Gambar 4.4 menunjukkan Ficus auranthiaceae memiliki nilai LBD paling besar yaitu 0, 4104 m
2
, dan diikuti jenis Ardisia wrayi 0, 2719 m
2
, Homelium longifolium 0, 1822 m
2
, Baccaurea polyneura 0, 1373 m
2
, Macaranga tanaria 0, 0839 m
2
, Piper miniatum 0, 076 m
2
, Eugenia polyantha 0, 0687 m
2
, Anthocepalus cadamba 0, 0593 m
2
, Ficus carthacea 0, 0554 m
2
, Cratoxylon arborescens 0, 0513 m
2
, Cratoxylon cochinense 0, 0510 m
2
, Coffea malayana 0, 0503, Rauwolfia sp. 0, 0427 m
2
, dan selebihnya terdapat pada jenis-jenis pole yang lain yaitu 0, 2189 m
2
Lampiran 4.
Menurut Shepherd 1986, persyaratan tumbuh suatu jenis pohon identik dengan kisaran toleransi suatu jenis terhadap faktor tempat tumbuh iklim dan edafik.
Iklim mencakup curah hujan , temperatur dan kelembaban nisbih udara. Sedangkan faktor edafik, misalnya ketinggian tempat dari permukaan laut, jenis tanah, pH tanah,
dan kandungan unsur hara lainnya. Oleh karena itu kisaran toleransi terhadap faktor- faktor tempat tumbuh akan mempengaruhi kemampuan adaptasi penyesuaian diri
setiap jenis pohon terhadap lingkungannya. Berdasarkan kondisi penyebaran struktur tegakan menurut Utami 2007, tegakan hutan dapat diketahui dengan melihat struktur
tegakan yang merupakan sebaran pohon persatuan luas. Pada tegakan hutan bekas tebangan, struktur tegakan yang tebentuk berada lebih rendah dari struktur tegakan
pada hutan primer. Kondisi ini dapat dikembalikan ke bentuk semula seiring dengan berjalannya waktu.
4.4 Indeks nilai penting INP
Indeks Nilai Penting INP menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam suatu komunitas, dimana nilai penting tersebut
pada tingkatan pohon dan pole diperoleh dari hasil penjumlahan Kerapatan Relatif KR, Frekuensi Relatif FR, dan Dominansi Relatif DR.
Tabel 4.4 berikut akan memperlihatkan tingkatan INP pada masing-masing jenis pohon di lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah
Kabupaten Langkat.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.4 Indeks Nilai Penting Jenis Pohon
NO FAMILI
SPESIES KR
FR DR
INP
1 Alangiaceae
Alangium salvifolium 1.840
3.093 0.719
5.65 2
Apocynaceae Rauwolfia perakensis
0.613 1.031
0.259 1.90
Rauwolfia sp. 1 3.067
4.124 2.619
9.81 Rauwolfia sp. 2
1.227 1.031
0.357 2.62
Rauwolfia sp. 3 1.227
1.031 2.785
5.04 3
Arecaceae Dypsis decipiens
1.227 2.062
0.080 3.37
4 Chlorantaceae
Chlorantus elatior 17.178 15.464 21.832 54.47
5 Combretaceae
Terminalia belerica 1.227
2.062 1.286
4.58 6
Euphorbiaceae Baccaurea polyneura
9.202 9.278
5.882 24.36
Macaranga tanaria 15.337 10.309 31.461 57.11
Mallotus paniculatus 3.681
6.186 7.390
17.26 7
Fagaceae Lithocarpus sp.
1.840 1.031
1.355 4.23
8 Flacourtiaceae
Homalium longifolium 1.840
2.062 1.625
5.53 Osmelia maingayi
4.908 7.216
1.505 13.63
9 Guttiferae
Cratoxylon arborescens 1.227
2.062 0.461
3.75 Cratoxylon cochinense
5.521 4.124
2.842 12.49
10 Meliaceae
Toona sinensis 1.227
2.062 0.659
3.95 11
Moraceae Ficus auranthiaceae
12.270 9.278 4.261
25.81 Ficus trichocarpa
1.227 1.031
0.627 2.88
12 Myrsinaceae
Ardisia wrayi 8.589
8.247 4.908
21.74 13
Myrtaceae Eugenia polyantha
1.227 2.062
5.821 9.11
14 Piperaceae
Piper sp. 0.613
1.031 0.213
1.86 15
Rubiaceae Coffea malayana
3.681 4.124
1.056 8.86
TOTAL 100
100 100
300
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Nilai penting INP tertinggi terdapat pada jenis Macaranga tanaria yaitu 57, 11, selanjutnya
Chlorantus elatior dengan nilai INP 54, 47, Ficus auranthiacea 25, 81, Baccaurea polyneura 24, 36, Ardisia wrayi 21, 74, Mallotus paniculatus 17, 26,
Osmelia maingayi 13, 63, Cratoxylon cochinense 12, 49, Rauwolfia sp.1 9, 81, Eugenia polyantha 9, 11, Coffea malayana 8, 86, dan INP terendah terdapat pada
jenis Piper sp. yaitu 1, 86 Lampiran 6.
Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut dapat diketahui bahwa Macaranga tanaria dan Chlorantus elatior mampu tersebar di lebih dari setengah wilayah area penelitian.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang cukup tinggi terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga mampu mendominasi
sebagian besar wilayah penelitian. Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisik-kimia lingkungan di lokasi penelitian Macaranga tanaria dan Chlorantus elatior mampu
tumbuh dengan baik pada kondisi suhu udara 21
o
C, suhu tanah 21
o
C, kelembaban udara 21
o
C, intensitas cahaya 97 lux, dan pH tanah 6,6 seperti pada Tabel 4.6.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ludwig Reynolds 1988, pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi antara
lain: faktor vektorial intrinsik yaitu: faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air, dan intensitas cahaya; faktor kemampuan bereproduksi; faktor sosial
yang menyangkut femologi; faktor koaktif yang merupakan dampak dari interaksi intraspesifik; faktor stokhastik yang merupakan hasil variasi random beberapa faktor
yang berpengaruh.
Menurut Indriyanto 2005, Indeks Nilai Nilai Penting INP merupakan nilai yang menunjukkan dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas tumbuhan.
Selanjutnya Romadhon 2008 pada penelitian mangrove yang telah dilakukan menyebutkan bahwa indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0-300. Nilai
penting ini memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominasi suatu spesies dalam
komunitas.
Rentang nilai KR yang diperoleh yaitu 0, 613-17, 178. Nilai KR tertinggi terdapat pada jenis Chlorantus elatior dan terendah terdapat pada jenis Piper sp., dan
Rauwolfia perakensis Lampiran 6. Menurut Indriyanto 2006 densitas adalah jumlah individu per unit satuan luas atau per unit volume. Dengan kata lain, densitas
merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai arti yang sama dengan densitas dan
sering digunakan adalah kerapatan diberi notasi K. Sedangkan Kerapatan relatif KR merupakan perbandingan antara nilai kerapatan suatu jenis dengan total kerapatan
seluruh jenis pada lokasi penelitian.
Chlorantus elatior memiliki nilai FR Frekuensi relatif tertinggi dengan nilai 15, 464, selanjutnya jenis Macaranga tanaria dengan nilai 10, 309, Ficus
auranthiacea dan Baccaurea polyneura 9, 202, Ardisia wrayi 8, 247, Homalium longifolium 7, 216, Mallotus paniculatus 6, 186, Coffea malayana, Cratoxylon
cochinense, Rauwolfia sp. 1 masing-masing dengan nilai FR 4, 124, Alangium salvifolium 3, 093, Cratoxylon arborescens, Dypsis decipiens, Eugenia polyantha,
Osmelia maingayi, Terminalia belerica, Toona sinensis masing-masing dengan nilai
Universitas Sumatera Utara
FR 2, 062, dan nilai FR terendah terdapat pada jenis Ficus trichocarpa, Piper sp., Rauwolfia perakensis, Rauwolfia sp.2, Rauwolfia sp.3, dan Lithocarpus sp. masing-
masing dengan nilai FR 1, 031 Lampiran 6.
Menurut Ginting 2011, Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi
yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas.
Indriyanto 2006 menyatakan bahwa di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu
spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak contoh
yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem.
Untuk Dominansi Relatif DR, Macaranga tanaria memiliki nilai tertinggi yaitu 31, 461, selanjutnya jenis Chlorantus elatior 21, 832, Baccaurea polyneura
5, 882, Eugenia polyantha 5, 821, Ardisia wrayi 4, 908, Ficus auranthiaceae 4, 261, Cratoxylon cochinense 2, 841, Rauwolfia sp.3 2, 785, Rauwolfia sp.1 2,
619, Osmelia maingayi 1, 625, Homalium longifolium 1, 505, Lithocarpus sp. 1, 355, Terminalia belerica 1, 286, Coffea malayana 1, 056, Alangium salvifolium
0, 719, Toona sinensis 0, 659, Ficus trichocarpa 0, 627, Cratoxylon arborescens 0, 461, Rauwolfia sp. 2 0, 357, Rauwolfia perakensis 0, 259, Piper
sp. 0, 213, dan nilai DR terendah adalah jenis Dypsis decipiens dengan nilai 0, 080 Lampiran 6.
Menurut Suin 2002, basal area adalah bagian tanah yang dikuasai oleh pokok tumbuhan. Karakter ini merupakan salah satu pengukur dominansi. Dominansi adalah
proporsi tanah yang ditutupi oleh suatu jenis dari luas plot. Tutupan dan basal area juga sebagai salah satu karakter komunitas tumbuh-tumbuhan. Kepadatan dan
frekuensi saja belum cukup memberikan informasi tentang penyebaran jenis tumbuhan pada suatu daerah, dimana jenis yang berbeda mungkin berbeda pula
Universitas Sumatera Utara
bentuk hidupnya. Karena itu untuk menganalisis komunitas tumbuhan perlu pula dilengkapi dengan tutupan dan basal area.
Tabel 4.5 berikut akan memperlihatkan tingkatan INP jenis pole di lokasi penelitian di kawasan Hutan sekunder 30 tahun desa Telagah Kabupaten Langkat.
Tabel 4.5
Indeks Nilai Penting INP Jenis Pole
No FAMILI SPESIES
KR FR
DR INP
1 Alangiaceae
Alangium salvifolium 0.971
1.471 1.177
3.618 2
Anacardiaceae Buchanania sessifolia 0.971
1.471 0.603
3.044 3
Apocynaceae Rauwolfia sp. 1
1.942 2.941
2.427 7.310
4 Arecaceae
Dypsis decipiens 0.971
1.471 1.359
3.800 5
Chlorantaceae Chlorantus elatior
1.942 2.941
1.436 6.319
6 Combretaceae
Terminalia belerica 0.971
1.471 0.653
3.095 7
Euphorbiaceae Baccaurea polyneura 5.825
5.882 7.803
19.511 Macaranga tanaria
3.883 4.412
4.769 13.064
8 Fagaceae
Quercus lamponga 0.971
1.471 0.463
2.905 9
Flacourtiaceae Homalium longifolium 4.854
7.353 10.354
22.561 10
Guttiferae Cratoxylon arborescens
2.913 4.412
2.915 10.239
Cratoxylon cochinense 1.942
2.941 2.899
7.782 11
Lechytidaceae Planchoria valida
0.971 1.471
0.798 3.240
12 Moraceae
Ficus auranthiaceae 20.388
11.765 23.319
55.472 Ficus carthacea
5.825 7.353
3.150 16.328
Ficus sp. 1 0.971
1.471 1.683
4.125 Ficus sp. 2
0.971 1.471
0.999 3.441
Ficus trichocarpa 1.942
1.471 1.796
5.208 13
Myrsinaceae Ardisia wrayi
14.563 10.294
15.451 40.309
14 Myrtaceae
Eugenia polyantha 4.854
5.882 3.904
14.641 15
Piperaceae Piper sp.
11.650 8.824
4.344 24.818
16 Rubiaceae
Anthocepalus cadamba 4.854
5.882 3.369
14.106 Canthium horridum
0.971 1.471
0.916 3.358
Coffea malayana 2.913
2.941 2.857
8.711 Coffea robusta
0.971 1.471
0.554 2.996
TOTAL 100
100 100
300
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa jenis Ficus auranthiaceae memiliki nilai INP terbesar yaitu 55, 472. selanjutnya Ardisia wrayi dengan nilai
INP 40, 309, Piper sp. 24, 818, Homalium longifolium 22, 561, Baccaurea polyneura 19, 511, Ficus carthacea 16, 328, Eugenia polyantha 14, 641,
Anthocepalus cadamba 14, 106, Macaranga tanaria 13, 064, Cratoxylon arborescens 10, 239, Coffea malayana 8, 711, Cratoxylon cochinense 7, 782,
Rauwolfia sp.1 7, 310, Chlorantus elatior 6, 319, Ficus trichocarpa 5, 208, Ficus sp.1 4, 125, Dypsis decipiens 3, 800, Alangium salvifolium 3, 618,
Canthium horridum 3, 358, Ficus sp. 2 3, 441, Planchoria valida 3, 240,
Universitas Sumatera Utara
Buchanania sessifolia 3, 044, Coffea robusta 2, 996, dan nilai INP terendah terdapat pada jenis Quercus lamponga dengan nilai INP 2, 905 Lampiran 7.
Menurut Indriyanto 2006, spesies-spesies yang dominan yang berkuasa dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga
spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar.
Keadaan ini menunjukkan bahwa Ficus auranthiaceae memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan situasi faktor biotis maupun abiotis Tabel 4.6
sehingga mampu tumbuh menyebar di sekitar lokasi penelitian sehingga sangat berpengaruh terhadap indeks nilai penting jenis ini yang menunjukkan kemampuan
jenis tersebut untuk mendominasi wilayah tumbuhnya.
Dominansi jenis menunjukkan jenis-jenis tumbuhan yang berperan penting dalam suatu komunitas di areal hutan. Dominansi jenis ini ditunjukkan dengan
Indeks Nilai Penting INP tertinggi. Tingginya nilai INP pun menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya lebih
baik dibanding jenis lainnya. Jenis dominan dengan INP tertinggi dari tiap kondisi hutan memiliki jenis yang beragam. Jenis-jenis tiap bentuk pertumbuhan
menunjukkan komposisi berbeda dari tiap kondisi hutan tersebut Rahmasari, 2011.
Untuk nilai Frekuensi Relatif FR jenis Ficus auranthiaceae memiliki FR tertinggi dengan nilai 11, 765, selanjutnya diikuti nilai FR dari jenis Ardisia wrayi
dengan nilai 10, 294, Piper sp. 8, 824, Homalium longifolium, Ficus carthacea dengan nilai masing-masing 7, 353, Anthocepalus cadamba, Baccaurea polyneura,
Eugenia polyantha dengan nilai masing-masing jenis 5, 882, Cratoxylon arborescens, Macaranga tanaria dengan nilai masing-masing jenis 4, 412,
Chlorantus elatior, Coffea malayana, Cratoxylon cochinense, Rauwolfia sp. 1 dengan nilai FR masing-msing jenis yaitu 2, 941, dan nilai FR terendah terdapat pada jenis
Alangium salvifolium, Buchanania sessifolia., Canthium horridum, Coffea robusta, Dypsis decipiens, Ficus sp.1, Ficus sp. 2, Ficus trichocarpa, Planchoria valida,
Quercus lamponga, Terminalia belerica dengan nilai FR masing-masing jenis yaitu 1, 471 Lampiran 7.
Universitas Sumatera Utara
Apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, makin banyak petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar frekuensi
spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang didalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil frekuensi jenis tersebut. Dengan demikian
sesungguhnya frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang dipelajari, meskipun belum dapat menggambarkan pola
penyebarannya. Spesies organisme yang penyebarannya luas akan memiliki nilai frekuensi perjumpaan yang besar Indriyanto, 2005.
Dominansi Relatif DR jenis Ficus auranthiaceae memiliki nilai DR tertinggi dengan nilai 23, 319, selanjutnya jenis Ardisia wrayi dengan nilai 15, 451,
Homalium longifolium 10, 354, Baccaurea polyneura 7,803, Macaranga tanaria 4,769, Piper sp. 4, 344, Eugenia polyantha 3, 904, Anthocepalus cadamba
3,369, Ficus carthacea 3, 150, Cratoxylon arborescens 2, 915, Cratoxylon cochinense 2,899, Rauwolfia sp.1 2, 427, Ficus trichocarpa 1, 769, Ficus sp. 1
1,683, Chlorantus elatior 1, 436, Dypsis decipiens 1, 359, Alangium salvifolium 1,177, Ficus sp.2 0, 999, Canthium horridum 0, 916, Planchoria valida 0,
798, Terminalia belerica 0, 653, Buchanania sessifolia 0, 603, Coffea robusta 0, 554, dan nilai DR terendah terdapat pada jenis Quercus lamponga dengan nilai 0,
463 Lampiran 7.
Kemampuan suatu jenis untuk tumbuh tersebar mendominasi suatu area tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor fisik kimia lingkungan yang sangat
mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan jenis tersebut. Beberapa faktor fisik-kimia lingkungan tersebut antara lain suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara,
intensitas cahaya, dan pH tanah. Menurut Suin 2002, dalam studi ekologi pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan. Dengan dilakukannya
pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi organisme yang diteliti.
Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim, fisika dan kimia. Faktor fisika di daratan antara lain ialah temperatur, curah hujan, cahaya,
kelembaban udara, kadar air tanah, porositas tanah, dan tekstur tanah. Faktor kimia di
Universitas Sumatera Utara
daratan antara lain adalah pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Tabel 4.6 berikut memperlihatkan hasil pengukuran faktor-fisik kimia lingkungan di
lokasi penelitian di kawasan hutan sekunder 30 tahun Desa Telagah Kabupaten
Langkat.
Tabel 4.6 Data Faktor Fisik-Kimia Lingkungan di Kawasan Hutan Sekunder 30 Tahun Desa Telagah Kabupaten Langkat.
Suhu Udara
o
C Suhu Tanah
o
C Kelembaban Udara
Intensitas Cahaya lux
pH Tanah
21 21
91 97
6,6
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa suhu udara di lokasi penelitian ini adalah 21
o
C, suhu tanah 21
o
C, kelembaban udara 91, intensitas cahaya 97 lux, dan pH tanah adalah 6, 6.
Keberadaan jenis pohon dan pole di lokasi penelitian ini tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh faktor lingkungan abiotik seperti suhu udara, suhu dan pH
tanah, kelembabaan, dan intensitas cahaya. Perbedaan komposisi pohon dan pole yang ditemukan menunjukkan adanya perbedaan toleransi dari masing-masing jenis
maupun individu terhadap faktor-faktor abiotik yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indriyanto 2005, bahwa penggantian spesies tumbuhan tertentu oleh
spesies yang lain sangat tergantung pada kemampuan spesies tumbuhan untuk bersaing dengan yang lain terhadap tempat ruang tumbuh, cahaya, air, dan unsur
hara tanah. Pada tempat-tempat dengan kondisi ekstrem keras seperti di padang pasir dan lingkungan montane, umumnya tetumbuhan berjarak cukup lebar, sehingga
mengurangi tingkat persaingan yang terjadi. Akan tetapi, pada kondisi yang ideal seperti di hutan hujan tropis, persaingan yang terjadi sangat keras dan tetumbuhan
yang mempunyai kemampuan adaptasi pada banyak niche ekologi yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya.
Cahaya merupakan faktor penting dalam persaingan antar tetumbuhan. Pada kenyataan seperti itu, akhirnya timbul kesan bahwa semua persaingan di atas tanah
bergantung kepada tersedianya cahaya. Tetumbuhan yang memerlukan cahaya dan tetumbuhan yang memerlukan naungan dapat hidup berdampingan, tetapi persaingan
tetap terjadi di antara mereka. Persaingan terhadap cahaya dijadikan alasan yang tepat
Universitas Sumatera Utara
sebagai penyebab munculnya struktur ekosistem hutan yang kompleks pada hutan hujan tropis yang menggunakan cahaya secara maksimum Indriyanto, 2005.
4.5 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E.