6 dengan sagu Malaysia. Bahkan beberapa varietas sagu asal Kendari Sulawesi
Tenggara dan Bukit Tinggi Sumatera Barat mampu memproduksi pati lebih dari 300 kg per pohon. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cukup
modal untuk mengembangkan industri pengolahan sagu. Granula pati sagu berukuran lebih besar daripada ukuran granula pati
kebanyakan Cecil et al., 1982. Bentuk granula pati sagu adalah ovoidal dengan secara jelas terdapat bagian yang terpotong. Pati sagu mempunyai
suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69
o
C jika dibandingkan dengan pati lainnya Morgan, 1940 di dalam Cecil et al., 1982.
Swinkels 1985 mengemukakan bahwa perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati sagu yaitu 27 berbanding 73. Perbandingan amilosa dan
amilopektin akan memengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket
dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air.
Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI 1990, pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori
pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada
Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Komponen Jumlah Kalori kkal
353 Protein g
0.7 Lemak g
0.2 Karbohidrat g
84.7 Air g
14.0
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI 1990
B. GELATINISASI PATI
Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji-bijian atau umbi-umbian. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan
7 organik pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari udara
dan air dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari. Energi surya akan dikonversikan menjadi energi
kimia pada substansi atau zat yang dapat dimakan oleh manusia atau pun hewan pada umumnya Hodge dan Osman, 1976.
Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit Kristal dan unit amorphous. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen
utama, yaitu amilosa dan amilopektin serta material antara intermediate, seperti lipid dan protein Banks dan Greenwood, 1975. Unit Kristal lebih
tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphous dapat menyerap air dingin sampai 30 tanpa merusak struktur pati secara
keseluruhan Hodge dan Osman, 1976. Struktur amilosa berupa helix yaitu untaian lurus yang membentuk spiral
Gambar 2, sedangkan amilopektin memiliki percabangan karena unit-unit glukosanya terjalin dengan ikatan glikosida
α 1-6 selain ikatan α 1-4 Gambar 3. Komponen penyusun pati yang ketiga bervariasi menurut sumbernya, serta
dipengaruhi oleh sifat botani lainnya. Persentase komponen ketiga ini berkisar antara 5-10 persen pada pati biji-bijian Greenwood dan Munro, 1979.
Gambar 2. Struktur kimia amilosa Tharanathan, 2003
Gambar 3. Struktur kimia amilopektin Rudnik, 2008
8 Granula pati yang dimasukkan ke dalam air dingin tidak dapat larut,
tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Jika suatu polimer dalam keadaan kontak dengan sejumlah pelarut yang terbatas, maka fase
interaksi yang pertama adalah melarutnya bahan menjadi bentuk gel. Apabila pelarut berlebih maka struktur gel akan terdispersi kembali menjadi bentuk sol
Greenwood dan Munro, 1979. Pengembangan granula pati tersebut bersifat reversible
jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan irreversible jika telah mencapai suhu gelatinisasi.
Menurut McCready 1970, semakin meningkat suhu suspensi pati dalam air maka semakin besar pula pengembangan granulanya.
Pengembangan tersebut terjadi karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan
hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil lain. Bila suhu suspensi naik
maka ikatan hidrogen semakin melemah, sedangkan energi kinetik molekul- molekul air meningkat sehingga memperlemah ikatan hidrogen antar molekul
air. Suhu suspensi yang semakin meningkat akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah, sedangkan di lain pihak molekul-molekul air
memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme pengembangan granula pati dengan adanya molekul- molekul air Meyer, 1983
R = Rantai monosakarida glukosa
9 Pada akhirnya jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan
pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar dari granula dan masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan
kekentalan. Pengembangan granula digambarkan secara skematis pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema molekul amilosa dan amilopektin pada proses pengembangan granula pati McCready, 1970
Granula pati tersusun atas amilosa yang memiliki struktur helix berpilin dan amilopektin yang memiliki struktur bercabang. Masuknya air ke
dalam granula pati dapat merusak kristalinitas amilosa dan merusak struktur helix
. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Panas dan jumlah air yang banyak akan menyebabkan pembengkakan granula
pati yang tinggi dan menyebabkan amilosa berdifusi keluar dari granula pati. Granula yang telah rusak dan masih mengandung amilopektin menjadi
terperangkap dalam matriks amilosa sehingga membentuk gel Harper, 1990. Gelatinisasi pati merupakan hal yang utama untuk berbagai jenis
pangan. Proses seperti pemanggangan roti, produksi produk pasta dan camilan berbasis pati, sereal sarapan, dan makanan bayi sangat bergantung pada
ketepatan gelatinisasi pati untuk memperoleh konsistensi tekstur yang diinginkan pada produk akhir Olkku dan Rha, 1978. Peningkatan waktu
10 pemasakan, suhu pemanasan, dan kandungan uap air akan meningkatkan
jumlah pati yang tergelatinisasi di dalam produk pangan. Pada nasi, hal ini secara langsung berpengaruh terhadap karakteristik fisik seperti berkurangnya
kohesivitas, tidak memiliki kecenderungan untuk menggumpal, lebih lengket dan lebih tegar Robert et al., 1954
C. MODIFIKASI PATI DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT