1. Melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi yang sah, otorisasi atau izin yang
dikeluarkan oleh negara bendera berdasarkan Pasal 18 ayat 3 a; 2.
Gagal untuk memelihara catatan yang akurat mengenai hasil tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana disyaratkan oleh RFMO
atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau regional yang terkait atau memberi laporan tangkap yang tidak benar, bertentangan dengan
persyaratan-persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut; 3.
Melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, selama musim yang tertutup atau setelah pencapaian dari suatu kuota yang ditetapkan
oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional;
4. Mengarahkan penangkapan ikan suatu stok yang tunduk pada moratorium
atau pelarangan terhadap kegiatan penangkapan ikan; 5.
Menggunakan alat tangkap yang dilarang; 6.
Memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas atau pendaftaran dari kapal perikanan;
7. Menyembunyikan atau merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan
dengan suatu penyelidikan; 8.
Melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan pengelolaan dan konservasi;
dan 9.
Pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan
subregional atau regional terkait.
2.3 RFMO Regional Fisheries Management Organization
RFMO dibentuk karena sifat ikan yang selalu bergerak migrasi dan melintasi batas negara transboundary. Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan
yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan kerusakankepunahan ikan di negara lain. Hal inilah yang mendorong kepentingan bersama dalam
membentuk RFMO di suatu kawasan.
Hingga saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada
perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Dapat kita lihat pada Gambar 1, bahwa hampir semua wilayah perairan di dunia telah diatur oleh
organisasi tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di dalamnya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut.
Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait dengan pertimbangan geografis negara yang bersangkutan, namun lebih pada di wilayah perairan mana
suatu negara melakukan aktivitas penangkapan ikan. Bagi negara yang tidak menjadi anggota dan melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan
tertentu, saat ini sudah mulai dipikirkan adanya sanksi perdagangan internasional.
Gambar 1 Peta kawasan pengelolaan sejumlah regional fisheries managaement organization RFMO. Sumber: FAO 2002
RFMO yang terbentuk di laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia, sebagai berikut:
1. Indian Ocean Tuna Comission IOTC
IOTC merupakan institusi regional yang mengatur yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera
Hindia dan sekitarnya. Lebih jelasnya mengenai IOTC dibahas pada bab IV. 2.
The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT
Di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawan Pasifik terdapat CCSBT Gambar 2. Pembentukan CCSBT didasari oleh
menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru southern bluefin tuna dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan
hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang
dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota hasil
tangkapan kapal ikannya. Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru
menandatangani Convention for The Conservation of Souhtern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga
negara tersebut melakukan formalisasi pembentukan Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna
. Efektifitas pelaksanaan Konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan penangkapan tuna sirip biru,
namun belum menjadi anggota seperti Korea, Taiwan dan Indonesia.
3. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish
Stock in the Western and Central Pasific Ocean WCPFC
Negara-negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan di sekitarnya melakukan negosiasi selama empat tahun dan
berhasil menyepakati Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean
yang ditandatangani pada tanggal 5 September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat.
Namun demikian konvensi ini baru berlaku efektif pada tanggal 19 Juni 2004. Negara yang sudah meratifikasi atau menyepakati konvensi ini, yaitu Australia,
Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall Island, Tonga dan Tuvalu. Sedangkan negara yang yang berstatus sebagai non-
cooperating parties adalah Belize dan Indonesia.
Indonesia belum menetapkan status sebagai non-cooperating parties. Padahal beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan Indonesia dalam
WCPFC, antara lain:
1. Aspek politik domestik, akan mendukung kebijakan nasional bagi upaya
konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrsi jauh di wilayah Samudera Pasifik Bagian Barat dan Tengah;
2. Aspek politik luar negeri, akan memperkuat posisi Indonesia dalam forum
organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara pihak pada UNCLOS 1982 bagi
kerjasama internasional dalam kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan;
3. Aspek teknis ekonomi, akan memberikan peluang bagi Indonesia dalam
mengakses bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta untuk menghindari adanya embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh
negara-negara anggota WCPFC seperti yang sudah diberlakukan sebelumnya oleh CCSBT untuk ekspor tuna sirip biru Indonesia sejak 1 Juli
2005. Hal ini dimaksudkan demi mempertahankan akses pasar global yang sudah ada selama ini; dan
4. Dengan menjadi anggota WCPFC, akan memudahkan proses pertukaran
informasi dan data perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dan adanya alih teknologi untuk Indonesia sebagai negara berkembang
dalam kegiatan konservasi sumberdaya ikan di wilayah Samudera Pasifik
bagian Barat dan Tengah.
2.4 Peraturan mengenai Laut Lepas