangkan metode dalam analisis perubahan hutan rakyat adalah post-classification comparasion.

Hasil analisis digital citra Landsat menampilkan 12 kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman jati, lahan terbuka, pemukiman, hutan rakyat, kebun campuran, pertanian lahan kering, rawa semak, sawah, semak/belukar, awan, dan bayangan awan. Sedangkan analisis visual citra Landsat menampilkan 10 kelas dengan jenis kelas yang sama dengan analisis digital tanpa adanya kelas awan dan bayangan awan. Hasil akurasi klasifikasi citra Landsat didapatkan nilai kappa 97,21 %, overal 98,18 %, user 96,66 %, dan producer 97,85 % pada citra tahun 2010. Nilai kappa 93,03 %, overall 95,45 %, user 92,62 %, dan producer 97,39 % pada citra tahun 2005. Nilai kappa 87,6 %, overall 89,14 %, user 91,88 %, dan producer 85,86 % pada citra tahun 2000. Selanjutnya nilai kappa 89,03 %, overall 90,32 %, user 90,93%, dan producer 84,45 % pada citra tahun 1994.

Pada periode tahun 1994 – 2010 terjadi dinamika pertambahan luas hutan rakyat yang dikarenakan adanya alih fungsi penggunaan lahan, yaitu: tahun 1994 diperoleh luas 4282,45 ha, tahun 2000 diperoleh 6501,61 ha, tahun 2005 diperoleh luas 8077,41 ha, dan pada tahun 2010 diperoleh luas 8157,41 ha. Faktor yang mempengaruhi adanya pertambahan luas hutan rakyat tersebut, yaitu adanya kepastian kepemilikan lahan, kepastian akses pasar, kelembagaan yang baik, budaya menanam atau kearifan lokal pada masyarakat, dan adanya success story dibidang usaha kayu rakyat diantara anggota masyarakat setempat.


(6)

SUMMARY

SYAUQI AHMADA. E14080121. 2013. Monitoring community forests area based on citra Landsat : Case in Cikalong District, Tasikmalaya Regency, West Java. Report. Forest Management. Bogor Agricultural University. Supervised by Dr. Ir. Emi Karminarsih, MS. and Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si.

Increasing of community forest become larger than previous age related to increasing of spatial monitoring to the community forest development, the objective of this program to support the operational management development in future. To help presenting the information and updatable quickly, remote sensing technology with Landsat satelite is a method to monitor the changing community forest area.

This research held in Cikalong District, Tasikmalaya Regency, West Java by using citra landsat which captured in 1994, 2000, 2005 and 2010. Land cover classification visual analysis in citra 2005 and 2010 and digital analysis in citra 1994 and 2000. Factors that influence to the development of community forest area were identified by using open type interview and non-structured interview methods. Success evaluation measured by using accuracy test (kappa, overall, user and producer) and separability analysis. While, the measurement to analyze alteration from community forest area by using the post classification comparasion method.

The result from digital analysis by using citra landsat showed 12 classes of land covers, i.e water flow, plantation forest, open area, settlement, community forest, mixing farm, dry agriculture area, swamp, rice field, bush, cloud, and cloud shadow. Citra Landsat visual analysis showed 10 classes similar with digital analysis without cloud and cloud shadow. Accuracy result from citra landsat classification showed the value of kappa 97,21 %, overall 98,18 %, user 96,66 %, and producer 97,85 % in citra 2010. The value of kappa 93,03 %, overall 95,45 %, user 92,62 %, and producer 97,39 % in citra 2005. Value of kappa 87,6 %, overall 89,14 %, user 91,88 %, and producer 85,86 % in citra 2000. Value of kappa 89,03 %, overall 90,32 %, user 90,93%, and producer 84,45 % in 1994.

The period between 1994-2010 community forests increased dynamically because of over function land use to be community forests especially mixing farm and dry agricultural area. In 1994 community forest showed at 4282,45 ha , 6501,61 ha in 2000, 8077,41 in 2005 and 8157,41 in 2010. The factors that influence increasing community forests is land tenure, good market access, good institutional, planting culture or local wisdom and success story about community woods entrepreneur between local community.