WARIA Fungsi Informasi to inform

c. Dampak Konatif Dampak konatif merujuk pada behavioral atau perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola – pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku. Adapun tolak ukur terjadinya pengaruh terhadap sikap seseorang dapat diketahui melalui respon atau tanggapan yang dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu: respon positif jika seseorang menyatakan setuju, respon negatif jika seseorang menyatakan tidak setuju, respon netral jika seseorang tidak memberikan pendapatnya tentang suatu objek Effendy,1993:6-7.

2.1.6 WARIA

Waria adalah seseorang yang jenis kelaminnya laki-laki dalam beberapa kasus, adapula yang jenis kelaminnya tidak sempurna, tetapi memiliki jiwa wanita, pribadi atau perasaan wanita dan orientasi dengan kegiatan wanita. Ciri-ciri waria: - Berpakaian wanita dan tidak jarang sangat demonstratif - Menguasai keahlian atau ketrampilan wanita - Terkadang masih dapat kejanggalan-kejanggalan dalam hal berpenampilan, misalnya suara yang masih tetap besar suara laki-laki dan perilaku atau tindakan yang sepertinya di buat-buat. Komunitas waria bagi banyak orang merupakan bentuk kehidupan manusia yang cukup aneh. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan lainnya. Akibat perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku, fisik mereka laki-laki, namun cara berjalan, berbicara, dan dandanan mereka mirip perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa jiwa mereka terperangkap pada tubuh yang salah Koeswinarno, 2004:1. Hidup ‘sebagai waria’ dalam konteks kebudayaan mengandung satu pengertian bahwa kebudayaan itu menjadi satu pedoman dalam berperilaku mereka sehingga identitas mereka menjadi tegas. Akibatnya kebudayaan merupakan tingkah laku yang dipelajari dan merupakan fenomenal mental. Hidup ‘sebagai waria’ dalam konteks kebudayaan dengan sendirinya dapat dilihat dalam tiga aspek, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Aspek eksternalisasi sangat penting karena meliputi bagaimana waria melakukan penyesuaian dengan lingkungannya ketika mendapatkan berbagai tekanan, hal ini juga sekaligus untuk melihat bagaimana sebuah kultur menduduki posisi penting dalam pembagian peran secara seksual. Aspek objektivasi dapat dilihat dalam interaksi sosial yang dilakukan waria untuk merespon tekanan-tekanan itu, sehingga mereka mampu bertahan hidup ‘Sebagai Waria’. Aspek internalisasi adalah ketika seorang melakukan identifikasi diri dengan lingkungan sosial sehingga memperoleh makna dan pemahaman hidup ‘Sebagai Waria’ dalam suatu ruang sosial Koeswinarno, 2004:29. Banci, bencong, wadam atau waria wanita-pria adalah beberapa sebutan yang biasa ditujukan untuk seorang laki-laki yang berdandan wanita dan secra psikologis, mereka meraa dirinya sebagai seorang wanita. Meski dalam melakukan hubungan seks, hampir semua waria di Indonesia menjalankan praktik homoseksual, tetapi ada garis pembatas yang membedakan antara kaum homo gay dan waria. Seorang gay umumnya tidak merasa perlu bermake-up atau berpakaina seperti layaknya seorang wanita. Menurut Benny D setianto, menemukan empat kategori kewariaan yaitu: 1. Pria yang menyukai pria. 2. Kelompok yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan. 3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan. 4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok itu sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka Pujileksono Puspitosari, 2005:9. Dilihat dari definisi sosiologi, waria adalah suatu transgender, maksudnya adalah mereka menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan. Sedangkan waria dalam konteks psikologis sebagai penderita transeksual, yakni seorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara seksual, waria menyukai laki-laki, orientasi seksualnya itu sama dengan homo seks Pujileksono Puspitosari, 2005:9-10. Dalam realitasnya waria seringkali diasumsikan berbeda-beda oleh beberapa orang, keberadaan waria menimbulkan pro dan kontra dikalangan agamawan. Pro dan kontra tersebut mendatangkan berbagai macam pendapat. Mulai dari menghalalkan dengan beberapa syarat sampai benar-benar mengharamkan dan harus diubah atau dikembalikan pada jenis kelamin yang sesungguhnya. Dalam agama Islam, homoseks sebagai perbuatan yang melanggar hukum, yang layak dihukum maksimal, karena membawa akibat buruk, mengandung kejahatan dan dosa, serta merusak moral dan mental. Menurut pendapat para MUI 11 Oktober 1997, menyatakan; a. Waria adalah laki-laki, namun bertingkah laku dengan sengaja seperti wanita. Oleh karena itu, waria bukanlah khunsa sebagaimana dimaksud dalam hukum Islam. b. Khunsa adalah orang yang memiliki dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Mengingat hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita dengan sengaja, demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haram dan dilarang agama, Hadist menegaskan : “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Nabi Muhammad SAW melaknat laki-laki yang berpenampilan perempuan dan perempuan yang berpenampilan laki-laki. HR. Bukhori. Selanjutnya, MUI memfatwakan : a. Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok jenis kelamin tersendiri. b. Segala perilaku waria yang menyimpang adakah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula. Berbeda dengan agama Hindu-Budha, agama tersebut memandang seksualitas mempunyai batasan yang terkadang abstrak agama dominan estetika. Dalam agama tersebut tidak terlalu memberikan batasan-batasan terhadap seksualitas. Dalam agama Kristen, homoseks sangatlah dikutuk atau tidak dibenarkan. Di gereja-gereja hanya mengajarkan cinta lawan jenis saja. Menurut Hatib Abdul Kadir dalam tulisannya Homoseksual dan Negara menyatakan ; “Ada ajaran puritan Jean Calvin 1506-1564 di Inggris, yang menganggap homoseksual sebagai pendosa berat. Ajaran tersebut membuat banyak warga homoseks yang kemudian digantung dan dibakar”. Menurut agama Nasrani, homoseksual, kalau terjadi mendapat kutukan yang keras, tetapi jiwa tetap ‘jiwa banci’ atau ‘jiwa homoseksual’, dan jiwa surga Nasrani Pujileksono Puspitosari, 2005:17-19.

2.1.7 Berita