1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada akhir tahun 2012 adegan kekerasan banyak ditayangkan dalam perfilman, video games dan televisi. Salah satunya yang dikemas dalam film,
sinetron, acara-acara musik, talk show, komedi, dan berita. Meningkatnya proporsi tayangan kekerasan melahirkan kecaman akan timbulnya pengaruh
negatif bagi penonton. Kecemasan ini didasarkan pada sifat penyiaran televisi ke rumah-rumah yang begitu bebas dan tidak terkendali, bahkan tidak dapat
dikendalikan Comstock, 1987, dalam Sears, 1991, dalam Widiastuti, 2002. Keprihatinan terhadap tayangan kekerasan berkait dengan pengaruh
psikologis khalayak terutama remaja. Tingkat kekerasan terus meningkat, maraknya tawuran antar remaja selama bulan puasa hingga menelan korban
puluhan jiwa merupakan cermin semakin minimnya sosok panutan yang bisa menjadi teladan masyarakat khususnya generasi muda di tanah air Suara
Merdeka, 18 September 2008. Berita tersebut merupakan contoh dari sebagian kecil kenakalan yang dilakukan remaja sekarang. Tidak kalah dengan
di media massa, acara berita kriminal di stasiun televisi banyak dipenuhi berita perkelahian, tawuran antar pelajar, atau perkelahian antar geng. Beberapa
waktu yang lalu, kita semua dihebohkan dengan adanya aksi geng Nero yang begitu brutal melakukan kekerasan kepada sesama remaja. Ironisnya, pelaku
dari geng tersebut adalah remaja putri. Kasus kriminalitas yang melibatkan
geng pelajar di Kota Jogja kembali terjadi pada awal 2012 ini. Bahkan, aksi yang dilakukan geng pelajar semakin beringas. Tidak hanya tawuran, mereka
juga berani menyekap dan menganiaya korbannya. Bahkan, untuk menakuti lawannya, anggota geng pelajar berani mengaku sebagai polisi Harian Jogja,
5 Januari 2012. Tayangan kekerasan di TV RCTI, MNC TV, SCTV, ANTV, INDOSIAR,
TRANS TV, TRANS7, dan GLOBAL TV ternyata memiliki rating cukup tinggi. Masayu S. Hanim, R. Muchtar, Rochmawati, dan Indra Astuti, peneliti
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, melakukan penelitian mengenai dampak tayangan kekerasan yang ada di media dengan mengambil
sampel sebanyak 200 responden untuk melihat dampak apa saja yang terjadi dari televisi dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Palembang dan
Semarang. Sebanyak 41 persen responden mengaku menonton televisi selama lebih dari tiga jam sehari. Sedangkan 43 persen responden mengaku menonton
tayangan televisi bertema kekerasan. Jika ditinjau dari sisi usia, tayangan kekerasan lebih diminati kalangan remaja. Hampir sepertiga responden yang
menjawab sering menonton tayangan bertema kekerasan adalah kalangan remaja. Dan sebanyak 14 persen responden mengaku pernah terlibat langsung
dalam tindak kekerasan LIPI, 2006. Survei yang dilakukan oleh Kidia Jakarta tahun 2002 menunjukan bahwa,
jam menonton televisi remaja lebih panjang dibandingkan dengan jam belajar di sekolah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Rubert Kubey
seorang pakar komunikasi dari Rutgers University menyatakan bahwa
sebagian besar remaja menghabiskan waktunya rata-rata 1.000 jam untuk melihat televisi dalam setahun Shinta: 2002: 153-154. Hasil-hasil penelitian
tersebut memperkuat bahwa, sebagian besar orang merupakan golongan heavy viewer dalam menonton televisi yaitu, 4 jam atau lebih dalam sehari
dihabiskan untuk menonton televisi. Bahkan anak-anak dan remaja sebenarnya sudah banyak yang masuk dalam addictive group yaitu kelompok
yang kecanduan terhadap tayangan-tayangan. Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya tayangan yang bertema
kekerasan salah satunya adalah perubahan pola pikir yang berpengaruh pada perilaku remaja, seringnya melihat drama kekerasan yang penuh
dengan baku hantam, tuduh menuduh, saling memukul, dan menghina dapat membentuk konsep berpikir bahwa kekerasan merupakan hal yang
normal dan bisa dijadikan salah satu solusi bagi permasalahan mereka Slotsve, Carmen, Sarver Villareal-Watkins 2008. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Bushman 1998 yang menemukan tayangan kekerasan dapat membentuk jaringan sistem kognisi tentang kekerasan dalam proses
berpikir. Hanim 2005 juga menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada masa kanak -
kanak dan remaja, sehingga cenderung menganggap apa yang ditampilkan ditelevisi sesuai dengan sebenarnya serta sulit membedakan mana tayangan
yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Selain itu mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan norma agama dan
masyarakat.
Hal-hal tersebut sungguh memprihatinkan apabila anak-anak terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering
dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di
dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut
sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai
pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri dan segera menyadari serta memperbaiki
diri ketika dia berbuat salah Asrori, 2004. Hal ini merupakan salah satu tugas perkembangan masa remaja yang penting adalah memperoleh perangkat nilai
dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku yaitu mengembangkan ideologi Hurlock, 1999.
Masalah keyakinan penting bagi kebanyakan remaja, namun pada abad ke- 21, terjadi tren penurunan keyakinan pada remaja. Dalam sebuah studi
nasional terhadap remaja Amerika pada tahun 2007, sebanyak 78 persen mengatakan mereka mendatangi tempat ibadah secara teratur atau saat tertentu
selama tahun terakhir di sekolah menengah atas, dari sebelumnya 85 persen pada tahun 1997 pryor dkk, 2007, dalam Santrock, 2011.
Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang positif bagi remaja Bridgers Snarey, 2010; King Roesser,
2009, dalam Santrock, 2011. Agama juga berperan dalam kesehatan remaja
dan masalah perilaku mereka Cotton dkk, 2006, dalam Santrock, 2011. Sebagai contoh, dalam sebuah sampel acak nasional yang terdiri dari 2000
orang remaja usia 11-18 tahun, mereka yang tingkat religiusnya tinggi cenderung lebih sedikit merokok, minum alcohol, menggunakan ganja, bolos
sekolah, terlibat dalam kenakalan remaja, dan tidak merasa depresi dibandingkan remaja yang tingkat religiusnya rendah Sinha, Cnaan
Gelles, 2006, dalam Santrock, 2011. Ghufron dan Risnawati dalam Rinasti, 2012 memandang bahwa
religiositas menunjuk pada tingkat ketertarikan individu terhadap agamanya dengan menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga
berpengaruh dalam segala tindakan dan cara pandang hidupnya. Religiositas merupakan penghayatan aspek religi dalam hati dan bagaimana aspek religi itu
diamalkan dalam kehidupan Mangunwijaya, dalam Rinasti, 2012. Oleh sebab itu, religiositas secara esensial sangat erat hubungannya dengan
perikemanusiaan Y.B. Mangunwijaya, 1982. Dengan demikian seorang religius dalam hidupnya tidak mau dan selalu waspada untuk tidak diombang-
ambingkan oleh kesemuan-kesemuan. Ia lebih suka mengejar apa yang maknawi dan bukan sekedar mengejar kepuasan-kepuasan hedonisme belaka,
bukan pula sekedar mengejar formalitas. Ia lebih mendahulukan sikap bertanya apa yang bisa diberikan untuk kehidupan ini, dan bukan dipenuhi
oleh pikiran-pikiran tentang apa yang bisa diperoleh pada setiap kesempatan. Maka wajar saja jika seorang religius lebih bersifat altruistik dan bukannya
egoistik, lebih tulus dan bukannya penuh pamrih.
Nilai dan ajaran agama inilah yang menurut Fridani 1996 diharapkan dapat menjadi faktor yang menyebabkan remaja mampu mengendalikan
dirinya. Agama menurut Haditono Haryanto, 1993 mutlak dibutuhkan untuk memberikan kepastian norma, tuntunan untuk hidup secara sehat dan benar,
dimana norma agama ini merupakan kebutuhan psikologis yang akan memberikan keadaan mental yang seimbang, mental yang sehat dan jiwa yang
tenteram. Katolik bukan hanya agama, tetapi juga suatu landasan hidup, cara hidup dengan seperangkat aturan moral, etika dan nilai-nilai spiritual. Menjadi
remaja menurut Furter Mönks, 1994 berarti juga mengerti nilai-nilai, tidak hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya.
Diharapkan sejalan dengan taraf perkembangan intelektualnya, remaja sudah dapat menginternalisasi penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai pribadi
sendiri, termasuk nilai dan ajaran agama. Nilai dan ajaran tersebut kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk perilaku menonton tayangan
kekerasan. Menonton tayangan kekerasan berlawanan dengan nilai-nilai dan ajaran agama maka remaja secara otomatis akan mengurangi intensitas atau
waktu untuk menonton tayangan kekerasan. Berdasarkan uraian di atas peneliti sangat tertarik untuk mengetahui
seberapa besar hubungan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan terutama pada remaja akhir. Apakah religiositas
berpengaruh positif terhadap menurunnya intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja.
B. Rumusan Masalah