62
H. Pembahasan
1. Marah sebagai sarana untuk memperbaiki, mengoreksi, ataupun menolak suatu hal yang tidak sesuai
Hal ini dilakukan kepada orang-orang terdekat yang berada dalam satu unit tertentu, seperti keluarga atau pasangan. Unit ini melambangkan
adanya aturan tertentu keharusan nilai yang disepakati bersama sehingga seseorang merasa memiliki hak untuk mengarahkan perilaku orang lain
dengan berusaha memperbaiki, mengoreksi, ataupun menolak de Rivera, 2006. Dengan kata lain, seseorang menjadi lebih marah kepada orang yang
paling ia kasihi karena anggapan bahwa orang tersebut mengenal kita secara intim, mengetahui kelemahan dan ketakutan kita serta hal
–hal yang dapat menyakiti kita Ekman, 2003.
2. Marah adalah kehilangan kontrol untuk bersabar Ketika seseorang terus menerus dihadapkan pada hal yang tidak
sesuai dengan anggapannya maka ia akan merasa jengkel dan kesal. Perasaan jengkel dan kesal yang dibiarkan menumpuk ini lama kelamaan
menjadi kemarahan yang meluap saat kejadian yang tidak sesuai itu terulang lagi. Penumpukan ini terjadi karena kejengkelan diidentikkan dengan
kesabaran yang dilakukan secara berlebihan ketika seseorang sebenarnya sedang merasa marah Ekman, 2003. Maka ketika akhirnya seseorang
mengungkapkan kemarahannya, hal ini dinilai sebagai hilangnya kontrol diri untuk bersabar.
63
Hilangnya kontrol diri untuk bersabar menjadi hal yang penting karena menggambarkan orientasi keagamaan seseorang. Orang Kristiani
dalam penelitian ini cenderung memiliki orientasi Intrinsic Allport dan Ross, 1967. Seorang yang intrinsik akan menerapkan ajaran agamanya
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini nampak dari penyesalan partisipan ketika mereka tidak bisa berlaku sesuai firman Tuhan untuk bersabar,
mengasihi dan mengendalikan diri. Herek, 1987 3. Marah adalah godaan iblis, masalah yang memerlukan bantuan Tuhan
Penilaian yang dilakukan tidak hanya sebatas hilangnya kontrol diri, akan tetapi hilangnya kontrol ini juga dialami sebagai adanya godaan
iblis sehingga mereka tidak bisa bertahan untuk mengasihi dan mengendalikan diri sesuai firman Tuhan. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Pargament 1997, seseorang akan melakukan penilaian terhadap masalah yang dihadapinya agar ia tahu bagaimana menyelesaikan masalah
tersebut. Salah satu penilaian yang diungkapkan Pargament, Poloma, dan Tarakheswar 2001 adalah bahwa suatu kejadian terjadi karena adanya
pengaruh roh jahat. Hood, Hill, dan Spilka, 2009 Dapat dikatakan bahwa marah yang sebenarnya merupakan emosi
yang melekat sebagai pengalaman jasmani Eatough dan Smith, 2006 diletakkan jauh dari keberadaan seseorang dan dianggap sebagai godaan
iblis. Selain itu diri dianggap lebih dekat dengan firman Tuhan yang mengatur kehidupannya, seperti untuk mengasihi dan mengendalikan diri.
Bahkan untuk mengatasi pengalaman marahnya, seorang Kristiani
64
mengalami Tuhan sebagai sosok yang membawa kelegaan dan membantu mereka menyelesaikan kemarahan.
Penilaian tersebut membuat seorang Kristiani merasa ia tidak mampu menyelesaikan masalah ini sehingga mereka berpaling kepada
Tuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rothbaum, Weisz, dan Snyder 1982 mengenai vicarious control. Hood, Hill, dan Spilka, 2009
Lebih spesifik dapat dikatakan bahwa orang Kristiani dalam penelitian ini meletakkan kontrol diri diluar dirinya atau biasa disebut
external control Rotter, 1996. Pada tahun 1973, Levenson membagi eksternal kontrol ke dalam 2 kategori yaitu kontrol dari powerfull-others
dan kontrol berdasarkan chance atau kesempatan. Kemudian pada tahun 1976 Kopplin menambahkan pengukuran tentang kontrol Tuhan dimana
Tuhan bertindak aktif dan orang cenderung pasif serta bergantung kepada Tuhan. Selain itu Pargament, Grevengoed, Kennel, Newman, Hathaway,
dan Jones 1985 menambahkan kolaboratif kontrol dimana seseorang dan Tuhannya berkontribusi aktif dalam kehidupan. Oleh karena itu dalam
penelitian ini seorang Kristiani dianggap memiliki kontrol Tuhan karena ia bergantung pada Tuhan untuk menyelesaikan permasalahannya. McIntosh
dan Spilka, 1990 4. Cara mengatasi kemarahan
Saat menghadapi suatu permasalahan, seorang yang religius cenderung menggunakan doa dan memaafkan sebagai cara pemecahan
masalah yang dianggap paling berguna. Ada beberapa jenis doa yang
65
digunakan, jenis doa ini berhubungan dengan penilaian mengenai masalah yang ia hadapi. Hood, Hill, dan Spilka, 2009
Untuk mengatasi pengalaman marahnya, seorang Kristiani berdoa memohon ampun mengampuni diri sendiri dan orang lain yang membuat
marah, mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi dan mencabut kuasa kutuk yang diucapkan saat marah. Menurut Ladd dan Spilka 2002
doa memiliki 3 arah yang berbeda yaitu yang mengarah kepada diri sendiri, diri dan orang lain, dan diri dengan Tuhan. Doa dalam mengatasi marah
pada orang Kristen mencakup 3 arah tersebut. Doa yang mengarah kepada diri sendiri ketika mereka memohon ampun mengampuni diri sendiri. Doa
yang berarah pada diri dan orang lain ketika mereka mengampuni orang yang membuat mereka marah. Doa yang berarah pada diri dan Tuhan ketika
mereka mencari jawaban atas permasalahan dan mencabut kuasa kutuk yang diucapkan saat marah. Hood, Hill, dan Spilka, 2009
Ladd dan Spilka 2002 melakukan sebuah survey untuk mengetahui jenis-jenis doa, diantaranya adalah permohonan, ritualistik,
meditasi, pengakuan, ucapan syukur, syafaat, perbaikan diri, dan kebiasaan. Jenis doa yang muncul dalam penelitian ini sebagai cara untuk mengatasi
permasalahan adalah pengakuan, permohonan, dan perbaikan diri. Hal ini nampak saat mereka memohon ampun atas kemarahan mereka yang
tentunya didahului oleh pengakuan bahwa perilaku marah mereka adalah sesuatu yang tidak baik. Mereka juga memohon agar kuasa kutuk yang
mereka ucapkan saat marah dicabut atau dibatalkan. Selain itu pencarian
66
jawaban atas permasalahan mereka menunjukkan adanya keinginan untuk mendapatkan jalan keluar yang paling tepat dalam rangka memperbaiki diri
mereka.
67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN