sebagai penyebab munculnya struktur ekosistem hutan yang kompleks pada hutan hujan tropis yang menggunakan cahaya secara maksimum Indriyanto, 2005.
4.5 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E.
Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman dan tingkat keseragaman komposisi penyusun vegetasi tegakan hutan di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30
tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat, maka dilakukan analisa perhitungan dengan persamaan Indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener H’ dan Indeks Keseragaman
E. Tabel 4.7 berikut adalah data hasil analisa Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E.
Tabel 4.7 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Pohon dan Pole di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah
Kabupaten Langkat.
Jenis Tegakan Indeks Keanekaragaman H’
Indeks Keseragaman E
Pohon 2,650
0,520 Pole
2,715 0,586
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa Indeks Keanekaragaman H’ pohon di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah
Kabupaten Langkat adalah 2, 650 dan pole adalah 2, 715. Nilai ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman tersebut termasuk dalam kategori sedang medium.
Hal ini sesuai dengan yang dikategorikan oleh Barbour et al. 1987, kriteria nilai keanekaragaman jenis berdasarkan Shanon-Wiener sebagai berikut: jika H’1
dikategorikan sangat rendah, 1H’2 dikategorikan rendah, 2H’3 kategori sedang medium, 3H’4 dikategorikan tinggi, dan jika H’4 dikategorikan sangat tinggi.
Menurut Agustina 2008, suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis.
Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah apabila komunitas tersebut disusun oleh jenis yang sedikit. Sementara Suin 2002
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa struktur komunitas organisme antar lokasi dapat dibandingkan dengan cara membandingkan indeks diversitas masing-masing komunitas.
Menurut Indriyanto 2006, keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat
digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas
untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen- komponennya. Keanekaragaman yang tinggi memiliki kompleksitas tinggi karena
interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi.
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Keseragaman E pohon di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah
Kabupaten Langkat adalah 0, 520 dan pole adalah 0, 586. Nilai ini menunjukkan bahwa indeks keseragaman tersebut termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Krebs
1994, keseragaman rendah apabila 0E0, 5 dan keseragaman tinggi apabila 0, 5E.
Menurut Putri Allo 2009, rendahnya nilai indeks keseragaman E tergolong rendah menunjukkan bahwa pada populasi vegetasi yang tumbuh di lokasi
penelitian tersebut distribusi kelimpahannya relatif tersebar secara tidak seragam dan terdapat jenis yang jumlah individu dalam populasinya lebih banyak dibanding jenis
lainnya.
4.6 Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun dan Perkebunan Kopi Desa Telagah Kabupaten Langkat
Nilai karbon tersimpan menyatakan banyaknya karbon yang mampu diserap oleh tumbuhan dalam bentuk biomassa pohon. Karbon tersimpan merupakan 46 dari
biomassa yang diukur. Biomassa dalam berat kering dihitung dengan menggunakan Allometrik equation berdasarkan diameter batang setinggi 1,3 meter di atas permukaan
tanah. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.8 Kandungan Bimassa TonHa dan Karbon Tersimpan TonHa Pada Vegetasi Pohon dan Pole Serta Tanaman Kopi di Kawasan
Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat No Jenis Tegakan Biomassa TonHa
Karbon TonHa
1 Pohon
318,521 146,5192
2 Pole
8,55 3,933
3 Tanaman kopi
0,106 0,0489
Total 327,177
150,5011
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa total biomassa yang terkandung pada tegakan pohon dan pole serta tanaman kopi yang terdapat di kawasan hutan
sekunder 30 tahun dan perkebunan kopi rakyat Desa Telagah Kabupaten Langkat adalah 327, 177 tonha. Total biomassa tersebut terdiri dari 318, 52 tonha biomassa
tegakan pohon Lampiran 8, 8, 55 tonha biomassa tegakan pole Lampiran 9, dan 0,106 tonha biomassa tanaman kopi Lampiran 10.
Menurut Hairiah Rahayu 2007, jumlah C tersimpan antar lahan berbeda- beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya
serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas
tanah biomasa tanaman ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah bahan organik tanah, BOT. Untuk itu pengukuran banyaknya C yang ditimbun
dalam setiap lahan perlu dilakukan.
Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies
yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu
rendah. Keberadaan pohon yang berdiameter 30 cm pada suatu sistem penggunaan lahan, memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon.
Pada hutan primer 70 dari total biomasa berasal dari pohon yang berdiameter 30 cm, sedangkan pohon yang berdiameter antara 5-30 cm hanya sekitar 30 Rahayu et
al., 2007.
Jumlah karbon tersimpan pada tegakan pohon dan pole adalah sebesar 150,452 tonha. Maka total karbon tersimpan pada tegakan pohon dan pole di kawasan hutan
Universitas Sumatera Utara
sekunder 30 tahun Desa Telagah adalah total karbon tersimpan dikalikan dengan luas hutan sekunder 30 tahun 8 ha = 150, 452 x 8 = 1203, 616 tonha. Jumlah karbon
tersimpan pada tanaman kopi di perkebunan rakyat Desa Telagah Kabupaten Langkat adalah 0, 0489 tonha.
Menurut Hairiah dan Rahayu 2007, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran agroforestri merupakan tempat
penimbunan atau penyimpanan C rosot C = C sink yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan
berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi baik di atas maupun di dalam tanah. Hutan juga melepaskan CO
2
ke udara lewat respirasi dan dekomposisi pelapukan seresah, namun pelepasannya terjadi secara
bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO
2
sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau
perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO
2
di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO
2
oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan emisi CO
2
ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada
lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO
2
yang berlebihan di udara. Jumlah ‘C tersimpan’ dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai ‘cadangan C’.
Jumlah karbon tersimpan yang sangat kecil pada areal perkebunan kopi rakyat desa Telagah dibandingkan dengan jumlah karbon tersimpan pada hutan sekunder 30
tahun menunjukkan adanya jumlah karbon yang sangat besar yang dilepas ke atmosfer ketika terjadi alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan kopi agroforestri.
Menurut Rahayu et al. 2007, perbedaan komposisi ukuran pada sistem agroforestri terjadi karena perbedaan jenis pohon yang ditanam. Pada agroforestri umur 0-10
tahun, lahan yang diambil sebagai contoh didominasi oleh pohon buah-buahan, sedangkan pada agroforestri 11-30 tahun merupakan kebun kopi campuran, sehingga
sumbangan cadangan karbon lebih banyak berasal dari pohon yang berdiameter 5-30 cm. Kopi berdiamater 5-30 cm yang ditanam secara multistrata di Lampung, pada
Universitas Sumatera Utara
umur kebun antara 20-30 tahun memberikan sumbangan cadangan karbon sebesar 41 dari total cadangan karbon yang ada.
Dalam hal pengurangan akumulasi gas CO
2
di udara, dapat dijelaskan dengan persamaan reaksi berikut ini:
C + ½ O
2
CO CO + ½ O
2
CO
2
+ C + O
2
CO
2
Diketahui: Ar C = 12, O = 16 Mol = grMr
Massa gr = mol x Mr 1 gr C = 1Ar C = 112 mol
112 mol CO
2
= 112 x Mr CO
2
= 112 x 44 = 3,67 gr.
Maka 1 gr C equivalen dengan 3,67 gr CO
2
Berdasarkan persamaan reaksi di atas, 1 mol C equivalen dengan 1 mol CO
2
. Artinya, bila satu atom karbon dioksidasi sempurna oleh 2 atom O oksigen, maka
berat 1 gram atom C akan menghasilkan 3, 67 gr CO
2
. Dengan demikian vegetasi pohon dan pole di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah Kabupaten
Langkat mampu mengurangi akumulasi gas CO
2
di udara sebesar 4417, 27 ton dengan menyerap gas tersebut pada proses fotosintesis.
Secara alami, pelepasan karbon hutan ke atmosfir, atau disebut emisi, terjadi melalui berbagai mekanisme seperti respirasi makhluk hidup, dekomposisi bahan
organik serta pembakaran biomasa. Selain melakukan proses fotosintesis untuk merubah karbon dioksida CO
2
menjadi oksigen O
2
, tumbuhan juga melakukan proses respirasi yang melepaskan CO
2
. Namun proses ini cenderung tidak signifikan karena CO
2
yang dilepas masih dapat diserap kembali pada saat proses fotosintesa Manuri et al. 2011.
Pohon dan organisme foto-ototrof lainnya melalui proses fotosintesis menyerap CO
2
dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organic karbohidrat dan menyimpannya dalam biomassa tubuhnya seperti dalam batang, daun, akar, umbi
Universitas Sumatera Utara
buah dan-lain-lain. Keseluruhan hasil dari proses fotosintesis ini sering disebut juga dengan produktifitas primer. Dalam aktifitas respirasi, sebagian CO
2
yang sudah terikat akan dilepaskan kembali dalam bentuk CO
2
ke atmosfer. Selain melalui respirasi, sebagian dari produktifitas primer akan hilang melalui berbagai proses
misalnya herbivori dan dekomposisi. Sebagian dari biomassa mungkin akan berpindah atau keluar dari ekosistem karena terbawa aliran air atau agen pemindah lainnya.
Kuantitas biomassa dalam hutan merupakan selisih antara produksi melalui fotosintesis dan konsumsi. Perubahan kuantitas biomassa ini dapat terjadi karena
suksesi alami dan oleh aktifitas manusia seperti silvikultur, pemanenan dan degradasi. Perubahan juga dapat terjadi karena adanya bencana alam Sutaryo, 2009.
Hutan alami merupakan penyimpan karbon C tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan SPL pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya
yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak Hairiah Rahayu, 2007.
Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak
memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO
2
yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila
diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-
bangunan dan aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun laju fotosistesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah
cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segera dilepaskan kembali ke atmosfir melalui
pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon.
Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mgha C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali
karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg Chatahun 1 Pg = 10
15
g = 10
9
Mg = 1 Gt Rahayu et al. 2007.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan