memprediksi infeksi ESBL dengan spesifisitas 96 dan Positive Predictive Value PPV 80, sedangkan sensitivitasnya hanya 50.
1,11
Akurasi Italian score ini di Indonesia terutama di Medan belum diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian akurasi Italian score ini, sehingga dapat membantu klinisi dalam
memberikan terapi antibiotik empirik.
1.2 Perumusan Masalah
1.
Apakah Italian score dapat digunakan sebagai prediktor infeksi ESBL.
2.
Mengetahui nilai cut off Italian score sebagai prediktor infeksi ESBL.
1.3 Hipotesis
Italian score dapat menjadi prediktor yang akurat infeksi ESBL.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
-
Untuk menilai akurasi Italian score sebagai prediktor infeksi ESBL.
-
Menentukan cutoff dari Italian score yang memiliki akurasi paling baik dalam memprediksi infeksi ESBL.
1.4.2 Tujuan Khusus
- Mengetahui jenis bakteri ESBL yang sering dijumpai.
-
Menentukan receiver operating characters ROC dan Area Under Curve AUC dari Italian score dalam memprediksi infeksi ESBL.
-
Mengetahui kepekaan antibiotik terhadap bakteri ESBL
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Dapat diketahui bahwa Italian score dapat digunakan sebagai prediktor infeksi ESBL.
1.5.2 Manfaat Metodologi
Universitas Sumatera Utara
Alat diagnostik Italian score dapat dijadikan metode penapisan rutin adanya infeksi ESBL.
1.6 Kerangka Konseptual
Gambar 1.1 Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase ESBL
Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim telah mengakibatkan munculnya strain
bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim extended s pektrum β
laktamase ESBL.
1
ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik
β laktam termasuk penisilin, sefalosporin dan monobaktam.
12
Enzim β laktamase yang pertama ditemukan dinamakan TEM-1. TEM ditandai dengan
adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutasi satu asam amino pada TEM-1 mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan
hidrolisisnya terhadap antibiotik β laktam. Setiap adanya mutasi akan menghasilkan suatu enzim
baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda. TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penicillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti
sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidim, seftriakson, atau sefepim.
Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam penggunaan klinis pada awal 1980an.
2,12
TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri penghasil enzim
β laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant TEM. Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak
dihasilkan oleh E.coli.
2,8,13,14
Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim β laktamase mengakibatkan
terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun 1983 dan merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp. Sama halnya
dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim baru. Sampai saat ini dikenal 140 turunan SHV.
8,13
Universitas Sumatera Utara