1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan pemaparan konteks masalah yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Pemaknaan Kode Etik
Jurnalistik tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam Perspektif Fenomenologi di Harian Tribun Medan”.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah 1.
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah Harian Tribun Medan memiliki kesadaran akan pentingnya hak jawab dan hak koreksi
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuibagaimana Harian Tribun Medan memaknai
dan mengkonstruksi hak jawab dan hak koreksi sebagai kebebasan pers dan hak masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1.
Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya dalam mengetahui pemaknaan Kode
Etik Jurnalistik di Media Massa. 2.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah penelitian tentang dunia pers di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU 3.
Sebagai bahan masukan dan sumber bacaan bagi kawan-kawan mahasiswa Ilmu Komunikasi lainnya, terutama yang menjurus kepada bidang jurnalisme.
4. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada media
massa yang ada di Medan akan pentingnya menerapkan Kode Etik Jurnalistik.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Interpretif
Dalam Daymon 2008: 6, Miller mengungkapkan dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan sekaligus dengan keteraturan dan ketidakaturan interaksi komunikasi, situasi-
situasi yang terjadi mungkin biasa kecil ataupun luar biasa besar, contohnya kita membuat beberapa pilihan tentang bagaimana cara yang terbaik berbicara dengan seorang pembimbing
mengenai nilai yang buruk dalam sebuah ujian. Kita mencoba untuk menyikapi banyak- banyak komentar politik yang berdiskusi tentang hari itu. Dalam situasi-situasi keseharian ini,
kita mencari sebuah pemahaman tentang bagaimana dan mengapa komunikasi bekerja. Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif.
Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia perlunya memahami realitas sosial dari berbagai sudut
pandang orang-orang yang hidup di dalamnya. Realitas sosial yang dihadapi manusia sudah terbentuk dari waktu ke waktu melalui proses komunikasi, interaksi dan sejarah bersama.
Perspektif interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post-positivis. Perspektif positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis, tidak mampu menangkap
keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dan interaksi manusia. Perspektif interprektif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan
bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang sangat
berbeda dengan teori post positivis. Untuk itu, salah satu sudut pandang yang sangat memengaruhi teori interpretif dalam komunikasi yaitu fenomenologi Ardianto dan Anees,
2007: 124.
2.2. Fenomenologi
Sobur 2013: 14-15 secara etimologis, fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos. Kata logos lazimnya menunjuk ada pengertian uraian, percakapan, atau ilmu,
seperti yang melekat pada disiplin psikologi, sosiologi, antropologi, atau etnologi. Selanjutnya akar kata yang termuat dalam istilah fenomenon ada dasarnya sama dengan
akar kata fantasi, fantom, fosfor, dan foto, yang berarti sinar atau cahaya. Dari akar kata tersebut dibentuk kata kerja yang antara lain, berarti tamak, terlihat karena bercahaya atau
bersinar. Jadi, fenomenologi bisa kita artikan sebagai uraian, percakapan, atau ilmu tentang fenomenon atau suatu yang sedang menampakkan diri. Dalam bahasa filsafat, dapat juga
dikatakan bahwa fenomenologi ialah percakapan dengan fenomenon, atau sesuatu yang sedang menggejala.
Dalam arti yang lebih luas, kata “fenomenologi” mencakup aneka macam cara ouler untuk membicarakan fenomena-fenomena atau hal-hal yang tampak. Dengan demikian,
istilah ini tidak lagi dipatoki secara jelas dan kritis. Kini, seperti dikatakan Wahana 2004:31, fenomenologi merupakan istilah yang digunakan secara luas dalam berbagai
pengertian dalam filsafat modern, yang memiliki pokok persoalan “fenomena”. Pada pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjukan pada suatu teori
spekulatif tentang penampilan pengalaman dan dalam penggunaan awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi “henomenon-noumenon,” suatu perbedaan antara
yang tampak phenomenon dan yang tidak tampak noumenon. Fenomenologi Husserl merupakan usaha spekulatif untuk menentukan hakikat yang seluruhnya didasarkan atas
pengujian dan penganalisisan terhadap yang tampak. Pemikiran fenomenologi bukan merupakan sebuah gerakan pemilihan yang koheren.
Prinsip paling dasar dari fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih
mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat ada penjelasan universal Ardianto dan Anees, 2007:127.
Sobur 2013: 19 mengatakan tiga konsep dasar fenomenologi Deetz, 1973, dalam Littlejohn dan Foss, 2008. Pertama, pengetahuan diperoleh secara langsung lewat
pengalaman sadar—kita akan mengetahui dunia ketika berhubungan dengannya. Kedua,makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan kata
lain, bagaimana seseorang berhubungan dengan benda, menentukan maknanya bagi orang
tersebut. Misal, seseorang akan mengambil bidang kajian ilmu komunikasi dengan serius sebagai pengalaman di bidang pendidikan ketika orang tersebut mengalami suatu yang akan
memberikan pengaruh positif pada karirnya. Ketiga, bahasa pada dasarnya merupakan kendaraan makna. Manusia memahami dunia lewat bahasa yang digunakan guna
mendefinisikan serta mengekspresikan dunia tersebut. Manusia mengetahui kunci karena bahasa yang hubungkan dengan benda tersebut: menuntut, membuka, besi, berat, dan
sebagainya. Uraian Hall dan Lindzey mengartikan fenomenologi sebagai deskripsi tentang data
secara harfiah disebut the givens, yang terberi tentang pengalaman langsung. Fenomenologi berusaha memahami—bukan menerangkan—gejala-gejala. Menurut Van Kaam 1966 dalam
Sobur 2013: 16-17 merumuskannya sebagai “metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyingkap dan menjelaskan gejala-gejala tingkah laku sebagaimana gejala-gejala tingkah
laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam bentuk pengalaman. Fenomenologi terkadang dipandang sebagai metode lengkap untuk setiap ilmu pengetahuan
dimulai dengan pengamatan terhadap apa yang diamati dan dijabarkan oleh subjek yang mengalami pada suatu waktu tertentu. Dalam filsafat, fenomenologi merupakan sebuah
pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia.
Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert tahun 1764, pada Teori Penampakan. Teori ini bersama dengan teori kebenaran, logika, dan semiotika,
merupakan empat disiplin filosofisnya. Lambert adalah filsufnya Jerman yang sezaman dengan Kant, merupakan orang yang pertama kali membicarakan masalah ini dengan
memberi nama fenomenologi phenomenology. Ia menggunakan istilah fenomena phenomenon bagi gambaran khayal dari pengalaman manusia, dan kemudian mengartikan
fenomenologi phenomenology sebagai “teori tentang khayalan”, sedangkan Kant memberi arti baru dan lebih luas terhadap fenomena. Kant membedakan antara objek dan kejadian
yang tampak dalam pengalaman kita dengan objek dan kejadian yang berada dalam dirinya sendiri serta tidak tampak dalam gejala-gejala yang kita tangkap dengan indra, yang pertama
disebut fenomena phenomenon, sedangkan yang berikut disebut numena noumenon. Dengan kata lain, inti pendekatan fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam
keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yanng
berlangsung dalam diri khalayak menjadi penting.
Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang, yaitu proses yang digunakan
oleh mereka yang memperhatikan dan memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu, tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami
dunia secara subjektif, sensasi, perasaan, dan fantasi yang terlibat dalam titik tolak ukur meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai objek. Dua garis utama berpikir
merefleksikan pendekatan fenomenologis, yaitu: a.
Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek utama kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau
konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam penyusunan persepsi.
b. Teori Medan. Teori ini beragumentasi bahwa kepribadian pola prilaku yang kekal
dan diperoleh dengan belajar saja tidak dapat menerangkan bagaimana orang berprilaku. Setiap orang memiliki ruang hidup yang tersusun dari medan gaya. Dalam
bertindak, individu mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaimana ia memahami gaya itu saat bertindak Surip, 2011:11.
Tradisi fenomenologi memfokuskan perhatiannya terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa
manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan.
Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia.
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya.
Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl 1895-1938 sebagai tokoh terpentingnya. Husserl L. Siregar, 2005 : 7-8 mengatakan :
“This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the
pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as
an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must describe in terms of their essential concepts and their governing formulae of essence, the essence which
directly make themselves known in intuition, and the connections which have their roots
purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”
Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan
dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman
manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat
menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan dimana
mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.
Perspektif fenomenologi merupakan salah satu dari tiga pandangan dasar dari paradigma interpretif. Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl 1859-
1938. Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada
realitas yang terpisah atau objektif bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau
hal objektif dan realitas seseorang Suyanto, 2005: 178-179. Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang
menganggap bahwa gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum.
“zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek
memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala- gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari objek itu, melepaskan objek itu dari
pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu ’berbicara’ sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri
kita. Fenomenologi adalah tambahan dari pendapat Bentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Menurutnya manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transeden,
sintesis dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre aumonde mengada pada alam menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengostitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus
mengkonvers ikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Maksum, 2008: 368-369.
Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di
“kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang.Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di
dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku Bungin, 2003.
Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk
menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan. Prinsip dasar dari perspektif fenomenologi adalah
bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman
subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam
kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon yang tumbuh di halaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan
burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan konstruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau
pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia dialamidan makna dibangun melalui
bahasaArdianto. 2007: 129.
2.2.1 Filsafat Fenomenologi
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi
mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan
pada penyelidikan tentang lebenswelt dunia kehidupan atau erlebnisse kehidupan subjektif dan batiniah. Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan
tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris Maksum, 2011:191.
Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang membentuk
dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. Dalam Sobur, 2013: 5 mengatakan Husserl memang mendefinisikan fenomenologi
sebagai suatu disiplin filsafat yang akan melukiskan segala bidang pengalaman manusia. namun, ia sendiri memusatkan perhatian dan tenaganya pada pemberian dasar terhadap
fenomenologi itu sebagai disiplin baru Wahana, 2004: 32. Menurut Husserl, fenomenologi diperuntukkan membuka suatu jalan baru dalam filsafat: suatu transformasi mendasar filsafat,
yakni kembali pada sumber asli dari intuisi. Dengan proses klarifikasi, fenomenologi akan membuka suatu wilayah yang luas dari penelitian ilmiah yang saksama, yang membuktikan
kegunaannya tidak hanya bagi filsafat, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan lainnya, yaitu memberikan penjelasan tentang landasan ilmu pengetahuan.
2.2.2 Fenomenologi Persepsi
Dalam fenomenologi Merleau-Ponty, dunia persesi menjadi titik tolak dari pemikirannya Brouwer, 1998. Persepsi ialah sumber daya dan dasar eksistensi. Persepsi
pada dasarnya merupakan istilah yang meliputi seluruh hubungan manusia dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi. Istilah ini bertalian dengan makna, tubuh, dan
intersubjektivitas. Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Manusia dapat digambarkan berada dalam dunia etre-au-monde dan persepsi ialah relasiasli manusia
dengan dunia. Manusia terbuka bagi dunia. Inilah yang mendasari persepsi. Persepsi tidak pernah selesai dan definitif karena hubungan manusia dengan dunia
ditandai oleh perspektif yang berganti-ganti. Fenomenologi dimaksudkan sebagai studi tentang esensi-esensi, dan menurutnya, semua problem ada dasarnya tidak lain daripada
menentukan esensi-esensi, misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran, dan lain-lain. Namun, fenomenologi juga merupakan suatu filsafat yang menempatkan kembali esensi-esensi dalam
eksistensi dan yang berpendapat bahwa manusia serta dunia tidak dapat dimengerti, kecuali dengan bertitik tolak pada ‘faktisitas’ mereka.
Dalam arti sempit, persepsi ialah penglihatan, yakni bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana
seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Menurut DeVito, persepsi ialah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita. Yusuf
1991: 108 menyebut persepsi sebagai ‘pemaknaan hasil pengamatan, sedangkan Gulo 1982 mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu
dalam lingkungannya menjadi indra-indra yang dimilikinya. Persepsi terjadi di dalam benak individu yang mempersepsi, bukan di dalam objek dan
selalu merupakan pengetahuan tentang penampakan. Maka, apa yang mudah bagi kita, boleh jadi tidak mudah bagi orang lain, atau apa yang jelas bagi orang lain mungkin terasa
membinggungkan bagi kita. Dalam konteks inilah perlu memahami intrapribadi dari komunikasi antarpribadidengan melihat lebih jauh sifat-sifat persepsi.
Pertama, persepsi adalah pengalaman. Untuk mengartikan makna dari seseorang, objek atau peristiwa, kita harus memiliki dasarbasis untuk melakukan interprestasi. Dasar ini
biasanya kita tentukan pada pengalaman masa lalu kita dengan orang, objek atau peristiwa tersebut, atau dengan hal-hal yang menyerupainya. Tanpa landasan pengalaman sebagai
pembandingnya tidak mungkin untuk mempresentasikan suatu makna, sebab ini akan membawa kita kepada suatu kebinggungan.
Kedua, persepsi adalah selektif. Ketika mempersepsikan hanya bagian-bagian tertentu dari objek atau orang. Dengan kata lain, kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik
tertentu dari objek-objek persepsi kita dan mengabaikan yang lain. Dalam hal ini biasanya kita mempersepsikan apa yang kita ‘inginkan’ atas dasar sikap, nilai, dan keyakinan yang ada
dalam diri kita dalam mengabaikan karakteristik yang telah relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut. Ketiga, persepsi adalah penyimpulan. Proses psikologis dari
persepsi mencakup penarikan kesimpulan melalui suatu proses induksi secara logis. Interprestasi yang dihasilkan melalui persepsi pada dasarnya adalah penyimpulan atas
informasi yang tidak lengkap. Keempat, persepsi tidak akurat. Setiap persepsi yang kita lakukan, akan mengandung
kesalahan dalam kadar tertentu. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengaruh pengalaman masa lalu, selektifitas, dan penyimpulan. Biasanya ketidakakuratan ini terjadi karena
penyimpulan yang terlalu mudah, atau menyamaratakan. Adakalanya persepsi tidak akurat karena orang menganggap sama, sesuatu yang sebenarnya hanya mirip. Dan semakin tidak
akuratnya persepsinya.
Kelima, persepsi adalah evaluaktif. Persepsi tidak akan pernah objektif, karena kita melakukan interprestasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai dan
keyakinan pribadi yang digunakan untuk memberi makna pada objek persepsi. Karena persepsi merupakan proses kognitif psikologis yang ada di dalam diri kita, maka bersifat
subjektifitas. Fisher mengemukakan bahwa persepsi bukan hanya merupakan proses intrapribadi tetapi juga sesuatu yang sangat pribadi dalam tindak persepsi menyebabkan
persepsi sangat subjektif Fajar Marhaeni, 2009: 151-152. Fenomenologi ialah suatu filsafat transendental yang menaruh antara kurung anggapan-
anggapan sikap natural dengan maksud memahaminya dengan baik. Namun, fenomenologi juga merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu ‘sudah ada’, mendahului segala
refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan. Fenomenologi berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kembali kontak langsung dan wajar dengan dunia, supaya akhirnya dunia
dapat diberikan suatu status filosofis. Di satu pihak, fenomenologi mempunyai ambisi menjadi suatu ‘ilmu rigorus’, tetapi di pihak lain ia ingin juga mempertanggungjawabkan
ruang, waktu, dan dunia sejauh ‘dihayati’. Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita sebagaimana adanya tanpa memperhatikan asal-usul
psikologisnya dan keterangan-keterangan kausal yang dapat disajikan ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog.
Orang sering kebingungan memaknai fenomena yang berasal dari penafsiran karena penafsiran tersebut dikhususkan pada data subjektifitas serta bidang fenomenal yang tidak
berhubungan dengan fenomenologi. Dalam pandangan Merleau-Ponty, persesi merupakan suatu intensi dari seluruh
eksistensi, yakni cara mengada dalam dunia pra-reflektif yang disebutnya sebagai etre-au- monde ada-dalam-dunia. Dalam konteks ini, pengertian persesi bukanlah sebagai batas
kesadaran dalam kontaknya dengan dunia luar, melainkan justru menunjukkannya bahwa kesadaran selalu bersifat mendunia ada eksistensi yang konkret, sebuah kesadaran yang
menumbuh. Ia menjelaskan keunggulan persepsi secara langsung menunjukkan sebuah kehadiran subjek ketika kebenaran dan nilai-nilai yang dibentuk terjadi. Pemahaman persepsi
semacam ini mendeskripsikan pengalaman sewaktu terlahirkan Sobur, 2013: 368-369.
2.2.3 Metode Fenomenologi
Menurut Husserl Maksum, 2011: 191, fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah. Langkah yang harus diambil
sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instiksik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakan diri kepada
kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.
Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui: 1.
Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena sesuatu yang berada di balik fenomena
2. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani
3. Kesadaran adalah sesuatu yang interaksional terbuka dan terarah pada subjek
4. Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan sekaligus
bisa terjangkau. Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl Praja 2003:181, usaha
untuk mencapai hakikat realitas segala fenomena itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari:
1. Reduksi Fenomenologi
Fenomena seperti disebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari- hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah
cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah rill atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar nikah. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi
adalah realitas dalam arti yang di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dalam “mengalami” secara intuitif, maka apa yang dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk
sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjekivitas disingkirkan. Termasuk di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut
fenomenologis. Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas yang
dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kia akan sampai pada fenomena yang sebenarnya.
2. Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata eidos. Eduksi eidetis ialah penyaingan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, inti sari atau ealias fenomena. Dengan reduksi
eidetis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh.
Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat realitas yang dicapai dalam hal ini adalah stuktur dasar yang meliputi isi
fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan
contoh-contoh tertentu yang epesentatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambahkan salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau
menambahkan makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki. Reduksi eidetis ini menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku.
Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan
yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3. Reduksi Transendental
Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar
dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal
yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran sendiri. Kesadaran di sini bukan
pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditentukan adalah kesadaran yang
besifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diri dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental.
Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya
tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya, tidak jelas maknanya bagi seseorang yang
tetap hidup di hutan. Objek yang disadari noema baru menjadi realitas bagi satu subjek,
sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindar ini, Husserl membuat lebenswelt dunia yang hidup atau dunia manusia umum. Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas
absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektif. Dan “aku” transendental dari subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindar solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan
landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.
2.3 Komunikasi