Latar Belakang Manfaat keanggotaan indonesia dalam indian ocean tuna commission (IOTC)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya ikan tuna selalu berpindah tempat dalam kehidupannya tanpa mengenal batas negara. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh suatu negara belum tentu efektif jika negara lain yang menangkap sumberdaya yang sama tidak peduli dengan upaya pengelolaan yang sedang diterapkannya. Kerjasama pengelolaan perikanan di antara negara-negara tersebut sangat diperlukan. Kepentingan bersama antar negara dalam pengelolaan perikanan mendorong terbentuknya organisasi perikanan regional yang lebih dikenal dengan istilah Regional Fisheries Management Organization RFMO. Salah satu contoh RFMO adalah North Atlantic Fisheries Organization NAFO yang merupakan institusi kerjasama perikanan antara Kanada dan Amerika Serikat. Bagi ikan-ikan yang bermigrasi jauh seperti tuna, organisasi semacam itu mencakup daerah yang lebih luas dan melibatkan banyak negara. Misalnya, untuk perikanan tuna di Samudera Atlantik terdapat ICCAT International Comission for the Conservation of Atlantic Tuna di samping negara-negara yang berbatasan dengan Samudera Atlantik, dua negara lain yaitu Jepang dan Korea Selatan juga sebagai anggota karena armadanya ikut menangkap ikan tuna di sana. Sementara itu di samudera Pasifik kawasan timur terdapat IATTC Inter-American Tropical Tuna Commission yang memiliki anggota terdiri atas Amerika Serikat United States of America dan beberapa negara Amerika Latin yang menangkap ikan di sana termasuk anggotanya. Di samudera Pasifik kawasan tengah dan barat yang berbatasan langsung dengan Indonesia, negara-negara di daerah ini sepakat untuk membentuk Western and Central Pasific Fisheries Commission WCPFC. Begitu juga dengan kawasan samudera Hindia, dimana Indonesia terlibat di dalamnya, yaitu IOTC Indian Ocean Tuna Comission. RFMO sebagai organisasi pengelola perikanan antar negara mulai berkembang pada tahun 1960-an Satria et al., 2009. Perkembangan RFMO didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak bermigrasi dan melintasi batas wilayah antar negara transboundary. Niat untuk bekerja-sama tersebut muncul setelah ada kesadaran bahwa kegiatan penangkapan ikan di suatu negara akan dapat mempengaruhi status sumber daya ikan dan kinerja armada perikanan tangkap di negara lain yang memanfaatkan sumber daya ikan yang sama. Jika setiap negara berlomba meningkatkan produksi perikanannya, baik dengan cara meningkatkan upaya penangkapan ikan maupun cara lainnya, maka sumber daya ikan tersebut secara keseluruhan dapat terancam sehingga keberlanjutan usaha perikanan juga menjadi terancam. Faktor lain yang mendorong pembentukan RFMO adalah munculnya sejumlah konflik internasional di bidang perikanan pada tahun 1990-an. Konflik tersebut diantaranya adalah konflik di antara Amerika Serikat, Uni Soviet dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di luar perairan wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan konflik antara Kanada dan Uni Eropa di bagian barat laut samudera Atlantik de Fontaubert dan Luchman, 2003 Saat ini di setiap samudera sudah ada sejumlah RFMO. Aturan-aturan yang ada di dalam setiap RFMO tersebut menuntut konsistensi dan komitmen setiap negara anggota untuk mematuhi kesepakatan atau peraturan-peraturan yang dibuat. Posisi geografi negara anggota suatu RFMO umumnya tidak selalu berdekatan dengan kawasan pengelolaan RFMO. Hal ini terjadi mengingat bukan kedekatan geografis yang diutamakan tetapi lokasi dari aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan dari negara tersebut. Bagi negara yang tidak atau belum menjadi anggota suatu RFMO, saat ini sebaiknya sudah mulai mengikuti perkembangan peraturan-peraturan perdagangan internasional Satria, 2009. Peraturan-peraturan tersebut dirancang sedemikian rupa dengan berbagai tujuan, namun yang terutama adalah kelestarian sumber daya ikan dan perlindungan konsumen. Tarafsofsky 2007 mengungkapkan bahwa beberapa RFMO menetapkan sanksi perdagangan, khususnya terhadap kapal-kapal yang melakukan praktek-praktek IUU fishing. Menurut Mc Dorman 2005 dalam Satria 2009, dua aspek penting yang terkait kewenangan suatu RFMO adalah besar kuota penangkapan ikan dan peraturan-peraturan. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan serta alokasi kuota pada setiap anggota RFMO. Penentuan alokasi kuota biasanya dilakukan dalam suatu pertemuan rutin tahunan dimana kerap menjadi ajang perdebatan antar masing-masing anggota RFMO. Perdebatan itu muncul karena setiap negara memperjuangkan kepentingan ekonomi untuk memperoleh kuota tangkapan yang dianggap wajar bagi masing-masing negara. Perjuangan untuk mendapatkan kuota dalam suatu RFMO merupakan perjuangan politik tingkat tinggi yang harus dilakukan melalui negosiasi intensif dengan negara-negara lain sesama anggota. Peraturan-peraturan diperlukan agar terjadi ketertiban di kawasan dan terbangun keharmonisan di antara peraturan-peraturan regional dan negara- negara. Peraturan-peraturan tersebut mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, musim tidak boleh menangkap ikan, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. IOTC merupakan salah satu RFMO yang mengelola sumber daya ikan yang berada tepat berdampingan dengan perairan Indonesia. Sejak diterbitkannya Perpres No.9 Tahun 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Komisi Tuna Samudra Hindia, dan pelaksanaan sidang tahunan IOTC ke-11 pada tanggal 13-18 Mei 2007 di Mauritius, Indonesia resmi menjadi anggota IOTC yang ke 27. Bergabungnya Indonesia di organisasi ini tentu dilakukan setelah melihat peluang manfaat yang akan muncul dari keanggotaan di IOTC. Selain itu, desakan dari pengusaha sebagai pelaku utama perikanan tuna yang menuntut pemerintah untuk menyegerakan peresmian Indonesia menjadi anggota tetap IOTC. Hal inilah yang menjadi alasan utama dilakukannya penelitian ini.

1.2 Tujuan