Pengalaman marah orang Kristiani

(1)

PENGALAMAN MARAH ORANG KRISTIANI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Lita Devianti NIM : 089114070

Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


(2)

(3)

(4)

“Desert Song”

This is my prayer in the desert When all that's within me feels dry This is my prayer in my hunger and need

My God is the God who provides And this is my prayer in the fire

In weakness or trial or pain There is a faith proved Of more worth than gold

So refine me Lord through the flame I will bring praise

I will bring praise

No weapon formed against me shall remain I will rejoice

I will declare

God is my victory and He is here And this is my prayer in the battle

When triumph is still on it's way I am a conqueror and co-heir with Christ

So firm on His promise I'll stand All of my life

In every season You are still God I have a reason to sing I have a reason to worship This is my prayer in the harvest

When favor and providence flow I know I'm filled to be emptied again

The seed I've recieved I will sow -Hillsong-


(5)

PERSEMBAHAN

“Rancangan-Nya adalah rancangan kebaikan yang sungguh terbukti melalui karya ini”

Segala pujian, hormat, serta syukur kepada Tuhan Yesus gembalaku yang ajaib

Yang memberikan kepadaku :

Orangtua yang luar biasa sehingga aku ada sebagaimana aku ada Rapunzel yang tidak akan seperti Napoleon

Jose Sam Andaria adik kecilku, I love you

Teman-teman SMA Budi Mulia, terutama Maria, Fransiska, Claudia, Nathalia, dan Felicia yang selalu mendukung di kala suka terlebih di kala

duka

Teman-teman Psikologi USD angkatan ’08 terutama mereka yang sering menghabiskan waktunya bersamaku di kelas, di lab, di perpustakaan, di bioskop dan di tempat makan; untuk waktu, tawa, obrolan bahkan ejekan

kalian, love you all.

Teman-teman Gereja Keluarga Allah, terutama teman-teman pelayanan Body Voice dan Konselor yang membuatku belajar tentang manusia


(6)

Teman-teman kelompok sel Be Bless, Eagle’s Warrior Prayers, dan Lovable yang terus membuatku bertumbuh lewat sharing-sharing dan kehidupan

kalian

Teman-teman di Amour Event Organizer dan Dancer, pengalaman luar biasa bekerja bersama kalian

Teman-teman Kost Gracia untuk keberadaan kalian di kala hening maupun bising, untuk Pak.kost dan Bu.kost untuk semua izin pulang telat yang

kalian berikan, juga Billy buat gonggongannya di malam hari, dan

terutama Miss Gupil “gak ada lo gak rame”

Semua keluarga di Solo, Semarang, Belanda, MamaDian-Lidia, MamiConi sekeluarga, dan ii Wati yang walaupun jauh pasti kalian tetap

mendoakanku

Last but not least, Maria Fransisca Shinta untuk perkataannya “Ta,

kayaknya lu cocok deh masuk Psikologi”


(7)

(8)

PENGALAMAN MARAH ORANG KRISTIANI

Lita Devianti

ABSTRAK

Emosi marah adalah emosi yang universal dan dapat dirasakan oleh semua orang. Akan tetapi pengungkapannya dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam lingkungan. Setiap orang bisa merasakan marah termasuk umat Kristiani, namun apa jadinya bila marah bertentangan dengan tanggung jawab moral umat Kristiani yaitu untuk mengasihi. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui apa yang dialami orang Kristiani saat mereka marah dan apa maknanya bagi mereka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis descriptive phenomenology. Data wawancara diambil dari empat orang subjek penelitian dengan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa adanya rasa jengkel dan kesal yang menumpuk membuat seseorang kehilangan kontrol diri dan melampiaskan emosi. Hilangnya kontrol diri untuk mengikuti firman Tuhan dianggap sebagai adanya godaan iblis. Untuk mengatasi kemarahan, seseorang merasakan Tuhan sebagai sosok yang membawa kelegaan. Kata kunci : marah, Kristiani


(9)

EXPERIENCE OF ANGER ON CHRISTIAN

Lita Devianti

ABSTRACT

Anger is one of universal emotion and everyone is able to felt it. However, the expression of anger are being controlled by certain rules that exist in the life situation. Everyone can feel the anger, including Christians, but what happens when the urge to anger is against with the moral responsibility of the Christian which is to love others. This study aims to find out what happened to the Christians when they are angry and what it means for them. The method used in this research is qualitative study with descriptive phenomenology analysis. The data were taken from four interview subjects with semi-structured interviews. The results of this study illustrate that losing control and acting out the anger is due to the accumulation of irritated and annoyed. Inadequacy to follow the word of God is considered as the temptations of the devil. To cope with anger, one feels God as someone who brings relief.

Key words: anger, Christian


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Karya ini dibuat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi pada Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis tertarik untuk menulis tentang Pengalaman Marah Orang Kristiani karena ingin mengetahui lebih dalam pengalaman kehidupan orang Kristiani terutama dalam menghadapi emosi marah. Terselesaikannya karya ini tidak terlepas dari tuntunan Tuhan yang luar biasa dari awal pemilihan judul. Terlebih untuk hikmat yang diberikan selama pengerjaan setiap babnya dan tersedianya setiap sumber yang dibutuhkan, sungguh Allah luar biasa.

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada orang-orang yang telah memberikan banyak bantuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung pada pengerjaan tulisan ini.

1. Bapak V. Didik Suryo Hartoko sebagai dosen pembimbing skripsi. Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk saran, kesabaran dan kepercayaannya.

2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi. sebagai dosen penguji skripsi. Saya mengucapkan terima kasih atas setiap saran yang diberikan.

3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani dan Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing saya selama menjadi mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan ilmunya dan membimbing saya selama menjadi mahasiswa di fakulas ini.

5. Seluruh staff sekretariat dan Laboratorium fakultas Psikologi USD (Mbak Nanik, Mas Gandung, Pak Gie, Mas Doni, dan mas Muji) yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi.

6. Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada 4 orang teman yang sudah bersedia menjadi partisipan penelitian ini.


(12)

Penulis juga memohon maaf apabila ada pihak yang belum disebutkan namanya, namun demikian saya tetap mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang sudah diberikan. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat, Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 8 April 2013 Penulis,

Lita Devianti


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIANKARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II DASAR TEORI ... 9

A. Pengertian Marah ... 9

B. Marah dalam Studi Behavioral ... 10

1. Ekspresi pengungkapan marah ... 11

a. Anger out dan anger in ... 11 xiii


(14)

b. Anger out, anger in, dan anger control ... 11

c. Anger in, control, ekspresi agresif dan perilaku positif saat mengungkapkan kemarahan ... 13

2. Ekspresi pengungkapan marah yang terkondisi ... 14

3. Efek dan konsekuensi pengungkapan kemarahan ... 17

C. Marah dalam Studi Sosial ... 18

D. Marah dalam Studi Fenomenologi ... 20

1. Marah yang dialami secara jasmani ... 20

2. Esensipengalaman marah ... 23

E. Marah dalam Kekristenan... 26

F. Pertanyaan Utama ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A. Strategi Penelitian ... 29

B. Fokus Penelitian ... 30

C. Latar Belakang Peneliti ... 31

D. Metode Pengumpulan Data ... 32

1. Partisipan ... 32

2. Pertanyaan penelitian ... 33

3. Setting penelitian ... 34

4. Jenis data ... 35

E. Prosedur Analisis Data ... 35

1. Membaca deskripsi ... 35

2. Konstitusi deskripsi ... 36

3. Transformasi ... 36 xiv


(15)

4. Kategorisasi ... 36

a. Kategorisasi per partisipan ... 36

b. Kategorisasi seluruh partisipan ... 37

5. Deskripsi tekstural... 37

6. Deskripsi struktural ... 37

7. Deskripsi tekstural-struktural... 38

F. Kredibilitas Penelitian... 38

G. Sistematika Pelaporan ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 41

A. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Sarah ... 41

1. Latar belakang Sarah ... 41

2. Kategori Sarah ... 42

3. Deskripsi tekstural Sarah ... 43

B. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Hanna ... 45

1. Latar belakang Hanna... 45

2. Kategori Hanna ... 46

3. Deskripsi tekstural Hanna... 47

C. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Ruth ... 49

1. Latar belakang Ruth ... 49

2. Kategori Ruth... 49

3. Deskripsi tekstural Ruth ... 50

D. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Debora ... 52

1. Latar belakang Debora ... 52

2. Kategori Debora ... 53 xv


(16)

3. Deskripsi tekstural Debora ... 54

E. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Semua Partisipan ... 55

1. Kategorisasi semua partisipan ... 55

2. Deskripsi tekstural semua partisipan ... 58

F.Deskripsi Struktural Pengalaman Marah Semua Partisipan ... 59

G.Deskripsi Tekstural-Struktural Pengalaman Marah Semua Partisipan ... 61

H. Pembahasan ... 62

1. Marah sebagai sarana untuk memperbaiki, mengoreksi, ataupun menolak suatu hal yang tidak sesuai ... 62

2. Marah adalah kehilangan kontrol untuk bersabar ... 62

3. Marah adalah godaan iblis, masalah yang memerlukan bantuan Tuhan ... 63

4. Cara mengatasi kemarahan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 72


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Emosi marah sering dijumpai dalam kehidupan manusia. Setiap harinya mungkin saja seseorang berhadapan dengan situasi yang membuat marah. Seorang anak akan marah ketika mainannya direbut oleh temannya atau ketika orangtuanya melarang ia bermain. Seorang warga negara mungkin saja marah karena ia tidak terima dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar. Tidak terkecuali seorang pemimpin, ia bisa saja marah karena anak buahnya tertidur ketika sedang rapat.

Emosi marah termasuk dalam emosi negatif yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang dan dikaitkan dengan dorongan untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Dorongan perilaku ini tidak hanya timbul dalam pikiran tetapi berada dalam mekanisme fisiologis tubuh seseorang. Saat seseorang sedang dalam keadaan takut maka ia akan memiliki dorongan untuk lari sedangkan saat marah seseorang akan memiliki dorongan untuk menyerang. Kecenderungan perilaku ini muncul karena adanya evolusi adaptasi yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Evolusi ini mempersempit pilihan perilaku yang ada dan hanya meninggalkan perilaku yang paling membantu nenek moyang kita untuk bertahan hidup dalam situasi yang mengancam. Dalam pandangan ini emosi marah merupakan solusi yang efektif


(18)

untuk mengatasi masalah yang berulang yang dihadapi oleh nenek moyang kita. (Fredrickson, 2003)

Di satu sisi marah merupakan cara yang efektif untuk mengatasi suatu masalah, namun di sisi lain marah juga diasosiasikan dengan berbagai macam penyakit baik secara fisik ataupun psikologis. Secara fisik frekuensi marah yang tinggi menyebabkan peningkatan resiko penyakit jantung koroner (Williams et al., 2000). Marah sebagai respon dari stress yang dialami juga meningkatkan resiko penyakit kardiovascular (Chang, Ford, Meoni, Wang, & Klag, 2002). Secara psikologis, kemarahan yang ditujukan kepada diri sendiri berkontribusi kepada penyelesaian masalah yang tidak efektif (Tangney et al., 1996), rasa percaya diri yang rendah (Stimmel, Smith, Regan, & Raffled, 1997), ketergantungan pada orang lain (Stimmel et al. 1997), gangguan psikopatologis (Stimmel et al., 1997; Stimmel, Rayburg, Waring, & Raffeld, 2005), dan peningkatan rasa malu. (Stimmel, Link, Daugherty, & Raffeld, 2009) Gangguan psikopatologis seperti Eating Dissorders ditemukan pada wanita yang mengalami perasaan marah yang tinggi dan menekan kemarahan tersebut (Waller et al., 2003). Kemarahan juga memiliki hubungan dengan gangguan depresi, ADHD dan meningkatnya resiko PTSD (Lara, Pinto, Akiskal & Akiskal, 2006; Meffert et al., 2008).

Sejauh ini marah dianggap sebagai cara yang efektif dan tidak efektif untuk mengatasi suatu permasalahan. Perbedaan frekuensi, intensitas, dan cara mengungkapkan marah menimbulkan efek resiko yang juga berbeda-beda. Lalu apakah yang membuat perbedaan tersebut dan siapa saja yang bisa


(19)

mengalami hal tersebut? Penelitian yang dilakukan oleh Ekman menjelaskan bahwa emosi marah ini bisa dialami oleh setiap orang dan adanya aturan tertentu dalam lingkungannya memungkinkan perbedaan tersebut.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paul Ekman selama kurang lebih empat puluh tahun terakhir, ia menemukan bahwa marah adalah emosi yang universal dan ekspresi wajah dari kemarahan adalah bawaan dan bukan hasil pembelajaran sosial. Dengan kata lain semua orang bisa merasa marah dan ekspresi wajah yang menunjukkan kemarahan memiliki ciri-ciri yang sama yaitu menekan bibir, merendahkan alis mata dan mengangkat mata bagian atas. (Ekman, 2003)

Penelitian-penelitian ini dilakukan di tempat-tempat yang bervariasi seperti Amerika, Jepang, Brazil, Papua New Guinea, dan lain-lain. Beberapa penelitian awal dilakukan dengan menunjukkan foto-foto dan meminta partisipan menyebutkan ekspresi apa yang nampak dalam foto-foto tersebut. Hasilnya mayoritas partisipan berpendapat sama mengenai ekspresi tersebut. Hasil yang serupa juga ditemukan dalam masyarakat pedalaman yang terisolasi secara visual. Masyarakat pedalaman tersebut tidak pernah melihat televisi, majalah atau apapun yang memungkinkan mereka mempelajari ekspresi emosi, termasuk masyarakat yang tidak mempunyai kata-kata untuk merepresentasikan emosi. (Ekman, 2003)

Akan tetapi seorang antropolog bernama Klaim Birdwhistell menemukan bahwa ada orang dalam budaya tertentu yang tersenyum ketika mereka tidak bahagia. Oleh karena itu Ekman melakukan penelitian yang melibatkan orang


(20)

Jepang dan Amerika. Mereka diminta untuk menonton sebuah film tentang adegan pembedahan atau kecelakaan, pada saat itu mereka menunjukkan ekspresi wajah yang sama dalam merespon film. Selanjutnya ketika seorang ilmuwan bergabung dengan mereka untuk menonton film tersebut, orang Jepang lebih menunjukkan emosi negatif yang disembunyikan di balik sebuah senyuman daripada orang Amerika. (Ekman, 2003)

Penemuan ini menjelaskan gagasan Ekman (2003) bahwa seseorang mungkin menampilkan aturan-aturan yang mereka pelajari sesuai budaya masing-masing. Aturan itu mungkin tentang bagaimana, kapan, dan kepada siapa seseorang bisa menampilkan emosi mereka yang sebenarnya. Sehingga seseorang harus mengendalikan ekspresi emosi mereka, entah itu mengecilkan, membesarkan, menyembunyikan ataupun menutupinya. Dapat dikatakan bahwa marah adalah emosi bawaan dengan ekspresi yang universal namun pengungkapannya dapat diatur sedemikian rupa.

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana seseorang mengungkapkan kemarahannya. Funkenstein, King dan Drolette (1954) melakukan penelitian untuk melihat perbedaan reaksi fisiologis pada beberapa reaksi emosional tertentu. Hasilnya terklasifikasikan ke dalam kelompok anger

out, anger in, dan anxiety. Klasifikasi ini menjadi dasar bagi penelitian

berikutnya untuk memperjelas ungkapan emosi marah, seperti yang dilakukan oleh Spielberger dan Sydeman (1994). Lewat penelitian ini pengungkapan emosi marah dibagi menjadi anger in, anger out, dan anger control. Selain


(21)

pengungkapan emosi marah ini bisa dilakukan dengan cara yang positif dan berarah pada pemecahan masalah.

Selanjutnya Jack (2001) menemukan bahwa ungkapan kemarahan seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia mengantisipasi reaksi orang lain yang menerima ungkapan kemarahannya. Sehingga kemarahan dapat diungkapkan di dalam hubungan ataupun di luar hubungan dengan orang yang membuat marah. van Daalen-Smith (2008) melakukan penelitian dengan menggunakan metode grounded-theory dan menemukan bahwa ketika seseorang mengungkapkan kemarahannya maka orang lain tidak mendengarkan dan tidak mengganggap kemarahan mereka. Hal ini membawa seseorang belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, untuk tidak marah dan hidup seperti bunglon; beradaptasi, membiarkan, mengalihkan, dan menekan diri mereka yang sebenarnya, untuk berbaur agar kemarahan tidak mengarahkan mereka pada penolakan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Jack (2001) dan van Daalen-Smith (2008) dapat disimpulkan bahwa perilaku orang lain menentukan bagaimana seseorang mengelola emosi marah dan mengungkapkannya. Hal tersebut sesuai dengan gagasan Ekman bahwa emosi marah adalah universal tetapi bagaimana, kapan, dan kepada siapa emosi itu diungkapkan diatur oleh aturan tertentu dalam lingkungannya.

Marah yang merupakan emosi bawaan dan universal tentunya dapat dirasakan oleh semua orang termasuk umat Kristiani. Silberman (2003) berpendapat bahwa salah satu cara sistem religi mempengaruhi emosi adalah


(22)

dengan memberikan ketentuan mengenai emosi-emosi yang pantas dan tidak pantas serta intensitas ketika emosi tersebut dirasakan. Menurut Gross (1999) intensitas dan bagaimana emosi diekspresikan atau diungkapkan disebut regulasi emosi. Regulasi emosi bisa terjadi secara sadar atau tidak sadar, sengaja ataupun tidak disengaja. Secara sengaja seseorang dapat meregulasi emosi-emosi yang berpotensi menimbulkan masalah seperti marah, rasa bersalah, dan depresi melalui pengajaran dan buku-buku agama atau praktek spiritual tertentu. (Emmons, 2005)

Bila mengacu pada penelitian sebelumnya, masih terdapat ketidakjelasan mengenai pengalaman seorang Kristiani ketika mereka marah. Penelitian yang dilakukan oleh Jang dan Johnson (2004) mengungkapkan bahwa wanita African American memang mengalami distress yang lebih tinggi dari pada pria African American, namun para wanita ini tidak mengarahkan respons distressnya ke orang lain seperti marah, karena tingkat religiusitas mereka menjadi penahan distress yang mereka alami. Namun lebih mungkin mereka merespons distressnya ke diri mereka sendiri (agresi interpersonal) dan membuka kemungkinan depresi. Jang dan Johnson (2005) melanjutkan penelitian tersebut dan menemukan bahwa orang-orang African American yang religius lebih tidak mengalami distress karena mereka lebih memiliki kontrol dan dukungan sosial (semacam coping-stress strategy) dibandingkan mereka yang kurang religius atau tidak religius. Dari kedua penelitian yang dilakukan oleh Jang dan Johnson dapat disimpulkan bahwa seorang yang kurang atau tidak religius mengalami distress yang lebih tinggi daripada


(23)

seorang yang religius. Akan tetapi wanita yang religius mengalami distress yang lebih tinggi daripada pria yang religius. Selanjutnya wanita religius ini cenderung tidak merespon distress yang mereka alami dengan kemarahan.

Hasil penelitian tersebut bisa jadi menegaskan enggapan Emmons bahwa seseorang melakukan regulasi emosi yang berpotensial menimbulkan masalah seperti emosi marah. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah apa yang sebenarnya mereka alami ketika mereka merasakan marah?

Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apa yang dialami oleh orang Kristiani ketika mereka merasa marah namun dihadapkan dengan aturan tentang bagaimana seharusnya mereka mengendalikan emosi mereka. Metode kualitatif dianggap cocok untuk mengungkap pengalaman ini karena dari data wawancara akan didapatkan pemahaman partisipan mengenai pengalaman marah mereka (Smith, 2009). Selanjutnya analisis deskriptif fenomenologis memungkinkan peneliti mendeskripsikan dan mereduksi pengalaman partisipan sehingga dapat diketahui apa dan bagaimana seorang Kristiani mengalami perasaan marah mereka (Creswell, 2007; Moustakas, 1994).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dialami seorang Kristiani ketika marah?

2. Apa makna pengalaman marah orang Kristiani?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman dan makna kemarahan seorang Kristiani.


(24)

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menggambarkan bagaimana aturan tertentu mempengaruhi kehidupan emosional seseorang. Hal ini akan berguna bagi para praktisi psikologi dalam memahami dinamika pengalaman marah dalam kehidupan orang Kristiani. Diharapkan penilitian ini dapat membantu para pembaca, khususnya orang Kristiani untuk dapat mengenal lebih jauh tentang perasaan marah yang mereka alami.


(25)

BAB II

DASAR TEORI

A. Pengertian Marah

Dalam Craighead dan Weiner, 2010 marah didefinisikan sebagai berikut :

“a subjectively experienced emotion with high

sympathetic autonomic arousal. It is elicited by the

perception of a threat to one‟s physical well being,

property, present or future resources, self-image, social

status or image as projected to one‟s group, maintenance

of social rules that regulate daily life, or comfort. Anger is an enduring emotion, and it may persist well after a threat has passed. Anger is associated with attributions, evaluations, and the gathering of information that

emphasizes the externalization of blame.” (p.100)

Dengan kata lain marah merupakan pengalaman emosi subjektif dengan rangsangan saraf otonom simpatetik yang tinggi. Rangsangan ini muncul karena adanya persepsi ancaman terhadap keberadaan fisik seseorang, barang milik, masa sekarang dan sumber-sumber yang ada di masa depan, gambar diri, status sosial atau kesan yang diproyeksikan oleh kelompok, aturan sosial yang mengatur kehidupan sehari-hari, atau kenyamanan seseorang. Marah adalah emosi yang bertahan lama, bahkan tetap ada walau obyek yang menjadi ancaman sudah tidak ada. Kemarahan juga berhubungan dengan proses pengambilan keputusan mengapa seseorang berperilaku tertentu, mengevaluasi keputusan kita dan mengumpulkan informasi yang menekankan eksternalisasi kesalahan.

Chaplin (2009) memaparkan bahwa marah adalah reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk


(26)

ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem saraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa marah merupakan pengalaman emosi subjektif dengan rangsangan saraf otonom simpatetik yang disebabkan oleh adanya persepsi ancaman terhadap keberadaan diri dan barang milik, baik yang bersifat jasmani ataupun verbal.

B. Marah dalam Studi Behavioral

Dalam studi behavioral, hal-hal yang diteliti adalah bagaimana seseorang mengungkapkan emosi marah mereka serta efek dan konsekuensi dari kemarahan mereka. Pengungkapan emosi marah terbagi menjadi dua, yang pertama ekspresi langsung seperti anger in, anger out, anger control dst. Kedua adalah ekspresi yang terkondisikan oleh lingkungan sekitar. Berikut ini adalah penelitian-penelitian mengenai pengungkapan emosi marah dari waktu ke waktu sehingga didapat perilaku yang jelas saat seseorang mengungkapkan emosi marahnya. Selanjutnya juga akan disajikan sebuah penelitian mengenai efek dan konsekuensi dari kemarahan seseorang.


(27)

1. Ekspresi pengungkapan marah

a. Anger out dan anger in

Funkenstein et al. (1954) melakukan sebuah penelitian untuk melihat perbedaan reaksi fisiologis yang terjadi saat seseorang mengalami reaksi emosional tertentu. Dalam penelitian ini subjek penelitian diklasifikasikan ke dalam kelompok tertentu setelah mendapatkan perilaku yang memicu stress. Kelompok anger out apabila mereka mengarahkan kemarahan keluar dirinya, anger in apabila mereka mengarahkan kemarahan ke dirinya sendiri dan anxiety apabila mereka merasakan kecemasan, kuatir atau takut.

Akan tetapi konsep anger out dan anger in sebagai suatu ekspresi marah masih belum jelas. Hal ini disebabkan oleh adanya kombinasi subjek yang merasa sedikit cemas pada kelompok anger. Juga belum adanya definisi yang jelas mengenai konsep ini, apakah kemarahan ini sekedar pengalaman marah atau sekaligus merupakan ekspresi kemarahan yang juga tidak dijelaskan perilakunya secara spesifik.

b. Anger out, anger in dan anger control

Spielberger dan beberapa peneliti lainnya mengembangkan

State-Trait Anxiety Inventory, State-State-Trait Anger Scale dan State-Trait Anger

Expression Inventory yang pada akhirnya dapat memperjelas ekspresi

marah. State-Trait Anger Scale membedakan kemarahan seseorang sebagai suatu pernyataan keadaan marah dan sebagai sifat pemarah.


(28)

terdiri dari perasaan subjektif mengenai kemarahan yang bervariasi intensitasnya, dari gangguan (irritate) ringan atau kejengkelan

(annoyance) sampai kemarahan yang kuat dan amukan, bersamaan

dengan aktivasi atau stimulasi sistem saraf otonom. Trait didefinisikan sebagai perbedaan individual dalam frekuensi saat state anger dialami dari waktu ke waktu.(Spielberger & Sydeman, 1994, pp. 302)

Spielberger dan Sydeman (1994) mengukur reliabilitas State-Trait

Anger Scale ini dengan melihat korelasi item dengan State-Trait Anxiety

Scale. Item yang berkorelasi tinggi dibuang sehingga didapatkan

item-item yang hanya mengukur “marah”. Untuk membedakan pengalaman marah dan ekspresi marah dapat dilakukan dengan mengukur state

anger dan mengukur perbedaan individual dalam mengekspresikan state

anger-nya. Ekspresi marah ini diukur dengan Anger Expression Scale

yang terbagi menjadi 3 jenis ekspresi yaitu anger in, anger out, dan

anger control.

Anger in adalah saat seseorang mengalami perasaan marah yang

kuat tetapi ia cenderung menekan perasaan marahnya daripada mengekspresikannya dengan perilaku verbal ataupun fisik. Anger out adalah saat seseorang mengalami perasaan marah yang diekspresikan lewat perilaku agresif, tindakan fisik seperti menyerang orang lain dan secara verbal seperti mengkritik atau menghina. Sedangkan anger


(29)

mengawasi dan mencegah ekspresi kemarahan. (Spielberger, 1985 dalam Spielberger & Sydeman, 1994)

c. Anger in, anger control, ekspresi agresif dan perilaku positif saat

mengungkapkan kemarahan

Walaupun Spielberger telah mengembangkan pemahaman tentang ekspresi marah, namun belum ada skala yang menguraikan ekspresi marah yang positif dan berarah pada pemecahan masalah. Oleh karena itu sebuah penelitian mencoba mengungkapkan hal ini dengan menambahkan beberapa item pada Anger Expression Inventory. Item-item yang ditambahkan berfungsi untuk mengukur perilaku-perilaku positif saat mengekspresikan marah dan membedakan ekspresi marah secara verbal atau fisik. Analisis Key Cluster Variable digunakan untuk menentukan item-item yang dapat dikelompokkan dalam satu cluster tertentu. (Deffenbacher et al., 1996, pp. 579)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Deffenbacher et al. (1996) ditemukan adanya 9 bentuk ekspresi kemarahan. Dua diantaranya sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Spielberger yaitu anger in dan anger control. Berikutnya adalah 4 ekspresi agresif, 2 ekspresi verbal (mengeraskan suara dan berargumen; mengintimidasi dan menyerang secara verbal); 2 perilaku fisik alamiah (perilaku mengancam atau benar-benar menyerang seseorang; menendang, memukul, membanting, dsb. suatu benda). Dua perilaku non-agresif dalam mengekspresikan kemarahan (komunikasi yang tegas mengacu pada permasalahan dan


(30)

secara tepat meninggalkan permasalahan). Bentuk ekspresi yang terakhir adalah mengekspresikan kemarahan secara langsung, tapi tidak menjelaskan tipe responnya (kemarahan mungkin diekspresikan secara langsung, tapi dengan cara agresif atau non-agresif).

2. Ekspresi pengungkapan marah yang terkondisi

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jack (2001) seseorang mengungkapkan emosi marahnya dengan beberapa macam cara. Cara-cara tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran subjek akan reaksi orang lain pada ekspresi kemarahannya.

Jack (2001) mengungkapkan bahwa ketika seseorang membanting pintu (seperti dalam penelitian Deffenbacher et al., 1996) saat ia sedang sendirian akan berbeda maknanya ketika ia membanting pintu di depan orang lain. Sehingga dalam penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Jack (2001) ia mengungkapkan makna dan konsekuensi yang dialami wanita pada ekspresi kemarahannya.

Melalui penelitiannya Jack (2001) menemukan enam pola ekspresi kemarahan. Tiga pola pertama merupakan ekspresi kemarahan yang diungkapkan di dalam hubungan seseorang dengan subjek kemarahannya. Bisa diungkapkan lewat perilaku langsung dan perilaku tidak langsung namun tetap dalam keberadaan objek kemarahan. Tiga pola berikutnya merupakan ekspresi kemarahan yang diungkapkan tanpa keberadaan atau di luar hubungannya dengan objek kemarahan. Perbedaan pola ekspresi


(31)

disebabkan karena seseorang mengharapkan orang lain bereaksi secara berbeda atas ekspresi kemarahannya

Ekspresi kemarahan yang diungkapkan dalam hubungan adalah: pola ekspresi (1) positif dan langsung bertujuan untuk menghilangkan rintangan pada kedekatan atau membenarkan ketidakadilan atau kekerasan dalam suatu hubungan. Sebaliknya pola (2) agresif tidak mencari pemecahan masalah, namun tujuannya adalah untuk menyakiti seseorang atau balas dendam dengan penyerangan secara verbal ataupun fisik. Pola ekspresi (3) tidak langsung bertujuan untuk tetap membawa rasa marah ke dalam hubungan namun tetap tersamar dan tanpa adanya percakapan. Cara ini dilakukan agar seseorang dapat menyangkal kemarahannya ketika dikonfrontasi juga agar dapat menghindari konsekuensi negatif dari ekspresi marah secara langsung.

Hal tersebut terjadi karena adanya kepercayaan bahwa ekspresi marah secara langsung memiliki konsekuensi yang berbahaya, atau dilarang oleh aturan-aturan gender. Pola ekspresi tidak langsung ini dilakukan dengan cara (a) sabotase tersembunyi seperti melupakan apa yang mungkin diminta, menyetujui lalu menolak untuk melakukan apa yang diminta, atau cara apapun yang dapat menyabotase ekspektasi seseorang. Cara lain adalah (b) jarak bermusuhan, biasanya dilakukan dengan diam dan meniadakan komunikasi untuk menyampaikan kemarahan. Perilakunya seperti menarik diri, cemberut atau merajuk, atau memperpendek kalimat. Selain itu (c) pembelokan kemarahan juga


(32)

dilakukan dalam ekspresi kemarahan tidak langsung, yaitu dengan mengarahkan kemarahan kepada orang yang bukan menjadi sumber kemarahan atau mengarahkan kemarahan kepada dirinya sendiri. Ekspresi kemarahan tidak langsung lainnya adalah (d) hilang kontrol. Mengatakan pernyataan seperti “saya sedang PMS”, “saya tidak bermaksud” saat mereka tidak mau mengakui kepemilikan dari ekspresi marah yang mereka ungkapkan. Biasanya ekspresi ini berupa membanting pintu, barang ataupun berteriak, tidak kepada orang lain, tapi di hadapan orang lain.

Ekspresi kemarahan yang diungkapkan ke luar hubungan adalah: (4) Sadar dan konstruktif yaitu saat seseorang merasakan pilihan yang jelas untuk mengekspresikan kemarahan namun mengarahkannya keluar hubungan dengan tujuan yang positif dan membangun. Misalnya saat seseorang mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka ia menggunakan kemarahannya untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib. Pola ekspresi berikutnya adalah (5) eksplosif tapi sendirian merupakan cara untuk melepaskan kemarahan dengan berbagai macam cara seperti berteriak, memukul barang, membanting pintu, menangis namun tanpa adanya kehadiran seseorang. Pola ekspresi yang terakhir adalah (6) membungkam diri yaitu perilaku menyimpan kemarahan dengan menghentikan ekspresi langsung ataupun tidak langsung. Seseorang mungkin menyatakan bahwa “aku baik-baik saja dan aku tidak marah” dengan menunjukkan ekspresi bahagia.


(33)

3. Efek dan konsekuensi pengungkapan kemarahan

Saat seseorang mengungkapkan kemarahannya dengan cara-cara tertentu, maka ia juga akan merasakan efek atas ungkapan marahnya. Sebuah penelitian menggunakan kuesioner untuk memahami perasaan marah menemukan 2 efek dari suatu episode kemarahan, yaitu efek perasaan positif dan efek perasaan negatif. Efek perasaan positif terdiri atas lega, puas, menang, dan bahagia. Efek perasaan negatif terdiri atas jengkel / kesal, bersalah / malu, khawatir, tertekan, sedih, cemas, jijik, bodoh, dan menyesal. (Kassinove et al., 1997)

Penelitian lain yang dilakukan oleh Deffenbacher et al. (1996) mengungkapkan konsekuensi dari ekspresi marah. Konsekuensi tersebut terdiri dari perkelahian fisik, perkelahian verbal, rusaknya persahabatan, kerusakan properti, menyakiti diri sendiri secara fisik, konsumsi minuman keras, emosi negatif, dan pelanggaran hukum.

Seseorang yang mengekspresikan kemarahannya keluar akan lebih mungkin menghadapi konsekuensi seperti perkelahian fisik dan verbal, kerusakan properti, dan rusaknya persahabatan. Secara spesifik, perilaku fisik agresif kepada orang lain lebih memungkinkan seseorang menghadapi perkelahian fisik serta adanya kemungkinan untuk berperilaku melanggar hukum dan mengkonsumsi minuman keras. Sedangkan perilaku agresif fisik terhadap benda akan mengakibatkan kerusakan properti. Perkelahian verbal tentunya lebih berkorelasi dengan ekspresi marah verbal agresif.


(34)

Akan tetapi seseorang yang mengekspresikan kemarahannya ke dalam akan lebih mungkin menghadapi emosi negatif seperti depresi dan rasa malu sebagai konsekuensi kemarahannya. Emosi negatif ini juga menjadi konsekuensi bagi mereka yang mengekspresikan marahnya dengan meninggalkan permasalahan. Ekspresi kemarahan yang terkontrol dan berfokus pada penyelesaian masalah menunjukkan adanya penurunan terhadap semua konsekuensi tersebut.

C. Marah dalam Studi Sosial

Penelitian yang dilakukan oleh van Daalen-Smith (2008) mencoba memberikan pemahaman baru bahwa kemarahan harusnya dianggap sebagai sebuah emosi yang dapat membuat seseorang lebih memahami dirinya. Selama ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa marah adalah dosa, tanda kegilaan, atau sesuatu yang patologis. Begitu juga dengan tanggapan negatif dari lingkungan terhadap kemarahan seseorang, yang akhirnya membuat seseorang menekan kemarahan mereka dan berujung pada pemberian obat antidepresan dan antikecemasan. Diharapkan lewat penelitian ini kemarahan bisa diterima dan disikapi dengan lebih baik.

van Daalen-Smith (2008) melakukan penelitian pada wanita berumur 14-24 tahun dengan latar belakang ras, status, dan kecenderungan seksual yang berbeda. Penelitian ini dilakukan karena semakin meningkatnya pemberian obat antidepresan dan antikecemasan kepada wanita muda atas kemarahan, kesedihan dan kecemasan mereka. Penelitian ini mencoba untuk


(35)

mencari tahu apa yang dialami oleh wanita muda ini sampai-sampai mereka harus dibawa ke dokter dan berakhir dengan obat-obatan untuk mengekang emosi mereka dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan saat mereka dalam keadaan emosional.

Dalam penelitian ini grounded-theory dipilih sebagai metode dan prinsip-prinsip feminis digunakan sebagai panduan penelitian. Data diperoleh dengan melakukan focused group discussion dan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa tekanan, ketidakadilan dan hak-hak yang ditolak menyebabkan mereka merasa marah. Saat mereka menceritakan pengalaman marah tersebut kepada teman, keluarga ataupun orangtua maka kebanyakan respon yang didapat adalah mereka tidak dianggap dan tidak didengarkan. Mengekspresikan dan tidak mengekspresikan kemarahan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi negatif, termasuk didalamnya kehilangan hubungan dan self-silencing sehingga mereka tidak bisa menjelaskan pengalaman marah mereka dan hanya memiliki sedikit pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kemarahan. Dari hal tersebut mereka belajar untuk tidak marah dan hidup seperti bunglon; beradaptasi, membiarkan, mengalihkan, dan menekan diri mereka yang sebenarnya, untuk berbaur agar kemarahan tidak mengarahkan mereka pada penolakan.


(36)

D. Marah dalam Studi Fenomenologi

1. Marah yang dialami secara jasmani

Eatough dan Smith (2006) melakukan penelitian tentang marah dan agresi lalu memutuskan untuk mengubah penelitian tersebut dan berfokus pada pengalaman marah seorang partisipan. Hal ini terjadi karena partisipan tersebut dapat menceritakan pengalaman marahnya secara lengkap dan mendalam. Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana partisipan mengalami dan merasakan kemarahannya, karakteristik apa yang terjadi saat kemarahan berlangsung dan bagaimana pola-pola tersebut berubah ketika terjadi perubahan hidup.

Partisipan penelitian ini adalah wanita berumur 30 tahun, ia tinggal di daerah dengan tingkat kebutuhan sosial dan kriminalitas yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara semi terstruktur dalam jangka waktu 3 minggu dan menghasilkan 4 jam data wawancara. Metode analisis yang digunakan adalah Interpretative Phenomenological Analysis.

Dalam penelitian ini marah merupakan pengalaman “which is lived

through the body”. Partisipan menggambarkan perasaan marah yang kuat

sebagai panas mendidih, amukan, dan berwarna merah. Ia juga merasakan adanya perubahan dalam dirinya ketika ia marah, yaitu ia merasa berubah menjadi pribadi yang liar dan tidak bisa dikendalikan.

Partisipan mengarahkan kemarahan dan agresinya kepada orang-orang di sekitarnya. Ketika partisipan menjadi seorang-orang ibu ia menyadari


(37)

bahwa ia harus lebih dewasa dan bertanggung jawab sehingga ia mengendalikan ekspresi kemarahannya. Maka saat ia merasa marah ia mengekspresikannya dengan menangis dan menarik diri dari situasi yang menyebabkan marah. Akan tetapi perilaku menangis ini juga menandakan adanya rasa frustrasi karena tidak dapat mengekspresikan kemarahannya secara leluasa.

Penelitian Eatough, Smith, dan Shaw (2008) tentang marah secara khusus dan marah yang berkaitan dengan agresi tetap dilanjutkan walau mereka sempat mengubah fokus penelitian. Penelitian ini berfokus pada konteks kehidupan dan dimensi relasi dari perasaan marah dan perilaku agresif. Partisipan penelitian ini adalah 5 orang wanita berumur 28-32 tahun yang hidup di daerah dengan tingkat kebutuhan sosial dan kriminalitas yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur dan dianalisis dengan metode interpretive phenomenology.

Dalam penelitian ini marah dialami sebagai pengalaman jasmani. Saat marah partisipan merasakan hal-hal seperti serangan panas di seluruh tubuh, keadaan sekitar yang terlihat berwarna merah, berkeringat, gemetar, dorongan yang memuncak, dan kekacauan di dalam tubuh. Selain itu kemarahan wanita juga disertai dengan tangisan sebagai tanda ketidakberdayaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengekspresikan marah atau karena merasa dipermalukan. Perasaan marah juga tidak menjadi emosi tunggal namun disertai juga dengan perasaan bersalah, takut dan senang.


(38)

Emosi marah juga dimaknai sebagai penilaian bahwa mereka diperlakukan tidak adil, ada orang yang melanggar peraturan yang mereka miliki dan terancamnya integritas mereka. Penilaian ini memiliki tujuan tertentu dan sudah terbentuk secara kognitif karena sudah melekat lewat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu penilaian ini kadang terlihat dilakukan secara sadar dan reflektif walaupun tidak menutup kemungkinan penilaian ini terlihat spontan dan natural.

Wanita dalam penelitian ini mengekspresikan kemarahannya secara berbeda tergantung dari sumber kemarahannya. Pada orang yang tidak dikenal ekspresi kemarahan berupa agresi fisik secara langsung. Dalam hubungan yang akrab agresi verbal merupakan bentuk yang paling sering digunakan dalam mengekspresikan kemarahan. Agresi tidak langsung dilakukan ketika seseorang merasa lebih lemah daripada objek kemarahannya. Selain itu wanita dalam penelitian ini mengekspresikan kemarahannya dengan berfantasi secara agresif yaitu untuk membunuh objek kemarahan mereka.

Dalam kedua penelitian tersebut marah dialami sebagai pengalaman jasmani. Partisipan menggambarkan perasaan marah yang kuat sebagai panas mendidih, amukan, keadaan sekitar yang terlihat berwarna merah, berkeringat, gemetar, dorongan yang memuncak dan kekacauan di dalam tubuh. Pengalaman ini dimaknai sebagai perubahan diri menjadi pribadi yang liar dan tidak bisa dikendalikan. Pengalaman marah terjadi karena ada orang yang melanggar peraturan yang mereka miliki dan mengancam


(39)

integritas mereka. Kemarahan diekspresikan secara berbeda tergantung dari sumber kemarahannya seperti kedekatan hubungan atau kuat lemahnya sumber kemarahan.

2. Esensipengalaman marah

de Rivera (2006) membentuk esensi pengalaman marah dengan kasus kemarahan miliknya yang kemudian dipertemukan dengan kasus kemarahan partner penelitian sampai kasus tersebut membentuk sebuah esensi yang akurat dan tidak memerlukan revisi lebih lanjut.

Sehingga akhirnya ditemukan esensi marah sebagai berikut :

“anger is one way in which we humans attempt to cope with

the discrepancy between what is and what ought to be . . . . anger is an embodied organic whole that involves a perception of a challenge to what ought to exist and an

impulse to remove that challenge.” (p. 242)

Marah adalah cara manusia untuk mengatasi adanya jarak antara kenyataan yang ada dan apa yang ia anggap seharusnya terjadi. Marah adalah emosi alamiah yang melibatkan persepsi adanya ancaman terhadap apa yang seharusnya terjadi dan dorongan untuk menghilangkan ancaman tersebut.

de Rivera (2006) mengemukakan bahwa marah adalah cara yang dilakukan manusia untuk membuat suatu situasi terjadi sebagaimana yang seharusnya. Menurut Heider (1958) ketika situasi tersebut tidak terjadi sebagaimana yang seharusnya maka seseorang akan mengalami tekanan yang besar. Akan tetapi tekanan ini bukan berasal dari dirinya sendiri.

“. . . it is not a particular somebody that is felt to want or

command people to do x, but some suprapersonal objective order. It may also be experienced as a supernatural being


(40)

Dengan kata lain, ada suatu aturan objektif yang melebihi pribadi orang tersebut atau suatu keberadaan gaib yang melambangkan peraturan objektif tertentu. Akan tetapi keinginan dari suprapersonal objective order ini juga dirasakan oleh orang tersebut, seperti yang dikatakan dalam Heider (1958).

“but the desire has its source, or is located, in only a part of

environment, that is, that part which consists of a person . .

.” (p. 219)

Heider (1958) mengatakan bila ought (harus) adalah sesuatu hal yang diinginkan oleh objective order, maka value (nilai) adalah sesuatu hal yang disukai oleh objective order. Suatu keharusan bisa mengacu pada nilai-nilai tertentu dan bisa juga mengacu pada ukuran pribadi. Oleh karena itu suatu keharusan bisa bersifat lebih pribadi dan situasional dibandingkan nilai-nilai yang mungkin berlaku dalam lingkungan sosial. Nilai akan membuat seseorang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilakunya sesuai dengan keharusan, seperti juga yang dikemukakan oleh Lewin (1944) dalam Heider (1958) bahwa

“. . . the individual does not try to “reach” the values of fairness but fairness is “guiding” his behavior.” (p. 14)

Sebagai contoh, A memegang nilai Kristiani dalam kehidupannya bahwa ia tidak boleh membunuh. Maka A akan mengarahkan perilakunya kepada keharusan untuk tidak membunuh. Akan tetapi A dirampok dan untuk membela diri, A membunuh si perampok. Dalam hal ini keharusan bersifat situasional dan mengacu pada ukuran pribadi.

Menurut de Rivera (2006), perbedaan konsep “nilai” dan “harus” antara setiap orang inilah yang membuat seseorang merasa marah, bahwa


(41)

kemarahan terjadi bukan sekedar karena keinginannya tidak terpenuhi, tapi bahwa orang lain harus bertindak secara berbeda, bahwa ada yang salah tentang aturan dasar suatu keberadaan tertentu dan perlu dibenarkan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keharusan ataupun nilai yang dimiliki seseorang akan mengarahkan perilakunya dan juga membuatnya mengarahkan perilaku orang lain sesuai keharusan ataupun nilai yang ia miliki. Menurut de Rivera (2006) cara yang digunakan seseorang agar orang lain bertindak sesuai apa yang ia inginkan adalah marah.

Akan tetapi menurut de Rivera (2006) konsep “harus” tidak bisa diterapkan kepada semua orang. Konsep ini hanya bisa diterapkan kepada orang-orang dalam satu unit tertentu. Unit bisa terdiri dari dua orang atau sekelompok orang seperti teman, pasangan, keluarga, sekumpulan orang di dalam bis, seluruh warga negara dan lain sebagainya. Unit ini bisa terbentuk apabila orang-orang di dalamnya memiliki satu set nilai yang sama. Oleh karena itu orang yang marah merasa ia memiliki pengaruh tertentu terhadap orang lain karena orang tersebut dialami sebagai satu unit dengannya dan berbagi nilai yang sama.

Seseorang bisa merasa marah ketika “keharusan” dilanggar oleh orang lain yang berada dalam unit-nya namun ada kalanya perasaan marah tidak muncul akibat kejadian tersebut. de Rivera (2006) menganggap hal ini terjadi karena orang tersebut dianggap sebagai “tidak bertanggung -jawab” atas perilakunya (misalnya karena mabuk, gila, masih anak kecil),


(42)

status orang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penantang (misalnya orang asing, wanita, berbeda kasta) dan karakter orang lain dianggap tidak kuat untuk menjadi anggota unit (misalnya tidak tulus, tidak menyenangkan, atau tidak mampu).

E. Marah dalam Kekristenan

Dalam hidup bermasyarakat ada aturan-aturan tertentu yang digunakan agar kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan baik. Begitu juga kehidupan beragama, setiap agama memiliki aturan moral tertentu yang mengatur hal mana yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Aturan ini diperlukan agar setiap manusia tidak mengikuti kemauannya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. (Geyer & Baumeister, 2005)

Menurut Maximus Confessor kehidupan seorang Kristiani dimaksudkan untuk menjadi serupa dan segambar dengan Tuhan melalui sebuah proses panjang yang meliputi semua aspek kehidupan. Proses tersebut meliputi gaya hidup tertentu yang berlawanan dengan kemampuan alamiah seseorang. Gaya hidup ini disesuaikan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh Tuhan yang pada akhirnya akan membebaskan seseorang dari nilai-nilai yang merusak dan membuat seseorang mampu mengembangkan diri sesuai potensinya masing-masing. Selain itu, seseorang akan menjadi cerminan Tuhan dalam perilakunya namun hal tersebut diperoleh atas kerja sama seseorang dengan Tuhan dan pemberian dari Tuhan. (Nelson, 2009)


(43)

Proses tersebut meliputi semua aspek kehidupan seseorang termasuk kehidupan sosialnya. Setiap orang memiliki cara pandang masing-masing dan hal ini potensial menimbulkan konflik. Oleh karena itu ada aturan-aturan yang dibuat agar seseorang dapat mengontrol dirinya sedemikian rupa agar apa yang ia lakukan memenuhi aturan-aturan yang berlaku. Kemarahan juga merupakan tanda bahwa seseorang kehilangan kontrol diri. (Geyer & Baumeister, 2005)

Kemarahan merupakan tanda seseorang kehilangan kontrol diri terhadap aturan yang berlaku, hal ini didukung oleh apa yang diungkapkan Emmons (2005). Ia mengungkapkan bahwa kebanyakan gereja sekarang ini menekankan pengolahan emosi-emosi positif dan pengembangan ketenangan emosional. Kemarahan juga dianggap sebagai keinginan yang tidak tepat dan berhubungan dengan dosa (Geyer & Baumeister, 2005)

Dapat disimpulkan bahwa dalam hidup seorang Kristiani ia berproses untuk memiliki dan melakukan nilai-nilai yang tergambarkan dari Tuhannya. Akan tetapi dalam prosesnya ia harus berhubungan dengan orang lain dan berpotensial menimbulkan kemarahan. Di saat yang bersamaan kemarahan adalah sesuatu yang dianggap sebagai dosa dan berlawanan dengan gambaran Tuhan.

Selain itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dalam kegiatan religius atau spiritual tertentu dapat menyebabkan kesehatan seseorang menjadi lebih baik. Hal ini terjadi karena ada beberapa mekanisme yang membantu seseorang mengurangi tingkat stress yang ia


(44)

alami ataupun mekanisme yang berdampak langsung pada kesehatan seseorang. Mekanisme tersebut adalah anjuran untuk berperilaku sehat, meningkatkan keadaan psikologis yang positif, strategi coping permasalahan yang efektif dan adanya dukungan sosial. Mekanisme ini mungkin terjadi secara bersamaan dan sebagian terjadi secara tumpang tindih. (Oman & Thoresen, 2005)

Salah satu mekanisme yang berhubungan dengan emosi marah adalah ketika kegiatan religius atau spiritual mempengaruhi keadaan psikologis seseorang. Dalam hal ini kegiatan religius atau spiritual membantu seseorang mengurangi rasa marahnya sehingga ia mengurangi kemungkinan mengalami penyakit-penyakit cardiovascular. (Oman & Thoresen, 2005)

F. Pertanyaan Utama

Bagaimana seorang Kristiani mengalami pengalaman marah? Apa yang mereka alami ketika mereka merasakan marah namun tidak bisa mengungkapkannya karena adanya aturan tertentu dalam ajaran Kristiani? Selanjutnya apa makna pengalaman marah bagi mereka?


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Karakteristik utama dari metode ini adalah pengumpulan data yang diambil pada seting alamiah dan menghasilkan analisis data berupa pola-pola atau tema-tema yang menggambarkan kompleksnya interaksi faktor-faktor dalam sebuah situasi yang diteliti (Creswell, 2007). Dengan kata lain pengumpulan data berupa laporan verbal naturalistik seperti transkrip wawancara; dianalisis secara tekstual sehingga didapatkan persepsi, pemahaman, atau pemaknaan partisipan mengenai suatu fenomena yang diteliti (Smith, 2009).

Penelitian fenomenologi mencoba mengungkap apa yang dialami oleh seseorang secara sadar. Untuk melihat pengalamannya sebagai orang pertama dalam suatu permasalahan, mengenai keterkaitan permasalahan tersebut dengan hal-hal lain dalam hidupnya sehingga membentuk suatu makna dan pemahaman pada permasalahan tertentu yang sedang diteliti. Oleh karena itu diperlukan deskripsi pengalaman dari orang yang mengalami pengalaman tersebut. Deskripsi ini berupa data wawancara yang akan menghasilkan suatu makna dan pemahaman melalui proses analisis data. (Smith, 2009)

Analisis yang digunakan adalah deskriptif fenomenologis (Descriptive

Phenomenology). Tujuan dari analisis ini adalah mendeskripsikan pengalaman

yang dialami oleh kebanyakan orang, mereduksi pengalaman individual sehingga didapat esensi dari pengalaman tersebut (Creswell, 2007). Deskripsi


(46)

dari esensi pengalaman ini adalah mengenai apa yang dialami oleh seseorang dan bagaimana mereka mengalami suatu pengalaman tertentu (Moustakas, 1994).

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini menggambarkan pengalaman marah orang Kristiani. Pengalaman ini merupakan peristiwa yang disadari: peristiwa yang dialami, dijalani, bisa juga bertentangan dengan apa yang dibayangkan atau dipikirkan oleh seseorang. Pengalaman juga bisa diartikan sebagai isi dari kesadaran saat ini. Kesadaran ini termasuk reportable ideas, inner speech, intentions to act,

recalled memories, emotional feelings dan lain sebagainya. Secara umum isi

dari kesadaran ini dapat dikaji melalui laporan suatu peristiwa secara akurat. (VandenBos, 2007)

Fokus penelitian ini adalah memberikan suatu gambaran mengenai apa yang dialami dan bagaimana seorang Kristiani mengalami perasaan marah. Gambaran ini akan didapat dengan melihat pertentangan yang dialami orang Kristiani mengenai apa yang mereka alami tentang kemarahan dan apa yang mereka pikirkan sebelumnya. Selain itu gambaran ini juga mungkin didapat dengan menaksir isi kesadaran mereka saat mengalami perasaan marah.

Dalam penelitian ini orang Kristiani yang dimaksud adalah orang yang sudah menjadi Kristen lewat proses pembabtisan dan melayani gereja Tuhan dalam bentuk pelayanan apapun. Pelayanan ini dilakukan secara sukarela sesuai dengan pilihan atau bakat yang dimiliki seseorang. Adapun pelayanan


(47)

tersebut diantaranya adalah sebagai pemimpin pujian, pemain musik, pemuji, pembawa kantong persembahan, penari, pendoa, petugas untuk mengunjungi orang sakit, konselor, penyambut jemaat dan lain-lain.

C. Latar Belakang Peneliti

Peneliti adalah seorang Kristiani. Dalam kehidupan sehari-hari juga sering berhubungan dengan situasi yang membuat marah. Sebelum menekuni ajaran Kristiani peneliti sering harus berhadapan dengan emosi marah, baik dari intensitas dan frekuensi yang tinggi juga pengungkapan emosi marah yang cenderung verbal agresif. Setelah menekuni ajaran Kristiani peneliti mengalami perubahan dalam menghadapi situasi yang biasanya memicu kemarahan. Peneliti merasakan bagaimana kemarahan yang agresif adalah hal yang tidak berguna. Walaupun demikian, dalam beberapa kasus tertentu peneliti tetap ingin melampiaskan emosi namun kembali teringat untuk mengampuni dan mengasihi. Maka peneliti terus berusaha untuk menjalankan ajaran tersebut, walau pada beberapa hal masih perlu berlatih untuk mengungkapkan marah dengan cara yang positif dan membangun.

Pengalaman ini menarik perhatian peneliti, dengan berbagai macam perasaan yang muncul dihubungkan dengan ajaran Kristiani untuk mengendalikan rasa marah dan tidak cepat untuk mengungkapkannya. Kedekatan dengan ajaran Kristiani diharapkan dapat mempermudah pemahaman peneliti akan pengalaman marah yang dialami oleh partisipan.


(48)

Selain itu juga mempermudah peneliti untuk mendapatkan partisipan yang sesuai dengan penelitian ini.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah wanita Kristiani yang sudah dibabtis secara Kristiani dan melayani di gereja Tuhan. Partisipan merupakan teman dari peneliti. Empat orang partisipan ini dipilih karena partisipan sering terlibat dalam kegiatan gereja bersama peneliti dan cukup mengenal mereka secara pribadi lewat cerita ataupun kesaksian hidup mereka. Kegiatan gereja ini bisa berupa melayani bersama dalam ibadah hari minggu, persekutuan doa, dan rapat sesama pelayan Tuhan. Oleh karena itu peneliti sudah cukup mengenal mereka dan mengetahui bagaimana mereka mempraktekan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan mereka.

Menurut penelitian sebelumnya, usia seseorang tidak begitu mempengaruhi ekspresi, frekuensi dan intensitas kemarahan seseorang. Schieman (1999) menemukan bahwa hal yang mempengaruhi marah adalah keadaan psikososial dan lingkungan struktural yang dialami secara berbeda pada umur yang berbeda. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Thomas (2002) yang menyatakan bahwa wanita lebih sering marah di rumah daripada pria. Selain itu ia juga menemukan bahwa wanita berumur 20an-30an lebih sering marah di tempat kerja.


(49)

Selain itu, pemilihan wanita sebagai partisipan penelitian dalam penelitian ini didasari oleh kelebihan wanita dalam menjelaskan pengalaman mereka dibandingkan pria. Perbedaan ini diperoleh oleh peneliti lewat percobaan wawancara terhadap pria. Pemilihan wanita sebagai subjek penelitian dianggap tidak mempengaruhi kualitas pengalaman marah yang dialami. Hal ini didukung oleh penelitian Deffenbacher (1996) bahwa pria dan wanita marah kepada hal-hal yang mirip dengan tingkat kemarahan yang mirip, mengekspresikan kemarahan dengan cara yang hampir sama, dan menerima konsekuensi yang juga hampir sama.

2. Pertanyaan penelitian

a. Ceritakan pengalaman yang paling membuatmu marah.

b. Apa yang ingin kamu lakukan pada sumber kemarahanmu?

c. Sebenarnya apa yang kamu harapkan dari sumber kemarahanmu?

d. Kenapa saat itu kamu memutuskan untuk marah?

e. Apakah ada perasaan lain selain dari perasaan marah pada saat itu?

f. Apa yang kamu pikirkan saat itu?

g. Kira-kira apa pendapat orang lain di sekitarmu (jika ada)?

h. Kira-kira apa pendapat objek kemarahanmu?


(50)

3. Setting penelitian

Peneliti melakukan pengambilan data di tempat yang berbeda-beda sesuai kesepakatan dengan partisipan. Pengambilan data pada partisipan tertentu dilakukan lebih dari satu kali karena adanya kekurangan pada wawancara pertama. Perbedaan tempat pengambilan data dinilai tidak mempengaruhi data yang dihasilkan karena proses wawancara tidak diganggu oleh keberadaan orang lain, sehingga partisipan dan peneliti berkonsentrasi hanya kepada wawancara tersebut.

Pengambilan data dari partisipan pertama dilakukan di ruang tunggu gereja dan ruang make-up gereja. Pada awalnya partisipan pertama sedikit bingung untuk memulai bercerita karena menurutnya ia orang yang jarang marah sampai akhirnya ia ingat pengalaman marahnya kepada ayahnya. Saat bercerita ia terlihat sedih karena tidak bisa mengendalikan kemarahan kepada ayahnya, terlihat dari matanya yang berkaca-kaca.

Partisipan kedua menjalani satu kali pengambilan data yang dilakukan di rumah partisipan. Partisipan kedua bercerita dengan cukup lancar dan dapat dengan mudah menjawab serta menjelaskan pengalaman marahnya atas setiap pertanyaan peneliti.

Wawancara partisipan ketiga dilakukan di kost partisipan dan salah satu ruangan di gereja. Partisipan ketiga adalah orang yang cukup pendiam. Ia bercerita dengan suara yang pelan dan lirih. Terkadang ia juga bingung dalam menjawab pertanyaan peneliti, sehingga peneliti perlu mengulang pertanyaan. Partisipan juga tampak tertegun dengan jawaban-jawaban yang


(51)

ia berikan, ia tampak sedikit merenungkan jawabannya sebelum melanjutkan ceritanya.

Sedangkan partisipan keempat menjalani pengambilan data di ruang make-up gereja. Partisipan keempat sangat antusias dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Ia bercerita tentang pengalamannya secara tegas dan sama sekali tidak meragukan jawabannya. Saat ia bercerita tentang bagaimana ia mencubit anaknya karena marah, ia terlihat sedih dan sangat menyesal.

4. Jenis data

Data diambil dengan menggunakan proses wawancara semi terstuktur. Data awal wawancara berupa rekaman dalam bentuk mp3 yang kemudian diubah ke dalam bentuk verbatim.

E. Prosedur Analisis Data

Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan menggunakan analisis tematik. Analisis tersebut meliputi proses berikut ini :

1. Membaca deskripsi

Setelah data wawancara dalam bentuk mp3 diubah dalam bentuk verbatim, maka peneliti membaca verbatim wawancara / deskripsi secara berulang-ulang. Hal ini bertujuan agar peneliti mendapatkan pemahaman secara menyeluruh tentang deskripsi (Smith, 2009). Pemahaman menyeluruh ini memberikan gambaran mengenai pengalaman partisipan sehingga mempermudah peneliti untuk menentukan pengalaman mana yang


(52)

relevan ataupun tidak relevan dengan penelitian. Selain itu pemahaman ini diperlukan agar peneliti dapat mengelompokkan kalimat-kalimat wawancara dalam makna-makna yang berbeda

2. Konstitusi deskripsi

Setelah peneliti memahami data wawancara maka pada pembacaan berikutnya peneliti memberikan tanda berupa garis miring setiap kali menemukan perubahan makna. Setiap perubahan makna disebut unit makna. (Smith, 2009)

3. Transformasi

Transformasi dilakukan untuk mengeksplisitkan makna pengalaman dari setiap unit makna (Smith, 2009). Selanjutnya makna pengalaman ini disebut tema. Dalam melakukan transformasi peneliti membuat 3 kolom, kolom pertama di sebelah kiri berisi unit makna, di kolom kedua yang berada di tengah peneliti menuliskan parafrase cerita partisipan (unit makna), kolom ketiga yang berada di bagian paling kanan berisi eksplikasi pengalaman atau inti pengalaman dari unit makna.

4. Kategorisasi

Kategorisasi dilakukan dengan mengelompokkan tema-tema yang serupa sehingga menjadi satu kesatuan dengan makna yang sama. Kategori ini dibuat untuk mempermudah peneliti membuat deskripsi tekstural.

a. Kategorisasi per partisipan

Data deskripsi akan menghasilkan beberapa tema. Tema yang memiliki kesamaan dikelompokkan menjadi sebuah kategori.


(53)

b. Kategorisasi seluruh partisipan

Dalam proses ini peneliti menggabungkan kategori yang muncul dari setiap partisipan. Selain itu, penggabungan ini memunculkan insight baru pada setiap deskripsi sehingga perubahan unit makna ataupun tema mungkin terjadi.

5. Deskripsi tekstural

Berdasarkan kategori yang muncul dari data setiap partisipan, maka peneliti menyatukan unit makna dan tema-tema yang relevan serta memasukkan contoh-contoh verbatim. Kategori-kategori ini menggambarkan proses pengalaman yang diteliti sehingga dapat dibentuk menjadi deskripsi pengalaman partisipan yang pada penulisannya juga disertakan kalimat-kalimat partisipan sebagai pendukung deskripsi. Hal ini disebut a description of the textures of the experience. (Moustakas, 1994) 6. Deskripsi struktural

Deskripsi struktural berisi faktor-faktor pokok dan penyebab yang berhubungan dengan pengalaman yang dijelaskan. Deskripsi ini didapatkan dengan melakukan Imaginative Variation yaitu mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, memvariasi kerangka acuan, menggunakan aspek-aspek yang bertentangan dan perubahan suatu aspek ke arah yang bertentangan, dan mendekati fenomena dari perspektif yang berbeda, posisi yang berbeda, peran, atau fungsi. (Moustakas, 1994)

Dengan kata lain peneliti mencoba menghubungkan kejadian-kejadian yang dialami oleh partisipan dalam pengalaman yang diteliti. Akan tetapi


(54)

tidak terlepas dari pemikiran mengenai apa yang mungkin akan dialami oleh partisipan apabila dihadapkan dengan pengalaman yang sama.

7. Deskripsi tekstural-struktural

Deskripsi tekstural-struktural berisi pernyataan menyeluruh mengenai makna pengalaman yang didapat dari integrasi intuitif deskripsi tekstural dan struktural. (Moustakas, 1994)

Dalam deskripsi ini peneliti mengajukan esensi pengalaman partisipan sebagai salah satu contoh pengalaman universal (marah) dalam kerangka Kristiani.

F. Kredibilitas Penelitian

Kualitas penelitian kualitatif dapat diketahui dengan melihat kredibilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas (Poerwandari, 1998). Kredibilitas adalah keberhasilan suatu penelitian mencapai maksudnya menggambarkan sebuah masalah mulai dari setting, proses, dan interaksi diantaranya. Dalam penelitian ini digunakan validasi komunikatif, dilakukan dengan mengkonfirmasi hasil analisis kepada partisipan penelitian. Peneliti menyatakan kepada setiap partisipan bahwa hasil analisis yang akan mereka baca adalah hasil analisis dari 4 orang partisipan yang tergabung dalam penelitian ini. Peneliti meminta mereka membaca hasil analisis, menanyakan apakah hasil analisis ini menggambarkan apa yang mereka alami dan meminta masukan apabila ternyata ada hasil yang tidak sesuai dengan pengalaman mereka. Setelah membaca hasil analisis tersebut, semua partisipan menyatakan bahwa hasil tersebut sesuai dengan pengalaman yang mereka alami.


(55)

Dependabilitas memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam suatu masalah yang diteliti, termasuk hasil pemahaman yang sudah diteliti. Dependabilitas dalam penelitian ini dilihat melalui 2 hal yaitu koherensi dan diskursus. Koherensi terlihat dari metode kualitatif dengan analisis deskriptif fenomenologi yang dapat menjelaskan pengalaman marah orang Kristiani. Koherensi ditunjukkan dari kecocokan antara deskripsi hasil dan kategorisasi pada bab selanjutnya. Sedangkan diskursus ditetapkan dari diskusi hasil dan proses penelitian yang dilakukan dengan dosen pembimbing penelitian.

Konfirmabilitas yang dimaksudkan adalah transparansi dari penelitian untuk memastikan objektivitas. Oleh karena itu peneliti menyajikan seluruh proses dan elemen-elemen yang terkait. Hal ini dilakukan agar pihak lain dapat melakukan penilaian terhadap penelitian ini.

G. Sistematika Pelaporan

Pada bab selanjutnya akan dipaparkan hasil dari penelitian ini. Penjelasan akan dimulai dari hasil penelitian per partisipan. Penjelasan ini meliputi sedikit latar belakang kehidupan sehari-hari dari partisipan, berupa konteks kemarahan dan kehidupan ke-Kristenan. Lalu dilanjutkan dengan kategorisasi tema dan deskripsi tekstural dari masing-masing partisipan. Deskripsi tekstural merupakan penggabungan dari unit makna dan tema-tema yang relevan serta contoh-contoh verbatim (Moustakas, 1994) yang tergambar prosesnya melalui kategorisasi. Selanjutnya peneliti menyertakan gabungan deskripsi tekstural


(56)

dari semua partisipan untuk mempermudah pemahaman tentang keseluruhan pengalaman dari setiap partisipan.

Bagian berikutnya adalah deskripsi struktural. Deskripsi struktural berisi faktor-faktor pokok dan penyebab yang berhubungan dengan pengalaman yang dijelaskan. Bagian terakhir merupakan deskripsi tekstural-struktral. Deskripsi tekstural-struktural berisi pernyataan menyeluruh mengenai makna pengalaman yang didapat dari integrasi intuitif deskripsi tekstural dan struktural. (Moustakas, 1994)


(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Sarah

1. Latar belakang Sarah

Sarah berusia 35 tahun dan berstatus belum menikah. Saat ini ia tinggal berdua bersama ayahnya, ibunya sudah meninggal dan adiknya sudah menikah. Sarah memiliki usaha warung di rumahnya yang dijaga oleh ayahnya. Sedangkan ia bekerja di toko adiknya. Sarah sudah menjadi seorang Kristiani sejak ia berumur 28 tahun dan sudah melayani di gereja selama 4 tahun terakhir, saat ini Sarah menjabat sebagai ketua salah satu tim pelayanan di gereja. Sarah aktif dalam melayani pada ibadah hari minggu, sebagai ketua salah satu tim pelayanan Sarah selalu memimpin rapat yang diadakan sekitar 1 minggu sekali. Dalam rapat tersebut Sarah sering membagikan visi untuk memajukan tim pelayanan tersebut, Sarah juga sering membagikan refleksi firman Tuhan yang ia dapat dalam kehidupannya sehari-hari.

Kemarahan yang Sarah sering alami adalah ketika ia menghadapi ayahnya yang sulit berhenti merokok. Menurut Sarah ayahnya tidak boleh merokok karena ayahnya adalah seorang Kristiani dan juga karena kesehatan ayahnya yang memburuk akibat rokok. Selain kepada ayahnya Sarah sulit untuk mengungkapkan kemarahannya.


(58)

2. Kategorisasi Sarah

Berikut ini adalah kategorisasi yang didapat melalui proses pembacaan data wawancara, konstitusi, dan transformasi. Tema-tema serupa pada kolom sebelah kanan membentuk kategori pada kolom di sebelah kiri.

Kondisi yang menyebabkan marah

Marah kepada orang yang melanggar peraturan, Lelah dan buru-buru, Tidak mau berhenti merokok sama sekali, Marah karena ayah merokok, Ayah merokok, Rokok membahayakan, Merokok tidak baik, Perbuatan terus menerus, Kesalahan terus menerus Pencegahan pengulangan

kejadian yang tidak disukai

Berjuang agar ayah tidak merokok, Menasehati ayah, Mau menggantikan ayah merokok, Mendoakan ayahnya, Usaha memberikan alternatif pengganti rokok, Ayah menuruti nasehat P1, Usaha kurang berhasil, Usaha belum berhasil, Usaha sia-sia, Menyemangati ayah untuk tidak merokok, Menasehati ayah, Menasehati dengan santai

Perasaan ketika pencegahan tidak berhasil

Bingung dan kesal karena usaha tidak berhasil, Jengkel karena nasehat diabaikan, Geregetan ketika ayah merokok dan tidak bisa benar-benar lepas dari rokok

Perasaan saat marah Sebal, lelah, sedih, menangis, Marah saat tidak sabar

Mengungkapkan kemarahan dengan komunikasi non-verbal

Memberikan peringatan, Menanggapi dengan keras, Menaikkan nada bicara, Menyatakan rasa tidak percaya, Mencereweti ayahnya

Setelah marah Introspeksi diri, Menangis, Merasa tidak bisa melayani dengan baik, Berusaha melayani dengan baik, Menyesal karena marah, Menyesal karena tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya marah, Tidak betah di rumah

Pikiran yang mengacu pada permasalahan

Tidak mau memperpanjang masalah, Masalah tidak penting, Tanggung jawab pribadi, Malas memberikan


(59)

tanggapan, Ujian hati, Rasa tidak percaya kepada ayah

Cara untuk mengendalikan marah, Menyetop kemarahan, Tidak marah ketika masalah masih bisa diselesaikan dan tidak merugikan ayahnya, Takut akan akibat dari kemarahan yang berlebih, Ingin tahu cara mengendalikan marah, Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan Pikiran yang mengacu pada nilai

Kristiani

Godaan iblis, Ingin ayah hidup sesuai ajaran Kristen, Marah itu boleh, Ingin hidup sesuai firman

Pengungkapan kemarahan kepada orang terdekat

Tidak mengungkapkan marah kepada orang yang ia anggap belum dewasa, Marah kepada orang yang dekat secara emosional, Tanggung jawab untuk merawat ayah, Marah karena sayang, Tidak ingin ada hal buruk terjadi, Sayang dan peduli, Bos yang berhak untuk marah, Sayang dan ingin yang terbaik untuk ayah

Dukungan sosial Dukungan untuk menasehati ayah, Menceritakan kesedihan, Larangan dokter untuk berhenti merokok, Larangan dokter

Perasaan sebelum marah Sedih

3. Deskripsi tekstural Sarah

Sarah mengalami perasaan marah ketika ada orang lain yang melanggar peraturan. Saat pelanggaran terjadi satu kali, Sarah mungkin tidak langsung mengungkapkan marahnya, ia memendamnya dan memberikan peringatan atau melakukan usaha tertentu agar pelanggaran tidak terjadi lagi. “. . . uda tak uda di apa kayak di nasehatin gitu . . . . aku cuman bilang besok lain kali jangan kayak gini ya . . . . kasih berbagai macam buah, jadi kalo meh ngerokok wis makan itu. . .” “. . . sekali ya udah, ya udah, ya aku gak marah, tapi mungkin entah kapan kalo salah-salah


(60)

terus. . .” Kesalahan yang berulang membuat Sarah mulai menyatakan rasa tidak percaya dan menaikkan nada bicara; perasaan sedih, bingung dan jengkel ketika usaha yang dilakukan gagal; ditambah aktivitas Sarah yang padat dan melelahkan membuat ia mengungkapkan kemarahannya. “. . . aku tu kalo marah tu cerewet, cerewetnya lama banget tu lo. . .”

Sarah hanya bisa mengungkapkan kemarahan kepada orang yang ia sayang. “. . . kalo kayak sama papahku kenapa aku bisa marah karena aku sayang dan aku tau itu gak bagus, tapi kalo sama orang lain mungkin aku ndak sayang, itu pa ya jawabannya mungkin, jadi aku gak marah. . .” Selain itu anggapan bahwa orang lain belum dewasa, pandangan bahwa ada orang yang lebih berhak untuk marah dan situasi saat Sarah sedang pelayanan membuat Sarah tidak mengungkapkan kemarahannya.

Sarah menangis karena ia sedih dan lelah akibat beban permasalahan yang membuatnya marah. Ia juga menangis mengintrospeksi diri tentang kejadian yang membuat marah dan menyesal karena mengungkapkan kemarahannya. “. . . iblis ki kok ya ngerti lo kelemahanku tu dimana gitu lo, mesti wis aku tu gak bisa e, apa mengendalikan tu lo. . .” Sarah menyesal karena tidak bisa mengendalikan diri sesuai firman Tuhan.


(61)

B. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Hanna

1. Latar belakang Hanna

Data wawancara diambil saat Hanna belum menikah. Hanna berumur 24 tahun. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Sekarang ia sudah melayani selama 3 tahun sebagai pemuji dan penyambut jemaat di salah satu gereja di Yogyakarta. Selain itu pekerjaan sehari-hari subjek adalah ibu rumah tangga. Selain melayani di gereja Hanna juga terlibat dalam kegiatan gereja sebagai pemimpin sebuah persekutuan doa. Seorang pemimpin dalam persekutuan doa ini diwajibkan untuk memuridkan anggotanya untuk semakin memahami ajaran Kristiani, pemimpin juga bertugas untuk memimpin doa dan pujian serta membagikan refleksi firman yang didapat hari minggu dan refleksi firman yang didapat setiap hari.

Hanna mengalami perasaan marah kepada temannya yang melanggar komitmen yang sudah mereka buat bersama, saat itu Hanna mengalami intimidasi iblis untuk melampiaskan emosinya akan tetapi Hanna mampu mengendalikan diri. Pengalaman marah yang lain adalah ketika berelasi dengan pasangannya, banyak proses yang harus dilalui agar mereka bisa sepakat dalam banyak hal. Kepada pasangannya Hanna cenderung mengungkapkan kemarahannya namun menyesal apabila ungkapan marahnya berupa kata-kata kutuk.


(1)

nggak bakal selesai-selesai jadi ya lebih ke itunya sih lebih nggak mau memperparah keadaan aja


(2)

D. Koding Debora

1. Paling marah ya,,paling marah itu,,apa ya,,saat ada satu keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang aku rasa itu benar gitu lo,,

Marah ketika ada hal yang tidak sesuai dengan pemahaman yang benar menurut P4

Tidak sesuai dengan apa yang benar

2. itu yang buat mungkin geregetan mungkin marah dan nggak terima, Saat marah P4 merasa geregetan dan tidak adil

Geregetan dan merasa tidak adil

3. ingin meluruskan kenapa ya kok kayak gini,,hal-hal yang nggak bener ini terjadi nah kayak gitu.

Ingin menjadikan benar sesuatu hal yang salah

Menjadikan benar 4. ya saat-saat tertentu aku menahan diri ada saat-saat tertentu saat

harus marah ya aku marah,

P4 tidak selalu

mengungkapkan

kemarahannya, tergantung situasi

Tidak selalu

mengungkapkan kemarahannya 5. kalo saat ini aku kan punya anak-anak ni,kalo anak-anak

orang-orang terdekat aku,,kan yang sering berhubungan sama aku yang sering berinteraksi sama aku,nah mungkin mereka yang sering berinteraksi sama aku mereka kedapatan aku harus marah sama mereka sama anak-anak aku harus marah sama mereka ya aku marah nah kayak gitu.

Marah kepada orang yang sering berinteraksi dengannya,seperti anak-anaknya

Marah kepada orang yang sering berinteraksi dengannya

6. Kadang-kadang aku tu sadar ya, kita kan ya manusia ya to,,kadang kita tu cape kita tu emosi nah,

Merasa marah saat lelah Lelah 7. satu hal yang aku selalu warning, selalu tak pegang adalah aku tahu

batasan oo ini aku marahnya sama emosi aku tau anaknya aku salah dan aku harus marah tapi saat bener-bener itu aku emosi, aku pasti nggak marah,,

Tidak marah untuk

melampiaskan emosi

Tidak melampiaskan emosi

8. aku bener-bener harus menahan diri, aku pergi kemana kek, mengurung di kamar 5 menit atau apa,,bener-bener aku duduk diem

Pergi sejenak untuk

mengendalikan /

Pergi menghilangkan kemarahan


(3)

sampe marahnya hilang sampe emosinya hilang menghilangkan kemarahan 9. sudah itu aku keluar lagi baru aku marah sama anak-anak. Setelah emosi hilang, P4

menyampaikan hal yang membuatnya marah

Marah tidak

melampiaskan emosi 10. Marah,,aku omongin baik-baik satu kali, omongin baik-baik dua

kali, tiga kali, aku selalu bilang sama anak-anak gini, kalo mama sudah ngomong sampe 3 kali dan kamu tetep melakukan hal itu mama mau bentak kevin, nah kayak gitu, mungkin aku ngomong nadanya semakin tinggi dan sebagainya nah kalo mereka tetep nggak nurut pasti aku kasih konsekuensi, konsekuensinya kevin nggak boleh main game satu jam, kevin nggak boleh apa,,

Marah pada perbuatan yang berulang

Perbuatan yang berulang / berusaha menasehati

Mengkomunikasikan

marah dengan

membentak dan nada bicara yang semakin tinggi

11. Kalo aku rasa aku bener dan aku nggak emosi aku nggak akan merasa bersalah nggak akan merasa apa karena ya saat itu aku memang harus marah

Tidak menyesal apabila marah yang diungkapkan bukan suatu pelampiasan

Tidak menyesal bila marah membangun 12. Karena aku tau, kalo marahnya aku keluarin itu nggak bener,

kadang-kadang kan marah gara-gara,,marah itu apa ya,,ini satu pelajaran penting gitu,,pernah lah aku keceplosan marah dengan emosi pasti hasilnya nggak baik gitu lo,,anaknya sakit hati aku juga nyesel,nah itu tak jadiin pelajaran bahwa aku nggak akan pernah kayak gitu lagi,,jangan sampe kayak gitu, bener-bener dihindari,

Menghindari marah yang berupa pelampiasan emosi karena berdampak tidak baik bagi orang sekitar dan juga penyesalan bagi diri sendiri

Menyesal bila marah melampiaskan emosi

13. nek aku lagi mau emosi sama anak-anak dan aku tau itu ada emosinya bener-bener aku harus gimana caranya untuk calm down dulu, di kamar atau dimana aku keluar dulu atau aku diem sama anak ini, aku mening nggak ngomong apa-apa daripada aku ngomong tapi itu nggak murni marah yang baik nah kayak gitu.

Menenangkan diri saat marah, agar marah yang diungkapkan adalah marah yang baik

Menenangkan diri agar dapat marah dengan baik


(4)

tapi marah yang baik adalah marah untuk memperbaiki sesuatu untuk menanamkan sesuatu.

untuk

memperbaiki/menanamkan sesuatu

marah yang

membangun 15. Marah yang nggak baik adalah marah yang merusak sesuatu

merusak tu contohnya tanpa sadar mungkin perkataan ku menyakitin mereka, itu kan merusak sesuatu jadi marahnya aku kan gak sehat gak murni,nek aku mau marah pasti aku berfikir saat aku marah ini memperbaiki apa ya nah itu dia.

Marah yang tidak baik adalah marah yang merusak dan hanya menyakiti orang lain bukan memperbaiki

Marah yang tidak baik adalah yang menyakiti orang lain

16. Nah waktu itu pastilah aku marah ni sama anak, sama anak-anak sampe aku cubit pantatnya pernah sampe aku pukul pantatnya pernah nah saat itu mungkin marahnya aku tu juga gara-gara aku lagi capek, juga lagi banyak pikiran, ya kan kadang-kadang kayak gitu nah waktu itu anak memang salah dan aku dalam keadaan capek, nah aku marah aku emosi dah marah anak nangis dah kan,,

Marah yang melampiaskan emosi terjadi ketika P4 sedang lelah dan banyak pikiran

Lelah dan banyak pikiran

Memarahi dengan hukuman fisik

17. kita terus diem aku pasti diem dulu, diem, Diam Diam

18. akhirnya ya sudah apa boleh buat, aku pasti minta maaf sama dia,maaf ya tadi mamah kasar sama Kevin, yok sekarang Kevin harus tahu, Kevin tu tadi kenapa kok sampe mamah marah, aku ajak cerita tapi tetep pasti aku minta maaf sama dia,

Setelah melampiaskan emosi dalam marahnya P4 meminta maaf dan menjelaskan kemarahannya kepada objek marahnya

Meminta maaf dan menjelaskan kemarahan

19. aku minta maaf sama Tuhan dan ya nyesel. Menyesal dan minta maaf kepada Tuhan

Menyesal dan minta maaf kepada Tuhan 20. Memperbaiki,,ee aku banyak diem, kalo aku lagi emosi aku

mending diem dulu dan tidak hubungan dengan objek yang membuat aku marah dulu, bener aku diem, aku pikir kenapa ya aku sampe marah setelah aku,,aku masih berpikir dan berpikir dengan diri sendiri, aku minta tolong sama Tuhan, Tuhan tolong Tuhan tolong aku biar aku bisa menguasai diri biar aku bisa ngerti ngelihat kesalahannya dia itu

Saat sedang marah, P4 memilih untuk tidak berhubungan

dengan objek yang

membuatnya marah dan ia berdiam diri minta tolong kepada Tuhan agar ia bisa

Tidak berhubungan dengan orang yang membuat marah,

berdiam diri

menghilangkan


(5)

murni nggak kecampur sama capek ku nggak kecampur sama apapun kayak gitu.

menguasai diri dan dapat berpikir mengapa ia marah tanpa tercampur oleh rasa lelahnya

mengoreksi diri

Minta tolong

kepadaTuhan agar bisa menguasai diri

21. Jadi kalo aku memutuskan aku nggak mau emosi ya sudah aku nggak emosi dan puji Tuhan aku bisa mengeluarkan marah dengan tidak membabi buta dan ya sudah aku selesai.

Ketika sudah memutuskan untuk tidak melampiaskan emosi maka ia dapat mengeluarkan marah dengan baik

Komitmen pada

keputusan untuk marah yang membangun

22. Kadang, kadang-kadang aku pendam terus aku pikir haduh tadi harusnya aku tegur dia ya nah itu kan malah membuat kadang-kadang, nah aku juga kayak gitu karena apa kadang-kadang menahan diri terus malemnya aku bilang Tuhan harusnya tadi tak tegur ya dia itu, aku salah aku minta maaf ya aku nggak mengeluarkan marah dengan baik.

Minta maaf kepada Tuhan karena ia memendam kemarahan, karena menurutnya itu tidak mengeluarkan marah dengan baik

Minta maaf kepada Tuhan saat memendam kemarahan

23. Nah itu mungkin karena aku,, duh la udah anak-anak, nah kayak gitu, kadang kayak gitu kan dah lah anak-anak, udah gpp atau misalnya besok dia mau ujian, sudah-sudah nggak papa sabar dulu, sabar dulu,

Tidak mengungkapkan kemarahan kepada orang yang belum memiliki kapasitas tanggung jawab yang besar / sedang dalam tekanan ketika melakukan kesalahan

Belum memiliki kapasitas besar untuk bertanggung jawab / sedang dalam tekanan ketika melakukan kesalahan

24. tapi setelah itu setelah aku pikir harusnya aku tetep marah sama dia, kalo nggak nanti dia nggak tahu kalau itu salah kayak gitu lo,,nah kayak gitu.

Menyesal karena tidak bisa memperbaiki sesuatu yang salah dengan memendam kemarahan. Juga karena orang tersebut menjadi tidak tahu kesalahannya

Menyesal memendam kemarahan


(6)

ya pingin marah tapi aduh jangan, jangan marah jangan marah, kamu sama emosi, kamu sama emosi, ayolah marah, jangan, kamu emosi, kamu emosi,nah ee pikiran ini jalan

melawan keinginannya untuk marah

untuk marah

26. tapi tetep tak pegang statement bahwa apa, marah tu kan keputusan marah ni keputusan,

Prinsip P4 bahwa marah adalah keputusan

Marah adalah

keputusan 27. aku kan tipe-tipenya orang perasa jadi perasaan marah itu lo,

kadang-kadang kan kita kan orang kan ngomongnya lahh marah kok gimana udah nggal bisa dicegah tapi tetep yang tak pegang adalah marah kan keputusan, jadi tu bisa diubah dan itu bisa di apa ya, memutuskan untuk nggak marah tu bisa nah itu dia jadi yang tak lakukan bener-bener berjuang berperang melawan hati yang mengatakan ayo harus marah. Berperangnya dengan terus memperkatakan, marah itu keputusan dan aku memutuskan untuk tidak marah.

P4 adalah orang yang perasa sehingga ia berjuang untuk melawan hati yang ingin marah dengan terus memperkatakan prinsip yang ia pegang

Berjuang untuk memegang prinsipnya

28. Marahku yang akan kukeluarkan ini adalah emosi, itu jelek itu nggak bagus itu salah dihadapan Tuhan.

Marah pelampiasan emosi itu salah dihadapan Tuhan

Marah yang

melampiaskan emosi itu salah di hadapan Tuhan