PENGARUH DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, PENDAPATAN ASLI DAERAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, DANA BAGI HASIL, DAN KEMANDIRIAN FISKAL TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

(1)

i

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM, DANA

ALOKASI KHUSUS, PENDAPATAN ASLI DAERAH,

PERTUMBUHAN EKONOMI, DANA BAGI HASIL,

DAN KEMANDIRIAN FISKAL TERHADAP

PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

(Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah)

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Negeri Semarang

Oleh Kasyati NIM 7211411075

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

 Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai dari urusan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain (Q.S. Al-Insyirah: 6-7).

 “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” (Andrea

Hirata).

 “Jangan mengeluh atas apa yang tidak kita miliki, tetapi bersyukurlah atas apa yang kita miliki”.

 “Jika Impianmu cukup besar, maka halangannya tak akan berarti”.

PERSEMBAHAN :

Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa mengiringi langkahku serta menyebut namaku dalam doanya. Kakak-kakakku yang selalu memberikan semangat

dan motivasi.

Sahabat-sahabatku (kak okta, kak ayu, kak dina, kak manda) dan temanku seperjuangan Vira, Mekar, Trias, Mia.

Almamaterku


(6)

vi PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa melimpahkan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan kripsi

yang berjudul “Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,

Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Kasus pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah)” dengan baik, untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Dalam penulisan skripsi penulis banyak mendapat bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak dalam hal membimbing, mengumpulkan data, pengarahan dan saran-saran. Pada kesempatan ini penulis menyatakan ucapan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Wahyono, M.M, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti program S1 di Fakultas Ekonomi


(7)

vii

3. Drs. Fachrurrozie, M.Si, Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan selama masa studi.

4. Prabowo Yudho Jayanto, SE., M.SA, selaku Dosen Pembimbing sekaligus Penguji 3 yang telah memberikan bimbingan, arahan dan nasihat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. 5. Amir Mahmud, S.Pd, M.Si, Dosen Wali Akuntansi B 2011 sekaligus Penguji

1 yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan motivasi selama penulis menimba ilmu di Universitas Negeri Semarang.

6. Henny Murtini, SE, M.Si, Penguji 2 yang telah memberikan masukan dan penilaian terhadap penelitian ini.

7. Kedua orangtuaku yang senantiasa mengiringi langkahku serta menyebut namaku dalam doanya.

8. Semua dosen dan staff tata usaha yang telah membantu kelancaran penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universtas Negeri Semarang.

9. Seluruh kerabat, sahabat, teman dan pihak-pihak yang sudah membantu namun tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan doanya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Semarang, Juni 2015


(8)

viii SARI

Kasyati. 2015. “Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pengalokasian Belanja Modal (Studi Kasus pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah)”. Skripsi. Jurusan Akuntansi S1. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Prabowo Yudho Jayanto, SE., M.SA.

Kata Kunci : Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, Kemandirian Fiskal, Belanja Modal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Belanja modal mempunyai peranan penting dalam menjalankan sistem pemerintahan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan publik dan sebagai wujud dari good governance.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan kriteria kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang telah memasukkan data laporan realisasi APBD di situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah secara rutin dari tahun 2011-2013. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa Laporan Realisasi APBD Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda dengan uji t, uji F, dan koefisien determinasi. Data yang telah dikumpulkan dianalisis terlebih dahulu dengan pengujian asumsi klasik kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan alat uji SPSS 21. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 69 Kab/Kota.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemandirian Fiskal tidak berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal.

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah perlunya pemerintah untuk memperbesar porsi belanja modal dibandingkan dengan belanja pegawai atau barang dan jasa dan sebaiknya pemerintah mengoptimalkan segala sumber daya yang ada di daerah masing-masing guna meningkatkan kemandiriannya, sedangkan dari sisi dana perimbangan perlu manajemen dan perencanaan yang baik guna memaksimalkan dana dari pemerintah pusat untuk membiayai pengeluaran pemerintah sektor publik.


(9)

ix ABSTRACT

Kasyati. 2015. "The effect of General Allocation Fund, Specific Allocation Fund, Local Revenue, Economic Growth, Revenue Sharing Fund, and Fiscal Independence to the Allocating of Capital Expenditure (a Case Study in Central Java Provincial Government)". Thesis. Bachelor Degree of Accounting Department. Faculty of Economics. Semarang State University. Advisor: Prabowo Yudho Jayanto, SE., M.SA.

Keywords: General Allocation Fund, Specific Allocation Fund, Local Revenue, Economic Growth, Revenue Sharing Fund, Fiscal Independence, Capital Expenditure.

The study aimed to determine the effect of General Allocation Fund, Specific Allocation Fund, Local Revenue, Economic Growth, Revenue Sharing Fund, and Fiscal Independence to the Allocating of Capital Expenditure which has an important role in running the government system to improve the public welfare and as a form of good governance.

The population in this study were all district / city governments in Central Java province. The sampling method used in this research is purposive sampling with criteria for district / city in Central Java province which have included data on the site report APBD realization Director General of Local Government Fiscal Balance on a regular basis from 2011-2013. This study uses secondary data such as government budget realization reports districts / cities in Central Java province in 2011-2013. Testing the hypothesis in this study using multiple linear regression with t test, F test, and coefficient of determination. The data has been collected and analyzed in advance with the classic assumption test then testing the hypothesis with test equipment SPSS 21. The samples used in this study were as many as 69 districts / municipalities.

The result of this study showed that the General Allocation Fund, Specific Allocation Fund, Local Revenue, and Revenue Sharing Fund influenced on allocating capital expenditures; while the Economic Growth and Fiscal Independence did not affect the allocation of capital expenditures.

Advice can be given in this study is the need for the government to increase the share of capital expenditure as compared to expenditure of employees or goods and services and the government should optimize all available resources in each area in order to increase its independence, while on the side of the balance funds necessary management and planning good to maximize funding from the central government to finance government spending public sector.


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... xiii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 9

BAB II TELAAH TEORI 2.1 Anggaran Daerah ... 10

2.2 Teori Keagenan (Agency Theory) ... 12

2.2.1 Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif ... 13

2.2.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Public (Voters) ... 13

2.2.3 Hubungan Keagenan Dalam Penyusunan Anggaran di Indonesia . 14 2.3 Teori Pengeluaran Pemerintah ... 15

2.3.1. Jenis-jenis Pengeluaran Pemerintah ... 18

2.3.2. Hubungan Pengeluaran Pemerintah Dengan Pertumbuhan Ekonomi ... 20

2.4 Teori Desentralisasi Fiskal ... 22

2.5 Kebijakan Fiskal... 25

2.6 Derajat Otonomi Fiskal Daerah ... 27

2.7 Dana Alokasi Umum ... 29

2.7.1 Tahapan Perhitungan Dana Alokasi Umum ... 30

2.8 Dana Alokasi Khusus ... 31

2.8.1 Alokasi Dana Alokasi Khusus ... 31


(11)

xi

2.9 Pendapatan Asli Daerah ... 32

2.9.1 Definisi Pendapatan Asli Daerah ... 32

2.9.2 Pajak Daerah ... 34

2.9.3 Retribusi Daerah... 41

2.9.4 Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya Yang Dipisahkan ... 42

2.9.5 Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah ... 46

2.10 Pertumbuhan Ekonomi ... 47

2.11 Dana Bagi Hasil ... 58

2.12 Kemandirian Fiskal ... 49

2.13 Belanja Modal ... 50

2.14 Penelitian Terdahulu ... 52

2.15 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 54

2.15.1 Hubungan DAU Terhadap Alokasi Belanja Modal ... 54

2.15.2 Hubungan DAK Terhadap Alokasi Belanja Modal ... 55

2.15.3 Hubungan PAD Terhadap Alokasi Belanja Modal ... 55

2.15.4 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Alokasi Belanja Modal ... 57

2.15.5 Hubungan DBH Terhadap Alokasi Belanja Moda... 58

2.15.6 Hubungan Kemandirian Fiskal Terhadap Alokasi Belanja Modal ... 59

2.16 Hipotesis ... 61

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan desain Penelitian ... 63

3.2 Populasi,Sampel dan teknik Pengambilan sampel ... 63

3.3 Variabel Penelitian ... 64

3.3.1 Variabel Dependen ... 64

3.3.2 Varibael Independen ... 65

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 69

3.5 Metode Analisis Data ... 69

3.5.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 69

3.5.2 Uji Asumsi Klasik ... 70

3.5.3 Analisis Regresi Berganda ... 72

3.5.4 Uji Hipotesis ... 73

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 75

4.2. Statistik Deskriptif ... 76

4.3. Uji Asumsi Klasik ... 79

4.3.1. Uji Normalitas ... 79


(12)

xii

4.3.3. Uji Heteroskedastisitas ... 82

4.3.4. Uji Autokorelasi ... 84

4.4. Hasil Analisis Liniear Berganda ... 85

4.4.1. Hasil Uji Signifikan Parsial(Uji t) ... 85

4.4.2. Hasil Uji Signifikan Simultan (Uji F) ... 89

4.4.3. Koefisien Determinasi ... 90

4.5. Pembahasan ... 91

4.5.1. Pengaruh DAUTerhadap Alokasi Belanja Modal ... 91

4.5.2. Pengaruh DAKTerhadap Alokasi Belanja Modal ... 92

4.5.3. Pengaruh PADTerhadap Alokasi Belanja Modal ... 94

4.5.4. Pengaruh Pertumbuhan EkonomiTerhadap Alokasi Belanja Modal ... 95

4.5.5 Pengaruh DBHTerhadap Alokasi Belanja Modal ... 97

4.5.6. Pengaruh Kemandirian FiskalTerhadap Alokasi Belanja Modal ... 98

BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan ... 101

5.2. Keterbatasan... 102

5.3. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA...104


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Jenis Pajak Daerah Menurut UU No 28 Tahun 2009... 35

Tabel 2.2. Tarif Maksimum Pajak Provinsi ... 39

Tabel 2.3. Tarif Maksimum Pajak Kabupaten/Kota ... 41

Tabel 2.4. Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 52

Tabel 4.1. Proses Seleksi Sampel Berdasarkan Kriteria ... 75

Tabel 4.2. Statistik Deskriptif ... 76

Tabel 4.3. Uji Normalitas ... 80

Tabel 4.4. Uji Multikolinearitas ... 82

Tabel 4.5. Uji Glejser ... 84

Tabel 4.6. Uji Autokorelasi ... 84

Tabel 4.7. Uji t ... 85

Tabel 4.8. Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ... 89

Tabel 4.9. Uji Anova ... 90

Tabel 5.0. Koefisien Determinasi... 91


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir ... 61

Gambar 4.1. Grafik P-Plot Uji Heteroskedastisitas ... 79

Gambar 4.2. Diagram Regression Standardized Residual ... 81


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Daftar Sampel Penelitian ... 108 Lampiran 2 Deskriptif Statistik ... 111 Lampiran 3 Hasil Uji Asumsi Klasik dan Regresi ... 112


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejak pemerintahan Indonesia dilanda krisis ekonomi pada awal tahun 1997 membuat perekonomian terpuruk dan mendorong pemerintah untuk melepas sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan daerah dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan sendiri. Diberlakukannya otonomi daerah memberikan kesempatan Pemerintah Daerah untuk lebih mengembangkan potensi daerah, kewenangan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki daerah secara efisien dan efektif, dan meningkatkan kinerja keuangan daerah. Otonomi daerah menciptakan kemandirian untuk membangun daerah secara optimal dan tidak lagi terkonsentrasi di pusat sehingga meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah serta memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sektor-sektor yang produktif di daerah.

Belanja daerah yang meliputi belanja langsung dan tidak langsung (permendagri nomor 25 tahun 2009), merupakan pengalokasian dana yang harus dilakukan secara efektif dan efisien, dimana belanja daerah dapat menjadi tolak ukur keberhasilan otonomi daerah. Pemerintah Daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, selanjutnya akan


(17)

2

menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan. Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanan publik dalam rangka menghadapi desentralisasi fiskal. Belanja modal memiliki peranan penting karena memiliki masa manfaat jangka panjang untuk memberikan pelayanan kepada publik. Alokasi belanja modal ini di dasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap Pemerintah Daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya.

Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Namun faktanya Pemerintah Daerah dalam pengalokasian pendapatan daerah cenderung digunakan untuk keperluan belanja rutin daripada belanja modal. Hal tersebut dapat dilihat dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada Pemerintah Kab/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013. Kegiatan belanja (pengeluaran) Pemerintah Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan kegiatan rutin pengeluaran kas daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasi dalam pemerintahan. Untuk membiayai pengeluaran tersebut maka dibutuhkan sumber-sumber penerimaan dari daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (Nuarisa, 2013).


(18)

Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 yang telah direvisi menjadi UU No. 23 Tahun 2014. Dalam UU No.23 Tahun 2014 dijelaskan bahwa pemerintah daerah memisahkan fungsi eksekutif dengan fungsi legislatif. Berdasarkan fungsinya, Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) terjadi hubungan keagenan (Ardhani, 2011).

Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk propinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 32/2004 dan UU 23/2014 melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Adapun eksekutif sebagai pelaksana operasionalisasi daerah berkewajiban membuat draft/rancangan APBD, yang hanya bisa diimplementasikan kalau sudah disahkan oleh DPRD dalam proses ratifikasi.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, memberi kewenangan yang luas kepada pemerintahan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber


(19)

4

keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Undang-Undang tersebut memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja modal dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan dan kemampuan daerah. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas & Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai pedoman dalam pengalokasian sumber daya dalam APBD (Ardhani, 2011).

Anggaran sektor publik pemerintah daerah dalam APBD sebenarnya merupakan output pengalokasian sumberdaya. Adapun pengalokasian sumberdaya merupakan permasalahan dasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan sumberdaya sebagai pangkal masalah utama dalam pengalokasian anggaran sektor publik dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori tentang teknik dan prinsip seperti yang dikenal dalam public expenditure

management. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran

belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan kualitas publik pelayanan publik pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya yang selama ini belanja daerah tersebut lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Penelitian Yovita (2011) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan


(20)

aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, penelitian Ardhani (2011) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik.

Infrastuktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Bertambahnya belanja modal maka akan berdampak pada periode yang akan datang yaitu produktivitas masyarakat meningkat dan bertambahnya investor akan meningkatkan pendapatan asli daerah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut. Pembangunan ekonomi ditandai dengan meningkatnya produktivitas dan pendapatan perkapita penduduk sehingga terjadi perbaikan kesejahteraan. Kenyataan yang terjadi dalam Pemerintah Daerah saat ini adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal, hal tersebut dapat dilihat dari kecilnya


(21)

6

jumlah belanja modal yang dianggarkan dengan total anggaran belanja daerah (Ardhani, 2011).

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki. PAD bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengoptimalkan potensi pendanaan daerah sendiri dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Pemerintah Daerah dalam mengaloksikan belanja modal harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Besar kecilnya belanja modal akan ditentukan dari besar kecilnya PAD. Peningkatan PAD diharapkan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya.

Pemerintah Pusat memberi pendelegasian wewenang kepada Pemerintah Daerah disertai dengan pengalihan dana, sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia (SDM). Pengalihan dana diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun


(22)

2014, Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah asset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan publik.

Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Adanya transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya (Yovita, 2011).

Pada dasarnya penelitian ini berusaha ingin mengetahui apakah Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Fiskal berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka


(23)

8

judul penelitian ini adalah “Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Fiskal Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Kasus Pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang dapat dimunculkan adalah:

1. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

2. Apakah Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

3. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

4. Apakah Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

5. Apakah Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

6. Apakah Kemandirian Fiskal berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?


(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui sejauh mana alokasi belanja modal yang dilaksanakan pemerintah

daerah di Provinsi Jawa Tengah.

2. Memperoleh bukti empiris apakah terdapat pengaruh antara Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, dan Kemandirian Fiskal terhadap alokasi Belanja Modal.

1.4. Manfaat

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti, penelitian ini untuk menambah wawasan penelitian yang

berhubungan dengan alokasi belanja modal di Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Bagi pemerintah daerah, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan berupa bukti empiris tentang faktor yang berpengaruh terhadap alokasi belanja modal di Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

3. Bagi calon peneliti, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi untuk melakukan penelitian sejenis lainnya.


(25)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anggaran Daerah

Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Penganggaran mempunyai tiga tahapan, yaitu (a) perumusan proposal anggaran; (b) pengesahan proposal anggaran; (c) pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum. Penelitian Ardhani (2011) menyatakan bahwa penganggaran dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu executive

planning, legislative approval, executive implementation, and ex post

accountability. Pada tahapan executive planning melakukan persiapan anggaran

taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya terlebih dahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Tahapan legislative approval melibatkan proses politik yang cukup


(26)

managerial skill namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship, dan

coalition building yang memadai. Integritas dan kesiapan mental yang tinggi dari

eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan- bantahan dari pihak legislatif. Pada tahapan executive implementation

yang paling penting diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Terakhir pada tahapan ex post accountability adalah tahap pelaporan dan evaluasi

terkait dengan aspek akuntabilitas, jika tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap budget reporting and evaluation tidak akan menemukan banyak

masalah. Pada tahapan executive planning dan legislative approval terjadi

interaksi antara eksekutif dengan legislatif dimana politik anggaran paling mendominasi, sementara pada tahapan executive implementation dan ex post

accountability hanya melibatkan birokrasi sebagai agent (Wikipedia, 2014).

Prinsip-prinsip di dalam anggaran sektor publik yang harus dipenuhi adalah anggaran harus menunjukkan semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, adanya dana non budgetair pada dasarnya menyalahi

prinsip anggaran yang bersifat komprehensif. Semua penerimaan dan belanja pemerintah harus terhimpun dalam dana umum. Anggaran hendaknya sederhana, dapat dipahami masyarakat dan tidak membingungkan, serta anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas.


(27)

12

2.2. Teori Keagenan

Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) antara dua pihak yaitu prinsipal dan agen, dimana prinsipal memberi wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal. Dalam teori keagenan terdapat perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal, sehingga mungkin saja pihak agen tidak selalu melakukan tindakan terbaik bagi kepentingan prinsipal. Penelitian Yovita (2011) menjelaskan bahwa teori keagenan merupakan cabang dari game theory yang mempelajari suatu

model kontraktual yang mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal pendelegasikan pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.

Kenyataannya, dalam wewenang yang diberikan prinsipal kepada agen sering mendatangkan masalah karena tujuan prinsipal berbenturan dengan tujuan pribadi agen. Adanya kewenangan yang dimiliki, manajemen bisa bertindak dengan hanya menguntungkan dirinya sendiri dan mengorbankan kepentingan prinsipal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan informasi yang dimiliki oleh keduanya, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi (asymmetric

information). Penelitian Yovita (2011) menyatakan bahwa informasi yang lebih

banyak dimiliki oleh agen dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimalkan utilitynya,


(28)

sedangkan bagi prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. 2.2.1. Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif

Hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif bertindak sebagai agen dan legislatif bertindak sebagai prinsipal (Fozzard 2001 dalam Halim & Abdullah 2006). Pemda menyusun anggaran daerah dalam bentuk RAPBD yang selanjutnya diserahkan kepada DPRD untuk diperiksa. Jika RAPBD telah sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), maka pihak legislatif (DPRD) akan melakukan pengesahan RAPBD menjadi APBD. Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah oleh pihak legislatif (DPRD) dijadikan alat kontrol untuk mengawasi kinerja pihak eksekutif (Pemda).

Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni principal yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan, dan agen yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal. Konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan disini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak.

2.2.2. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Public (Voters)

Hubungan keagenan antara legislatif dan publik, legislatif (DPRD) bertindak sebagai agen dan publik bertindak sebagai prinsipal. Menurut Von Hagen dalam Pungky (2011) bahwa hubungan yang terjadi antara publik dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana publik memilih politisi untuk


(29)

14

membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik dan memberikan dana dengan membayar pajak. Kemudian legislatif terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka DPRD diharapkan mewakili kepentingan publik. Jadi walaupun legislatif menjadi pihak prinsipal, disisi lain dapat bertindak sebagai agen dalam hubungannya dengan publik. Sehingga legislatif menempatkan dirinya sebagai pihak yang menerima tugas dari publik, dan melakukan pendelegasian kepada eksekutif untuk menjalankan penganggaran.

Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan

keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin

nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan

mudah.

2.2.3. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran di Indonesia Penyusunan APBD yang dibuat antara eksekutif dan legislatif berpedoman pada Kebijakan Umum APBD dan Plafon Anggaran. Pihak eksekutif membuat rancangan APBD yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Perda. Menurut perspektif keagenan, APBD merupakan bentuk kontrak (incomplete contract) yang dijadikan

alat oleh legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Halim & Abdullah 2006).


(30)

Teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik, principal agent

model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan

masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan; (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Hubungan keagenan dalam pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan daerah dan bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan prinsipal saja. Hal ini dikarenakan ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam membangun suatu daerah. Kesimpulannya tujuan prinsipal harus mengiringi tujuan untuk mengembangkan suatu daerah dan untuk membuat rakyatnya sejahtera.

2.3. Teori Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah berperan untuk mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak swasta. Definisi pengeluaran pemerintah yang dinyatakan dalam belanja pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam proyek yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejahteraan, dan program yang menyentuh langsung kawasan yang terbelakang. Tidak dapat dipungkiri bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat membantu, terutama setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Pemerintah menetapkan kebijakan pokok mengenai arah perekonomian


(31)

16

melalui perencanaan, kebijakan pemerintah dan pengaturan. Pemerintah harus melakukan pengeluaran untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan pembangunan (Basri dan Subri dalam Putriani 2011).

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Teori mengenai pengeluaran pemerintah terdiri dari pendekatan teori makro. Adapun teori mengenai pengeluaran pemerintah (Basri dan Subri dalam Putriani 2011) terdiri dari :

1. Hukum Wagner

Hukum Wagner menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman empiris dari Negara-negara maju (USA, Jerman, Jepang), Wagner mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Meski demikian, Wagner menyadari bahwa dengan tumbuhnya perekonomian hubungan antara industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya menjadi semakin rumit atau kompleks. Kelemahan hukum Wagner adalah hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang publik, tetapi Wagner mendasarkan pandangannya dengan teori organis mengenai pemerintah (organic theory of state) yang menganggap pemerintah sebagai


(32)

2. Teori Peacok dan Wiserman

Teori Peacok dan Wiserman yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Menurut teori Peacok dan Wiserman, perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh sebab itu dalam keadaan normal, meningktnya GDP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya adanya perang maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu pemerintah melakukan penerimaanya dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Akan tetapi perang tidak hanya bisa dibiayai dengan pajak sehingga pemerintah juga harus meminjam dari negara lain. Setelah perang selesai, sebetulnya pemerintah dapat menurunkan kembali tarif pada tingkat sebelum adanya gangguan, tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena pemerintah harus


(33)

18

mengembalikan angsuran utang dan bunga pinjaman untuk membiayai perang, sehingga pengeluaran pemerintah setelah perang selesai meningkat tidak hanya karena GDP naik, tetapi juga karena pengembalian utang dan bunganya.

3. Teori Rostow dan Musgrave

Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Rostow dan musgrave adalah pandangan yang ditimbulkan dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu, tidak jelas apakah akan terjadi pertumbuhan ekonomi dalam tahap demi tahap atau akan terjadi dalam beberapa tahap secara simultan.

2.3.1. Jenis – Jenis Pengeluaran Pemerintah

Surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 pengeluaran daerah terdiri dari dua jenis yaitu pengeluaran belanja aparatur daerah dan belanja publik. Belanja aparatur daerah terdiri dari belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dimana dalam belanja operasi ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, dan belanja modal. Sedangkan yang kedua yaitu pengeluaran belanja public (Stepanus, 2013).

Undang-undang no 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, dengan format belanja yang baru anggaran belanja terdiri dari :

1. Belanja pegawai merupakan kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada aparatur Negara sebagai imbalan atas kinerja


(34)

pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

2. Belanja modal merupakan belanja yang digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis digunakan untuk memproduksi barang yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Belanja modal digunakan untuk kegiatan investasi pemerintah melalui penyediaan sarana dan prasarana pembangunan dalam bentuk tanah, peralatan, mesin, gedung, bangunan, serta belanja modal fisik lainnya.

3. Pembayaran bunga utang, terdiri dari peminjaman multilateral, bilateral, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman lainnya.

4. Subsidi dialokasikan sebagai upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dan usaha kecil menengah untuk memenuhi sebagian kebutuhannya, serta membantu BUMN melakukan tugas pelayanan umum.

5. Belanja hibah merupakan transfer yang sifatnya tidak wajib kepada Negara atau organisasi.

6. Bantuan social, berupa bentuk cadangan untuk penanggulangan bencana alam.

7. Belanja lain-lain, pemanfaatan belanja lain-lain adalah untuk menampung belanja pemerintah yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam jenis-jenis balanja diatas.


(35)

20

2.3.2. Hubungan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan Ekonomi

Peranan pengeluaran pemerintah baik yang dibiayai melalui APBN maupun APBD khususnya pengeluaran untuk human capital dan infrastruktur

fisik dapat mempercepat pertumbuhan, tetapi pada sisi lain pembiayaan dari pengeluaran pemerintah tersebut dapat memperlambat pertumbuhan. Hal ini sangat tergantung pada sejauh mana produktifitas pengeluaran pemerintah tersebut dan distorsi pajak yang ditimbulkannya, yang mana dalam konteks ini pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengruhi total output (PDRB) yakni melalui penyediaan infrastruktur, barang-barang publik dan insentif pemerintah terhadap dunia usaha seperti subsidi ekspor.

Menurut Suparmoko dalam Stepanus (2013) Pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial, pembayaran bunga dan bantuan pemerintah lainnya akan menambah pendapatan dan daya beli. Secara keseluruhan pengeluaran pemerintah ini akan memperluas pasaran hasil-hasil perusahaan dari industri yang pada gilirannya akan memperbesar pendapatan. Dengan bertambahnya pendapatan yang diperoleh pemerintah, maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari segi penerimaan maka pungutan pajak oleh pemerintah akan megurangi pendapatan para pengusaha yang sebetulnya dapat digunakan untuk konsumsi dan pembentukan modal atau akan mengurangi pendapatan konsumsi dan penerimaan akan hasil produksi, selanjutnya Suparmoko dalam Stepanus (2013) mengatakan pengaruh yang akan terjadi dengan adanya pengeluaran dan penerimaan pemerintah ini tegantung pada hubungan perimbangan antara


(36)

pengeluaran dengan pendapatan pemerintah itu sendiri. Jika anggaran surplus, artinya pendapatan dari pajak-pajak dengan pungutan-pungutan lain lebih besar dari pengeluarannya, maka pengaruh yang ditimbulkan terhadap kehidupan ekonomi bersifat kontraktif atas employment, produksi regional dan output. Sebaliknya bila anggaran itu ternyata defisit yakni pengeluaran atau pembelanjaan pemerintah melampaui pendapatannya timbulah efek ekspansif dalam perekonomian.

Berdasarkan teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa baik atau tidaknya hasil yang dapat dicapai oleh kebijakan pemerintah tergantung dari kualitas pemerintah itu sendiri. Apabila pemerintah tidak atau kurang efisien, maka akan terjadi pemborosan dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Jika pemerintah terlalu berkuasa dan menjalankan fungsi-fungsi ekonomi di dalam perekonomian suatu negara maka peranan swasta akan menjadi semakin kecil, para individu dan badan-badan usaha tidak lagi dapat melatih dirinya dalam menciptakan berbagai inisiatif secara efektif untuk mencapai keputusan yang rasional yang sangat berguna bagi pencapaian kepuasan atau keuntungan yang maksimal. Sebaliknya pemerintah terlalu sedikit tanggung jawabnya terhadap masyarakat, kegiatan swasta akan dapat merusak kehidupan masyarakat yaitu dapat menimbulkan adanya pembagian penghasilan yang tidak merata, timbulnya kegiatan-kegiatan monopoli, tidak ada usaha-usaha yang sangat penting untuk kepentingan umum yang diusahakan (Stepanus, 2013).


(37)

22

2.4. Teori Desentralisasi Fiskal

Menurut UU No.23 Tahun 2014, diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Simeon (2014) mengungkapkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Menurut konteks administrasi pemerintahan, demokratisasi memang bergandengan tangan dengan desentralisasi. Artinya tidak ada demokratisasi pemerintahan tanpa desentralisasi. Ini terutama relevan dengan Negara yang wilayahnya luas dan berpenduduk besar, karena diasumsikan bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat bukan saja harus dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup di dalam proses pengambilan keputusan (Simeon, 2014).


(38)

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu bentuk dan komponen utama dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi fiskal banyak digunakan negara-negara sedang berkembang untuk mengurangi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan ekonomi makro, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan

dari pemerintah pusat (Mardiasmo, 2004).

Pelaksanakan dalam desentralisasi fiskal prinsip rules money should follow

function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Artinya setiap pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Otonomi daerah tanpa desentralisasi fiskal kurang mendukung tercapainya efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik. Oleh sebab itu otonomi daerah membutuhkan kebijakan desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk mencapai kemampuan keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum. Hal ini diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan perimbangan antara keuangan pusat dan daerah.

Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk


(39)

24

mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Teori ini menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal terkait dengan masalah pembagian peran dan tanggung jawab antar jenjang pemerintahan, transfer antar jenjang pemerintahan, penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah, swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggung jawab pemerintah daerah), dan penyediaan jaring pengaman social (Simeon, 2014).

Penelitian Mualim (2010) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan fiskal, khusunya utnuk mendukung kebijakan makro ekonomi antara lain yang berkaitan dengan fiscal sustainability dan tetap

memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan anatar daerah, sehingga taxing power yang diberikan kepada daerah

tetap tidak terlalu besar. Perdebatan mengenai manfaat dari desentralisasi fiskal di Indonesia masih terus berlangsung, kini timbul harapan besar bahwa desentralisasi fiskal dapat memberikan manfaat seperti perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengentasan orang miskin, manajemen ekonomi makro yang lebih baik, serta sistem tata pemerintahan (governance) yang


(40)

2.5. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen dari kebijakan makro ekonomi. Kebijakan makroekonomi tersebut adalah kebijakan yang bertujuan untuk mencapai output yang tinggi dengan laju pertumbuhan yang cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga, serta keseimbangan dalam neraca pembayaran. Apabila dibandingkan dengan kebijakan moneter, Keynes lebih mengandalkan kebijakan fiskal untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu meningkatkan permintaan agregat secara langsung. Penelitian Zulkifli (2013) mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah suatu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran publik.

Proses tersebut merupakan upaya menekan fluktuasi siklus ekonomi dan ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan penggunaan tenaga kerja penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di dalamnya yaitu belanja negara dan perpajakan. Kedua instrumen tersebut membuat pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya yang sebagian besar adalah dari pajak yang secara keseluruhan terangkum dalam suatu anggaran.

Anggaran pemerintah dapat mengendalikan dan mencatat masalah fiskalnya. Suatu anggaran menunjukkan rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah yang akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Anggaran tersebut terdiri atas berbagai program pengeluaran khusus (pendidikan, pertahanan, kesejahteraan, dan lainnya) serta sumber pajak (pajak penghasilan, pajak penjualan, dan lainnya). Saat periode tertentu pemerintah dapat melaksanakan


(41)

26

surplus, defisit, atau berimbang dalam anggaran yang ditetapkannya. Defisit terjadi apabila jumlah pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan. Sebaliknya, anggaran surplus akan terjadi apabila seluruh penerimaan tersebut melebihi pengeluaran. Perihal anggaran berimbang akan terjadi apabila seluruh penerimaan dan pengeluaran menunjukan jumlah yang sama.

Kondisi anggaran merupakan cerminan dari kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah pada periode tersebut. Saat anggaran defisit, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan ini umumnya dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi. Sebaliknya, saat anggaran surplus ini berarti pemerintah mengambil kebijakan fiskal kontraktif. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Kebijakan anggaran berimbang juga merupakan pilihan kebijakan fiskal. Pada umumnya kebijakan ini diambil dengan tujuan untuk mencapai suatu kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin fiskal.

Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan diskresioner yang melibatkan pengambilan keputusan atau perubahan atas keputusan tertentu. Dengan kata lain, kebijakan tersebut sengaja ditetapkan untuk mengahadapi suatu kondisi perekonomian tertentu. Lain halnya dengan kebijakan otomatis atau lebih sering disebut sebagai stabilisator otomatis. Stabilisator otomatis ini merupakan kebijakan yang mendorong/menekan perekonomian ketika diperlukan tanpa perubahan kebijakan yang disengaja (Zulkifli, 2013). Stabilisator tersebut bekerja secara otomatis tanpa perlu suatu tindakan fiskal atau moneter. Walau demikian,


(42)

stabilisator otomatis tersebut hanyalah berperan mengurangi sebagian dari gejolak dalam perekonomian dan bukan untuk menghilangkan masalah tersebut sama sekali.

2.6. Derajat Otonomi Fiskal Daerah

Hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi diantara berbagai tingkat pemerintah serta bagaimana caranya mencari sumber-sumber pembiayaan daerah untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor publiknya. Penelitian Zulkifli (2013) ada empat kriteria perlu diperhatikan untuk menjamin adanya sistem hubungan pusat dan daerah yaitu: Pertama, sistem tersebut seharusnya memberikan kontribusi kekuasaan yang rasional di antara tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber-sumber dana pemerintah dan kewenangan, yaitu suatu pembangian yang sesuai dengan pola umum desentralisasi. Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Ketiga, sistem tersebut seharusnya jauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara adil diantara daerah-daerah. Keempat, pajak atau retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat. Realitas hubungan fiskal antara pusat dan daerah ditandai oleh dominannya peranan bantuan dan sumbangan (Zulkifli,


(43)

28

2013). Kondisi ini muncul karena terbatasnya kemampuan daerah dalam menggali sumber PAD. Rendahnya kemampuan daerah dalam menggali sumber PAD yang sah selama ini disebabkan oleh batasan hukum.

Era otonomi mendatang dalam upaya untuk kemandirian daerah, tampaknya PAD masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah, sehingga perannya tergolong kecil dalam TPD akibat dari kemampuan administrasi dan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah yang artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola, dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan pada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian dari sumber keuangan yang besar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara (Zulkifli, 2013).

Negara Indonesia, dalam kerangka negara kesatuan, kemandirian keuangan daerah seyogyanya tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonom harus dapat membiayai seluruh keperluannya dari penerimaan PAD. Meskipun demikian ratio antara PAD dengan total penermaan daerah (TPD) tetap merupakan salah satu indikator derajat dsentraliasi fiskal suatu daerah. Tingkat kemandirian fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dapat dipelajari dengan melihat besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Pengukuran


(44)

derajat desentralisasi fiskal dapat dilakukan melalui analisis rasio. Menurut Smith dan Uppal, derajat desentralisasi fiskal dapat diukur dengan menghitung: (a) rasio PAD terhadap TPD; (b) rasio sumbangan dan bantuan terhadap TPD; (c) rasio TPD terhadap total penerimaan negara. Sedangkan untuk menghitung angka ketergantungan fiskal/keuangan daerah dengan cara membandingkan antara jumlah pendapatan transfer dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasionya artinya semakin besar ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat/propinsi.

2.7. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat ͞Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (Yovita, 2011). Kebijakan perimbangan keuangan membawa dampak terhadap semakin besarnya kesenjangan kemampuan antara daerah, khsusnya karena setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda. Dengan kata lain daerah yang mempunyai potensi PBB dan SDA yang besar akan memperoleh penerimaan yang besar, daerah yang potensinya kecil tentu akan mendapatkan pendapatan yang kecil juga.


(45)

30

Dana Alokasi Umum (DAU) diarahkan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, yang berarti daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU yang realtif kecil demikian sebaliknya. DAU dialokasikan untuk daerah propinsi dan kabupaten/kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota (Yovita, 2011).

2.7.1 Tahapan Perhitungan DAU 1. Tahapan Akademis

Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia.

2. Tahapan Administratif

Pada tahapan ini Depkeu DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan digunakan.

3. Tahapan Teknis

Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan


(46)

formula DAU sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.

4. Tahapan Politis

Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU (Yovita, 2011).

2.8. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara, yang digunakan untuk melaksanakan urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi dana alokasi khusus. Dana alokasi khusus digunakan untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antardaerah dengan memberi prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup (Sulistyowati, 2011).

2.8.1 Alokasi DAK

1. Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.


(47)

32

2. Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah.

3. Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah (Wandira, 2013)

2.8.2. Perhitungan Alokasi DAK

1. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK dan 2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah

a. Penentuan Daerah Tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

b. Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

c. Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (Wandira, 2013).

2.9. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2.9.1. Definisi Pendapatan asli Daerah

Pendapatan Daerah sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Pasal 1 adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


(48)

Pemerintah Pusat dan daerah pasal 6 bahwa Sumber Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut :

1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri yang sah : a. Hasil Pajak Daerah

b. Hasil Retribusi Daerah

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan

d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

2. Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah, yang terdiri dari : a. Sumbangan dari pemerintah

b. Sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan c. Pendapatan lain-lain yang sah

Peningkatan pendapatan daerah dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Intensifikasi, melalui upaya :

a. Pendapatan dan peremajaan objek dan subjek pajak dan retribusi daerah. b. Mempelajari kembali pajak daerah yang dipangkas guna mencari

kemungkinan untuk dialihkan menjadi retribusi. c. Mengintensifikasi retribusi daerah yang ada.

d. Memperbaiki sarana dan prasarana pungutan yang belum memadai. 2. Penggalian sumber-sumber penerimaan baru (ekstensifikasi)

Penggalian sumber-sumber pendapatan daerah tersebut harus ditekankan agar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sebab pada dasarnya tujuan


(49)

34

meningkatkan pendapatan daerah melalui upaya ekstensifikasi adalah untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat. Upaya ekstensifikasi lebih

diarahkan kepada upaya untuk mempertahankan potensi daerah agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

3. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat ini merupakan unsur yang penting bahwa paradigma yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah bahwa pembayaran pajak dan retribusi sudah merupakan hak dari pada kewajiban masyarakat terhadap Negara, maka perlu dikaji kembali pengertian wujud layanan yang bagaimana yang dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat.

2.9.2. Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah yang dimaksud dengan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah merupakan PAD yang tarifnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Terdapat keterkaitan antara pajak daerah dengan alokasi belanja modal. Semakin besar pajak yang diterima oleh Pemerintah Daerah, maka semakin besar pula PAD. Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatannya dalam sektor belanja


(50)

langsung ataupun untuk belanja modal. Seperti halnya pajak pada umumnya, pajak daerah mempunyai peranan ganda yaitu :

1. Sebagai sumber pendapatan daerah (budgetary), yaitufungsi yang letaknya di

sector publik dan pajak di sini merupakan suatu alat atau sumber mendapatkan dana dari masyarakat untuk dimasukkan kedalam kas negara. 2. Sebagai alat pengukur (regulatory), yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Tabel 2.1

Jenis Pajak Daerah menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP No.91 Tahun 2010 tentang

Pajak Daerah

Pajak Provinsi Pajak Kabupaten/Kota

1. Pajak Kendaraan Bermotor 2. Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok

1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame

5. Pajak Penerangan Jalan

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

7. Pajak Parkir 8. Pajak Air Tanah

9. Pajak Sarang Burung Walet 10.Pajak Bumi dan Bangunan

Perdesaan dan Perkotaan 11.Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan Sumber : UU No 28 Tahun 2009

Menurut Dwi (2011) ada lima jenis pajak yang dikelola oleh provinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.


(51)

36

A. Pajak Provinsi

1. Pajak Kendaraan Bermotor

Menurut UU No.28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 12 Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah ditetapkan sebesar 1.5 % (satu koma lima persen) untuk kepemilikan pertama kendaraan bermotor pribadi, 1.0 % (satu koma nol persen) untuk kendaraan bermotor angkutan umum, 0.5 % (nol koma lima persen) untuk kendaraan ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Instansi Pemerintah, dan 0.2 % (nol koma dua persen) untuk KendaraanBermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. Sedangkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor Kepemilikan kedua dan seterusnya Kendaraan Bermotor pribadi roda 2 (dua) 200 (dua ratus) cc ke atas dan / atau roda 4 (empat) dikenakan tarif secara progresif. Besarnya tarif progresif untuk kepemilikan kedua sebesar 2 %, kepemilikan ketiga sebesar 2,5 %, kepemilikan keempat sebesar 3 %, kepemilikan kelima


(52)

dan seterusnya sebesar 3,5 % (Dwi, 2011). Hasil Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 30% (tiga puluh persen).

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Dalam UU No. 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 14 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Menurut Pearaturan Daerah No.2 Tahun 2011 Provinsi Jawa Tengah Tentang Pajak Daerah tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi untuk penyerahan pertama sebesar 12,5% dan penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen). Khusus untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi untuk penyerahan pertama sebesar 0,75% dan penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen). Hasil penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 30% (tiga puluh persen).

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (Pasal1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Tarif Pajak Bahan Bakar


(53)

38

Kendaraan Bermotor menurut Perda Provinsi Jawa Tengah No.2 Tahun 2011 ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).

4. Pajak Air Permukaan

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Perda Provinsi Jawa Tengah No.2 Tahun 2011). Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).

5. Pajak Rokok

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok. Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Perda Provinsi Jawa Tengah No.2 Tahun 2011).


(54)

Penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk kabupaten/kota dengan ketentuan sebesar 70% diperhitungkan dari rasio jumlah penduduk kabupaten/kota terhadap penduduk provinsi dan sebesar 30% dibagi rata kepada kabupaten/kota.

Tabel 2.2

Tarif Maksimum Pajak Provinsi Menurut UU No.28 Tahun 2009

Pajak Provinsi Tarif Maksimum

A Pajak Kendaraan Bermotor - KB Pribadi (Pertama) - KB Pribadi (Kedua, dst) - KB Umum/Pem/TNI/POLRI - Alat Berat

B Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor - Penyerahan Pertama

- Penyerahan Kedua, dst - Alat Berat (Penyerahan I) - Alat Berat (Penyerahan II,dst) C Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor D Pajak Air Permukaan

E Pajak Rokok

10% 1% - 2% 2% - 10% 0,5% - 1% 0,1% - 0,2% 20% 20% 1% 0,75% 0,075% 10%** 10% 10% Sumber : UU No.28 Tahun 2009

**Tarif PBB-KB yang ditetapkan dalam Perda dapat diubah dengan Perpres dalam jangka waktu 3 tahun.

B. Pajak yang Dikelola Kabupaten/Kota

Menurut Dwi (2011) dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 ada 11 jenis pajak yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, yaitu :

1. pajak hotel 2. pajak restoran 3. pajak hiburan 4. pajak reklame


(55)

40

6. pajak mineral bukan logam dan batuan 7. pajak parkir

8. pajak air tanah

9. pajak sarang burung walet

10. Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan 11. Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan.

Menurut Dwi (2011) sistem pengenaan pajak adalah sebagai berikut: 1. Pajak progresif

Sistem pengenaan pajak dimana semakin tingginya dasarpajak (tax base),

seperti tingkat penghasilan pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenakan pungutan pajak yang semakin tinggipersentasenya.

2. Pajak proporsional

Sistem pengenaan pajak di mana tarif pajak (%) yangdikenakan akan tetap sama besarnya walaupun nilai objeknya berbeda-beda.

3. Pajak regresif

Sistem pengenaan pajak di mana walau nilai atau objek pajak meningkat dan juga jumlah pajak yang dibayar itu semakin kecil.


(56)

Tabel 2.3

Tarif Maksimum Pajak Kabupaten/Kota Menurut UU No.28 Tahun 2009

No Pajak Kabupaten/Kota Tarif Maksimum

1 Pajak Hotel 10%

2 Pajak Restoran 10%

3 Pajak Hiburan 75%

4 Pajak Reklame 25%

5 Pajak Penerangan Jalan 10%

6 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 25%

7 Pajak Parkir 30%

8 PajakAir Tanah 20%

9 Pajak sarang Burung Walet 10%

10 BPHTB 5%

11 Pajak Pedesaan&Perkotaan 0,3%

Sumber: UU No.28 Tahun 2009 2.9.3. Retribusi Daerah

Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh PEMDA oleh kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi dalam hal retribusi daerah balas jasa dengan adanya retribusi daerah tersebut dapat langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan, karena kendaraan tertentu memang melewati jalan di mana retribusi jalan itu dipungut, retribusi pasar dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si pembayar retribusi.


(57)

42

Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jadi sesungguhnya dalam hal pemungutan iuran retribusi itu dianut asas manfaat (benefit principles). Asas ini besarnya pungutan ditentukan

berdasarkan manfaat yang diterima oleh si penerima manfaat yang dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Namun yang menjadi persoalannya adalah dalam menentukan berapa besar manfaat yang diterima oleh orang yang membayar retribusi tersebut dan menentukan berapa besar pungutan yang harus dibayarnya (Yovita, 2011).

2.9.4. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang Dipisahkan

1. Jasa Umum

Dalam Pasal 109 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis retribusi ini dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan secara cuma-cuma (Dwi, 2011). Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum didasarkan pada kebijaksanaan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Terdapat penambahan 4 (empat)


(58)

jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan,dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.

2. Jasa Usaha

Dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi :

a. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal.

b. Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Menurut Pasal 127 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Jenis Retribusi Jasa Usaha terdiri dari Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, Retribusi Tempat Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Kepelabuhan, Retribusi Tempat Rekreasi dan olahraga, Retribusi Penyebrangan di Air, Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (Dwi, 2011).


(59)

44

3. Perizinan Tertentu

Menurut Pasal 140 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruhnya biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan izin ini meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut (Dwi, 2011). Menurut Pasal 141 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Daerah Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah :

a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

Objek Retribusi Izin Mendirikan Bangunan adalah pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan. Pemberian izin meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian bangunan (KKB), dan pengawasan


(60)

penggunaan bangunan yang meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.

b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol

Objek Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu.

c. Retribusi Izin Gangguan

Objek Retribusi Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.

d. Retribusi Izin Trayek

Objek Retribusi Izin Trayek adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu. Pemberian izin oleh pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masingmasing daerah.

e. Retribusi Izin Usaha Perikanan

Objek Retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf e adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan.


(1)

LAMPIRAN 2

STATISTIK DESKRIPTIF

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

DAU 69 262653,050000

00000 1098999,51000 000000 680678,839130 4346000 200488,284293 94777000

PAD 69 17244,2900000

00000 298400,850000 000000 115706,888985 50726000 45718,3008606 37020000

DAK 69 16959 104304 60853,22 20310,149

PE 69 527700 19869577 4783487,16 3706459,473

DBH 69 12359 242857 56265,54 38244,618

KF 69 ,01 1,27 ,1919 ,25468

BM 69 69203,9100000

00000 353074,200000 000000 166773,486666 66663000 70729,6781638 72650000

Valid N (listwise)


(2)

LAMPIRAN 3

HASIL UJI ASUMSI KLASIK DAN REGRESI

1.

Uji Asumsi Klasik

a.

Uji Normalitas


(3)

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 69

Normal Parametersa,b

Mean ,0000000

Std. Deviation 49115,0058907

8

Most Extreme Differences

Absolute ,090

Positive ,090

Negative -,037

Kolmogorov-Smirnov Z ,750

Asymp. Sig. (2-tailed) ,627

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

b.

Uji Multikolinearitas

Coefficientsa

Model Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1

DAU ,420 2,383

DAK ,427 2,344

PAD ,738 1,355

PE ,876 1,141

DBH ,853 1,172

KF ,949 1,053


(4)

c.

Uji Heteroskedastisitas

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 6069,396 16821,700 ,361 ,719

DAU -,025 ,028 -,162 -,892 ,376

DAK ,504 ,278 ,328 1,816 ,074

PAD ,123 ,094 ,181 1,317 ,193

PE -,001 ,001 -,141 -1,123 ,266

DBH ,146 ,104 ,179 1,399 ,167

KF 6922,883 14837,565 ,056 ,467 ,642


(5)

d.

Uji Autokorelasi

Model Summaryb

Model Durbin-Watson

1

1,436a

a. Predictors: (Constant), KF, DAU, PE, DBH, PAD, DAK

b. Dependent Variable: BM

2.

Analisis Regresi Liniear Berganda

Regression

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered Variables

Removed

Method

1

KF, DAU, PE, DBH, PAD, DAKb . Enter

a. Dependent Variable: BM b. All requested variables entered.

a.

Koefisien Determinasi

Model Summary

Mode l

R R Square Adjusted R Square Std. Error of the

Estimate

1 ,720

a

,518 ,471 51436,66613768096

4000 a. Predictors: (Constant), KF, DAU, PE, DBH, PAD, DAK


(6)

b.

Uji Parsial (Uji t)

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) -43654,205 28497,040 -1,532 ,131

DAU ,099 ,048 ,280 2,057 ,044

DAK 1,010 ,470 ,290 2,148 ,036

PAD ,323 ,159 ,209 2,032 ,046

PE ,002 ,002 ,105 1,117 ,268

DBH ,476 ,177 ,257 2,693 ,009

KF 41923,866 25135,789 ,151 1,668 ,100

a. Dependent Variable: BM

c.

Uji Simultan (Uji F)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 176147442726,946 6 29357907121,158 11,096 ,000b

Residual 164035298648,274 62 2645730623,359

Total 340182741375,220 68

a. Dependent Variable: BM


Dokumen yang terkait

Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH) Dan Bantuan Keuangan Provinsi (BKP) Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dengan Belanja Pelayanan Dasar Sebagai Moderating Variabel (Stud

5 68 181

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

2 7 98

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal (Studi Empiris Pada Kabupate

0 2 14

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal (Studi Empiris Pada Kabu

0 5 25

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal Kabupaten/

0 3 20

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal Kabupaten/

0 0 15

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Pada Pemerinta

0 3 14

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Pada Pemerinta

0 4 16

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengaloka

0 3 22

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengaloka

0 5 15