BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian yang dikumpulkan melalui wawancara pra-penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam
terhadap Redaktur Harian Tribun Medan. Selain itu, peneliti juga melakukan kepada Pemimpin Redaksi Harian Tribun Medan. Namun, sebelum melakukan wawancara
mendalam dengan Redaktur dan Pemimpin Redaksi Harian Tribun Medan, peneliti harus melewati beberapa tahap agar penelitiannya disetujui oleh pihak media. Misalnya, sebelum
melakukan wawancara peneliti harus memberikan daftar pertanyaan yang akan diberikan pada redaktur dan pemimpin redaksi. Setelah daftar pertanyaan disetujui, setelah itu barulah
peneliti dapat berinteraksi dengan kru-kru redaksi untuk mempermudah pengumpulan data dan informasi yang peneliti butuhkan.Penelitian dilakukan di kantor Harian Tribun Medan.
Wawancara terstruktur dan mendalam yang dilakukan kepada redaktur pertama kali dimulai pada tanggal 20 Maret 2015 di Tribun Medan mulai pukul 11.00 WIB sampai pukul 17.00
WIB.
Berikut data Redaktur dan Pemimpin Redaksi Harian Tribun Medan
Pemimpin redaksi : Abdul Haerah HR
Redaktur Kota : Mohamad Yoenus
Redaktur Olah raga : Arifin Al Alamudi
Redaktur Kota : Randy Hutagaol
Redaktur Ekonomi : Ety Wahyuni
Redaktur Kota : Truly Okto Hasudungan
Redaktur Daerah : Maulina Siregar
4.1 Hasil Penelitian
Pelaksanaan penelitian yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam. Ketika peneliti sampai di Harian Tribun Medan, pertama kali peneliti diarahkan
sekretaris redaksi untuk mewawancarai Mohamad Yoenus sebagai informan pertama, kemudian peneliti mewawancarai Arifin, Randy dan Ety. Maka penelitian dimulai dengan
keempat informan tersebut. Setelah itu, pada tanggal 24 peneliti mewawancarai Truly dan
Maulina, sedangkan Haerah sebagai pemimpin redaksi menjadi informan terakhir yang peneliti wawancarai.
4.1.1 Hasil Wawancara
Berikuthasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap tujuh orang informan. Wawancara yang peneliti lakukan dilengkapi peralatan seperti alat perekam suara atas dasar
persetujuan narasumber:
Informan I Mohamad Yoenus
Wawancara berlangsung pada tanggal 20 Maret 2015 sekitar pukul 11.30 di ruang rapat kantor Harian Tribun Medan Jalan Wahid Hasyim No 37 Kelurahan Babura, Kecamatan
Medan Baru 20154, Sumatera Utara. Yoenus mengawali karirnya di bidang jurnalistik pertama kali di Harian Tribun Medan 2010 lalu, bertepatan dengan lahirnya Harian Tribun
Medan, namun Yoenus masuk melalui open recruitmentTribun di Jakarta. Dengan kata lain, Yoenus ikut membangun Tribun dari awal. Laki-laki alumni Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta jurusan Hubungan Internasional ini aslinya berasal dari Jawa Barat, oleh sebab itu Harian Tribun Medan lah yang pertama memperkenalkannya dengan Kota Medan.
Untuk itu, Yoenus belum mempunyai pengalaman seputar jurnalistik di Medan. Namun, kesan pertama saat ia menginjakkan kaki di Medan ialah image wartawan yang
buruk di mata masyarakat, seperti tukang minta uang atau biasa disebut wartawan amplop. Sambil tersenyum Yoenus mengatakan bahwa hal ini bukan lah salah wartawan tersebut.
Menurutnya, sistem media lah yang membentuknya. Hal ini berbeda dengan Harian Tribun Medan, Yoenus mengatakan Harian Tribun Medan lahir dengan finansial yang lebih baik dari
media lain, sehingga menjadikan wartawannya tidak terikat pada pihak lain dan independen saat menuliskan berita. Ia mencontohkan saat seorang wartawan menikah dan mendapatkan
hadiah televisi yang tidak jelas dari siapa pengirimnya, maka wartawan tersebut akan melaporkan hal itu kepada kantor dan mengembalikannya. Ini dilakukan untuk menghindari
adanya suap dari pihak-pihak lain. Menurutnya, di Medan masyarakat menyamaratakan wartawan yang baik dan buruk.
Diawal wawancara, Yoenus sudah mengatakan untuk santai dan tak terlalu tegang selama wawancara berlangsung. Oleh sebab itu, sepanjang wawancara Yoenus sering
tersenyum dan tertawa saat menjawab pertanyaan dari peneliti. Salah satunya saat Yoenus
mengatakan tidak masuk organisasi wartawan apapun selama bergelut di dunia jurnalistik. Ia mengaku tidak tertarik.
Awalnya, untuk mengetahui ritme kerja Harian Tribun Medan, Yoenus harus mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Disitulah dipelajari semua tentang jurnalistik, termasuk juga
kode etik dan undang-undang pers. Pengalaman pertama liputan pun dirasakan Yoenus kala itu. Sebuah liputan investigasi tentang polisi yang diduga akali lampu merah. Saat itu,
Yoenus dan teman-temannya pun berpencar dan ikut berbaur dengan masyarakat dengan menutupi identitas sebenarnya guna mendapatkan informasi yang valid.
Sebelum menjadi redaktur, Yoenus pernah menjadi asisten redaktur sejak 2012 kemudian menjadi wartawan pada 2010. Saat ini, ia menjadi redaktur di desk kota. Selama
menjadi redaktur, ia mengaku memang terjadi beberapa kesalahan. Misalnya, salah dalam menyebutkan nama. Untuk itu, kuncinya hanya satu, yaitu percaya dengan wartawan. Lagi
pula, untuk menghindari hak jawab dan hak koreksi. Seharusnya sebuah berita belum bisa dikeluarkana apabila tidak dikonfirmasi semua pihak-pihak yang berkaitan, tapi dengan
upaya yang maksimal. Karena sudah dari awal dilakukan upaya agar berita tersebut berimbang, misalnya dengan dihubungi via telpon atau sms, datang ke rumah narasumber,
atau datang ke kantor tempatnya bekerja. Biasanya, apabila saat berita itu dinaikan ada pihak yang belum mengkonfirmasi, maka di bawah berita akan dituliskan bahwa yang bersangkutan
belum mengkonfirmasi. Salah satu contoh berita yang memuat hak jawab adalah berita tentang jual kursi Universitas Negeri Medan Unimed. Saat itu, Unimed yang tidak terima
tentang pemberitaan yang dimuat Harian Tribun Medan dan melapor pada Dewan Pers. Oleh sebab itu, Dewan Pers meminta Harian Tribun Medan untuk memuat hak jawab dari Unimed
di halaman yang sama dengan berita sebelumnya. Biasanya, hak jawab yang dimuat pun harus berimbang dengan melibatkan semua pihak-pihak yang bersangkutan.
Di pertengahan, Yoenus menghentikan sebentar wawancaranya dan meminta waktu untuk membalas pesan. Sebenarnya, sedari awal wawancara Yoenus memang sudah memang
ponselnya. Kurang lebih lima menit Yoenus sibuk dengan ponselnya. Setelah itu, wawancara kembali dilanjutkan.
Yoenus mengatakan, biasanya berita yang menghasilkan hak jawab adalah berita investigasi serta dugaan korupsi. Kesalahan-kesalahan yang menyebabkan koreksi seperti
kesalahan nama jarang terjadi. Biasanya narasumber hanya protes via sms saja, terutama narasumber yang sudah dekat.
Sebelum di desk Kota, Yoenus pernah menjadi redaktur di desk nasional dan daerah. Selain itu, ia juga pernah menjadi wartawan di desk pemerintah kota, otomotif dan seleb.
Tidak ada kebakuan dalam pemindahan desk untuk wartawan atau redaktur. Standar pemutaran rotasi biasanya satu setengah tahun. Tergantung kebijakan kantor.
Penerapan hak koreksi dan hak jawab yang tercantum di UU Pers no 40 tahun 1999 pasal 11 pun diterapkan di Harian Tribun Medan. Namun, menurut Yoenus sekalipun tidak
melihat kode etik, hak koreksi dan hak jawab wajib diterapkan. Apalagi hak jawab tersebut sudah sesuai konten, maka hak jawab tersebut bisa dimuat dalam satu hari. Sebenarnya,
menurut Yoenus hak jawab dan hak koreksi sangat berkaitan dengan UU Pers pasal 1 tentang pemberitaan yang harus memuat berita fakta, proporsional dan independen. Bila suatu media
sudah menerapkan itu semua, maka otomatis tidak perlu ada hak jawab. Biasanya, hak jawab dilakukan oleh orang-orang yang tidak senang diwawancarai.
Selama menjadi redaktur, Yoenus pernah melakukan hak jawab sekali. Hak jawab tersebut dilontarkan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Sebelumnya, Harian
Tribun Medan memberitakan tentang beberapa DPRD yang belum mengembalikan mobil dinasnya, padahal sudah pensiun. Salah satu wartawan yang mengambil berita tersebut
memotret rumah DPRD setelah mendapat alamat dari sekretaris daerah. Setelah berita tersebut dinaikkan, DPRD tersebut mengaku bahwa rumah yang di foto bukan lah rumah
miliknya. Hal itu sempat membinggungkan pihak Harian Tribun Medan, karena alamat tersebut diberikan langsung dari LSM Pemerintahan yang resmi. Sampai Yoenus menarik
satu kesimpulan bahwa alamat yang diberikan DPRD tersebut alamat palsu atau LSM pemerintahan yang salah dalam menuliskan alamat atau memberikan alamat palsu pada
Harian Tribun Medan. Padahal, sebelum berita dinaikan, wartawan telah berupaya untuk meminta konfirmasi namun selalu ditolak. Hal ini terjadi sekitar setengah tahun yang lalu.
Walaupun begitu, Harian Tribun Medan tetap memberikan kesempatan kepada narasumber untuk tetap mengkonfirmasi berita, sekaligus mewawancarai pihak-pihak lain yang terkait
seperti sekretaris daerah. Untuk hak koreksi, ada beberapa kesalahan namun bukan untuk dikoreksi, itu hanya
kesalahan-kesalahan yang manusiawi misalnya salah pengetikan atau typo. Sebenarnya ada lagi hak jawab yang diterima Harian Tribun Medan, namun di halaman yang lain.
Tak ada kesulitan yang berarti dalam menerapkan hak jawab dan hak koreksi di Harian Tribun Medan. Malah, ada beberapa narasumber yang mengajukan hak jawab tetap didatangi
untuk diwawancarai kembali. Selain itu, ada juga berita yang sudah naik namun belum dikonfirmasi misalnya berita tentang olah food di tanjung morawa dan di medan yang terbit
pada hari itu 20 Maret 2015. Hari itu juga, wartawan yang menuliskan berita tersebut sedang berusaha ke perusahaan tersebut untuk melakukan konfirmasi, karena berita tersebut selalu
ada follow-up-nya. Artinya selalu ada kelanjutan dari berita tersebut, apalagi setelah ada konfirmasi.
Diakui Yoenus, hak jawab dan hak koreksi sangat penting, apalagi ditengah-tengah media yang belum sepenuhnya profesional. Seperti tamatan SMP dan SMA yang menjadi
wartawan. Disisi lain hak jawab dan hak koreksi ini menjadi salah satu kesempatan untuk klarifikasi dan menjelaskan berita yang telah dimuat di suatu media. Namun, lagi-lagi Yoenus
menekankan apabila UU Pers pasal 1 diterapkan maka hak jawab sudah dipastikan tak ada, namun yang terjadi kebanyakan narasumber tidak mengerti sebenarnya apa fungsi media
sebagai penyampai informasi, sehingga narsumber berfikiran bahwa wartawan datang hanya untuk meminta uang, apalagi bila berita tersebut menyangkut dugaan korupsi. Untuk itulah
pentingnya sebuah rekaman, terutama untuk isu-isu yang penting. Kebanyakan masyarakat sekarang belum mengerti apa itu hak jawab dan hak koreksi, sehingga dia takut untuk
diwawancarai. Hak jawab yang dilayangkan narasumber menjadi tanggung jawab redaktur yang
bersangkutan, setelah terlebih dahulu diterima sekretaris redaksi. Setelah itu, hak jawab tersebut akan dibahas terlebih dahulu di rapat budgeting yang dilakukan setiap hari pukul
15.00. Biasanya, rapat tersebut membahas tentang kinerja redaksi dan wartawan yang dibawahi masing-masing redaktur. Bila ada hak jawab yang dilayangkan narasumber maka
akan dibahas di rapat tersebut, apakah hak jawab tersebut akan dimuat atau tidak. Biasanya hak jawab dilakukan oleh redaktur. Tak jarang juga wartawan yang
sebelumnya menulis berita diminta mewawancarai kembali narasumber apa hak jawabnya. Jadi hak jawabnya sesuai dengan konsep dan sudut pandang Harian Tribun Medan.
Narasumber lebih leluasa menyampaikan hak jawabnya dan Harian Tribun Medan bisa melihat hal tersebut secara komprehensif.
Banyak manfaat yang didapat dalam menerapkan hak koreksi dan hak jawab, yaitu menjaga hubungan baik dengan narasumber. Agar masyarakat tahu bahwa Harian Tribun
Medan merupakan media yang independen, dimana semua orang punyak hak untuk menyatakan hak jawabnya. Kemudian, sebagai evaluasi reporter apabila melakukan
kesalahan serta bertanggung jawab dengan apa yang telah ditulis. Karena kebanyakan narasumber yang meminta hak jawab adalah narsumber yang takut namanya tercemar, tidak
menyangka berita tersebut tetap terbit padahal narasumber tersebut tidak memberikan pernyataan serta takut akan membawa dampak yang besar.
Sejauh ini Harian Tribun Medan tidak pernah mendapat sanksi hukum terkait hak jawab dan hak koreksi, karena ranah hukumnya ada pada Dewan Pers. Dewan Pers bertindak
sebagai polisi tersendiri bagi media cetak. Hal itu pun dilakukan dengan mediasi. Seringnya masalah yang dihadapi Dewan Pers seputar berita yang tidak sesuai. Berbeda dengan kasus
suap yang dialami wartawan-wartawan lain yang sudah sampai ke ranah hukum karena termasuk tindak kriminal.
Dalam pandangan Yoenus, hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan media lain di Medan beragam. Karena ada beberapa media yang tidak peduli dengan hal itu, apakah
narasumber yang takut atau narasumber yang tidak memperhatikan adanya kolom hak jawab dan hak koreksi. Biasanya hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan di media lain akan
dibuat dalam kolom dan diberi nama ralat. Seringnya, narasumber yang menuntut hak jawab dan hak koreksi melihat terlebih media yang akan memuat hak jawab dan hak koreksi
tersebut. Bila medianya besar maka hak jawab dan hak koreksi pun akan langsung dimuat, dan narasumber akan membuat hak jawab dan hak koreksi, sedangkan media kecil, maka hak
jawab dan hak koreksinya tidak dimuat dan narasumber pun tidak membuat hak jawab. Biasanya, media yang besar pasti memiliki banyak pembaca dan bila tidak dimuat hak jawab
dan hak koreksinya kemungkinan akan membawa dampak yang besar.
Informan II Arifin Al Alamudi
Kurang lebih lima menit setelah wawancara dengan Yoenus selesai. Nurul, sekretaris redaksi yang membimbing peneliti selama penelitian di Harian Tribun Medan mengarahkan
peneliti untuk langsung mewawancarai Arifin. Wawancara berlangsung di tempat yang sama dengan Yoenus, ruang rapat redaksi. Di awal peneliti dam Arifin hanya bercerita santai
seputar kampus, karena kebetulan Arifin adalah alumni USU jurusan Ilmu Politik dan pernah masuk dalam organisasi yang sama dengan peneliti. Namun hal itu tak berlangsung lama,
sekitar sepuluh menit. Arifin bercerita pengalaman pertama ia menggeluti dunia jurnalistik yaitu saat masih
mahasiswa. Arifin pernah bergabung di Pers Mahasiswa. Kemudian awal 2010, Arifin bekerja di KPK Pos mingguan, lalu pada Juni 2010 Arifin bergabung di Harian Tribun
Medan. Karena sudah mempunyai cukup pengalaman di kampus, Arifin tak terlalu kesulitan dalam mengikuti ritme media profesional. Ia merasa semuanya adalah hal-hal standar yang
juga dilakukannya di kampus. Sejak 2011 lalu, Arifin bergabung di Aliansi Jurnalistik Indonesia AJI Kota Medan dan sekarang menjabat sebagai koordinator serikat pekerja.
Selain itu, ia bergabung di Pewarta Foto Indonesia kota Medan sebagai anggota divisi advokasi sejak 2011 lalu.
Selama menjadi wartawan, Arifin memang pernah melakukan kesalahan. Menurutnya, hal itu wajar terjadi karena semua wartawan yang baik pasti melewati hal itu dan itu juga
dapat menguji mental wartawan sambil tertawa. Kebanyakan kesalahan terjadi tentang persepsi yang dimaksud narasumber berbeda dengan yang ditangkap wartawan. Arifin
bilang, komentar dan protes sampai menghasilkan hak jawab lebih sering terjadi dihalaman satu, kalau sudah di halaman selanjutnya tidak terlalu sering. Arifin mencontohkan hak jawab
yang sama dengan yang diceritakan Yoenus. Tentang jual beli kursi SNMPTN di Unimed tahun 2013 lalu. Saat itu, peserta yang tidak lulus meminta perangkingannya dan tidak
diberikan, oleh sebab itu mahasiswa menggugat minta dibukakan hasilnya karena itu adalah konsumsi publik.
Setelah diadakan sidang atas gugatan dari mahasiswa dengan Komite Informasi Publik sebagai Hakimnya serta mahasiswa sebagai pelapor dan rektorat sebagai dilapor. Hasil
persidangan menyatakan bahwa perangkingan itu memang adalah konsumsi publik dan bukan rahasia negara yang tidak boleh dibukakan. Dengan kata lain mahasiswa menang dan rektorat
kalah, sambil tertawa Arifin mengatakan itu merupakan hal yang unik dan Harian Tribun Medan memutuskan untuk menuliskan beritanya. Namun, pihak Unimed tidak suka dengan
pemberitaan yang dibuat Harian Tribun Medan sehingga mengatakan berita tersebut tidak benar. Sekitar lima atau enam bulan setelah berita itu dinaikkan, surat dari Dewan Pers turun
terkait tentang hak jawab dari Unimed. Sebenarnya masih ada juga beberapa hak jawab yang masuk ke Harian Tribun Medan,
hanya saja tidak sampai ke Dewan Pers misalnya narasumber protes bahwa tuduhan dalam berita tersebut tidak benar. Memang sebelumnya, Unimed pernah melayangkan hak jawab ke
Harian Tribun Medan namun tidak terlalu ditanggapi karena pihak Harian Tribun Medan merasa berita yang ditulis sudah benar dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik KEJ, tidak
melanggar apapun. Sampai Dewan Pers memutuskan agar Harian Tribun Medan menaikkan hak jawab dari Unimed. Walaupun begitu, Arifin bilang kesalahan Dewan Pers juga tidak
menulis dan menjelaskan keterangan mana yang dituliskan Harian Tribun Medan yang salah, jadi dianggap semua tulisan itu salah sehingga hak jawab dari Unimed dinaikkan.
Padahal seharusnya Dewan Pers memanggil Harian Tribun Medan agar bisa dijelaskan, karena bagaimana pun Harian Tribun Medan juga punya bukti-bukti liputan seperti rekaman
dan wawancara. Selain hak jawab di atas, ada juga hak koreksi yang sering dipermasalahkan narasumber, misalnya untuk pangkat Letjen Sunarno. Di kalimat awal sudah ditulis gelarnya,
namun untuk selanjutnya Harian Tribun Medan hanya menuliskan Sunarno, itu akan mendapat protes dari narasumber. Padahal sudah menjadi aturan Harian Tribun Medan.
Bahkan, Arifin mengatakan gubernur juga melakukannya. Memang diaturan Harian Tribun Medan gelar tidak dimasukkan dalam penulisan nama kecuali Prof. Namun, yang seperti itu
hanya butuh penjelasan dari pihak Harian Tribun Medan dan untuk selanjutnya tidak ada lagi yang protes.
Arifin mengatakan bila itu terjadi kesalahan yang memang fatal dan Harian Tribun Medan sendiri yang melakukan maka akan dibuat koreksi ditulis ulang dengan keterangan
yang benar. Apabila hak jawab, maka akan dibahas terlebih dahulu di redaksinya, apakah hak jawab tersebut dinaikkan atau tidak. Karena, biasanya pada hak jawab narasumber seperti
mengkonfirmasi, apabila konfirmasinya layak dan berkaitan dengan berita sebelumnya maka hak jawabnya ditanggapi dan dinaikkan. Hak jawab ini juga harus ditelaah terlebih dahulu,
bisa saja hak jawab yang dimaksud narasumber sama dengan beritanya, hanya cara penyampaiannya yang berbeda.
Misalnya pemerintahan yang biasanya berfikirnya kaku, yaitu berita yang ada harus menggunakan kata-kata yang sama. Padahal, seringnya kata-kata pemerintahan itu adalah
kata-kata yang sulit dipahami masyarakat dan tugasnya media lah yang membuat kata-kata tersebut mudah dimengerti oleh masyarakat. Untuk itu biasanya hak jawabnya tidak
ditanggapi karena maksudnya sama, hanya mengubah gaya bahasa Harian Tribun Medan dengan gaya bahasa pemerintahan.
Saat ini, Arifin menjadi redaktur di desk olah raga. Selama menjadi redaktur Arifin mengaku memang ada beberapa kesulitan, namun biasanya masalah eksternal seperti
narasumber yang tidak suka diberitakan makanya mengajukan protes, namun tidak membuat hak jawab. Misalnya, beberapa narasumber mengatakan mengapa berita yang buruk-buruk
saja yang ditulis. Menurut Arifin, berita itu memang ada dan fakta, bukan sengaja diada- adakan atau dibuat-buat. Disatu sisi memang selalu ada narasumber yang seperti itu,
sebenarnya semua media membutuhkannya, agar media tersebut tahu bahwa media mereka dibaca masyarakat.
Arifin bercerita pernah ada pemain Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya PSMS yang memakan indomie, padahal menurut kebutuhan, mereka adalah seorang atlet
yang harusnya memakan makanan yang bergizi. Namun, gaji mereka yang belum dibayar menjadi salah satu alasannya. Untuk itu, pemain PSMS meminta diberitakan terkait gaji
yang belum dibayarkan. Ada sekitar 22 orang pemain PSMS yang belum digaji. Pihak menajemen PSMS pun protes dan tak suka terhadap pemberitaan tersebut. Harian Tribun
Medan coba menjelaskan bahwa seperti itulah keadaan yang sebenarnya. Lagipula pemain PSMS sendiri yang mengaku pada Harian Tribun Medan. Arifin tahu bahwa berita seperti ini
dapat membuat sponsor tidak datang, sehingga manajemen panik karena dijelek-jelekkan. Sambil tertawa Arifin bilang, padahal apabila PSMS menang suatu laga atau dapat
penghargaan tidak mungkin Harian Tribun Medan tidak memberitakannya. Selama menjadi wartawan, Arifin sudah mencoba semua desk terkecuali ekonomi. Hal
itu karena selalu ada rotasi di setiap desk, tak ada batasan waktunya. Maksimal satu tahun. Menurutnya, hal itu untuk menghindari wartawan nyaman disatu desk dan sudah terlalu kenal
pada narasumbernya, karena kemungkinan wartawan bisa disuap oleh narasumber tersebut. Sama seperti Yoenus, Arifin juga dikarantina selama tiga bulan semasa awal di Harian
Tribun Medan. Pergi dari pukul 9 pagi dan pulang pukul 9 malam. Tak ada waktu untuk bermain-main. Di tiga bulan itulah mereka diajarkan untuk mengikuti ritme keseharian dan
gaya penulisan Harian Tribun Medan, hal itu sudah menjadi harga mati. Berbeda bila sudah terjun kelapangan maka wartawan akan menyesuaikan diri dengan lapangan.
Arifin mengatakan penerapan hak jawab dan hak koreksi di Harian Tribun Medan sesuai dengan UU Pers. Menurutnya, semua media memang harus tunduk pada UU Pers
tersebut. Untuk itu, Harian Tribun Medan membuka kesempatan bagi masyarakat yang ingin melayangkan protes apabila Harian Tribun Medan melakukan kesalahan. Sebenarnya, Arifin
bilang tak semua media menerapkan hak jawab dan hak koreksi ini. Ada beberapa media yang tidak menggubris hal ini. Oleh sebab itu, Harian Tribun Medan yang interatif harus
menerapkan hal tersebut. Arifin mengatakan biasanya hak jawab dan hak koreksi yang diterima Harian Tribun
Medan paling lama tiga hari atau seminggu. Namun, ada juga beberapa yang baru melayangkan hak jawab dan hak koreksi setelah dua minggu berita tersebut dinaikkan. Kalau
sudah dalam waktu lama seperti itu, biasanya yang melayangkan protes adalah pihak yang tidak berkaitan.
Hak jawab dan hak koreksi ini biasanya menjadi tanggung jawab redaktur, namun yang mengetik ulang apabila ada kesalahan hak jawab adalah wartawan. Tak ada kesulitan dalam
menerapkan hak jawab dan hak koreksi di Harian Tribun Medan, sebab narasumber diberi pilihan dalam mengajukan hak jawab dan hak koreksi tersebut. Bisa melalui SMS, surat,
komentar, atau langsung datang ke Harian Tribun Medan. Sebelum hak jawab tersebut dinaikkan maka akan diadakan rapat terlebih dahulu. Keputusan rapat lah apakah hak jawab
tersebut harus dikonfirmasi ulang atau tidak. Selain itu, hak jawab juga harus diperiksa
kembali bagian mana yang salah. Arifin mengaku cukup senang bila ada komentar, itu membuktikan bahwa media tersebut dibaca orang.
Sejauh ini, Arifin belum pernah melakukan hak jawab dan hak koreksi. Ia mengaku di desk Olah Raga cukup jarang ada hak jawab, seringnya di halaman satu. Memang, ada
beberapa narasumber yang protes, namun tidak sampai dimuat hak jawab dan hak koreksi. Hak jawab dan hak koreksi memiliki fungsi dan manfaat yaitu sebagai cara berinteraksi
media dan masyarakat. Selain itu juga membuktikan diri bahwa Harian Tribun Medan merupakan media yang membuka diri kepada masyarakat umum. Salah satu contohnya yaitu
hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan Harian Tribun Medan secara terbuka. Semua pihak boleh memberikan masukkan kepada Harian Tribun Medan dan diterima. Untuk itu,
Arifin menganggap hak jawab dan hak koreksi penting dan harus untuk mendidik media agar lebih baik.
Selama ini, Harian Tribun Medan tidak pernah mendapatkan sanksi hukum terkait hak jawab dan hak koreksi, karena semua hal tersebut diakomodir oleh Dewan Pers, apabila tidak
melakukannya baru mendapat sanksi hukum. Menurut Arifin, media di Medan tidak aware terhadap hak jawab dan hak koreksi. Ia pun tidak tahu alasannya, apakah media tersebut yang
tidak pernah memuat hak jawab atau bisa jadi tidak pernah berbuat salah atau masyarakat tidak pernah memberikan hak jawab dan hak koreksi terhadap media tersebut.
Informan III Randy Hutagaol
Setelah melakukan wawancara dengan Arifin, peneliti kembali diarahkan untuk melakukan wawancara dengan Randy di ruang rapat redaksi. Randy merupakan redaktur di
desk kota. Sebelumnya, ia adalah wartawan sejak 2010 lalu. Berbeda dengan suasana santai yang dikeluarkan Yoenus dan Arifin. Randy lebih serius dalam wawancara ini. Hal ini
terbukti dari ekspresi serius Randy saat menceritakan pengalaman liputan yang pernah dilakukannya saat liputan berita olah raga tentang PSMS.
Saat itu, gaji pemain PMSM di manipulasi, sehingga ada pihak-pihak yang tidak menyukai berita tersebut. Oleh sebab itu, Randy dipanggil untuk minta dilakukan ralat dan
membocorkan identitas narasumber.Nada suara tinggi Randy menolak melakukan hal itu, sekalipun pihak tersebut bilang nanti teman-temannya akan memukulnya. Hal itu dilakukan
Randy sebab bertentangan dengan KEJ yang dianut Randy sebagai wartawan.
Sebelumnya, Randy pernah diancam akan dibunuh melalui via telpon. Jujur, saat itu Randy takut dengan ancaman seperti itu. Kemudian ia menberitahu Harian Tribun Medan.
Namun, Harian Tribun Medan meminta Randy untuk tenang, apabila ada tindak kekerasan yang dilakukan maka akan ditindaklanjuti. Karena saat itu Randy menolak ralat, maka ia
mencoba menawarkan klarifikasi. Karena setiap berita memang harus cover both side dan berimbang. Melihat keteguhan Randy yang tak ingin melakukan ralat, maka akhirnya mereka
pun melakukan klarifikasi. Saat ditanya, apakah Randy tergabung dalam organisasi wartawan, sambil tersenyum
miris ia menjawab tidak. Sebenarnya, 2012 lalu Randy pernah mengikuti ujian Persatuan Wartawan Indonesia dan dinyatakan lulus, namun tidak dilanjutkan. Ia bilang memang tak
berminat masuk organisasi yang seperti itu, sebab ada kecenderungan organisasi-organisasi seperti itu bukan organisasi yang menjunjung tinggi jurnalis tapi kelompok-kelompok
tertentu. Maka, hasil kegiatan dari persatuan-persatuan itu tidak terlalu memberikan efek. Selama menjadi redaktur, Randy mengaku memanajemen wartawan lah yang cukup
sulit. Misalnya saat sudah ada proyeksi. Namun, apa yang diproyeksikan tak sesuai dengan apa yang didapat oleh wartawan. Wartawan tidak dapat sesuai ekspektasi, padahal ekspektasi
biasanya hadir saat proyeksi. Selain itu, ada pula beberapa wartawan yang masih tidak tepat deadline setelah beberapa pendekatan yang sudah dilakukan redaktur. Untuk kendala
eksternal yaitu dengan adanya ralat dan koreksi. Randy mencontohkan liputan pengembalian mobil dinas anggota DPRD Kota Medan, sama dengan yang diceritakan Yoenus. Narasumber
protes dan menyanggah bahwa rumah yang difoto wartawan Harian Tribun Medan bukanlah rumahnya. Lewat kuasa hukumnya, DPRD tersebut meminta hak jawab. Dalam hak jawab itu
dia menjelaskan bahwa rumah yang difoto bukan rumahnya dan mobil dinas akan segera dikembalikan. Saat klarifikasi terakhir juga dimuat pernyataan dari pemerintahan karena
alamat rumah yang difoto wartawan didapat dari lembaga pemerintahan yang resmi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pencemaran nama baik pada pihak lembaga pemerintahannya.
Selama menjadi bagian di Harian Tribun Medan, Randy tak begitu lama beradaptasi dengan ritme Harian Tribun Medan, karena sebelumnya Randy telah mengikuti latihan
selama tiga bulan seperti Yoenus dan Arifin. Waktu itu cukup bagi Randy untuk mengenal pola kerja di Harian Tribun Medan, misalnya konsep kalimat langsung dan tak langsung.
Jadi, selama tiga bulan itu di gembleng bisa sesuai dengan tulisan jurnalis. Menurut Pria berkacamata tersebut, penerapan hak jawab dan hak koreksi di Harian
Tribun Medan sama dengan Dewan Pers, paling yang dibuat bagian-bagian namun tetap mengacu yang digariskan Dewan Pers, misalnya setiap wartawan tidak boleh menerima uang.
Randy mengatakan yang mengajukan hak jawab dan hak koreksi bisa saja kelompok atau individu. Kemudian pihak yang mengajukan hak jawab membuat penjelasan secara lisan atau
tulisan dengan kata lain memberikan klarifikasi ulang. Setelah itu, hak jawab yang telah dikoreksi akan dimuat keesokan harinya.
Biasanya, hak jawab akan dimuat langsung sesuai dengan apa yang tertulis di surat, tapi bisa jadi hak jawab tersebut harus diwawancara ulang untuk mengklarifikasi pihak-pihak
yang terkait. Biasanya yang menanggungjawabi hak jawab dan hak koreksi yang paling utama adalah pemimpin redaksi, kemudian koordinator liputan lalu redaktur, terkecuali
ketiga-tiganya sedang off maka akan langsung diserahkan ke redaksi. Hak jawab yang tertulis akan langsung ditulis redaktur namun apabila redaktur merasa
butuh penjelasaan lebih detail pasti akan meminta wartawan yang bersangkutan untuk mengkonfirmasi ulang hak jawab yang diajukan. Tak ada kesulitan dalam menerapkan hak
jawab dan hak koreksi di Harian Tribun Medan. Karena Harian Tribun Medan selalu terbuka bila ada hak jawab dan hak koreksi yang diajukan.
Randy bilang, hak koreksi dan hak jawab penting dilakukan karena menghindari media dari tendensius dan subjektivitas. Belum tentu suatu media benar–benar bersih, maka harus
dibuka peluang karena mungkin ada kekhilafan dan kekeliruan. Media yang memuat hal itu merupakan media yang serius karena fungsi media sebagai konsumsi publik bisa menyetir
masyarakat. Lagi pula konten berita yang dikomentari pasti punya alasan dari pihak yang mengajukan hak jawab.
Media yang menerapkan hak jawab dan hak koreksi dipandang sebagai bukti bahwa media tersebut berintegritas karena tidak mudah suatu media mendapat kepercayaan dari
narasumber atau masyarakat. Selain itu, hak jawab dan hak koreksi dapat menjaga hubungan baik dengan masyarakat ke narasumber. Selama menjadi redaktur, Randy pernah melakukan
dua kali hak jawab, salah satunya protes anggota DPRD seperti yang diatas dan yang kedua Randy mengaku lupa. Apabila koreksi sejauh ini belum pernah sebab orang-orang di Medan
cukup sensitif dengan kesalahan pada nama terutama orang yang bermarga. Selama ini, Harian Tribun Medan pernah mendapat sanksi hukum terkait hak jawab dan
hak koreksi contohnya kasus besar soal Unimed yang dikatakan jual beli kursi. Untuk itu pihak Unimed melayangkan hak jawab ke Harian Tribun Medan melaui Dewan Pers. Maka
Dewan Pers menyalahkan Harian Tribun Medan dan meminta Harian Tribun Medan melakukan ralat di halaman pertama dan mengatakan bahwa Harian Tribun Medan keliru dan
hak jawab tersebut dimuat keesokkan harinya. Menurut Randy, hal ini karena judul dalam berita tersebut yang seperti tendensius yaitu ada kata-kata diduga.
Informan IV Ety Wahyuni
Masih di hari yang sama, peneliti diarahkan kembali oleh sekretaris redaksi untuk mewawancarai satu lagi redaktur. Berbeda dengan tiga redaktur sebelumnya yang memilih
melakukan wawancara di ruang rapat redaksi. Peneliti dan Ety melakukan wawancara di meja tempatnya bekerja. Ini karena ada orang yang menggunakan ruang rapat redaksi. Wawancara
dilakukan setelah rapat budgeting pukul 16.00 sampai 16.45. Ety menjawab pertanyaan sambil bermain komputer. Pengalaman pertama liputan Ety
dapat dari Harian Sumatera, sambil tertawa Ety mengatakan lupa tentang apa yang ia liput. Namun, satu hal yang paling ia ingat adalah liputan tentang anak-anak jermal ikan di tengah
laut. Ety menjelaskan ada sebuah bangunan yang dibangun di tengah laut untuk menangkap ikan, dan jermal itu memperkerjakan banyak anak-anak umur 14 tahun. Ety bilang hal itu
mempengaruhi keseharian dan ia terbayang terus tentang anak itu, apalagi ia masih ingat nama anak itu sambil tertawa kecil. Ia mengaku prihatin terhadap anak-anak tersebut karena
masih terlalu kecil untuk dipekerjakan di tengah laut dengan peralatan keamanan seadanya, apalagi tanpa pengawasan serta berbaur pada orang dewasa, akan sangat berpotensi baginya
mendapat kekerasan atau human tracking raut wajah sedu. Saat awal-awal menjadi wartawan Ety mengaku pernah melakukan kesalahan seperti
berita tidak cover both side. Ada satu kelompok orang membuat pengaduan kepada Ety dan mengadukan kelompok lain yang tergabung dalam organisasi yang sama. Sebenarnya,
sebelum berita tersebut dimuat, ada usaha Ety untuk mengkonfirmasi berita itu namun gagal, jadilah berita itu dimuat saja, tapi upaya untuk mengkonfirmasi itu tidak ditulis. Jadi berita
tersebut dianggap melanggar kode etik. Hal ini terjadi saat Ety menjadi wartawan di Harian Medan Bisnis. Saat itu, pihak tersebut meminta hak jawab dan menggugat narasumber.
Bahkan berita ini sampai ke pengadilan, hanya saja saat itu, Ety dihadirkan sebagai sanksi. Sebenarnya, ini adalah perseteruan antara dua kelompok di satu organisasi dengan
sekelompok orang. Untuk itu, Ety merasa ia dimanfaatkan. Ini dijadikan Ety sebagai pengalaman sekaligus pembelajaran. Ety mengaku cukup trauma dengan berita tersebut, oleh
sebab itu ia tak mau mendengar berita itu lagi sambil tertawa kecil. Ety tak mau menceritakan berita itu lebih lanjut, ia hanya bilang berita tersebut tentang kopi.
Ety merupakan anggota AJI sebagai anggota biasa, dulu ia sempat menjadi pengurus. Ety mulai bergabung ke AJI sekitar 2004 lalu. Sama dengan tiga redaktur sebelumnya, Ety
bergabung di Harian Tribun Medan sejak pertama kali berdiri pada 2010 lalu, sebagai redaktur. Awalnya Ety menjadi redaktur di desk ekonomi sampai sekarang, namun dulu ia
pernah bekerja di desk kota dan akhirnya kembali lagi di desk ekonomi. Karena wawancara dilakukan di ruang terbuka, ada beberapa gangguan yang terjadi
misalnya suara-suara orang yang berbicara sehingga sedikit banyaknya mengganggu kekondusifan wawancara. Selama menjadi redaktur, baru-baru terbit. Ety pernah melakukan
hak koreksi. Ada berita yang menuliskan merek meble, ternyata merek meble yang dicantumkan salah. Untuk itu dilakukan koreksi. Namun saat ditanya kendala internal seperti
menghadapi wartawan yang tidak tepat deadline Ety tertawa. Ia bilang hal itu sudah biasa. Menurutnya itulah dinamika sebuah media. Selain masalah deadline, adapula yang beritanya
tidak akurasi. Tapi, bila terjadi hal-hal yang seperti itu solusinya adalah melakukan komunikasi dan koordinasi. Oleh sebab itu, dari awal memang berita itu diusahakan agar
tidak ada protes dan tepat deadline. Menurut Ety kalau dibanding-bandingkan dengan media lain proses adaptasi di Harian
Tribun Medan lebih lama, karena Harian Tribun Medan berbeda dengan yang lain, baik itu konsep proses berita maupun tim bekerja. Dibandingkan media lain yang tidak terlalu rumit,
hanya pindah desk. Itupun penyesuaiannya tidak lebih banyak di kantor namun di lapangan dengan kawan-kawan baru dan narasumber baru karena desk-nyasudah pindah. Namun,
sebelum terbit ada simulasi dan pelatihan-pelatihan yang memakan waktu cukup lama tiga sampai empat bulan. Jadi memang sudah dibiaskana dengan ritme yang baru. Waktu itu juga,
Ety mengaku masih semangat karena masih media baru, sehingga bisa menjadi warna baru di Sumatera Utara.
Ety mengaku kadang-kadang, penyampai hak jawab melihat bahwa hak jawab dan hak koreksi ini semata-mata kesalahan media, padahal tidak selalu. Bisa saja narasumber yang
melakukan kesalahan, tapi tetap di Harian Tribun Medan berusaha agar masalah tersebut mudah selesai. Biasanya itu dari berita-berita yang berpotensi konflik dimana ada dua pihak
yang bersiteru.Sejauh ini memang apabila terlalu banyak hak jawab dan hak koreksi maka bisa dikatakan berita dari media tersebut tidak akurat. Maka, Harian Tribun Medan sendiri
meminimalkan orang untuk melakukan hak jawab dan hak koreksi tersebut. Untuk itu, etika jurnalistik harus benar-benar menjadi dasar bagi kegiatan jurnalistik. Walaupun sebenarnya
hal itu tidak bisa dihindari, apalagi bila berita-berita konflik pasti ada saja yang protes. Ety bilang Harian Tribun Medan mengkritik berita namun dengan cara yang santun dan
menghindari kata-kata yang kasar seperti potong dan bubarkan sambil tertawa. Walaupun mengkritik, harus ada nilai edukasinya juga.
Tidak ada kesulitan dalam menerapkan hak jawab dan hak koreksi. Apabila ada yang protes, maka akan dimuat sesuai peraturan, seperti dimuat dihalaman yang sama. Tidak
susah, apabila itu beralasan dan Harian Tribun Medan mengakui bahwa itu kesalahan maka akan dimuat. Harian Tribun Medan selalu memberikan pembaca untuk membuat hak jawab
dan hak koreksi. Apalagi media ini selalu dimanfaatkan untuk kepentingan dari kelompok lain. Kalaupun tidak diberikan, masyarakat berhak untuk isomasi yang lebih tinggi yaitu
pengadilan. Namun, semakin banyak dikritik ada dampak positifnya juga, berarti koran Harian Tribun Medan dibaca. Karena ada koran yang sor-sor sendiri, tidak ada yang kritik
ternyata tidak ada yang baca sambil tertawa. Di Harian Tribun Medan, terkadang salah- salah huruf saja, sudah menjadi bahan omongan. Oleh sebab itu, untuk kedepannya harus
lebih baik dan berhati-hati, karena kadang-kadang bila itu sudah diketik dan terbit seperti menulis status di facebook maka sudah pasti menjadi milik publik. Jadi harus bisa lebih
bertanggung jawab dan bisa membangun kesadaran. Ety mengaku tak terlalu banyak melakukan hak jawab dan hak koreksi. Katanya, biasa
hak jawab dan hak koreksi banyak dilakukan di halaman satu. Ia lupa berapa kali. Seingatnya dua sampai tiga kali. Karena berita-berita ekonomi biasanya berita inspirasi. Hak jawab dan
hak koreksi biasanya sering ada diberita-berita konflik dan politik, karena menyangkut kepentingan. Sekalipun itu koreksi seperti nama dan jabatan narasumber, karena Ety selalu
cerewet tentang akurasi nama dan selalu berkoordinasi dengan wartawan. Penerapan hak jawab dan hak koreksi sangatlah penting menurut Ety, karena itu
menjadi hak pembaca atau narasumber untuk membantah apa yang ditulis media dan punya hak untuk mengklarifikasi. Jadi ada keterbukaan informasi. Bila dilihat dari perspektif
medianya, fungsi dan manfaat media tersebut adalah sebagai pertanggungjawaban dengan apa yang ditulis media itu, dan salah satu alternatif agar tidak sampai ke ranah hukum.
Karena sebenarnya secara hukum itu bisa langsung berhadapan dengan hukum pidana, namun pers punya payung hukum. Lagipula, hak jawab dan hak koreksi ini juga penting bagi
pembaca karena mereka juga diberi kesempatan untuk mengklarifikasi apa yang tidak benar menurut mereka, dan itu juga menghindari media untuk ditunggangi kepentingan kelompok
dan dijadikan alat kelompok tertentu. Biasanya hak jawab dan hak koreksi diupayakan dihalaman yang sama, namun apabila
terbentur dengan iklan, bisa dihalaman lain. Tentunya itu atas kesepakatan dengan penyampai hak jawab, namun itu jarang terjadi. Lebih diprioritaskan dihalaman yang sama. Hak jawab
dan hak koreksi yang dilayangkan seringnya menggunakan surat, karena apabila via telepon susah untukdipertanggungjawabkan narasumbernya. Maka, harusnya melalui surat secara
resmi. Setelah kesepakatan baru hak jawab dan hak koreksi itu dimuat. Itupun harus melalui persetujuan pemimpin redaksi. Sejauh ini, apabila hak jawab dan hak koreksinya memenuhi
syarat dan berhubungan langsung dengan berita itu dan akurat kritikan dan koreksinya, lalu dilayangkan secara resmi kemudian akan dimuat.
Ety bilang hak jawab di Harian Tribun Medan cukup sering, contohnya berita hari ini tentang berita mi expired. Sebelum berita itu dimuat, pihak mi expired sangat susah
dihubungi. Namun, setelah beritanya naik, mereka mau membuka diri untuk klarifikasi dan pihak Harian Tribun Medan pun terbuka untuk hal itu. Sebenarnya, ada media yang melihat
dari satu sisi saja. Namun, Di Harian Tribun Medan tidak ada berniat untuk menyembunyikan informasi. Untuk memuat hak jawab dan hak koreksi adalah redaktur halamannya. Biasanya
hak jawab tersebut langsung dimuat apabila penyampai hak jawab sudah menjelaskannya secara detil, namun akan dikonfirmasi ulang bila belum lengkap. Itu semua tergantung konten
beritanya dan kebutuhannya. Selama ini, Ety mengatakan Harian Tribun Medan belum pernah berhadapan dengan
hukum pidana terkait hak jawab dan hak koreksi. Namun pernah sampai ke Dewan Pers. Ety melihat media di Medan yang menerapkan hak jawab dan hak koreksi ini sudah cukup baik,
karena ia sadar biasanya media selalu menghindari masalah yang akan memicu ke ranah hukum, jadi hak jawab dan hak koreksi lah solusinya.
Informan V Truly Okto Hasudungan
Wawancara dilakukan pada Senin 23 Maret 2014 pukul 11.15 sampai 12.00 di meja kerja Truly. Pria berkacamata itu mengaku mulai menggeluti dunia jurnalis sejak November
2003 di Sumut Pos dan liputan pertama yang dilakukannya adalah liputan natal Oukumene Sumatera Utara di Pardede Hall. Namun, liputan yang paling berkesan menurutnya adalah
liputan-liputan tentang kriminal. Salah satu contohnya, Truly pernah ingin mewawancarai orang tua korban pembunuhan. Ia hanya ingin meminta konfirmasi.
Saat itu, memang keluarga korban sedang sibuk dan sedih, sedangkan Truly harus melakukan wawancara. Akhirnya, orang tua korban marah dan memaki Truly karena
menganggap Truly tidak berempati disituasi yang masih berduka. Peristiwa itu menjadi tantangan tersendiri oleh Truly. Di satu sisi ada rasa empati dan di sisi lain ia juga punya
kewajiban untuk segera mendapatkan info itu. Semenjak hari itu, apabila harus liputan kejadian yang mirip, Truly lebih memilih mewawancarai tetangga atau saudara-saudara jauh
korban terlebih dahulu. Sebab, Truly sadar bahwa ia harus berempati terlebih dahulu pada keluarga korban.
Sejak 2009 lalu Truly tergabung di AJI dan saat ini menjabat sebagai pengurus sejak 2012 lalu. Selama menjadi wartawan, tentu Truly pernah melakukan kesalahan, namun tidak
pernah sampai memuat hak jawab. Biasanya hanya sebatas lisan saja. Paling narasumber mengatakan pernyataan yang dia bilang bukan seperti itu. Dengan kata lain hanya sebatas
perbedaan persepsi. Dengan santai Truly menjelaskan karena sudah ada Kode Etik Jurnalistik jadi tidak terlalu bermasalah selama berpedoman kesitu. Sejauh hal itu bisa
dijelaskan maka solusinya adalah penjelasan atau minta maaf dan apabila melakukan hal yang seperti itu lagi akan diperbaiki.
Truly adalah redaktur di desk kota. Sebelumnya, ia pernah merasakan di desk internasional dan nasional. Sebagai redaktur, Truly mengaku ada beberapa kendala yang dia
alami selama menjadi redaktur. Salah satunya keseimbangan wartawan tentang jobdesk yaitu kemampuan menulis berita, bagaimana wawancara yang baik, kosa kata, pengetahuan umum
yang kurang, istilah-istilah dan yang paling utama pengetahuan tentang KEJ yang rendah. Contohnya, korban pemerkosaan, menang tidak disebutkan nama korbannya namun
alamatnya dituliskan lengkap, itu sama saja. Kemudian disiplin deadline serta bagaimana komunikasi yang baik. Sedangkan kendala eksternal biasanya adalah dampak dari kendala
internal itu sendiri. Diawal bergabung dengan Harian Tribun Medan, Truly mengaku butuh waktu satu
bulan untukberadaptasi, setelah latihan kurang lebih tiga setengah bulan. Maka, pertama kali terbit, sudah selesai proses adaptasinya. Lagipula, Truly bilang ritme kerja disetiap media
biasanya sama, yang berbeda adalah gaya serta konsep redaksinya seperti sistem piket. Truly bilang hak koreksi terkadang lupa dilakukan, oleh sebab itu koreksi dilakukan
biasanya setelah ada protes. Sedangkan hak jawab yang diterapkan di Harian Tribun Medan biasanya dalam bentuk berita, dengan kata lain dimodifikasi dalam bentuk berita. Oleh sebab
itu tak terlalu tampak bahwa ia adalah hak jawab. Ada kegengsian sebagai media kalau mengakui itu adalah hak jawab. Biasanya hak jawab dan hak koreksi dilakukan dihalaman
yang bermasalah itu. Menurut Truly, harusnya bila itu hak jawab, maka harus ada tulisan di atas beritanya bahwa itu adalah hak jawab dan dimuat langsung hak jawabnya. Truly bilang,
koran Sinar Indonesia Baru lah yang menerapkan seperti itu. Di atas judul ada tulisan hak jawab. Sebenarnya Truly mengaku lebih baik dibuat seperti SIB, agar lebih tertib dan lebih
tampak bahwa itu adalah hak jawab, namun kebijakan dan aturan Harian Tribun Medan yang menerapkan hak jawab dalam bentuk berita. Dengan raut prihatin ia mengatakan bahwa hal
seperti ini tidak ada ditetapkan oleh Dewan Pers. Format hak jawab dan hak koreksi yang seperti apa tidak atur dengan detail dan jelasnya. Harusnya diatur dari atas sampai bawahnya
hak jawab itu seperti apa. Tak ada kesulitan dalam menerapkan hak jawab dan hak koreksi, rata-rata diikuti.
Namun hanya saja sering lalai di hak koreksi, karena koreksi terkadang tidak disadari. Apabila tidak ada yang protes atau komentar maka koreksi tidak akan dimuat, berbeda
dengan hak jawab yang pasti dimuat. Truly mengaku pernah melakukan hak jawab, namun hanya sekali, yaitu berita tentang ISIS yang lebarkan sayap ke asia negara. Itu adalah berita
tanggal 9 Maret dan hak jawabnya di muat pada tanggal 11 Maret. Dengan wajah serius Truly mengatakan hak jawab dan hak koreksi sangat penting
untuk diterapkan, karena paling tidak hak jawab dan hak koreksi ini dimana media menghargai kemerdekaan pers, bukan hanya media tapi juga masyarakat. Jadi media tersebut
tidak bisa suka-suka. Selain itu, hak jawab dan hak koreksi ini juga sebagai kontrol media agar kerja sesuai dengan KEJ dan UU Pers. Sebenarnya menerapkan ini juga sesuai dengan
kesadaran, oleh sebab itu ada juga media yang dilaporkan ke pengadilan oleh narasumbernya karena tidak memuat hak jawab.
Untuk itu hak jawab dan hak koreksi ini juga termasuk mengakui kesalahan dalam berntuk pertanggungjawaban. Apalagi kalau sudah melakukan kesalahan, maka harus
bertanggung jawab. Manfaat dari hak jawab dan hak koreksi ini adalah citra positif dari masyarakat bahwa koran itu bukanlah koran main-main dan koran yang serius. Apabila koran
tersebut sudah dipercaya masyarakat, maka koran tersebut akan dijadikan referensi. Selain itu, kepercayaan yang tinggi akan membuka peluang untuk relasi bisnis karena bukan media
yang asal-asalan, seperti memasang iklan. Menurut Truly kebanyakan masyarakat sekarang sudah cerdas dan dewasa dengan
menggunakan hak jawabnya dan tidak menyerang kantor. Hak jawab dan hak koreksi biasanya dilakukan di halaman yang sama. Namun, apabila itu adalah hak koreksi maka sama
dengan kerelaan kita untuk mengakui kesalahan misalnya salah nama, tempat peristiwa dan lain-lain.
Lagipula, hak koreksi dan hak jawab harus cepat dilakukan. Bila diketahui hari itu salah, maka keesokan harinya harus diterbitkan koreksinya. Namun, apabila ia hak jawab
maka harus dilihat terlebih dahulu apakah hak jawab itu memang benar atau tidak, kemudian akan ditelpon untuk dikonfirmasi lagi. Penyampai hak jawab harus membuat surat, namun
boleh juga menelpon.
Pelaksana dan penanggungjawab hak jawab dan hak koreksi itu adalah redaktur, namun sebelumnya pemimpin redaksi harus tahu terlebih dahulu tentang hak jawab tersebut.
Kemudian redaktur berdiskusi terkait hak jawab oleh wartawan yang meliput berita tersebut. Apabila wartawan memang merasa dia salah maka hak jawab langsung dinaikkan, namun
apabila dia merasa tidak maka harus dihubungi lagi narasumbernya agar lebih diperjelas. Oleh sebab itu, hak jawab tidak boleh asal dimuat. Karena bisa menjelekkan media juga dan
masyarakat menganggap media tersebut tidak profesional kerjanya. Truly bercerita pernah ada tuntutan dari Unimed untuk membuka identitas narasumber
terkait berita bagi-bagi kursi Unimed. Namun, sesuai dengan kode etik maka narasumber tersebut harus dirahasiakan. Unimed yang membantah soal tuduhan tersebut membuat
pengaduan ke Dewan Pers. Kemudian Dewan Pers memanggil Harian Tribun Medan melalui surat. Setelah itu, Dewan Pers datang ke Medan, namun bukan hanya Harian Tribun Medan
saja yang dipanggil, ada juga beberapa koran lokal seperti satu koran di Aceh dan dua koran di Medan.
Saat ditanya bagaimana pendapatnya tentang hak jawab dan hak koreksi pada media di Medan Truly mengatakan yang pasti sudah jauh lebih baik, kira-kira 75 persen. Terutama
untuk koran-koran yang serius seperti Analisa, Waspada, Tribun dan SIB. Hal ini dikatakan Truly sesuai dengan pengalamannya.
Informan VI Maulina Siregar
Wawancara dengan Maulina dilakukan di hari yang sama dengan Truly, hanya waktunya saja yang berbeda yaitu pukul 16. 00, sehabis rapat budgeting sampai 17.00 di meja
kerjanya. Maulina pertama kali bergabung di Harian Tribun Medan sebagai wartawan pada tahun 2010 lalu. Liputan pertamanya tentang Pemilihan Kepala Daerah Walikota khusus
masyarakat pinggiran Sungai Deli pada 2010 lalu. Namun, liputan yang paling berkesan menurut Maulina adalah liputan investigasi soal siswa-siswi SMA Negeri yang disinyalir
punya bocoran soal dan kunci jawaban Ujian Nasional. Ia merasa liputan ini sangat menantang karena eksekusinya sulit, seperti mengambil foto diam-diam dengan cara
mengintai dan pergi subuh-subuh jam 4 pagi untuk liputan tersebut. Maulina mengaku belum berminat bergabung di organisasi wartawan. Hal itu
disebabkan idealisnya yang berbeda antara Maulina dan dua organisasi wartawan yang ada yaitu Persatuan Wartawan Indonesia dan Jurnalis Independen Indonesia. Ia mengakui belum
merasa cocok untuk tergabung disitu sedikit grogi dan ragu-ragu. Ia baru menjadi redaktur awal tahun 2015 ini, sebelumnya Maulina adalah asisten redaktur dari 2012 sampai 2014.
Selama menjadi wartawan tak ada kesalahan fatal yang dilakukan Maulina, hanya sebatas kesalahan nama, jabatan, dan hal-hal kecil lain yang sudah tidak diingatnya lagi.
Pernah Maulina salah menuliskan marga yang sebenarnya sihotang menjadi sitohang. Itu adalah kekhilafan. Ia mengaku cukup sering melakukan kesalahan seperti itu saat menjadi
wartawan, yaitu empat sampai lima kali. Untuk mengatasi hal itu, sejauh ini yang dilakukannya adalah meminta maaf dan menjadikan narasumber tersebut menjadi
narasumbernya lagi namun ditopik yang berbeda. Maulina menjadi redaktur di desk daerah. Saat menjadi wartawan ia pernah berpindah-
pindah desk yaitu kota, komunitas dan halaman-halaman khusus seperti lifestyle dan kuliner. Selama menjadi redaktur, Maulina mengaku ada beberapa kendala terutama di internal. Ia
bilang karena wartawan yang dibawahinya meliput berita di daerah yang kebetulan ia belum pernah liput. Maka kadang-kadang ia harus belajar mengikuti isu serta situasi masyarakat.
Ada tiga daerah yaitu Langkat, Binjai dan Siantar. Salah satu daerah yang belum pernah diliputnya adalah Siantar. Maka itu menjadi tantangan tersendiri untuknya. Solusinya adalah
lebih banyak berkomunikasi dengan wartawan dan browsing-browsing tentang daerah tersebut sertamembaca buku. Saat wawancara berlangsung bunyi rtingtone hp Maulina dan ia
meminta izin untuk mengangkatnya, kemudian Maulina meminta tolong kepada seorang teman untuk membelikannya makanan dan melanjutkan berbicara di telpon, kurang lebih
situasi ini berjalan tujuh menit. Kemudian wawancara kembali dilanjutkan. Maulina bilang, adaptasi dengan ritme Harian Tribun Medan dilakukan selama tiga
bulan. Tidak terlalu sulit karena selama tiga bulan tersebut dilakukan training. Jadi semuanya dipelajari disitu. Setelah mengatakam itu, Maulina kembali memegang ponsel dan sedang
membalas pesan. Keadaan sekitar pun tak kondusif, terdengar suara pintu dan musik. Terkait hak jawab dan hak koreksi yang tertulis di UU Pers, Maulina mengatakan
harusnya dibuat aturan yang lebih detil tentang itu. Seperti kapan, dimana, bagaimana dan syarat apa-apa saja bila seseorang ingin mengajukan hak jawab. Hal-hal yang seperti itu
belum diatur secara detil, bukan cuma sebatas pengertiannya saja. Formatnya seperti ini juga menyangkut profesionalisme. Harus dibuat poin-poinnya. Kemudian Truly datang dan
berbicara dengan Maulina kurang lebih lima menit. Maulina mengatakan tak ada kesulitan dalam menerapkan hak jawab dan hak koreksi,
yang penting ada kontak yang jelas dan lengkap. Misalnya di berita tersebut penyampai hak jawab menjadi pihak apa. Namun identitas yang jelas harus ada, bila perlu fotokopi KTP.
Selama ini, hak jawab dan hak koreksi itu ada karena narasumber yang sulit untuk dikonfirmasi. Sudah ditelpon dan didatangi langsung tetap tidak mau. Hak jawab dan hak
koreksi bisa dari mana saja, bisa via telpon, email, fax dan surat atau langsung ke Harian Tribun Medan. Apabila hak jawab akan dimuat maka ada konfirmasi dan wawancara pada
pihak penyampai hak jawab. Selama menjadi redaktur atau asisten redaktur, hanya sekali Maulina pernah melakukan
hak jawab dan hak koreksi yaitu saat event penyerahan hadiah. Awalnya diberita tersebut hanya dituliskan ada sembilan pemenang. Hanya saja, ternyata berita tersebut adalah berita
advetorial atau berita iklan. Maka harus ditulis nama pemenangnya dan hadiah yang didapat beserta brand-nya. Maka, Maulina pun melakukan koreksi keesokan harinya setelah
melakukan diskusi dengan pihak iklan. Ini terjadi sekitar setahun yang lalu. Menurut Maulina, hak jawab dan hak koreksi sangat penting karena ada asas
keberimbangan. Tidak disatu pihak saja yang melaporkan namun juga dari pihak yang dilaporkan mempunyai hak yang sama. Hak jawab berguna untuk menjamin suara
narasumber dan hak untuk menyampaikan suatu fakta yang ditulis media. Sedangkan hak koreksi berguna memberi ruang narasumber agar tidak merasa fakta atas dirinya dibuat asal-
asalan. Ada pula kaitannya dengan kepercayaan, masyarakat bisa menilai dan curiga kenapa melihat dari sisi medianya saja, tidak dari narasumbernya.
Biasanya hak jawab dan hak koreksi dicantumkan ditempat yang sama dengan berita sebelumnya. Menurut Maulina yang bertanggungjawab dengan hak jawab dan hak koreksi
adalah manajemen produksi dan redaktur. Dua pihak ini lah yang berkoordinasi. Setelahnya Maulian kembali menerima telpon dan meninggalkan peneliti agar berbicara lebih leluasa.
Hal ini terjadi sekitar 10 menit. Maulina mengatakan misalnya ada protes di hari ini tentang berita, maka akan langsung
diproses. Dilihat terlebih dahulu siapa yang melakukan protes dan kaitannya dengan berita tersebut. Seharusnya yang protes memang narasumber primer. Apabila, penyampaian hak
jawab protes, namun bukan pernyataan dia. Maka koreksi, klarifikasi, komentar dan konfirmasinya bisa dikirim melalui surat, fax, email dan langsung ke kantor serta identitas
lengkap. Maka wartawan yang bersangkutan akan langsung menghubungi apa hal yang mau dibantah lalu keesokan harinya akan diterbitkkan. Sebelum terbit, hak jawab dan hak koreksi
selalu ada konfirmasi terlebih dahulu. Sepengetahuan Maulina Harian Tribun Medan belum pernah mendapat sanksi hukum terkait hak jawab dan hak koreksi.
Menurut Maulina, penerapan hak jawab dan hak koreksi pada media di Medan beberapa ada yang sudah baik, namun ada juga yang menerapkannya dengan sistem yang
berbeda. Misalnya di koran-koran merah yang tidak terlalu menerapkan hal itu. Karena koran-koran seperti itu biasanya asal saja. Tidak tahu siapa narasumbernya. Jadi wajar bila
mereka seperti itu.
Informan VII Abdul Haerah HR
Abdul Haerah HR biasa dipanggil Haerah. Wawancara dilakukan pada 25 Maret 2014 pukul 16.00 sampai 17.00 di ruang kerjanya. Haerah adalah Pemimpin Redaksi Harian
Tribun Medan sejak 2014 lalu. Sebelumnya ia adalah wakil pemimpin redaksi sejak berdirinya Harian Tribun Medan 2010 lalu. Menurut pandangan Haerah, Hak jawab
merupakan kewajiban bagi media untuk menjawabnya pada kesempatan pertama di tempat yang sama. Hak jawab ini harus dilakukan media sesuai dengan UU Pers. Sedangkan hak
koreksi tidak terlalu ketat seperti hak jawab. Dengan kata lain ia bisa dimuat bisa tidak. Hak koreksi ini bisa disampaikan oleh narasumber, namun bisa juga disampaikan dari pihak-pihak
dari luar tapi tahu fakta tentang hal itu. Di Harian Tribun Medan sendiri, Haerah mengatakan penerapan hak jawab dan hak
koreksi sesuai dengan apa yang diatur UU Pers. Bila ada masalah terkait berita dan diprotes maka keesokan harinya saat kesempatan pertama, berita itu akan dimuat hak jawabnya.
Namun ada beberapa yang harus dipelajari terlebih dahulu hak jawabnya. Lagipula, di Harian Tribun Medan sendiri tak ada kesulitan dalam menerapkannya. Bila penyampai hak jawab
memberikan protes secara lisan, maka biasanya pihak Harian Tribun Medan akan memintanya untuk menuliskan hak jawab melalui surat, bisa juga email, yang penting
tertulis. Hal ini dilakukan agar lebih savety. Hak jawab dan hak koreksi yang sudah diajukan terkadang akan dikonfirmasi ulang.
Namun hal ini dilakukan sesuai dengan konten beritanya, apakah harus dikonfirmasi terlebih dahulu atau tidak. Selama ini, kebanyakan hak jawab dimuat ditempat yang sama. Namun
sejauh ini tidak pernah masuk laporan terkait hak koreksi, yang sering adalah hak jawab. Apabila hak jawab dan hak koreksi yang diajukan cukup relevan dengan fakta maka akan
dimuat. Haerah bilang hak jawab ada karena adanya bantahan dari beberapa pihak dan biasanya
ada hak jawab yang sampai menimbulkan polemik. Kebanyakan hak jawab juga biasanya disertai isomasi ancaman dan tuntutan hukum. Padahal tanpa membuat ancaman seperti itu,
hak jawabnya akan dimuat apabila relevan. Ia bilang biasanya hak jawab dan hak koreksi
disampaikan kepada wartawan via telpon ataupun langsung ke kantor. Namun, biasanya Haerah selalu meminta hak jawab tersebut dalam bentuk tertulis, menurutnya sangat rawan
apabila hak jawab tidak dilakukan seperti itu, karena bisa terjadi bantah-bantahan antar pihak. Hak jawab dan hak koreksi sangat penting menurut Haerah. Sebab, media itu
menyampaikan fakta dan berita yang benar. Namun bisa saja terjadi seorang wartawan mendapatkan informasi dari narasumber A, ternyata ada narasumber lain yang lebih
mengetahui topit berita itu daripada narasumber A. Maka informasi yang lebih benar harus disajikan pada masyarakat.
Di Harian Tribun Medan sendiri, hak jawab dan hak koreksi dilakukan pada kesempatan pertama setelah hak jawab tersebut dilayangkan. Biasanya dimuat sesuai dengan
item-item yang diberikan narasumber atau penyampai hak jawab, kecuali ada yang salah atau keliru dengan item-item tersebut. Hak jawab yang diterima Harian Tribun Medan sudah
cukup banyak, lebih kurang seratus. Namun, hak koreksi belum pernah ada diajukan. Ada juga beberapa narasumber yang mengatakan kesalahan dalam penulisan nama,namun hanya
sebatas memberitahukan formal saja, tidak minta dikoreksi. Selain itu, hak jawab dan hak koreksi ini juga berguna untuk memberi informasi yang
benar kepada masyarakat, mengoreksi berita yang tidak benar serta memberi hak narasumber yang merasa tersudutkan oleh berita tersebut. Biasanya memang hak jawab dilakukan di
halaman yang sama, namun belum tentu posisinya sama. Misalnya pada berita yang diprotes menjadi headline dihari sebelumnya, namun belum tentu hak jawabnya menjadi headline
juga, namun tetap dihalaman itu juga, jadi bisa di atas atau di bawah. Menurut Haerah, yang bertanggungjawab pada hak jawab dan hak koreksi adalah
penanggungjawab halaman tersebut yaitu redaktur. Namun, sebelumnya setelah surat tersebut masuk ke kantor bisa saja diketahui sekretaris redaksi, pemimpin redaksi dan redaktur.
sekalipun ketiga-tiganya tidak ada ditempat, hak jawab tersebut harus diproses karena tidak ada kebakuan surat tersebut harus masuk dulu ke pemimpin redaksi, yang terpenting
pemimpin redaksi tahu bahwa ada hak jawab. Namanya juga media, kesulitan birokrasi harus dihindari.
Sejauh ini, Harian Tribun Medan belum pernah sampai ke ranah hukum terkait hak jawab dan hak koreksi yang diterapkan. Hal ini karena Harian Tribun Medan selalu
mengikuti prosedur. Lagipula, menurutnya narasumber atau penyampai hak jawab merasa puas dengan hak jawab yang dimuat Harian Tribun Medan. Memang tidak langsung
dikatakan, namun setelah hak jawab itu dimuat tidak ada lagi komentar maka artinya sudah
puas. Hal itu karena penerapan hak jawab dan hak koreksi Harian Tribun Medan dilakukan dengan proporsional dan tidak ada tendensius.
Saat ditanya pendapatnya tentang penerapan hak jawab dan hak koreksi pada media yang ada di Medan, Haerah mengaku tak terlalu tahu sebab itu tak pernah lihat dan
mengamatinya. Namun, bila melihat akurasi sistem-sistem media di Medan. Kebanyakan media tidak mau dipermasalahkan. Namun di Harian Tribun Medan apabila ada narasumber
yang dalam hak jawabnya mencerca Harian Tribun Medan hal itupun akan dimuat dalam beritanya.
Tapi untuk menerapkan hak jawab dan hak koreksi pada media di Medan Haerah meyakini iya dengan ragu-ragu namun ia tidak tahu sesuai betul atau tidak dengan UU Pers.
Haerah mengaku sejauh ini, hak jawab dan hak koreksi yang diatur dalam UU Pers sudah bagus, lengkap dan memadai yaitu dengan memberi hak narasumber di halaman yang sama
dengan berita yang protes dan pada kesempatan pertama. Itu sudah cukup fair. Lagipula, bila diikuti UU Pers itu, narasumber tidak akan protes karena merasa hak-
haknya sudah terpenuhi. Haerah bilang, sebenarnya hak jawab dan hak koreksi ini mempunyai kaitan dengan kredibilitas. Sebab ada beberapa orang yang menilai apabila
terlalu banyak hak jawab dan koreksi maka koran tersebut bisa dipercaya atau tidak, namun ada juga yang berfikir sebaliknya. Media yang bagus bukan media yang tidak pernah salah,
tapi menyadari kesalahannya dang mengoreksinya melalui hak jawab.
4.2 Pembahasan