Marah dalam Studi Behavioral

10 ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem saraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa marah merupakan pengalaman emosi subjektif dengan rangsangan saraf otonom simpatetik yang disebabkan oleh adanya persepsi ancaman terhadap keberadaan diri dan barang milik, baik yang bersifat jasmani ataupun verbal.

B. Marah dalam Studi Behavioral

Dalam studi behavioral, hal-hal yang diteliti adalah bagaimana seseorang mengungkapkan emosi marah mereka serta efek dan konsekuensi dari kemarahan mereka. Pengungkapan emosi marah terbagi menjadi dua, yang pertama ekspresi langsung seperti anger in, anger out, anger control dst. Kedua adalah ekspresi yang terkondisikan oleh lingkungan sekitar. Berikut ini adalah penelitian-penelitian mengenai pengungkapan emosi marah dari waktu ke waktu sehingga didapat perilaku yang jelas saat seseorang mengungkapkan emosi marahnya. Selanjutnya juga akan disajikan sebuah penelitian mengenai efek dan konsekuensi dari kemarahan seseorang. 11 1. Ekspresi pengungkapan marah a. Anger out dan anger in Funkenstein et al. 1954 melakukan sebuah penelitian untuk melihat perbedaan reaksi fisiologis yang terjadi saat seseorang mengalami reaksi emosional tertentu. Dalam penelitian ini subjek penelitian diklasifikasikan ke dalam kelompok tertentu setelah mendapatkan perilaku yang memicu stress. Kelompok anger out apabila mereka mengarahkan kemarahan keluar dirinya, anger in apabila mereka mengarahkan kemarahan ke dirinya sendiri dan anxiety apabila mereka merasakan kecemasan, kuatir atau takut. Akan tetapi konsep anger out dan anger in sebagai suatu ekspresi marah masih belum jelas. Hal ini disebabkan oleh adanya kombinasi subjek yang merasa sedikit cemas pada kelompok anger. Juga belum adanya definisi yang jelas mengenai konsep ini, apakah kemarahan ini sekedar pengalaman marah atau sekaligus merupakan ekspresi kemarahan yang juga tidak dijelaskan perilakunya secara spesifik. b. Anger out, anger in dan anger control Spielberger dan beberapa peneliti lainnya mengembangkan State- Trait Anxiety Inventory, State-Trait Anger Scale dan State-Trait Anger Expression Inventory yang pada akhirnya dapat memperjelas ekspresi marah. State-Trait Anger Scale membedakan kemarahan seseorang sebagai suatu pernyataan keadaan marah dan sebagai sifat pemarah. State didefinisikan sebagai pernyataan psikobiologis atau keadaan yang 12 terdiri dari perasaan subjektif mengenai kemarahan yang bervariasi intensitasnya, dari gangguan irritate ringan atau kejengkelan annoyance sampai kemarahan yang kuat dan amukan, bersamaan dengan aktivasi atau stimulasi sistem saraf otonom. Trait didefinisikan sebagai perbedaan individual dalam frekuensi saat state anger dialami dari waktu ke waktu.Spielberger Sydeman, 1994, pp. 302 Spielberger dan Sydeman 1994 mengukur reliabilitas State-Trait Anger Scale ini dengan melihat korelasi item dengan State-Trait Anxiety Scale. Item yang berkorelasi tinggi dibuang sehingga didapatkan item- item yang hanya mengukur “marah”. Untuk membedakan pengalaman marah dan ekspresi marah dapat dilakukan dengan mengukur state anger dan mengukur perbedaan individual dalam mengekspresikan state anger-nya. Ekspresi marah ini diukur dengan Anger Expression Scale yang terbagi menjadi 3 jenis ekspresi yaitu anger in, anger out, dan anger control. Anger in adalah saat seseorang mengalami perasaan marah yang kuat tetapi ia cenderung menekan perasaan marahnya daripada mengekspresikannya dengan perilaku verbal ataupun fisik. Anger out adalah saat seseorang mengalami perasaan marah yang diekspresikan lewat perilaku agresif, tindakan fisik seperti menyerang orang lain dan secara verbal seperti mengkritik atau menghina. Sedangkan anger control adalah saat seseorang mengalokasikan energi yang besar untuk 13 mengawasi dan mencegah ekspresi kemarahan. Spielberger, 1985 dalam Spielberger Sydeman, 1994 c. Anger in, anger control, ekspresi agresif dan perilaku positif saat mengungkapkan kemarahan Walaupun Spielberger telah mengembangkan pemahaman tentang ekspresi marah, namun belum ada skala yang menguraikan ekspresi marah yang positif dan berarah pada pemecahan masalah. Oleh karena itu sebuah penelitian mencoba mengungkapkan hal ini dengan menambahkan beberapa item pada Anger Expression Inventory. Item- item yang ditambahkan berfungsi untuk mengukur perilaku-perilaku positif saat mengekspresikan marah dan membedakan ekspresi marah secara verbal atau fisik. Analisis Key Cluster Variable digunakan untuk menentukan item-item yang dapat dikelompokkan dalam satu cluster tertentu. Deffenbacher et al., 1996, pp. 579 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Deffenbacher et al. 1996 ditemukan adanya 9 bentuk ekspresi kemarahan. Dua diantaranya sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Spielberger yaitu anger in dan anger control. Berikutnya adalah 4 ekspresi agresif, 2 ekspresi verbal mengeraskan suara dan berargumen; mengintimidasi dan menyerang secara verbal; 2 perilaku fisik alamiah perilaku mengancam atau benar-benar menyerang seseorang; menendang, memukul, membanting, dsb. suatu benda. Dua perilaku non-agresif dalam mengekspresikan kemarahan komunikasi yang tegas mengacu pada permasalahan dan 14 secara tepat meninggalkan permasalahan. Bentuk ekspresi yang terakhir adalah mengekspresikan kemarahan secara langsung, tapi tidak menjelaskan tipe responnya kemarahan mungkin diekspresikan secara langsung, tapi dengan cara agresif atau non-agresif. 2. Ekspresi pengungkapan marah yang terkondisi Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jack 2001 seseorang mengungkapkan emosi marahnya dengan beberapa macam cara. Cara-cara tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran subjek akan reaksi orang lain pada ekspresi kemarahannya. Jack 2001 mengungkapkan bahwa ketika seseorang membanting pintu seperti dalam penelitian Deffenbacher et al., 1996 saat ia sedang sendirian akan berbeda maknanya ketika ia membanting pintu di depan orang lain. Sehingga dalam penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Jack 2001 ia mengungkapkan makna dan konsekuensi yang dialami wanita pada ekspresi kemarahannya. Melalui penelitiannya Jack 2001 menemukan enam pola ekspresi kemarahan. Tiga pola pertama merupakan ekspresi kemarahan yang diungkapkan di dalam hubungan seseorang dengan subjek kemarahannya. Bisa diungkapkan lewat perilaku langsung dan perilaku tidak langsung namun tetap dalam keberadaan objek kemarahan. Tiga pola berikutnya merupakan ekspresi kemarahan yang diungkapkan tanpa keberadaan atau di luar hubungannya dengan objek kemarahan. Perbedaan pola ekspresi 15 disebabkan karena seseorang mengharapkan orang lain bereaksi secara berbeda atas ekspresi kemarahannya Ekspresi kemarahan yang diungkapkan dalam hubungan adalah: pola ekspresi 1 positif dan langsung bertujuan untuk menghilangkan rintangan pada kedekatan atau membenarkan ketidakadilan atau kekerasan dalam suatu hubungan. Sebaliknya pola 2 agresif tidak mencari pemecahan masalah, namun tujuannya adalah untuk menyakiti seseorang atau balas dendam dengan penyerangan secara verbal ataupun fisik. Pola ekspresi 3 tidak langsung bertujuan untuk tetap membawa rasa marah ke dalam hubungan namun tetap tersamar dan tanpa adanya percakapan. Cara ini dilakukan agar seseorang dapat menyangkal kemarahannya ketika dikonfrontasi juga agar dapat menghindari konsekuensi negatif dari ekspresi marah secara langsung. Hal tersebut terjadi karena adanya kepercayaan bahwa ekspresi marah secara langsung memiliki konsekuensi yang berbahaya, atau dilarang oleh aturan-aturan gender. Pola ekspresi tidak langsung ini dilakukan dengan cara a sabotase tersembunyi seperti melupakan apa yang mungkin diminta, menyetujui lalu menolak untuk melakukan apa yang diminta, atau cara apapun yang dapat menyabotase ekspektasi seseorang. Cara lain adalah b jarak bermusuhan, biasanya dilakukan dengan diam dan meniadakan komunikasi untuk menyampaikan kemarahan. Perilakunya seperti menarik diri, cemberut atau merajuk, atau memperpendek kalimat. Selain itu c pembelokan kemarahan juga 16 dilakukan dalam ekspresi kemarahan tidak langsung, yaitu dengan mengarahkan kemarahan kepada orang yang bukan menjadi sumber kemarahan atau mengarahkan kemarahan kepada dirinya sendiri. Ekspresi kemarahan tidak langsung lainnya adalah d hilang kontrol. Mengatakan pernyataan seperti “saya sedang PMS”, “saya tidak bermaksud” saat mereka tidak mau mengakui kepemilikan dari ekspresi marah yang mereka ungkapkan. Biasanya ekspresi ini berupa membanting pintu, barang ataupun berteriak, tidak kepada orang lain, tapi di hadapan orang lain. Ekspresi kemarahan yang diungkapkan ke luar hubungan adalah: 4 Sadar dan konstruktif yaitu saat seseorang merasakan pilihan yang jelas untuk mengekspresikan kemarahan namun mengarahkannya keluar hubungan dengan tujuan yang positif dan membangun. Misalnya saat seseorang mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka ia menggunakan kemarahannya untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib. Pola ekspresi berikutnya adalah 5 eksplosif tapi sendirian merupakan cara untuk melepaskan kemarahan dengan berbagai macam cara seperti berteriak, memukul barang, membanting pintu, menangis namun tanpa adanya kehadiran seseorang. Pola ekspresi yang terakhir adalah 6 membungkam diri yaitu perilaku menyimpan kemarahan dengan menghentikan ekspresi langsung ataupun tidak langsung. Seseorang mungkin menyatak an bahwa “aku baik-baik saja dan aku tidak marah” dengan menunjukkan ekspresi bahagia. 17 3. Efek dan konsekuensi pengungkapan kemarahan Saat seseorang mengungkapkan kemarahannya dengan cara-cara tertentu, maka ia juga akan merasakan efek atas ungkapan marahnya. Sebuah penelitian menggunakan kuesioner untuk memahami perasaan marah menemukan 2 efek dari suatu episode kemarahan, yaitu efek perasaan positif dan efek perasaan negatif. Efek perasaan positif terdiri atas lega, puas, menang, dan bahagia. Efek perasaan negatif terdiri atas jengkel kesal, bersalah malu, khawatir, tertekan, sedih, cemas, jijik, bodoh, dan menyesal. Kassinove et al., 1997 Penelitian lain yang dilakukan oleh Deffenbacher et al. 1996 mengungkapkan konsekuensi dari ekspresi marah. Konsekuensi tersebut terdiri dari perkelahian fisik, perkelahian verbal, rusaknya persahabatan, kerusakan properti, menyakiti diri sendiri secara fisik, konsumsi minuman keras, emosi negatif, dan pelanggaran hukum. Seseorang yang mengekspresikan kemarahannya keluar akan lebih mungkin menghadapi konsekuensi seperti perkelahian fisik dan verbal, kerusakan properti, dan rusaknya persahabatan. Secara spesifik, perilaku fisik agresif kepada orang lain lebih memungkinkan seseorang menghadapi perkelahian fisik serta adanya kemungkinan untuk berperilaku melanggar hukum dan mengkonsumsi minuman keras. Sedangkan perilaku agresif fisik terhadap benda akan mengakibatkan kerusakan properti. Perkelahian verbal tentunya lebih berkorelasi dengan ekspresi marah verbal agresif. 18 Akan tetapi seseorang yang mengekspresikan kemarahannya ke dalam akan lebih mungkin menghadapi emosi negatif seperti depresi dan rasa malu sebagai konsekuensi kemarahannya. Emosi negatif ini juga menjadi konsekuensi bagi mereka yang mengekspresikan marahnya dengan meninggalkan permasalahan. Ekspresi kemarahan yang terkontrol dan berfokus pada penyelesaian masalah menunjukkan adanya penurunan terhadap semua konsekuensi tersebut.

C. Marah dalam Studi Sosial