Kode Etik Jurnalistik Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan

komunikasi massa dengan interpersonal communication kita akan mengetahui apa itu komunikasi massa,” katanya. Ciri khusus yang bisa membedakan keduanya terletak pada penerima pesannya audience. Di awal perkembangannya, defenisi komunikasi massa sebagai sebuah studi ilmiah terletak pada mass society sebagai audience komunikasi. Konsep mass society ini memang istilah yang sering dipakai dalam lapangan sosiologi yang mendeskripsikan orang- orang institusi mereka dalam sebuah negara industri maju. Kemudian istilah itu digunakan pula dalam komunikasi massa. Herbet Blumer 1939 kemudian menggunakan konsep ini yang berasal dari mass society untuk menyebutkan mass audience penerima pesan dalam komunikasi massa. Yang disebut dalam penerima komunikasi massa itu paling tidak mempunyai heterogenitas susunan anggotanya yang berasal dari berbagai kelompok lapisan masyarakat, berisi individu yang tidak saling mengenal dan terpisah satu sama lain tidak mengumpul serta tidak berinteraksi satu sama lain pula dan tidak mempunyai pemimpin atau organisasi formal. Bagi Nabeel Jurdi dalam bukunya Readings in Mass Comunnication 1983 disebutkan bahwa “in mass communication, there in no face-to-face contact dalam komunikasi massa, tidak ada tatap muka antar penerima pesan.

2.4 Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi pancasila, undang-undang dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma- norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh infomasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik KEJ Sukardi, 2012: 387. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, para wartawan Indonesia belum mempunyai KEJ. Begitu pula ketika Persatuan Wartawan Indonesia PWI, organisasi wartawan Indonesia tertua yang lahir setelah Februari 1946 belum ada KEJ. Penulisan pojok dengan berbagai nama pada waktu itu cukup tajam dan kadang-kadang bernuansa satire, sinis dan atau penuh anekdot, menimbulkan sejumlah kontroversi, termasuk perdebatan apa yang boleh dan tidak boleh ditulis dalam bidang jurnalistik. Dari sanalah kemudian muncul pemikiran perlu adanya kode etik di bidang jurnalistik di Indonesia Sukardi, 2009: 15. Pada tahun 1947 lahirlah KEJ pertama melalui perbuatan KEJ yang kemudian menjadi pengacara. Isi Kode Etik itu tidak lebih merupakan terjemahan dari Canon of Journalism, KEJ Wartawan Amerika pada masa itu. Setelah lahir Undang-undang No. 11 Tahun 1996 tentang pokok-pokok Pers, Dewan Pers membentuk ad hoc yang terdiri dari tujuh orang untuk merumuskan berbagai kode etik di bidang pers, termasuk KEJ. Sesudah adanya KEJ ini, PWI tidak pernah mencabut KEJ yang pernah mereka keluarkan sebelumnya sehingga ada dua KEJ. Untuk wartawan anggora PWI berlaku KEJ PWI dan yang bukan anggota PWI berlaku KEJ yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, PWI otomatis tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan, dan KEJ PWI tentu saja tidak dapat diterapkan lagi untuk wartawan yang tidak tergabung di PWI. Maka, tanggal 6 Agustus 1999 sebanyak 25 organisasi wartawan sepakat menelorkan Kode Etik Wartawan Indonesia KEWI. Kemudian 29 Juni 2000 KEWI ini disahkan oleh Dewan Pers. Terakhir, tanggal 14 Maret 2006 difasilitasi oleh Dewan Pers, sebanyak 29 organisasi pers gabungan 27 organisasi wartawan dan dua organisasi perusahaan pers kembali sepakat melahirkan KEJ. KEWI diganti karena KEWI bukanlah produk KEJ sebagaimana diamanatkan oleh UU Pers. PWI termasuk salah satu organisasi yang ikut menyetujui berlakunya KEJ ini sehingga anggota PWI juga menundukkan diri kedalam KEJ ini. Oleh karena itu, kemudian KEJ ini diberlakukan oleh Dewan Pers melalui Surat Keputusan Dewan Pers No. 03SK-DPIII2006 dan diperkuat dengan peraturan Dewan Pers No. 6Peraturan- DPV2008. Dengan pengertian KEJ berlaku untuk semua wartawan. Setidaknya ada dua alasan utama mengapa KEJ Wartawan Indonesia diganti dengan KEJ yang sekarang berlaku; 1. Untuk menegakkan etika profesi wartawan, para wartawan menyadari KEWI memerlukan sejumlah penyempurnaan. KEJ yang sekarang berlaku merupakan penyempurnaan dari KEWI sebelumnya. 2. KEJ dirancang sesuai dengan rujukan-rujukan normatif, termasuk disesuaikan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Misalnya soal penamaan. Secara singkat dan umum KEJ berarti, himpunan atau kumpulan mengenai etika di bidang jurnalistik yang dibuat oleh, dari dan untuk kaum jurnalis wartawan sendiri. Dengan kata lain, KEJ dibuat oleh kaum jurnalis wartawan sendiri berlaku juga hanya terbatas untuk kalangan jurnalis wartawan saja. Tiada satu orang atau badan lain pun yang dapat memakai atau menerapkan KEJ tersebut terhadap para jurnalis wartawan, termasuk menyatakan ada tidak pelanggaran etika berdasarkan KEJ itu. Dalam praktek seringkali wartawan menghadapi berbagai dilema, yang tidak diatur dalam KEJ Sukardi, 2012: 324-325. Dalam menghadapi dilema ini, keputusan apapun yang diambil oleh wartawan dapat sama-sama mengandung nilai besar atau salah, oleh sebab itu dibutuhkan suatu kematangan intuisi hati nurani yang didukung oleh niat dan nalar yang kuat dan teknikal yang benar. Contohnya dalam KEJ dijelaskan wartawan menghormati hak-hak pribadi seseorang, kecuali untuk kepentingan umum. Artinya, wartawan tidak boleh memasuki wilayah pribadi sebagai bahan berita kecuali ada kepentingan umum. Tetapi apakah yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu tidak dirumuskan secara kaku. Penafsiran pengertian “kepentingan umum” diserahkan kepada wartawan. Memang dalam banyak hal pemahaman “kepentingan umum” sudah menjadi “standar” sehingga mudah diketahui. Tetapi seringkali pula dalam praktek wartawan dibenturkan dalam suatu dilema apakah sesuatu pelanggaran haknya itu benar-benar untuk kepentingan umum atau tidak. Benturan-benturan dilema semacam ini menjadi salah satu masalah utama yang harus dihadapi para wartawan, padahal keputusan harus diambil cepat. KEJ menjaga dan mempertahankan kemerdekaan pers. Sesuai dengan sifat etika profesi yang dibuat dari oleh dan untuk kalangan profesi itu sendiri, KEJ dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jurnalis wartawan sehingga keberadaan KEJ justru mampu mempertahankan harkat dan martabat pekerjaan wartawan. Dengan adanya KEJ bukan saja wartawan dapat terhindar dari anarki, malapetaka dan persaingan tidak sehat sesama wartawan, tetapi juga wartawan memperoleh semacam perlindungan atau tameng dari kemungkinan tindakan-tindakan publik atau siapapun yang mencoba merongrong dan membatasi kemerdekaan pers dengan berbagai cara yang tidak sesuai dengan KEJ Sukardi, 2012: 325-326. Sukardi 2012: 329 menuliskan saat ini setidaknya ada tiga dasar berlakunya KEJ yang dipakai oleh wartawan Indonesia: a. Kesepakatan 29 organisasi pers seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 14 Maret 2006. b. Peraturan Dewan Pers No 6 Peraturan-DPV2008. c. Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan, “Wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”. Selain itu, bagaimana dampak juga diaturnya kode etik dalam Undang-Undang Pers, padahal sebenarnya etika profesi hanya diatur oleh dari dan untuk penyandang etika profesi itu sendiri. Oleh sebab itu, dikalangan pers dan hukum terdapat tiga pendapat tentang hal ini, yakni: a. Pendapat pertama menilai, pengaturan soal KEJ dalam undang-undang hanya bersifat deklaratif saja, tetapi mengenai mekanisme bagaimana KEJ itu dibuat, sifat-sifatnya, ruang lingkup, dan sanksinya pada akhirnya tetap diserahkan kepada mekanisme KEJ itu sendiri. b. Pendapat kedua menilai, diaturnya KEJ dalam undang-undang memang telah mencampuradukkan sifat-sifat etika menjadi sifat yuridis. Dengan demikian ruang lingkup etika sudah diperluas menjadi ruang lingkup hukum. Kesalahan etika pun menjadi sama dengan kesalahan hukum. Akibatnya KEJ kehilangan sifat etikanya dan telah berubah menjadi sifat hukum atau yuridis. c. Pendapat ketiga menilai, masalahnya harus dilihat kasus per kasus. Artinya, walaupun polanya sama tetapi kesimpulannya setiap kasus bisa tetap berbeda. Dalam hal ini KEJ sudah disepakati oleh 29 organisasi pers yang ada dan itu sudah sesuai dengan sifat etika profesi, dari oleh dan untuk kalangan etika profesi itu sendiri. Dengan demikian KEJ ini memenuhi syarat untuk diberlakukan Sukardi, 2012: 331. KEJ yang berlaku saat ini sudah dirancang dengan memperhatikan kemungkinan daya lakunya di berbagai media. KEJ mengandung nilai-nilai dasar di bidang jurnalistik yang dapat dipakai di semua media. Dengan demikian KEJ ini juga berlaku untuk media cetak, radio, televisi dan sebagainya.

2.4.1 Pers

Istilah ‘pers’ berasal dari bahasa belanda, yang dalam bahasa inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak printed publications. Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertiam luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran, sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah dan buletin kantor berita. Meskipun pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, pada umumnya orang menggangap pers itu media massa cetak: surat kabar dan majalah. Anggapan umum seperti itu disebabkan oleh ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media lain. Pers adalah lembaga kemasyarakatan social institution. Sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsitem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi memengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga kemasyarakatan lainnya. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara karena eksistensi pers dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi. Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm dalam bukunya yang terkenal berjudul FourTheories of the Press menyatakan bahwa pers di dunia sekarang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: a. Authoritarian press, b. Libertarian press, c. Social responsibility press, dan d. Soviet communist press Akan tetapi, diakui oleh ketiga pengarang tersebut bahwa sebenarnya kalau kategori itu disebut teori, Soviet Communist theory hanyalah perkembangan dari authoritariann theory, sedangkan apa yang disebut social responsibility theory hanyalah modifikasi darilibertarian theory. Authoritarian theory menjadi perkembangan Soviet Communisttheory yang tertua, yang muncul setelah mesin cetak ditentukan. Pada waktu itu apa yang disebut kebenaran truth adalah milik beberapa gelintir penguasa saja. Oleh karena itu, pers digunakan untuk memberi informasi kepada rakyat mengenai apa yang dipikirkan oleh pihak penguasa, apa yang diinginkan oleh mereka, dan apa yang harus didukung oleh rakyat. Dalam pada itu libertarian theory yang menjadi dasar modifikasi social responsibility merupakan kebalikan dari authoritarian theory dalam hal hubungan posisi manusia terhadap negara. Manusia tidak bisa lagi dianggap bebas untuk dipimpin dan diarahkan. Kebenaran bukan lagi milik penguasa. Hak untuk mencari kebenaran merupakan hak kodrat manusia. Dan pers dianggap sebagai partner dalam mencari kebenaran. Selama dua ratus tahun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini, bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate kekuasaan keempat dalam proses pemerintah setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif. Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya, sampai sekarang pers dianggap sebagai four estate sebagaimana disingkat di atas. Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Kata-kata Napoleon Bonaparte, “Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan terhubus”, sampai sekarang masih berlaku. Pers diperlukan, tetapi juga ditakuti Effendy, 2007: 145-147. Sukardi 2009: 3 mengatakan Pers adalah matahari dunia. Bagaikan matahari dunia, pers telah menyentuh seluruh aspek kehidupan dan penghidupan. Pers telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Pers menerangi hampir seluruh celahhidup manusia. hampir tidak ada satu bidang pun yang tidak terjamah oleh pers. Kehadiran pers di seluruh dunia bukan hanya tidak dapat ditolak lagi, tetapi juga memiliki peranan sangat penting dan startegis. Pers menjadi salah satu faktor yang menentukan arah perkembangan peradaban dunia. Pers mendorong terciptanya masyarakat yang demokratis. Pers ikut menggiring menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Pers membantu menegakkan hukum. Pers memberikan alternatif secara terbuka dalam pilihan-pilihan gagasan dan sikap hidup. Menolak kehadiran pers bukan hanya merupakan sesuatu yang tidak arif, tetapi juga sudah merupakan ketidakmungkinan. Kita tidak dapat menolak matahari dunia. Kita tidak dapat menolak kehadiran dan peranan pers. Siapa yang mencoba mengingkari kedahsyatan pers akan merugi dan tersungkur “sinar” pers pasti menembus dinding yang paling rapat sekalipun. Pers dapat membantu mendobrak keterbatasan komunikasi baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antarwarga masyarakat sendiri. Para ahli dalam hal ini menegaskan, pers memiliki berbagai kemampuan sekaligus, antara lain: 1. Pers sebagai “perpanjang” panca indra. 2. Pers sebagai sebuah “semangat dan “kesadaran” 3. Pers sebagai media reproduksi dari pencitraan 4. Pers sebagai media kontrol dan alat perintah 5. Pers sebagai alat interaksi sosial 6. Pers sebagai gelanggang dialog 7. Pers sebagai faktor penggerak ekonomi 8. Pers sebagai mercusuar kebudayaan baru Berbagai kemungkinan menjalankan kekuatan pers itu, menempatkan pers pada posisi yang sangat penting dan startegis Perkembangan teknologi informasi yang luar biasa besar menambah daya powerfull dari pers. Terjadinya konvergensi teknologi informasi menyebabkan proses pengolahan berita bukan lagi berlangsung detik, per detik, tetapi sudah dapat menjadi “refleksi nyata pada waktu yang bersamaan”. Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan karya pers kini tidak lagi dikukung oleh ruang dan waktu. Dalam penyebarannya, karya pers kini sudah tidak lagi “jarak” antara peristiwa dan hasil berita yang disampaikan pers. Sebuah peristiwa dapat langsung diberitakan dalam waktu yang bersamaan, begitupula karya pers dapat “dinikmati” di mana saja di atas bumi tanpa dibatasi ruang. Kejadian di manapun di atas bumi dapat diberitakan melalui teknologi informasi seperti satelit. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan peranan yang sangat penting dan luas terhadap pers nasional. Sedemikian luas dan pentingnya peranan pers nasional sehingga ditempatkan sebagai “salah satu cabang lembaga di luar eksekutif, legislatif dan yudikatif.” Dengan kata lain, pers nasional telah diberikan posisi sebagai “pilar keempat” negara Republik Indonesia. Pers diberikan peran, mulai dari peran klasik yaitu memberi informasi kepada masyarakat, sampai peran ikut memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Menurut Pasal 5 Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: a. Meme nuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Meneg akkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; c. Menge mbangkan pendapat umum berdasarkan informsai yang tepat, akurat dan benar; d. Melak ukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. Memp erjuangkan keadilan dan kebenaran. Dengan peranan yang disandang pers nasional ini, sesungguhnya pers nasional memiliki “kewenangan” publik yang sangat besar. Guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, pers nasional dapat mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan memiliki informasi tanpa ada yang boleh menghalang-halanginya. Pers dapat membongkar dan menyebarkan informasi yang sebelumnya tertutup rapat dan tidak pernah dibeberkan ke publik. Atas nama melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap kepentingan umum, pers dapat mengemukakan pendapat dengan merdeka. Pers membeberkan rangkuman fakta, opini, dan konstruksi beritanya. Ini tidak lain agar pers bebas dapat melakukan kritik, koreksi dan pengawasan terhadap kepentingan umum. Peranan ini, disatu sisi, membuat pemerintah menjadi lebih terbuka, berhati-hati, dan memerhatikan aspirasi rakyat. Sebaliknya, dipihak lain rakyat diajak ikut berpartisipasi mengikuti seluruh tindakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Apabila ada yang merugikan kepentingan umum, masyarakat langsung mengetahui dan segera dapat memberikan reaksi, termasuk saran perbaikannya. Mekanisme ini menciptakan pemerintah yang memiliki kesadaran untuk mementingkan kepentingan umum serta bekerja dengan terbuka dan bersih. Sebaliknya, masyarakat didorong untuk kreatif menyalurkan aspirasi sekaligus memikirkan masalah-masalah yang ada. Ke semua itu diharapkan akhirnya dapat menciptakan bangsa yang demokratis, sejahtera dan tertib. Peranan pers yang luar biasa luas dan penting ini pada akhirnya menjadi pendidikan peradaban satu bangsa, sekaligus menciptakan pilihan-pilihan peradaban. Oleh karena itu, bagaimana peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana keadaaan dan peranan pers dari bangsa itu. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Penerapan Kode Etik Pustakawan Pada Perpustakaan Politeknik Negeri Medan

8 112 73

Pemahaman Wartawan Terhadap Kode Etik Jurnalistik (Studi Fenomenologi Pemahaman Wartawan Waspada Online Tentang Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia)

35 275 163

Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam Penanganan Terhadap Anggota Polri Yang Melanggar Ketentuan Pidana (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan)

11 176 119

Kode Etik Jurnalistik

0 7 23

Pelanggaran Kode Etik Fotografi Jurnalistik Pada Harian Pos Metro (Studi Analisis Isi Tentang Pelanggaran Kode Etik Fotografi Jurnalistik Pada Foto Jurnalistik Harian Pos Metro Edisi Juli 2016)

4 40 155

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM BERITA KEJAHATAN SUSILA PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM BERITA KEJAHATAN SUSILA (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik Dalam Berita Kejahatan Susila di Harian Umum Koran Merapi Periode Januari

0 3 21

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK INDONESIA DI PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK INDONESIA DI HARIAN KALTENG POS (Analisis Isi Kuantitatif Kode Etik Jurnalistik Dalam Judul dan Body Berita Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Rubrik Metrokrim Harian Kalteng Pos

0 4 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Interpretif - Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan

0 0 8

Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan

0 0 12