Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin (Studi deskriptif kuantitatif Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin).

(1)

JENIS KELAMIN

(STUDI DESKRIPTIF KUANTITATIF SIKAP WARIA TERHADAP FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA HARAMKAN PERUBAHAN JENIS KELAMIN)

SKRIPSI

OLEH :

INNE RACHMAWATI FAJRIN

NPM. 0743010199

YAYASAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan karena dengan limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “SIKAP WARIA SURABAYA TERHADAP FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA HARAMKAN PERUBAHAN JENIS KELAMIN (Studi Deskriptif Kuantitatif Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin).

Dalam proses penyelesaian Skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya yang diberikan kepada penulis dan keluarga.

2. Rasulullah Muhammad SAW untuk inspirasi serta tuntunan yang senantiasa mengilhami penulis dalam rangka “perjuangan” memaknai hidup.

3. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor UPN “Veteran” Jatim.

4. Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN “Veteran” Jatim.

5. Juwito, S.Sos, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Jatim.

6. Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing penulis. Terima kasih atas segala kontribusi Ibu terkait penyusunan Proposal Skripsi ini. .

7. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi maupun Staf Karyawan FISIP hingga UPN “Veteran” Jatim pada umumnya.


(3)

v

almarhum ayahku serta kakak-kakakku atas doa dan dukungannya baik moril maupun materiil.

9. Teman – teman terbaikku, Himakom, Upn TV, Resky, Maulia, Namira dan semua angkatan 2007 untuk saran dan masukannya. Juga untuk partner penulis, Mas Dwy Budianto atas bimbingan, saran, doa, dan dukungannya.

10. Seluruh pihak yang tak dapat penulis sebutkan atas keterbatasan halaman ini, untuk segala bentuk bantuan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik maupun saran selalu penulis harapkan demi tercapainya hasill terbaik dari skripsi ini. Besar harapan penulis, semoga dapat memberikan manfaat sekaligus menambah pengetahuan bagi berbagai pihak. Amin.

Surabaya, November 2010


(4)

vi

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...ii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR GAMBAR...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

ABSTRAKSI...xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah ...13

1.3 Tujuan Penelitian ...13

1.4 Manfaat Penelitian ...13

BAB II LANDASAN TEORI ...14

2.1 Landasan Teori...14

2.1.1 Media Massa ...14

2.1.2 Media Massa sebagai Konstruksi realitas ...14

2.1.3 Surat Kabar Sebagai media Komunikasi massa...16


(5)

vii

2.1.6 Waria...23

2.1.7 Berita ...27

2.1.8 Fatwa MUI Haramkan Perubahan Jenis Kelamin...28

2.1.9 Teori S-O-R...29

2.2 Kerangka Berfikir ...32

BAB III METODE PENELITIAN ...33

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel...33

3.1.1 Sikap dan Pengukuran Variabel ...34

3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel ...42

3.2.1 Populasi ...42

3.2.2 Sampel dan Teknik Penarikan Sampel...42

3.3 Teknik Pengumpulan Data………....44

3.4 Metode Analisis Data………45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….46

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian ………..…..46

4.2 Penyajian Data dan Analisis Data ………48

4.2.1 Identitas Responden ………48

4.2.2 Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatua MUI Haramkan Perubahan Jenis Kelamin ……….50


(6)

viii

4.2.2.3 Aspek Konatif ………...65

4.2.3 Sikap Waria Keseluruhan ………...71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...74

5.1 Kesimpulan ………...74

5.2 Saran ………75

DAFTAR PUSTAKA ...76


(7)

Halaman Tabel 4.1. Usia Responden ………...……….48 Tabel 4.2. Pekerjaan Responden ………49 Tabel 4.3. Pendidikan Terakhir Responden ………...50 Tabel 4.4. Aspek Kognitif Responden Mengetahui Tentang MUI Mengeluarkan

Fatwa Haram Perubahan jenis Kelamin ………51 Tabel 4.5. Aspek Kognitif responden Mengetahui Dampak Yang Ditimbulkan

dengan Dikeluarkannya Fatwa Haram Merubah Jenis Kelamin ……….. 52 Tabel 4.6. Aspek Kognitif Responden Mengetahui Bahwa Ketua MUI Mengatakan

Merubah Jenis Kelamin dengan Sengaja Membahayakan Diri Sendiri Dan Orang lain ………..54 Tabel 4.7. Aspek Kognitif Responden Merubah Jenis Kelamin Termasuk Perbuatan

(Khaba’is) yang Dilarang Dalam Al-Qur’an ………56 Tabel 4.8. Aspek Kognitif Responden ………...57 Tabel 4.9. Aspek Afektif responden Senang Dengan Dikeluarkannya Fatwa Haram

Merubah Jenis Kelamin Oleh MUI ………...59 Tabel 4.10. Aspek Afektif responden Tenang Dengan Dikeluarkannya Fatwa Haram

Merubah Jenis Kelamin Oleh MUI ………...60 Tabel 4.11. Aspek afektif Responden Senang Dengan apa Yang Dikatakan Ketua MUI

Bahwa Merubah Jenis Kelamin Membahayakan Diri Sendiri Dan Orang lain ……….62


(8)

x

Tabel 4.12. Aspek Afektif responden Senang Apabila Fatwa Haram Merubah Jenis Kelamin Yang Dikeluarkan Oleh MUI Disahkan Menjadi Sebuah

Peraturan ………...63 Tabel 4.13. Aspek Afektif Responden ……….64 Tabel 4.14. Aspek Konatif Responden Mengikuti Perkembangan Fatwa MUI

Haramkan Perubahan Jenis Kelamin ………65 Tabel 4.15. Aspek Konatif Responden Mengikuti Tentang Dampak Yang Ditimbulkan Setelah Dikeluarkan Fatwa MUI Haramkan Perubahan Jenis Kelamin ...67 Tabel 4.16. Aspek Konatif Responden Akan Melakukan Perubahan Jenis Kelamin

Setelah Mengetahui Bahwa Merubah Jenis Kelamin Membahayakan Diri Sendiri Dan Orang Lain ………68 Tabel 4.17. Aspek Konatif Responden Tentang akan Melakukan Demonstrasi Apabila

Fatwa Haram Perubahan Jenis Kelamin Yang Dikeluarkan MUI Disahkan Menjadi Sebuah Peraturan………...………..69 Tabel 4.18. Aspek Konatif Responden ………70 Tabel 4.19. Sikap Keseluruhan ………72


(9)

Gambar 2.1 Model Teori S-O-R ………... 31

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir ……….… 32

 


(10)

Halaman

Lampiran 1 : Kuesioner ...78

Lampiran 2 : Data Hasil Penelitian Aspek Kognitif ………...………….83

Lampiran 3 : Data Hasil Penelitian Aspek Afektif ……….86

Lampiran 4 : Data Hasil Penelitian Aspek Konatif ……….89

Lampiran 5 : Data Perolehan Total Sikap ………...92

Lampiran 6 : Selasa, 27 Juli 2010 Kompas.com ...95

Lampiran 7 : Selasa, 27 Juli 2010 Surya Online………...…...98

Lampiran 8 : Rabu, 28 Juli 2010 Nasional-Sosial ...101


(11)

Inne Rachmawati Fajrin, NPM 0743010199 Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin (Studi deskriptif kuantitatif Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin).

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.

Teori yang akan peneliti gunakan adalah teori S-O-R yaitu teori stimulus-Organisme-Respon. Menurut teori ini efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus tertentu sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dengan accidental sampling, yakni sampel yang teknik pengambilan sampelnya dilakukan terhadap responden yang secara kebetulan ditemui pada obyek penelitian ketika observasi sedang berlangsung yang telah ditentukan karakteristiknya oleh peneliti sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 100 orang.

Hasil dalam penelitian ini secara keseluruhan adalah sikap responden berada pada kategori netral yang menunjukkan bahwa responden tidak berpendapat atau tidak mendukung mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin tersebut, responden melihat selama ini yang menjadi pola pikir masyarakat telah merembes terhadap lembaga perwakilan pemerintah seperti Badan Majelis Ulama Indonesia.

Kata kunci : Sikap, Waria, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Haramkan Perubahan Jenis Kelamin


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Media massa merupakan sarana untuk menyampaikan isi pesan yang bersifat umum kepada sejumlah orang yang jumlahnya relatif besar, tinggalnya tersebar, heterogen, anonim, melembaga, memiliki perhatian yang berpusat pada isi pesan yang sama, dengan tidak memberikan arus balik secara langsung pada saat itu. Media massa dibedakan menjadi dua yakni cetak dan elektronik, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pers termasuk bagian dari media massa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya pers, masyarakat dapat mengakses informasi sebagai bagian pertimbangan dalam membatasi kekuasaan, memberdayakan yang tertindas dari tindakan anarkis. (Suroso, 2001 : 176).

Kehadiran media massa merupakan penanda awal dari kehidupan modern sekarang ini. Hal ini dapat dilihat melalui meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap berbagai bentuk media massa yang menawarkan banyak pilihan, dan pada akhirnya menimbulkan ketergantungan masyarakat pada media massa. Kebutuhan terhadap media massa dapat dipenuhi melalui surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.

Menurut jenisnya media massa dibagi menjadi dua yaitu media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak terdiri dari majalah, tabloid, dan surat kabar sedangkan media massa elektronik terdiri dari televisi dan radio yang mana masing-masing memiliki sifat, karakter, daya tarik, dan ciri khas sendiri-sendiri. Dari berbagai


(13)

media massa yang ada, media cetak seperti halnya surat kabar telah berkembang menjadi media dengan kemampuan yang terbatas oleh wilayah bangsa dan negara. Kemajuan teknologi cetak yang sangat canggih menyebabkan hasil cetakan menyerupai asli bahkan melebihinya. Sebagai media transmisi, surat kabar relatif dapat mentransmisikan informasi dari sumber berita ke khalayak dalam waktu yang cepat.

Pada umumnya media massa mempunyai dampak utama yang signifikan. Media memberi begitu banyak informasi mengenai lingkungan terdekat maupun lingkungan yang lebih jauh. Media mempengaruhi kebiasaan konsumsi, media memberikan model dan contoh (positif atau negatif) yang mengarahkan perkembangan dan perilaku. Media menolong kita untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan kelompok sosial dan lingkungan. Pada tingkat yang lain, adalah juga jelas bahwa media massa sekarang mendorong dan mempengaruhi fungsi institusi-institusi sosial yang menonjol, seperti dalam bidang politik, pemerintah, sistem keadilan dan bisnis.

Media massa adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan oleh masyarakat, karena media massa sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi, sedangkan masyarakat sendiri adalah bahan pemberitaan atau informasi yang diberitakan oleh masyarakat itu sendiri. Fakta yang akurat dan aktualisasi masyarakat merupakan sebuah perwujudan dari informasi yang seimbang. Oleh karena itu setiap perspektif media dalam mengelola berita dan informasi akan selalu berbeda dalam kemasannya serta yang paling penting penampilannya. Hal ini bisa jadi dikarenakan visi, misi serta manajemen perusahaan yang dibangun oleh perusahaan media itu sendiri berdasarkan segmentasinya.


(14)

Dalam beberapa waktu ini banyak media massa di tanah air yang banyak memuat berita tentang diharamkannya perubahan jenis kelamin oleh Majelis Ulama Indonesia. Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.

Ketetapan haram ini sesuai dengan Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap perubahan jenis kelamin jika hal itu dilakukan dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan. Mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram. Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah melalui pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII pada 27 Juli 2010. Selain mengenai perubahan alat kelamin MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa lain. MUI juga memfatwakan, tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut. Adapun menyempurnakan kelamin bagi seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan hukumnya, demikian juga dengan penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin. Dengan demikian, hal tersebut


(15)

memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan tersebut. Kedudukan hukumnya sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan, sekalipun hal itu belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan tersebut. Atas dasar fatwa tersebut, MUI memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu sebagai pedoman dalam memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan. Selain itu, pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti kelamin.(http://www.surya.co.id/2010/07/27/MUI/Haramkan-Perubahan-Jenis-Kelamin.html).

Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan memakai kerudung segala. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.

Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku,


(16)

bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.

Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika dating stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.

Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan


(17)

berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.

Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina). Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.

Definisi fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang


(18)

sangat penting bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat jika mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti “[Mafaahim al Islaamiyyah,juz 1, hal. 240]. Jadi definisi fatwa adalah penjelasan hokum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat (http://hizbut-tahrir.or.id).

Definisi haram itu adalah mayuaqabufiluhu (mendapat siksa ketika dikerjakan), sehingga jika seseorang melakukan perbuatan itu maka ia berdosa dan mendapatkan siksa dari Alah (http://dutamasyarakat.com). Adapula definisi lain dari haram yaitu satu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau kita melanggarnya, berdosalah (http://www.garutkab.go.id).

Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya); (3) Hadits


(19)

Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah (Khaba’is) melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).

Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad).

Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif


(20)

salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.

Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat dengan


(21)

mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).

Al Khuntsa, dari kata khanitsa yang secara bahasa berarti : lemah dan lembut. Maka dikatakan : Khannatsa Ar Rajulu Kalamahu, yaitu : laki-laki yang cara bicaranya seperti perempuan, yaitu lembut dan halus. ( al Fayumi, al-Misbah al Munir – Kairo, Daar al Hadist, 2003,- hlm : 112 ). al-Khuntsa secara istilah adalah : seseorang yang mempunyai dua kelamin ; kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau orang yang tidak mempunyai salah satu dari dua alat vital tersebut, tetapi ada lubang untuk keluar air kencing. ( al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168 , Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adilatuhu: 8 / 426 ). Adapun Waria atau dalam bahasa Arabnya disebut al Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan dalam kelembutan, cara bicara, melihat, dan gerakannya. Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa Waria (portmanteau dari wanita-pria) atau Wadam (dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Waria ini terbagi menjadi dua :

1. orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut sejak dilahirkan, maka tidak ada dosa baginya, karena sifat-sifat tersebut bukan atas kehendaknya, tetapi dia harus berusaha untuk menyesuaikan diri.

2. orang yang sebenarnya laki-laki, tetapi sengaja menyerupai sifat-sifat wanita. Orang seperti ini termasuk dalam katagori yang dilaknat oleh Allah swt dan Rasulullah saw di dalam beberapa hadistnya.


(22)

Seperti contoh kasus di Indonesia, Seorang waria bernama Dian, menjalani operasi ganti kelamin di RSU Dr Sutomo Surabaya, lalu. Melalu pergumulan batin yang melelahkan, operasi dilakukan tanpa ingar bingar publikasi. Sebab dirinya ingin menjadi perempuan utuh, tidak ingin calon suaminya kelak tahu latar belakangnya.

(www.surya.co.id/.../ingin-menikah-dian-operasi-ganti-kelamin-hanya-2-jam-untuk-mengubah-menjadi-perempuan.html)

Berpijak pada permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui sikap waria di Surabaya terhadap pemberitaan fatwa MUI haramkan perubahan jenis kelamin di media massa, dengan pertimbangan bahwa rentannya waria di Surabaya untuk merubah jenis kelamin demi mendapatkan sebuah legalitas akan jati dirinya, selain itu waria di Surabaya juga masih banyak yang menutup diri sehingga keberadaannya masih menjadi sebuah fenomena di masyarakat yang seringkali kesulitan dalam mendapatkan sebuah informasi atau pengetahuan.

Dipilihnya Surabaya dalam penelitian ini disebabkan karena Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa,selain itu Waria di Surabaya juga telah mendapatkan respon positif dari masyarakat dengan diadakannya Kontes Waria oleh Dinas Pariwisata surabaya, dan setiap bulan mereka secara rutin meluangkan waktunya untuk membuat agenda-agenda sosial di lingkungan sekitar guna mendekatkan diri dengan masyarakat Surabaya. (Imronfauzi.wordpress.com/2009/07/21/ konstruksi-waria/).


(23)

Dalam buku sikap manusia, Drs. Saifuddin Azwar, MA, (2007:5). Sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, perisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana, Sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Sikap pada penelitian ini akan difokuskan pada aspek kognitif, afektif dan konatif dan untuk lebih mengetahui bagaimanakah sikap waria terhadap keputusan diharamkannya merubah jenis kelamin oleh Majelis Ulama Indonesia. Peneliti ingin mengetahui, apakah setelah adanya berita tersebut, para waria menjadi mengerti kalau merubah jenis kelamin itu sudah banyak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori S-O-R. Menurut teori ini efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat megharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Selain itu teori menjelaskan tentang pengaruh yang terjadi pada pihak penerima sebagai akibat dari ilmu komunikasi (Mc.Quail,1991:234). Akibat atau pengaruh yang terjadi merupakan suatu reaksi tertentu dari rangsangan tertentu. Artinya stimulus dan dalam bentuk apa pengaruh atau stimulus tersebut tergantung dari isi pesan yang ditampilkan. Keberhasilan dalam proses komunikasi adalah menimbulkan perubahan kognitif, afektif dan konatif pada diri komunikan.

Berdasarkan uraian yang ada diatas maka peneliti tertarik untuk memberi judul penelitian “SIKAP WARIA SURABAYA TERHADAP FATWA MUI HARAMKAN PERUBAHAN JENIS KELAMIN (Studi Deskriptif Sikap Waria Terhadap Fatwa MUI Haramkan Perubahan Jenis Kelamin)”.


(24)

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Sikap Waria Surabaya terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin di media massa” ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Sikap Waria Surabaya terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin di media massa.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan dapat memberikan ciri ilmiah pada sebuah penelitian dengan mengaplikasikan teori-teori, khususnya teori-teori komunikasi tentang pesan yang dikemas oleh media massa.

2. Manfaat Praktis

Kegunaan praktis yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah agar pihak-pihak yang tertarik dalam kajian masalah yang sama dapat mengambil manfaat, selain itu juga bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pihak yang terkait untuk lebih mensosialisasikan kesadaran agar tidak merubah bentuk dan jenis kelamin karena sangat membahayakan kesehatan diri sendiri dan orang lain.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Media Massa

Media massa adalah sarana untuk menyampaikan isi pesan atau informasi yang bersifat umum, kepada sejumlah orang yang jumlahnya relatif besar, perhatiannya terpusat pada isi pesan yang sama, dan tidak dapat memberikan arus balik secara langsung pada saat itu juga. Media Massa harus diterbitkan atau disiarkan secara periodik, isi pesan harus bersifat umum menyangkut semua permasalahannya, mengutamakan aktualitas, dan disajikan secara berkesinambungan. Termasuk dalam golongan ini adalah Surat Kabar, Majalah, Radio, televisi dan Film. (Wahyudi, 1996:35).

2.1.2 Media Massa sebagai Konstruksi Realitas

Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan actor dan peristiwa, lewat bahasa, lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dari kacamata tertentu (Eriyanto,2000:24).

Isi media merupakan hasil para pekerja dalam mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai sebuah berita, diantaranya realitas politik.


(26)

Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (Constructed Reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Sobur,2001 :83).

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahwa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai alat realitas, namun juga menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitasnya yang dikonstruksikannya (Sobur, 2001 : 88).

Setiap upaya “menceritakan” sebuah, peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha ,emgkonstruksikan realitas. Begitu pula dengan profesi wartawan. Pekerjaan utama wartawan adalah mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak. Dengan demikian mereka selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksikan realitas, yakni menyusun fakta yang dikumpulkannya ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita (News), karangan khas (Feature), atau gabungan keduanya (News Feature). Dengan demikian berita pada dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan (Constructed Reality). (Sobur, 2001 : 88).

Penggunaan bahwa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad dalam Sobur (2001 : 90) bahwa bukan Cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas.


(27)

Dalam rekonstruksi realitas, bahasa dapat dikatakan sebagai unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi media (Sobur, 2001 : 91).

2.1.3 Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan proses komunikasi melalui media massa modern, dengan kata lain komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana komunikator secara professional menggunakan media massa dalam menyebarkan pesannya untuk mempengaruhi khalayak banyak. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan, dan sikap kepada komunikan yang beragam pada jumlah banyak dengan menggunakan media (Effendi, 2003 : 79-80).

Media komunikasi massa bersifat tidak langsung dan oleh karenanya perencanaan, pengolahan, dan penyampaian pesan baik itu bersifat informasi, edukasi, persuasi, dan hiburan kepada khalayak dibuat sedemikian rupa sehingga mencapai sasaran yang dikehendaki. Komunikasi massa bersifat satu arah (one way traffic). Begitu pesan disebarkan komunikator, tidak diketahuinya apakahpesan itu diterima, dimengerti atau dilakukan oleh komunikan (Effendi, 2003 : 14).

Media cetak terdiri dari majalah, tabloid dan surat kabar. Media cetak memiliki kelebihan yang tidak ada pada media massa elektronik, yaitu pesan dapat diulang kembali pada kesempatan lain dan dapat didokumentasikan. Selain itu informasi yang disampaikan media cetak lebih mendalam dan lebih kuat daya persuasinya, karena media cetak disajikan dalam bentuk tulisan yang membutuhkan kemampuan pembaca untuk


(28)

memahami dan menalar permasalahan dalam informasi yang disajikan. Ciri – ciri surat kabar, yaitu (Onong Sudjana,1993 : 154):

1. Periodesitas

Pers harus terbit secara teratur, periodik, dan konsisten dengan pilihannya, apakah terbit setiap hari, seminggu sekali, satu bulan sekali, atau tiga bulan sekali kecuali ada perubahan haluan yang diputuskan melalui rapat paripurna manajemen.

2. Publisitas

Pers ditujukan kepada khalayak sasaran umum yang heterogen. Heterogen yang dimaksud yaitu geografis dan psikografis. Geografis meliputi data administrasi penduduk (jenis kelamin, kelompok usia, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal, pekerjaan atau profesi, perolehan pendapatan). Sedangkan psikografis meliputi karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adat istiadat. Dalam mengemas pesannya pers harus menggunakan dan tunduk kepada kaidah bahasa jurnalistik.

3. Aktualitas

Informasi yang disuguhkan media pers harus mengandung unsur kebaruan, mengarah kepada peristiwa yang benar-benar terjadi atau sedang terjadi. Dalam jurnalistik aktualitas mengandung tiga dimensi yaitu kalender, waktu dan masalah.


(29)

4. Universalitas

Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumber dan dari keaneragaman materi isinya. Isi media pers harus selektif dan terfokus. Berbagai peristiwa yang dilaporkan pers berasal dari empat penjuru mata angin (barat, timur, utara, dan selatan).

5. Objektifitas

Objektifitas merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Berita yang disuguhkan dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca, tidak mengganggu perasaan dan pendapat mereka. Surat kabar yang baik menyajikan hal-hal yang faktual apa adanya, dan kebenaran isi berita yang disampaikan tidak menimbulkan tanda tanya (Rachmadi, 1990:5).

2.1.4. Fungsi Pers

Pers sendiri memiliki fungsi utama. Dalam berbagai literatur komunikasi dan jurnalistik disebutkan terdapat lima fungsi utama pers yang berlaku universal. Disebut universal, karena kelima fungsi tersebut dapat ditemukan pada setiap negara di dunia yang menganut paham demokrasi (Widodo:1997). Fungsi tersebut adalah :

1. Fungsi Informasi (to inform)

Menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus aktual, akurat, faktual, penting atau menarik, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis.


(30)

2. Fungsi Edukasi (to educate)

Informasi yang disebarkan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang, pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru bangsa. Seperti ditegaskan Wilbur Schramm dalam Men, Messages and Media (1973), bagi masyarakat, pers adalah watcher, teacher, and forum (pengamat, guru dan forum). Pers setiap hari melaporkan berita, memberikan tinjauan atau analisi atas berbagai peristiwa dan kecenderungan yang terjadi, serta ikut berperan dalam mewariskan nilai-nilai luhur universal, nilai-nilai dasar nasional, dan kandungan budaya-budaya lokal dari satu generasi ke generasi berikutnya secara estafet.

3. Fungsi Koreksi (to influence)

Kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut. Dalam negara-negara penganut paham demokrasi, pers akan mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat (watchdog function). Pers akan senantiasa menyala ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara. Dalam fungsi kontrol sosial yang dimilikinya tersebut, pers sebagai institusi sosial yang tidak pernah tidur yang senantiasa bersikap independen atau menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.

4. Fungsi Hiburan (toentertaint)

Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan. Produk media berupa tulisan, gambar, foto, mengandung unsur


(31)

hiburan bagi masyarakat. Hiburan bukan hanya terdapat dalam produk jenis humor maupun seni, melainkan jiga tentang profil, kehidupan langka, petualangan (human interest), dan sebagainya. Hiburan bukan sekedar untuk menghibur saja, melainkan untuk mendapatkan informasi dan untuk refresing (menyegarkan). 5. Mediasi (to mediate)

Mediasi artinya penghubung. Setiap hari pers melaporkan berbagai peristiwa, dengan kemampuan yang dimilikinya pers telah menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagi belahan bumi. Karena pers lah seseorang mengetahui aneka peristiwa lokal, nasional, regional, dan mondial. Dengan fungsi mediasi, pers mampu menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama.

2.1.5 Sikap

Menurut Calhoun & Acocella, Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu (Sobur,2003:359).

Sikap adalah kecenderungan bertindak, berfikir, persepsi dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi ataupun nilai. Sikap bukanlah perilaku tetapi lebih merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa orang, situasi informasi maupun kelompok (Sobur,2003:361).

Sikap terbentuk dengan adanya pengalaman dan melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terpaan, yaitu bahwa berdasarkan pendapat tersebut


(32)

bisa disusun berbagai upaya (pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang (Sobur,2003:362).

Pada dasarnya, pembentukan sikap tidak terjadi dengan sembarangan. Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan berkenaan dengan objek tertentu. Interaksi sosial didalam kelompok maupun diluar kelompok bisa mengubah sikap atau membentuk sikap yang baru (Sobur,2003:363).

Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik – buruk, positif – negatif, menyenangkan – tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar,2008:15).

Pada hakekatnya, sikap adalah suatu interlasi dari berbagai komponen, dimana komponen – komponen tersebut ada tiga, yaitu :

a. Komponen Kognitif

Komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi, keyakinan dan pendapat yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Komponen ini berkaitan dengan proses berfikir yang menekankan pada rasionalistis dan logika. Adanya keyakinan dan evaluatif yang dimiliki seseorang diwujudkan dalam kesan baik atau tidak baik terhadap lingkungan.


(33)

b. Komponen Afektif

Komponen emosional atau perasaan seseorang yang berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubugan erat dengan nilai – nilai kebudayaan dan sistem nilai yang dimiliki.

c. Komponen Konatif

Komponen yang merupakan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap lingkungannya dengan cara ramah, sopan, bermusuhan menentang, melaksanakan dengan baik dan lain sebagainya.

Apabila ketiga komponen ini dihubungkan dengan tujuan komunikasi yang terpenting adalah bagaimana suatu pesan (isi atau contents) yang disampaikan oleh komunikator tersebut mampu menimbulkan dampak atau efek pesan tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat dirinci sebagai berikut (Rahmat,2005:219):

a. Dampak Kognitif

Dampak kognitif timbul pada komunikan yang menyebabkan seseorang menjadi tahu. Dampak kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami atau dipersepsi khalayak. Dampak ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan atau informasi.

b. Dampak Afektif

Dampak afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. Disini tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tetapi juga tergerak hatinya.


(34)

c. Dampak Konatif

Dampak konatif merujuk pada behavioral atau perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola – pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku.

Adapun tolak ukur terjadinya pengaruh terhadap sikap seseorang dapat diketahui melalui respon atau tanggapan yang dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu: respon positif jika seseorang menyatakan setuju, respon negatif jika seseorang menyatakan tidak setuju, respon netral jika seseorang tidak memberikan pendapatnya tentang suatu objek (Effendy,1993:6-7).

2.1.6 WARIA

Waria adalah seseorang yang jenis kelaminnya laki-laki (dalam beberapa kasus, adapula yang jenis kelaminnya tidak sempurna), tetapi memiliki jiwa wanita, pribadi atau perasaan wanita dan orientasi dengan kegiatan wanita.

Ciri-ciri waria:

- Berpakaian wanita dan tidak jarang sangat demonstratif - Menguasai keahlian atau ketrampilan wanita

- Terkadang masih dapat kejanggalan-kejanggalan dalam hal berpenampilan, misalnya suara yang masih tetap besar (suara laki-laki) dan perilaku atau tindakan yang sepertinya di buat-buat.

Komunitas waria bagi banyak orang merupakan bentuk kehidupan manusia yang cukup aneh. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan lainnya. Akibat perilaku mereka sehari-hari sering tampak


(35)

kaku, fisik mereka laki-laki, namun cara berjalan, berbicara, dan dandanan mereka mirip perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa jiwa mereka terperangkap pada tubuh yang salah (Koeswinarno, 2004:1).

Hidup ‘sebagai waria’ dalam konteks kebudayaan mengandung satu pengertian bahwa kebudayaan itu menjadi satu pedoman dalam berperilaku mereka sehingga identitas mereka menjadi tegas. Akibatnya kebudayaan merupakan tingkah laku yang dipelajari dan merupakan fenomenal mental. Hidup ‘sebagai waria’ dalam konteks kebudayaan dengan sendirinya dapat dilihat dalam tiga aspek, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Aspek eksternalisasi sangat penting karena meliputi bagaimana waria melakukan penyesuaian dengan lingkungannya ketika mendapatkan berbagai tekanan, hal ini juga sekaligus untuk melihat bagaimana sebuah kultur menduduki posisi penting dalam pembagian peran secara seksual. Aspek objektivasi dapat dilihat dalam interaksi sosial yang dilakukan waria untuk merespon tekanan-tekanan itu, sehingga mereka mampu bertahan hidup ‘Sebagai Waria’. Aspek internalisasi adalah ketika seorang melakukan identifikasi diri dengan lingkungan sosial sehingga memperoleh makna dan pemahaman hidup ‘Sebagai Waria’ dalam suatu ruang sosial (Koeswinarno, 2004:29).

Banci, bencong, wadam atau waria (wanita-pria) adalah beberapa sebutan yang biasa ditujukan untuk seorang laki-laki yang berdandan wanita dan secra psikologis, mereka meraa dirinya sebagai seorang wanita. Meski dalam melakukan hubungan seks, hampir semua waria di Indonesia menjalankan praktik homoseksual, tetapi ada garis pembatas yang membedakan antara kaum homo (gay) dan waria. Seorang gay umumnya tidak merasa perlu bermake-up atau berpakaina seperti layaknya seorang wanita.


(36)

Menurut Benny D setianto, menemukan empat kategori kewariaan yaitu: 1. Pria yang menyukai pria.

2. Kelompok yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan.

3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan.

4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok itu sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka (Pujileksono & Puspitosari, 2005:9). Dilihat dari definisi sosiologi, waria adalah suatu transgender, maksudnya adalah mereka menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan. Sedangkan waria dalam konteks psikologis sebagai penderita transeksual, yakni seorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara seksual, waria menyukai laki-laki, orientasi seksualnya itu sama dengan homo seks (Pujileksono & Puspitosari, 2005:9-10).

Dalam realitasnya waria seringkali diasumsikan berbeda-beda oleh beberapa orang, keberadaan waria menimbulkan pro dan kontra dikalangan agamawan. Pro dan kontra tersebut mendatangkan berbagai macam pendapat. Mulai dari menghalalkan dengan beberapa syarat sampai benar-benar mengharamkan dan harus diubah atau dikembalikan pada jenis kelamin yang sesungguhnya.

Dalam agama Islam, homoseks sebagai perbuatan yang melanggar hukum, yang layak dihukum maksimal, karena membawa akibat buruk, mengandung kejahatan dan dosa, serta merusak moral dan mental. Menurut pendapat para MUI 11 Oktober 1997, menyatakan;


(37)

a. Waria adalah laki-laki, namun bertingkah laku (dengan sengaja) seperti wanita. Oleh karena itu, waria bukanlah khunsa sebagaimana dimaksud dalam hukum Islam.

b. Khunsa adalah orang yang memiliki dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.

Mengingat hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita (dengan sengaja), demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haram dan dilarang agama, Hadist menegaskan : “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Nabi Muhammad SAW melaknat laki-laki yang berpenampilan perempuan dan perempuan yang berpenampilan laki-laki. (HR. Bukhori).

Selanjutnya, MUI memfatwakan :

a. Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri.

b. Segala perilaku waria yang menyimpang adakah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula.

Berbeda dengan agama Hindu-Budha, agama tersebut memandang seksualitas mempunyai batasan yang terkadang abstrak (agama dominan estetika). Dalam agama tersebut tidak terlalu memberikan batasan-batasan terhadap seksualitas.

Dalam agama Kristen, homoseks sangatlah dikutuk atau tidak dibenarkan. Di gereja-gereja hanya mengajarkan cinta lawan jenis saja. Menurut Hatib Abdul Kadir dalam tulisannya Homoseksual dan Negara menyatakan ;


(38)

“Ada ajaran puritan Jean Calvin (1506-1564) di Inggris, yang menganggap homoseksual sebagai pendosa berat. Ajaran tersebut membuat banyak warga homoseks yang kemudian digantung dan dibakar”.

Menurut agama Nasrani, homoseksual, kalau terjadi mendapat kutukan yang keras, tetapi jiwa tetap ‘jiwa banci’ atau ‘jiwa homoseksual’, dan jiwa surga Nasrani (Pujileksono & Puspitosari, 2005:17-19).

2.1.7 Berita

Berita adalah sebuah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak pendengar (Paul De Massenner) dalam buku Here’s The News: Unesco associate. Menurut Doug Newsonm dan James A. Wollert dalam Media Writing News for the Mass Media (1985: 11) berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa yang mereka butuhkan.

Sedangkan menurut AS Haris Sumadiria, berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui medi berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on line internet.

Banyak definisi dari berita atau news yang dapat diketahui dari berbagai literatur, yang satu sama lain berbeda disebabkan pandangannya dari sudut yang berlainan.

Beberapa tahun yang lalu para ahli mendefinisikan berita dengan pandangan dari sudut surat kabar saja. Kini media elektronik yang juga menyiarkan berita harus diperhitungkan. Kenyataan menunjukkan bahwa penyiaran berita oleh stasiun radio dan televisi sangat berpemgaruh terhadap jurnalistik surat kabar, antara lain dalam kecepatan


(39)

sampainya berita kepada khalayak. Berita, baik surat kabar, majalah, radio, atau televisi, adalah laporan wartawan. Banyak peristiwa yang terjadi, apakah itu kecelakaan, pemerkosaan, korupsi, atau pernyataan seseorang yang ternama, tetapi jika tidak dilaporkan oleh wartawan, tidak akan menjadi berita. Ciri hakiki berita sebagai laporan dibandingkan dengan laporan lainnya, umpamanya laporan hasil survei, laporan komisi DPR, atau laporan petugas kepada atasannya ialah bahwa berita merupakan laporan yang sangat cepat (timely) dan mengenai kepentingan umum (public interest).

2.1.8 Fatwa MUI Haramkan Perubahan Jenis Kelamin

Adanya pemberitaan diharamkannya perubahan jenis kelamin. Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap perubahan jenis kelamin jika hal itu dilakukan dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan. Mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram. Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah melalui pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII pada 27 Juli 2010. Selain mengenai perubahan alat kelamin MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa lain. MUI juga memfatwakan, tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut. Adapun menyempurnakan kelamin bagi seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan hukumnya, demikian juga dengan penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin. Dengan


(40)

demikian, hal tersebut memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan tersebut. Kedudukan hukumnya sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan, sekalipun hal itu belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan tersebut. Atas dasar fatwa tersebut, MUI memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu sebagai pedoman dalam memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan. Selain itu, pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti kelamin.(http://www.surya.co.id/2010/07/27/MUI/Haramkan-Perubahan-Jenis-Kelamin.html).

2.1.9 Teori S-O-R

Pada awalnya teori ini berasal dari psikologi, karena adanya kesamaan objek material dari psikologi sama, maka teori ini menjadikan kajian teori ilmu komunikasi yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen – komponen opini, sikap, perilaku, afektif, konasi dan kognitif.

Teori S-O-R singkatan dari Stimulus-Organism-Response. Stimulus sendiri berarti pesan diantara dua unsur komunikasi yaitu komunikator dan komunikan. Komunikator memberikan pesan berupa tanda, lambang dan gambar kepada komunikan. Organism berarti komunikan sebagai penerima pesan atau informasi dari komunikator. Setelah komunikan memperhatikan tanda, lambang maupun gambar, kemudian komunikan merespon dengan cara memperhatikan dan memahami pesan yang disampaikan. Selanjutnya response diartikan efek sebagai akhir dalam proses


(41)

komunikasi. Keberhasilan dalam proses komunikasi adalah menimbulkan perubahan kognitif, afektif dan konatif pada diri komunikan.

Menurut teori ini efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat megharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Selain itu teori menjelaskan tentang pengaruh yang terjadi pada pihak penerima sebagai akibat dari ilmu komunikasi (Mc.Quail,1991:234). Akibat atau pengaruh yang terjdi merupakan suatu reaksi tertentu dari rangsangan tertentu. Artinya stimulus dan dalam bentuk apa pengaruh atau stimulus tersebut tergantung dari isi pesan yang ditampilkan.

Unsur – unsur dalam model ini adalah :

a. Pesan (Stimulus), merupakan pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Pesan yang disampaikan tersebut dapat berupa tanda dan lambang. b. Komunikan (Organism), merupakan keadaan komunikan disaat menerima pesan.

Pesan yang disampaikan oleh komunikator diterima sebagai informasi dan komunikan akan memperhatikan informasi yang disampaikan komunikator. Perhatian disini diartikan bahwa komunikan akan memperhatikan setiap pesan yang disampaikan melalui tanda dan lambang. Selanjutnya komunikan mencoba untuk mengartikan dan memahami setiap pesan yang disampaikan oleh komunikator.

c. Efek (Respon), merupakan dampak dari komunikasi. Efek dari komunikasi adalah perubahan sikap yaitu sikap kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif merupakan efek yang ditimbulkan setelah adanya komunikasi. Efek kognitif berarti bahwa setiap informasi menjadi bahan pengetahuan bagi komunikan (Effendy,2003:255).


(42)

Jika unsur stimulus berupa pesan, unsur organism berupa perhatian, pengertian dan penerimaan komunikan dan unsur respon berupa efek. Maka sangat tepat jika peneliti menggunakan teori S-O-R untuk dipakai sebagai pijakan teori dalam penelitian.

Teori S-O-R dapat digambarkan sebagai berikut Organism : a. Perhatian b. Pengertian c. Penerimaan

Respon: a. Kognitif b. Afektif c. Konatif Stimulus

Gambar 1. Model Teori S-O-R (Effendy,2003:255)

Menurut gambar dari model diatas menunjukkan bahwa stimulus atau pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan berupa isi pesan yang berisi tentang “diharamkannya operasi jenis kelamin” di media massa yang mungkin diterima atau mungkin saja terjadi penolakan. Dalam tahapan berikutnya bila komunikan menerima stimulus atau pesan yang disampaikan maka akan memperhatikan. Proses selanjutnya komunikan tersebut mengerti dari pesan yang telah disampaikan. Dan proses terakhir adalah kesediaan diri komunikan untuk mengubah sikap yang menandakan keberhasilan dalam proses komunikasi (Effendy,2003:256).


(43)

2.2. Kerangka Berfikir

Stimulus : Organism : Respon (Sikap Berita mengenai Waria Surabaya Waria Surabaya) : “ diharamkannya a. Perhatian a. Kognitif

perubahan b. Pengertian b. Afektif jenis kelamin” c. Penerimaan c. Konatif

Gambar 2. Kerangka Berpikir (Sumber: Effendy,2003:255 )

Gambar kerangka berpikir diatas memberikan penjelasan bahwa stimulus atau pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan berupa isi pesan yang berisi tentang “diharamkannya perubahan jenis kelamin” yang mungkin diterima atau terjadi penolakan, kemudian komunikan (Waria Surabaya) membaca berita tersebut melalui proses perhatian, pengertian, penerimaan, yang selanjutnya akan menimbulkan efek kognitif (tingkat pengetahuan) menjadi tahu tentang “diharamkannya operasi jenis kelamin” , efek afektif (perasaan senang atau tidak senang ataupun kecewa serta jengkel) dan efek konatif yang berkaitan dengan sikap terhadap “diharamkannya perubahan jenis kelamin”.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional disini dimaksudkan untuk menjelaskan indikator dari variabel penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu, kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu (Bungin,2001:48).

Pengertian dari variabel adalah konsep dalam bentuk konkret atau konsep operasional yang acuan – acuannya lebih nyata dan secara relatif mudah diidentifikasi dan diobservasi serta dengan mudah diklasifikasi (Bungin,2001:77). Definisi operasional variabel dilakukan dengan melakukan operasionalisasi konsep yaitu dengan mengubah konsep menjadi variabel. Maka konsep – konsep tersebut akan diteliti secara empiris (Singarimbun,1995:41).

Penelitian ini akan dipusatkan untuk mengetahui Sikap Waria Surabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin di Media Massa, ini dapat dibedakan menjadi tiga hal yaitu komponen kognitif, komponen afektif serta komponen konatif. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel sikap.


(45)

3.1.1 Sikap dan Pengukuran Variabel

Sikap adalah kecenderungan bertindak, berfikir, persepsi dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi ataupun nilai. Sikap bukanlah perilaku tetapi lebih merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa orang, situasi informasi maupun kelompok (Sobur,2003:361).

Sikap dalam penelitian ini adalah kecenderungan Waria Surabaya untuk bertindak, berpikir dan berpersepsi setelah membaca berita yang disajikan media massa tentang Fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin.

Sikap merupakan perwujudan respon dari komunikan terhadap stimulus yang diterima. Sikap dapat diukur dari beberapa komponen, yaitu:

1. Komponen Kognitif, berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku

atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan terbentuk oleh apa yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui, kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. Bila kepercayaan sudah terbentuk, maka akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tersebut.

Komponen kognitif dalam penelitian ini, antara lain:

a. Mengetahui tentang Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram

perubahan jenis kelamin.

b. Mengetahui tentang dampak yang ditimbulkan dengan dikeluarkannya


(46)

c. Mengetahui tentang Ketua Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa merubah jenis kelamin dengan sengaja membahayakan diri sendiri dan orang lain.

d. Mengetahui tentang merubah jenis kelamin termasuk perbuatan khaba’is

yang dilarang dalam Al-Qur’an.

Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 1

Tidak Setuju (TS) : skor 2

Setuju (S) : skor 3

Sangat Setuju (SS) : skor 4

Interval komponen kognitif = (4x4) – (4x1) = 16 – 4 = 12 = 4

3 3 3

Skor negatif = 4 – 7 : Artinya bahwa responden tidak mendukung dengan

pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor netral = 8 – 11 : Artinya bahwa responden tidak berpendapat atau

tidak mendukung dengan pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor positif = 12 – 16 : Artinya bahwa responden mendukung dengan


(47)

kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

2. Komponen Afektif, dibentuk oleh aspek perasaan terhadap objek. Komponen

ini berkaitan dengan aspek emosional dari Waria Surabaya terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin di media massa. Komponen afektif dalam penelitian ini, antara lain :

a. Merasa Senang dengan dikeluarkannya fatwa haram perubahan jenis

kelamin oleh Majelis Ulama Indonesia.

b. Merasa Tenang atas dasar hukum dikeluarkannya fatwa haram perubahan

jenis kelamin oleh Majelis Ulama Indonesia.

c. Setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia

bahwa merubah jenis kelamin secara sengaja dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.

d. Merasa Senang apabila fatwa haram merubah jenis kelamin yang

dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia disahkan menjadi sebuah peraturan.

Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 1

Tidak Setuju (TS) : skor 2

Setuju (S) : skor 3


(48)

Interval komponen kognitif = (4x4) – (4x1) = 16– 4 = 12 = 4

3 3 3

Skor negatif = 4 – 7 : Artinya bahwa responden tidak mendukung dengan

pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor netral = 8 – 11 : Artinya bahwa responden tidak berpendapat atau

mendukung dengan pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor positif = 12 – 16 : Artinya bahwa responden mendukung dengan

pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

3. Komponen Konatif, yaitu meliputi kecenderungan untuk bertindak atau

bereaksi terhadap fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dinyatakan oleh pihak Majelis Ulama Indonesia.Konatif berkaitan dengan kecenderungan untuk memberikan respon, dalam penelitian ini adalah:

a. Pembaca terus mengikuti perkembangan fatwa haram perubahan jenis


(49)

b. Mengikuti dampak yang ditimbulkan dengan dikeluarkannya fatwa haram perubahan jenis kelamin oleh Majelis Ulama Indonesia.

c. Akan melakukan perubahan jenis kelamin setelah mengetahui bahwa

merubah jenis kelamin membahayakan diri sendiri dan orang lain.

d. Akan Melakukan Demonstrasi apabila fatwa haram perubahan jenis

kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia disahkan menjadi sebuah peraturan.

Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 1

Tidak Setuju (TS) : skor 2

Setuju (S) : skor 3

Sangat Setuju (SS) : skor 4

Interval komponen kognitif = (4x4) – (4x1) = 16 – 4 = 12 = 4

3 3 3

Skor negatif = 4 – 7 : Artinya bahwa responden tidak mendukung dengan

pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor netral = 8 – 11 : Artinya bahwa responden tidak berpendapat atau

mendukung dengan pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.


(50)

Skor positif = 12 – 16 : Artinya bahwa responden mendukung dengan pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Dalam melakukan pengukuran variabel sikap digunakan skala likert. Skala likert yaitu skala yang digunakan untuk mengukur tanggapan responden terhadap objek penelitian yang menggunakan bobot 1 sampai dengan 4. Dalam melakukan penskalaan dengan model ini, responden diberi daftar pertanyaan mengenai sikap, setiap pertanyaan akan disediakan jawaban yang harus dipilih oleh responden untuk menyatakan ketidaksetujuannya (Singarimbun,1995:111). Jawaban dari masing – masing pertanyaan yang ada di kuisioner digolongkan dalam empat jenis pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S) dan Sangat Setuju (SS). Dalam kategorisasi ini, alternatif jawaban ragu – ragu (undecided) ditiadakan, menurut Kriyantono (2007:134) alasannya adalah sebagai berikut:

1. Kategori undecided memiliki arti ganda, bisa diartikan belum dapat

memberikan jawaban, netral dan ragu – ragu. Kategori jawaban yang memiliki arti ganda instrument.

2. Tersedianya jawaban di tengah menimbulkan multi interpretable. Hal ini tidak

diharapkan dalam kecenderungan menjawab ke tengah (central tendency

effect), terutama bagi mereka yang ragu – ragu akan kecenderungan jawabannya.


(51)

3. Disediakan jawaban di tengah akan menghilangkan banyaknya data penelitian, sehingga mengurangi banyaknya informasi yang dapat dijaring responden.

Setelah melakukan kategori pilihan jawaban dari pertanyaan kuisioner dilanjutkan dengan pemberian nilai sebagai berikut:

Sangat Tidak Setuju (STS) : mempunyai skor 1

Tidak Setuju (TS) : mempunyai skor 2

Setuju (S) : mempunyai skor 3

Sangat Setuju (SS) : mempunyai skor 4

Maka selanjutnya skoring dilakukan dengan menjumlahkan skor dari setiap pertanyaan, sehingga diperoleh skor total dari tiap kuisioner tersebut untuk masing – masing responden. Untuk mengkategorikan sikap komunitas waria kedalam tiga interval, yaitu positif, netral dan negatif dilakukan dengan menggunakan rumus:

Interval = skor tertinggi – skor terendah Jenjang yang diinginkan Keterangan :

Range (R) : Batasan dari setiap tingkatan

Skor tertinggi : Perkalian antara nilai tertinggi dengan jumlah item pertanyaan Skor terendah : Perkalian antara nilai terendah dengan jumlah item pertanyaan

Jumlah dari pertanyaan keseluruhan yang berkaitan dengan Sikap Waria Surabaya terhadap “Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin” adalah 12 pertanyaan. Maka perhitungan pengukuran intervalnya adalah sebagai berikut:


(52)

Skor terendah : 1 x 12 = 12 Skor tertinggi : 4 x 12 = 48

Interval keseluruhan = 48 – 12 = 36 = 12

3 3

Tolak ukur terjadinya pengaruh terhadap sikap masyarakat, dapat diketahui melalui sikap yang dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Respon positif, jika seseorang menyatakan setuju

b. Respon negatif, jika seseorang menyatakan tidak setuju

c. Respon netral, jika seseorang tidak memberikan pendapatnya tentang suatu

obyeknya.

Jadi, interval keseluruhan (batasan skor) yaitu :

Skor negatif = 12 – 23 : Artinya bahwa responden tidak mendukung dengan

pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor netral = 24 – 35 : Artinya bahwa responden tidak berpendapat atau

mendukung pernyataan mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Skor positif = 36 – 48 : Artinya bahwa responden mendukung dengan

pernyataan mengenai fatwa haram perubahn jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.


(53)

3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti (Sugiono, 2005:90). Populasi dari penelitian ini adalah Waria Surabaya yang berada di Surabaya berdasarkan dimana tempat mereka berinteraksi.

3.2.2 Sampel dan Teknik Penarikan Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tertentu (Sugiyono,2002:56). Sampel dalam penelitian ini adalah Waria Surabaya dengan jalan mendatangi tempat atau lokasi dimana menjadi tempat interaksi sesama Waria.

Maka teknik penarikan sampel yang akan peneliti gunakan adalah Accidental Sampling .

Dengan pertimbangan bahwa populasinya bervariasi, berbeda-beda karakternya dan bersifat heterogen, maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang responden dengan pertimbangan bahwa jumlah sampel tersebut cukup representatif untuk mewakili populasi. Pengambilan sampel sebanyak 100 respon dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Hussein, 1997 : 66).


(54)

n = Z.1/2 . 0,05 ² 0.20

n = 1.96 ²

0.20

n = 96,04 ; n = 100 (pembulatan)

Keterangan:

E = 0,20 (error of estimate) α = 0,05

Z ½ = tabel distribusi normal sampel

Digunakan rumus ini karena populasi belum diketahui. Sedangkan teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Accidental Sampling.

Menurut Sutrisno Hadi (1992 : 46) Accidental Sampling merupakan teknik pengambilan

sampel yang dilakukan terhadap responden yang secara kebetulan ditemui pada obyek penelitian ketika observasi sedang berlangsung.


(55)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara dalam mengumpulkan data-data dari lapangan yang nantinya digeneralisasi dan dianalisis. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara observasi, penyebaran kuesioner, dan pengumpulan data-data sekunder (Rakhmat, 2001:96). Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari tempat penelitian (dari sumbernya) dan diolah sendiri oleh lembaga yang bersangkutan untuk dimanfaatkan (Ruslan, 2003:138). Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner yang dibagikan pada responden.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui perantara atau menggunakan lembaga lain yang bukan pengolahnya, tetapi dapat dimanfaatkan dalam suatu penelitian tertentu (Ruslan, 2003:138). Data sekunder pada penelitian ini adalah buku-buku yang terkait dengan judul penelitian, dan data-data yang ada di website.


(56)

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan tabel frekuensi yang digunakan untuk menggambarkan data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuisioner yang diisi oleh responden.

Data yang diperoleh dari hasil kuisioner selanjutnya akan diolah untuk mendiskripsikan. Pengolahan data yang diperoleh dari hasil kuisioner terdiri dari: mengedit, mengkode, dan memasukkan data tersebut dalam tabulasi data untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif setiap pertanyaan yang diajukan. Data yang didapat dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan rumus:

P = F x 100% N

Keterangan :

P = Persentase Responden F = Frekuensi Responden N = Jumlah Responden

Dengan menggunakan rumus tersebut maka diperoleh apa yang diinginkan peneliti dengan kategori tertentu. Hasil perhitungan selanjutnya dilampirkan dalam tabel yang disebut tabulasi agar mudah diinterpretasik.


(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat penting bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat jika mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti “[Mafaahim al Islaamiyyah,juz 1, hal. 240]. Jadi definisi fatwa adalah penjelasan hokum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat (http://hizbut-tahrir.or.id).

Definisi haram itu adalah mayuaqabufiluhu (mendapat siksa ketika dikerjakan), sehingga jika seseorang melakukan perbuatan itu maka ia berdosa dan mendapatkan siksa dari Alah (http://dutamasyarakat.com). Adapula definisi lain dari haram yaitu satu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau kita melanggarnya, berdosalah (http://www.garutkab.go.id).

Ketetapan haram ini sesuai dengan Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap perubahan jenis kelamin jika hal itu dilakukan dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan. Mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram. Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah melalui pembahasan dalam


(58)

Musyawarah Nasional (Munas) VIII pada 27 Juli 2010. Selain mengenai perubahan alat kelamin MUI Musyawarah Nasional (Munas) VIII pada 27 Juli 2010. Selain mengenai perubahan alat kelamin MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa lain. MUI juga memfatwakan, tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut. Adapun menyempurnakan kelamin bagi seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan hukumnya, demikian juga dengan penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin. Dengan demikian, hal tersebut memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan tersebut. Kedudukan hukumnya sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan, sekalipun hal itu belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan tersebut. Atas dasar fatwa tersebut, MUI memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu sebagai pedoman dalam memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan. Selain itu, pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti kelamin(http://www.surya.co.id/2010/07/27/MUI/Haramkan-Perubahan-Jenis Kelamin.html).


(59)

4.2. Penyajian Data dan Analisis Data

Pada bab ini akan disajikan dan diuraikan temuan-temuan yang diperoleh dari pengumpulan data penelitian. Pada penelitian ini ditetapkan 100 orang sebagai sample. Sejumlah kuesioner yang disebarkan keseluruhan pada waria-waria di Surabaya yang peneliti temui dan bisa dijadikan sebagai responden.

Responden dalam penelitian ini adalah waraa muslim Surabaya dan berusia 17-60 tahun yang mengetahui tentang Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin di Media Massa. Metode analisis Data dalam penelitian ini menggunakan table frekuensi yang digunakan untuk menggambarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara berdasarkan penyebaran kuesioner yang diisi oleh responden.

4.2.1. Identitas Responden

Dalam penelitian ini, peneliti akan memaparkan tentang karakteristik responden dari obyek penelitian yaitu waria Surabaya terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin. Adapun data tentang karakteristik yang disajikan oleh peneliti antara lain berdasarkan usia yang dapat diuraikan sebagai berikut selengkapnya tertera pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Usia Responden

No Usia Frekuensi Prosentase

1 17-26 Tahun 71 71

2 27- 36 Tahun 26 26

3 37 - 47 Tahun 3 3

Jumlah 100 100 Sumber: Kuesioner Responden


(60)

Dari tabel yang tertera diatas menunjukkan bahwa usia responden yang paling banyak terdapat pada usia 17 sampai dengan 26 tahun yakni sebanyak 71 orang atau sebesar 71%, sedangkan untuk responden yang berusia antara 27 sampai dengan 36 tahun yakni sebanyak 26 orang atau sebesar 26 % dan untuk responden yang berusia 37 sampai dengan 47 tahun yakni sebanyak 3 orang atau sebesar 3%, Banyaknya responden yang masih berusia antara 17 sampai dengan 26 tahun hal ini disebabkan karena pada usia tersebut adalah usia dimana kedewasaan sudah terjadi, hal inilah menjadi keinginan dari responden untuk selalu mendapatkan pengetahuan.

Tabel 4.2 Pekerjaan Responden

No Pekerjaan Frekuensi Prosentase

1 Mahasiswa 17 17

2 Pegawai Swasta 64 64

3 Wiraswasta 19 19

Jumlah 100 100 Sumber: Kuesioner Responden

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar dalam penelitian ini adalah yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta yakni 64 orang atau sebesar 64%, yang masih sebagai mahasiswa sebanyak 17 orang atau sebesar 17%, dan yang bekerja sebagai Wiraswasta sebanyak 19 orang atau sebesar 19%, Dengan banyaknya responden yang bekerja sebagai pegawai swasta dan wiraswasta dikarenakan mereka lebih memiliki banyak waktu, selain itu mereka tidak terikat pada waktu kerja serta dapat menambah wawasan pengetahuan agar tidak ketinggalan informasi.


(61)

Tabel 4.3

Pendidikan Terakhir Responden

No Pendidikan Terakhir Frekuensi Prosentase

1 SLTA 89 89

2 Diploma 5 5

3 S-1 6 6

Jumlah 100 100 Sumber: Kuesioner Responden

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar dalam penelitian ini mempunyai pendidikan terakhir SLTA yakni sebanyak 89 orang atau sebesar 89 %, kemudian yang berpendidikan terakhir Diploma yakni sebesar 5 orang atau sebesar 5 %, serta yang mempunyai pendidikan terakhir S-1 yakni sebanyak 6 orang atau sebesar 6 %.

Dengan banyaknya jumlah responden yang mempunyai pendidikan terakhir SLTA hal tersebut dapat dikarenakan responden yang mempunyai pendidikan terakhir ini bisa lebih selektif dalam mendapatkan pengetahuan sehingga mereka sudah dapat menelaah berita yang ada tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin.

4.2.2. Sikap Waria Suarabaya Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Haramkan Perubahan Jenis Kelamin

Berikut ini adalah data yang menunjukkan tentang sikap responden terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin. Sikap pada diri responden dapat dikategorisasikan menjadi tiga yaitu: Aspek Kognitif, Aspek Afektif dan Aspek Konatif.


(62)

4.2.2.1. Aspek Kognitif

Aspek kognitif ini berkaitan dengan pengetahuan atau pemahaman responden terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin. Pada bagian ini pertanyaan-pertanyaan yang ada akan menunjukkan aspek kognitif terhadap dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin. Pertanyaan tentang aspek kognitif ini terdiri dari empat pertanyaan. Data-data dan analisanya ada pada tabel-tabel berikut :

a. Mengetahui Tentang Majelis Ulama Indonesia Mengeluarkan Fatwa Haram Perubahan Jenis Kelamin.

Mengetahui tentang Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram perubahan jenis kelamin pada penelitian ini dimaksudkan adalah keingintahuan responden terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram perubahan jenis kelamin.

Tabel 4.4

Aspek Kognitif Responden Mengetahui Tentang MUI mengeluarkan Fatwa Haram Perubahan Jenis Kelamin

No Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

1 Sangat Setuju 57 57

2 Setuju 43 43

3 Tidak Setuju - -

4 Sangat Tidak Setuju - -

Jumlah 100 100 Sumber: Kuesioner Responden


(1)

72

Tabel 4.19 Sikap Keseluruhan

No Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

1 Positif 23 23

2 Netral 73 73

3 Negatif 4 4

Jumlah 100 100 Sumber: Pengolahan Kuesioner

Dari tabel diatas dapat dinyatakan bahwa sebagian besar sikap responden tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin pada kategori netral dikarenakan para responden mengetahui tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin akan tetapi fatwa tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi mereka. Dalam artian adanya fatwa tersebut hanya dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi responden.

Sedangkan yang berada pada kategori positif dikarenakan responden menilai bahwa fatwa haram merubah jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia tersebut cukup informatif secara lengkap dan mudah dipahami, seperti dampak – dampak yang ditimbulkan. Hal ini dibuktikan bahwa reponden lebih tidak memilih melakukan perubahan jenis kelamin,responden lebih memilih jenis kelamin apa adanya sesuai kodrat mereka masing-masing.

Untuk yang termasuk dalam kategori negatif, mereka tidak mendapat informasi yang jelas tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin di media massa fatwa tersebut dianggap terlalu berbelit sehingga sulit untuk dipahami. Mereka kecewa dan marah, sehingga mereka tidak mendukung adanya pemberitaan fatwa


(2)

73

Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan jenis kelamin. Hal ini dibuktikan dengan responden menggunakan hak mereka untuk merubah jenis kelamin yang mereka inginkan

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden memiliki sikap netral terhadap fatwa haram Majelis Ulama Indonesia perubahan jenis kelamin dikarenakan responden tidak berpendapat atau tidak mendukung mengenai fatwa haram perubahan jenis kelamin tersebut, responden melihat selama ini yang menjadi pola pikir masyarakat telah merembes terhadap lembaga perwakilan pemerintah seperti Badan Majelis Ulama Indonesia. Majelis Ulama Indonesia sebagai badan fatwa resmi tanpa pandang bulu telah mengharamkan seluruh aktifitas responden tanpa memilah-milah apakah baik di masyarakat atau tidak. Responden berharap bahwa kepedulian pemerintah dapat mengangkat harkat dan martabat sehingga dapat terbebas dari kemiskinan untuk memiliki penghasilan yang layak dari hasil usahanya tersebut.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari data yang telah diperoleh dan diolah pada bab IV, maka di dapatlkan kesimpulan yang hasilnya dapat diketahui sebagai berikut :

1. Sikap responden berada pada kategori netral dikarenakan para responden merasa bahwa fatwa haram merubah jenis kelamin yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sangat informatif karena menyajikan pihak yang memberikan dukungan dan dampak yang ditimbulkan, tetapi fatwa tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi mereka. Fatwa tersebut hanya dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan.

2. Dalam kategori positif, responden cenderung setuju dengan dikeluarkannya fatwa haram merubah jenis kelamin setidaknya akan dapat mengurangi dampak merubah jenis kelamin terhadap kesehatan dan responden akan melaksanakan fatwa haramkan perubahan jenis kelamin tersebut.

3. Dalam kategori negatif, responden menolak dikeluarkannya fatwa haram tersebut. Penolakan tersebut dikarenakan dianggap terlalu berbelit sehingga sulit untuk dipahami serta timbulnya keraguan akan dasar-dasar hukum yang mendasari atas fatwa tersebut dan kurang kuatnya landasan hukum tersebut.


(4)

75 5.2. Saran

Saran yang disampaikan oleh peneliti yang berkaitan dengan sikap waria Surabaya terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan perubahan Jenis Kelamin yaitu:

1. Media massa sebagai salah satu sumber informasi dan hiburan diharapkan mampu menampilkan berita secara berimbang, apa adanya dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya, kepada khalayak pemirsa televisi agar masyarakat dapat mengetahui fakta yang sebenarnya.

2. Dari data dan uraian skripsi ini, diharapakan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan referensi bagi Majelis Ulama Indonesia daerah Surabaya dalam membahas fatwa haram perubahan jenis kelamin.


(5)

76

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Assegaf, Djaffar, 1991, Jurnalistik Masa Kini, Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Azwar, Saifuddin, 2008, Sikap Manusia dan Teori Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Basrowi, 2005, Pengantar Sosiologi, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Bungin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press.

Bungin, Burhan, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Djuroto, Totok, 2002, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Effendy, Onong Uchjana, 1993, Dinamika Komunikasi, Bandung: PT Rosda Karya. Effendy, Onong Uchjana, 1995, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung : PT

Remaja Rosdakarya.

Effendy, Onong Uchjana, 1993, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT Citra Adity Bakti.

Hadi, Sutrisno, 2000, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta. Koeswinarno, 2004, Hidup Sebagai Waria, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Kriyantono, Rachmat, 2006, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama, 2007, Jurnalistik Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mc Quail, Denis, 1991, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Jakarta: Erlangga Pujileksono, Sugeng, Hesti dan Puspitosari, 2005, Waria dan Tekanan Sosial, Malang:

UMM Press Malang.


(6)

77

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy, 1995, Metode Penelitian Survei, Yogyakarta: Pustaka LP3ES.

Sobur, Alex, 2003, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka setia. Solihan, 2005, Kepada Para Waria, Bogor: Al-Azhar Press.

Sugiyono, 2002, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D, Bandung: Al Fabeta.

Sumadiria, As Haris, 2005, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media Zunly, Nadia, 2005, Waria Laknat atau Kodrat, Yogyakarta: Galang Press.

Non Buku :

http://www.surya.co.id/2010/07/27/MUI/Haramkan-Perubahan-Jenis-Kelamin.html. http://hizbut-tahrir.or.id.

http://dutamasyarakat.com. http://www.garutkab.go.id

groups.yahoo.com/group/syiar-islam/message/25382 Jawa Pos Rabu 28 Juli 2010

http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih/10332-status-waria-dan-hukum-operasi-kelamin

http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/10/status-hukum-waria http://www.dakwatuna.com/wap/index-wap2.php?p=3427 http://ahmadzain.com//fiqihnikah/html

http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/06/21/fenomena-transgender-status-waria-dan-hukum-operasi-kelamin/.