Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme

Ompu i |85 mengenai latar belakang RMG sebagai bentuk integritas atas institusi zending. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh-pengaruh yang membentuk dan mendasari RMG itu sendiri sebagai badan zending, khususnya ketika konteks di dalam semangat zaman itu dipahami dalam melakukan misinya, baik berupa kebijakan maupun tekhnik atau strategi misi. Untuk itu, saya akan mencoba memaparkan mengenai latar belakang RMG ini. RMG yang lahir di Barmen, Jerman pada 28 September 1828 merupakan gabungan dari beberapa badan zending, di mana aliran pietisme menjadi dasar dari badan zending ini; yang merujuk kepada gerakan kebangunan rohani dan gerakan pekabaran Injil di Inggris. Namun demikian selaku badan zending, RMG juga dipengaruhi oleh berbagai ajaran atau paham, terutama dalam pemikiran yang berkembang pada saat itu dan menjadi semangat zaman, baik dalam bidang teologi maupun filsafat. Ini artinya, di balik tujuannya di dalam pekabaran Injil dan membawa kedamaian, badan zending RMG ini justru menyimpan beberapa paham, yakni paham yang berkembang pada saat itu, kolonialisme dan rasisme. Paham ini merupakan pengaruh zaman yang dibungkus dengan semangat pietisme dalam sebuah proyeksi pekabaran Injil. Ada beberapa hal yang perlu disorot dalam melihat pengaruh zaman atas badan zending itu sendiri, yakni: Pertama, Filsafat Idealisme. Aliran ini mengedepankan semangat nasionalisme dan idealisme Jerman. Tokoh- tokoh seperti Fichte, G.W.F. Hegel dan Schelling mendasari aliran ini. Filsafat Idealisme melihat realitas memiliki korelasi dengan pikiran dan mengatasinya. Ketika rasionalisme dan empirisme berusaha mengkritik metafisika tradisional, maka filsafat ini justru tidak menempatkan rasio dalam subjek, melainkan dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ompu i |86 mengatasi realitas itu sendiri, atau yang sering Hegel katakan seba gai “subjek a bsolut.” Ia menggunakan rasionalisme dan naturalisme dengan menempatkan rasio sebagai sebagai kesahihan yang mutlak. Melalui Dialetika Hegel, tese- antitese-sintese, “subjek absolut” hadir dalam mengatasi sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan, sehingga idealisme sendiri menjadi demitologis atas teologi Kekristenan atau dengan kata lain selalu merasionalisasikannya menjadi spekulasi filosofis. 9 Namun ditengah pemikirannya ini, ia justru meyakini superioritas kebudayaan Eropa, khususnya Jerman, atas kebudayaan lainnya. Melalui dialektikanya, ia menjelaskan bahwa kebudayaan Eropa, khususnya ras Jerman, merupakan sintesa atas kebudayaan Asia sebagai tese dan kebudayaan Laut Tengah sebagai anti-tesenya. 10 Keyakinannya atas superioritas Jerman tidak berhenti hingga di sini, ia juga meyakini bahwa Kekristenan melalui Roh Kudus merupakan Roh Absolut, di mana ia merendahkan agama lainnya, Yahudi maupun Islam. Dampak pemikiran Hegel ini justru menyulut keyakinan dan membangkitkan rasa superioritas masyarakat Jerman terhadap rasnya sendiri, termasuk para misionaris RMG sendiri. 11 Bahkan pemikirannya mengenai Tuan dan Budak MasterSlave justru mendapatkan apresiasi dan apologi atas kolonialisme yang dilakukan Jerman untuk menaikkan atau mengangkat harkat masyarakat jajahan. Mekanismenya bahwa tuan mengenal dan mengukuhkan dirinya dengan cara memaksakan 9 The Cambridge Dictionary of Philosophy edisi kedua, hl. 412. 10 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988, hl. 94. 11 Orang yang membawa dan mengajarkan pemahaman Hegel kepada para misionaris RMG ini, yakni Gustav Klemm 1802-1872 seorang ahli etnologi. Lih. Ibid., hl. 94. Ompu i |87 kesadarannya sendiri sebagai kesadaran yang lain, dan budakpun sebaliknya yang mengenali dirinya dalam kesadaran tuannya, sehingga budak menjadi tuan ketika mengerjakan kehendak tuannya melalui hasil-hasil kerjanya atau dengan kata lain menjadi tuan atas alam. Pemikiran Hegel ini dipegang sepenuhnya oleh beberapa tokoh RMG; dan orang yang menyebarkan dan mengajarkan pemikiran Hegel ini ke RMG adalah Gustav Klemm 1802-1872, seorang antropolog. 12 Hal ini terlihat dari beberapa pemikiran para tokoh RMG yang memahami penjajahan merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. 13 Kedua, hampir sama dengan yang pertama namun lebih spesifik kepada etnis dan komunitas itu sendiri, yakni ethno-nasionalisme. Istilah nasionalisme pertama kali digunakan oleh Gottfried von Herder 1744-1803, yang datang dari tradisi Romantisme Jerman. Istilah ini sebenarnya ia gunakan bukan dalam arti chauvinisme melainkan lebih dari pada itu, yakni memberikan arti tentang kehidupan dan pengembangan pendidikan di dalam kemanusiaan yang dapat dilakukan melalui budaya yang sama serta bahasa yang khusus. Bahkan gagasan Herder ini dikembangkan Fichte kemudian bahwa adanya perbedaan bahasa dalam suatu Negara akan menimbulkan hambatan dalam perkembangan suatu Negara. 14 Pandangan ini ingin menekankan etnis atau masyarakat homogen kepada suatu ide komunitas nasional yang harus di jaga dan dilindungi. Namun perkembangan selanjutnya pandangan ini justru semakin ditingkatkan oleh Hitler dalam bentuk 12 F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche Jakarta: Erlangga, 2011, hl. 159. 13 Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba Jakarta: Obor, 2010, hl. 61. 14 Richard Allen, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion, dalam Jurnal Polis Vol.3, 2010 University of Leeds, hl. 7. Ompu i |88 chauvinisme di mana Jerman sendiri telah mengalaminya dengan munculnya doktrin radikal mengenai konsep ethno-nasionalisme Jerman yang berdasar pada mitos bangsa Arya dalam melihat masyarakat Jerman yang murni volksgemeinschaft. Kedua pemahaman diatas mendasari akan suatu semangat zaman di mana rasa atas superioritas Barat baca: Eropa atau bahkan diperparah dengan keyakinan masyarakat pribumi Jerman atas keunggulan rasnya, serta legalitas atas kolonialisme mempengaruhi sifat RMG dalam pekabaran Injilnya di Tanah Batak. Hal inilah kemudian yang memunculkan rasisme di dalam sebuah perjumpaan atau kolonialisme. Aliran pietisme atau paham teologi hanyalah membungkus kedua pemahaman tersebut yang seperti Ania Loomba katakan menjadi suatu prisma yang membiaskan namun justru memunculkan masalah-masalah konseptual baru yang pada prakteknya mengkonstruksi Kekristenan terpisah dari agama-agama lainnya yang berakibat timbulnya kekerasan, baik di tingkat wacana maupun praksis. 15 Memang pemahaman atas kolonialisme dan rasa atas superioritas Barat ini tidak semua diterima dan dipahami secara ekstrim dan radikal di kalangan tokoh- tokoh RMG. Namun wacana ini tetaplah diadopsi meskipun tidak dipahami secara radikal. Terkadang wacana ini juga menjadi perdebatan diantara kalangan-kalangan RMG sendiri, terlebih ketika dikaitkan dalam hubungan pemerintah kolonial 15 Lih. Ania Loomba, Op. Cit., hl. 157. Pandangan Loomba ini didasarkan atas asosiasi berdasarkan penafsiran Kitab Injil, di mana orang-orang kulit hitam ditempatkan pada makhluk- makhluk yang menuai kemarahan Tuhan, yang merupakan keturunan dari putra Nuh, yakni Ham yang memiliki sifat yang jahat. Namun di sisi lain Injil juga mengatakan bahwa semua manusia adalah saudara yang diturunkan dari keturunan yang sama. Penafsiran-penafsiran ini jugalah yang digunakan oleh para tokoh-tokoh RMG, khususnya Rohden dan Fabri, dalam melihat dan memandang orang-orang kafir. Bdk. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 57-65. Ompu i |89 dengan badan zending itu sendiri.Tokoh-tokoh seperti Ludwig von Rohden 1815- 1889 dan Friedrich Fabri 1824-1891 adalah tokoh yang termasuk memahami gagasan ini secara radikal. Bahkan Friedrich Fabri sendiri yang pernah menjadi inspektur RMG 1857 serta yang memiliki andil dalam terciptanya pekabaran Injil di Tanah Batak, terkenal sebagai bapak Kolonial Jerman setelah ia menerbitkan buku berjudul: Bedarf Deutschland der Kolonien? Does Germany Need Colonies? pada 1879. Gagasannya menganjurkan Jerman untuk memiliki wilayah kolonial dalam menciptakan stabilitas perekonomian Jerman. Dengan pemahamannya ini maka pekabaran Injil dipandang dan dilaksanakan untuk mendukung superioritas Barat, sehingga ia menganjurkan agar pemerintahan Kristen haruslah mendukung zending. Keduanya harus berjalan bersama-sama, di mana zending melakukan tugasnya lebih kepada penginjilan dan pengadaban. Hubungan ini ia namakan sebagai teori engagement. 16 Pasca Fabri, kebijakan hubungan kolonialisme dengan badan zending mulai melunak. 17 Beberapa tokoh-tokoh RMG mulai bersuara dan mengubah kebijakan- kebijakan yang diterapkan Fabri sebelumnya. Gustav Warneck misalnya yang menjadi inspektur RMG dan guru di Seminari Barmen 1834-1910. Walaupun 16 Dengan pandangannya ini ia pun sangat mengecam pemerintahan kolonial Belanda atas apa yang terjadi di Kalimantan dengan terbunuhnya para misionaris RMG pada 1859. Menurutnya pihak kolonial Belanda kurang memberikan dukungan dan keleluasan dalam bekerja kepada zending. Ibid., hl. 108. 17 Perubahan kebijakan RMG ini seperti dikutip oleh Uli Kozok: “Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa [tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya diri, ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol, Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat- dapatnya melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh bangsa putih. [...]. Jauhkan diri dari segala masalah poli tik.” Lih. Uli Kozok, Op. Cit., hl. 71. Ompu i |90 Warneck hanya sebentar terlibat di dalam RMG namun pengaruhnya sangatlah terasa di tubuh RMG sendiri, terlebih wawasannya mengenai misiologi ilmu pekabaran Injil menjadi acuan bagi para tokoh-tokoh RMG sesudahnya. 18 Di dalam pemahamannya yang berbeda dengan Fabri, ia tidak terlalu memandang kolonialisme dan superioritas Barat secara radikal, melainkan melihatnya dari sudut pandang teologis - dalam arti positif - sebagai suatu sarana dalam pekabaran Injil untuk membawa keselamatan bangsa-bangsa. 19 Ia meyakini bahwa Kekristenan akan membawa kehidupan baru sedangkan agama-agama lain tidak. Namun demikian agama- agama lain dipandang masih memiliki “logos spermatikos ” intisari pengetahuan, sehingga Injil haruslah diwartakan kepada mereka agar beroleh kehidupan yang kekal. Konsep pemikiran Warneck tentang pekabaran Injil tidak dilakukan secara destruktif, melainkan dilakukan di dalam struktur organisnya, yakni berupa adat dan struktur masyarakatnya Volkstum, dikarenakan adat dan struktu r masyarakat tersebut juga memiliki “logos spermatikos ”. 20 Konsep misiologi Warneck adalah Volkschristianisierung, pengkristenan kepada seluruh orang atau bangsa-bangsa dan tujuan akhirnya Missionsziel adalah perwujudan gereja rakyat yang mandiri. 21 Dengan pemahaman ini, ia menolak 18 Pengaruh misiologi Warneck sangat terasa di kalangan Protestan, sehingga ia dijuluki Bapak dari misiologi Protestan. Lih. Hans Kasdorf, The Legacy of Gustav Warneck dalam Occasional Buletin, Juli, 1980, hl. 106. 19 Hubungan dengan kolonialisme ini ia nyatakan dengan : In diese Situation muB die Mission sich finden, in dieses Drängen christlich-westlicher Elemente, durch die Heil und Gericht iiber die Volker gebracht werden. Lih. Herald E. Winkler, The Divided Roots of Lutheranism in South Africa Disertasi Department of Religious Studies University of Cape Town, 1989, hl. 18. 20 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 114-116. 21 Ibid., hl. 116. Ompu i |91 penghilangan budaya lokal dalam metode pengkabaran Injilnya. Pandangannya ini sesuai dengan Gottfried von Herder dalam bentuk pengajaran dan pendidikan. Bahkan secara terang-terangan ia pun juga menolak pendidikan a la Barat untuk menghilangkan budaya lokal yang menurutnya sudah terlalu intelektualitas dan materialistis seperti banyak yang dilakukan oleh para pendidik-pendidik Barat. Hal ini menurutnya akan menghasilkan karikatur budaya Kulturkarikaturen. 22 Walaupun Warneck sendiri menghargai akan keberadaan adat dan budaya lokal sendiri namun banyak juga yang meragukan gagasan Warneck ini dengan melihat masih adanya pemahaman tentang superioritas Barat dan pertentangannya yang melekat dibenaknya, terutama ketika berkaitan dengan kemandirian Gereja. Hal ini dikemukakan Dürr seperti yang dicatat oleh Jan S. Aritonang: “Dalam hal jaminan tentang kemandirian gereja Warneck begitu skeptis dan hati-hati dibandingkan y ang lain, karena ia…bersiteguh bahwa para pengerja bumi “belum matang” untuk mengemban tanggung jawab kemandirian yang besar itu. Dasar pandangannnya terutama terletak pada anggapan “inferioritas ras”. Pada orang-orang Kristen pribumi, yang sebagian besar bermukim di daerah tropis, tidak terdapat kualitas watak yang hakiki, hal yang mutlak harus ada bagi suatu pertumbuhan dan kepemimpinan Gereja yang sehat.” 23 Pemahaman misiologi Warneck ini sangatlah berpengaruh kepada para tokoh RMG dalam melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak. Paling tidak pandangannya memberikan deskripsi akan strategi dan metode yang dilakukan oleh RMG. Tokoh lain yang juga memiliki kebijakan di dalam RMG adalah August Schreiber 1839-1903. Pengaruh Schreiber tak lepas atas jabatan yang 22 Ibid., hl 120. 23 J. Dürr, Sendende Und Werdende Kirche In Der Missionstheologie Gustav Warneck Basel: BaslerMissionbuchhandlung, 1947 dikutip dalam Jan S. Aritonang, Op.Cit., hl. 122. Ompu i |92 diembannya sebagai inspektur RMG, sekaligus menjadi salah satu jajaran para misionaris yang turun langsung ke wilayah zending. Hampir sama dengan pemikiran Warneck, ia pun juga menekankan pekabaran Injil ke seluruh bangsa- bangsa. Baginya masyarakat kafir masihlah kanak-kanak yang perlu dididik, sehingga tugas zending adalah mendidik mereka. Namun demikian ia sangatlah menghargai adat dan budaya pribumi. Ia menolak dan mengecam pandangan orang- orang Barat yang memiliki pemikiran negatif kepada pribumi, sehingga merusak tatanan budaya. 24 Dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial, Schreiber sangat jelas menolak campur tangan pemerintah kolonial dengan badan zending. Ia selalu berusaha untuk menjaga jarak dengan pemerintah kolonial. Walaupun ia melihat kolonialisme sebagai sesuatu hal yang positif, namun baginya pemerintah kolonial dan badan zending memiliki tugas berbeda. 25 Dari adanya pemahaman-pemahaman yang mendasari para tokoh RMG ini, paling tidak isu-isu yang dikembangkan dalam wacana kolonialisme mengenai superioritas Barat masih dapat dikatakan hadir dalam tubuh RMG, termasuk kepada para misionaris. Hal ini juga terlihat dari dampak yang ditimbulkan di dalam pekabaran Injil di Tanah Batak sekitar tahun 1918 berupa penolakan dan pemberontakan, seperti yang disampaikan Daniel Meulen yang dikutip oleh Uli Kozok berikut ini: 26 “Ketika Dr. Warneck datang ke Sumatra untuk mengambil alih kepemimpinan Batakmission sesudah perang dunia, dia pun meminta nasehat Haibach. Bersama- sama kami membeicarakan masalah utama di kalangan Batak Kristen, yaitu sikap 24 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 127. 25 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl 72. 26 Ibid., hl. 83. Ompu i |93 kritis, bahkan negatif , dikalangan generasi muda terhadap penginjil Jerman […] yang masih tetap berpegang pada sikap nasionalis yang menekankan keunggulan orang putih. […] Saya mengatakan kepada Warneck bahwa para penginjil itu salah sendiri. Seharusnya mereka sudah lama meninggalkan sikap kolonialis Barat. […] Seharusnya mereka menjadi perintis dan tidak selalu menuruti pemerintah. ”

3. Masalah Orientalisme

Setelah memberikan latar belakang munculnya kolonialisme, dalam hal ini termasuk badan zending, yang memiliki rasa superioritas Barat maka tak dapat dipungkiri bahwa di dalam wilayah kolonial memunculkan suatu dominasi ideologi dari kaca mata orang-orang Barat akan apa yang dinamakan Orientalisme. 27 Istilah- istilah yang berkembang di wilayah kolonial atau kepada yang dijajah, misalnya kafir, primitif, dll, merupakan deskripsi yang berasal dari wacana Barat. Menurut Edward Said, orientalisme sebenarnya merupakan suatu gaya berpikir akan adanya perbedaan ontologis dan epistemologis antara Timur Orient dan Barat Occident, walaupun faktanya adalah bahwa wacana Timur tersebut berasal dari Barat akibat dominasi wacana terhadap Timur. 28 Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak juga tidak lepas dari dominasi wacana Barat. Istilah-istilah “primitif”, dsb. juga muncul dari para misionaris kepada masyarakat Batak. Namun dominasi wacana Barat ini sebenarnya sudah muncul jauh sebelum masuknya RMG ke Tanah Batak. Misalnya seorang geograf Yunani, Ptolemaeus pada abad ke-2 M atau Marco Polo pada 1291 yang mendengar berita dari selentingan kabar dari Barus tentang masyarakat suku pedalaman yang tinggal dipegunungan. Keduanya menyinggung masyarakat 27 William D. Hart, Edward Said and The Religious Effects of Culture Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hl. 63. 28 Edward Said, Orientalism London: Penguin Books, 2003, hl. 2-4. Ompu i |94 kanibal yang mengarah kepada masyarakat Batak. 29 Selain itu ada juga William Marsden 1754-1836 yang mendeskripsikan masyarakat Batak dengan masyarakat kanibal sebagai bentuk hukuman sosial. 30 Dari kalangan misionarispun sebenarnya juga telah ada yang mendeskripsikan tentang masyarakat Batak dari sudut pandang Barat sebelum masuknya misionaris RMG ke Tanah Batak, yakni melalui Burton dan Ward yang berasal dari zending Baptis. Mereka melihat bahwa masyarakat Batak memiliki kekuatan dalam tatanan sosial di setiap wilayah atau perkampungan yang dapat dibandingkan dengan kota-kota di Eropa meskipun dilandaskan dengan tatanan yang sangat tradisional atau kuno. Demikian juga dengan sifat kanibalisme yang ada dalam masyarakat Batak sebagai suatu hukuman tak lepas dari deskripsi mereka. Untuk karakter masyarakat Batak, mereka memandang bahwa orang-orang Batak sebagai orang yang bebal, penakut dan kejam, walaupun terkadang hal ini tertutup dalam sistem tatanan sosial. 31 Berabad-abad keterpencilan masyarakat Batak di wilayah pegunungan justru membuat wacana-wacana Barat dalam mendeskripsikan masyarakat Batak itu sendiri semakin mendominasi. Hal ini juga semakin menambah keterisolasian bangsa Batak yang muncul dari sikap bangsa sekitar dalam memandang bangsa Batak. Wacana-wacana yang berkembang tersebut bukanlah didasarkan atas kajian ilmiah. Hal ini terus berlangsung hingga muncul Neubronner van der Tuuk, seorang 29 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010, hl. 55-56 30 William Marsden, Sejarah Sumatra Depok: Komunitas Bambu, 2013, hl. 471. 31 Lih. Burton dan Ward, Report of Journey into Batak Country, in the interior of Sumatra, in The Year 1824: Communicated by The Late Sir Stamford Raffles dalam Early Journal Content On JSTOR. Ompu i |95 ahli bahasa-bahasa Nusantara asal Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia dari ibunya yang merupakan orang Indonesia asli, yang pertama kali mengkaji budaya dan bahasa Batak dari sudut pandang keilmiahan 1851-1857. 32 Ia diutus oleh pihak kolonial setelah muncul buku berjudul Beschreibung der Battaländer 1847 karya Franz Junghuhn 1842 seorang ahli budaya asal Jerman yang berisi tentang identitas bangsa Batak, baik mengenai budaya maupun agamanya. 33 Neubronner van der Tuuk sangat mengusulkan dan mendesak kepada pemerintahan kolonial untuk segera melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak mengingat semakin berkembangnya agama Islam di daerah Tapanuli Selatan dan wilayah pesisir. 34 Keseriusannya terhadap pekabaran Injil inipun terlihat dari buku- buku yang diterbitkannya yang bukan hanya mengenai bahasa dan budaya Batak, tetapi juga dalam bentuk penerjemahan Alkitab ke dalam aksara dan bahasa Batak- Toba. Hasil dari karya van der Tuuk inilah yang kemudian menjadi “pintu masuk” bagi para missionaris RMG dalam mempelajari budaya dan bahasa Batak. Batak yang dideskripsikan dan diidentifikasi oleh wacana Barat justru memperkuat minat RMG dalam melaksanakan misinya. Hal ini juga tak lepas dari pengamatan Friedrich Fabri, Inspektur RMG kala itu. Fabri melihat keunikan dari bangsa Batak dari bangsa-bangsa lainnya dengan melihat ciri-ciri fisiknya. 35 Bahkan ia pun juga melihat dan menghubungkan pandangannya tersebut dengan sejarah di Kitab Suci. Menurutnya, keturunan Ham, anak Nuh, memiliki keturunan 32 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hl. 173. 33 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hl. 51. 34 Van den End, Op. Cit., hl. 174. 35 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 65. Ompu i |96 yang rusak akibat hukuman Tuhan, bangsa Batak justru memiliki kerusakan yang tidak terlalu parah. Ia memandang bahwa suku Batak berada di tengah antara bangsa Eropa dengan Melayu, sehingga walaupun masyarakat Batak memeluk agama Kristen namun tetaplah berada dibawah bangsa Eropa. 36 Lebih jauh lagi, ia mendeskripsikan ada kemiripan antara bangsa Batak dengan bangsa Jerman selain dari struktur wajah, yakni kesamaan dalam kondisi geografis, di mana kedua bangsa ini dikepung dan dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang ingin memusnahkannya. Jerman yang dikelilingi Prancis dan bangsa Slownik, sedangkan Batak dikelilingi oleh bangsa Melayu. 37 Selain wacana yang meninggikan bangsa Eropa, para misionaris juga menilai karakter dari orang-orang Batak yang menurutnya memiliki sifat negatif, yakni keangkuhan, kemalasan, moral yang rendah, asusila, serta kebiasaan wanita yang sudah menikah untuk tidak menutup buah dadanya. Wacana ini justru mengafirmasi dan melegitimasi kolonialisme dengan dalih pengadaban, seperti yang Gustav Warneck katakan: “dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus dipaksa untuk bekerja. Kalau mereka dibiarkan sendiri, mereka akan tetap malas”. 38 Wacana-wacana yang dikembangkan oleh Barat dalam melihat dan mengidentifikasikan bangsa Batak justru merendahkan bangsa pribumi, dalam hal ini bangsa Batak, serta meninggikan superioritas Barat. Hal ini juga dilihat oleh Uli 36 Pandangan Fabri ini justru mengangkat masyarakat Batak dari orang-orang Melayu yang menurut catatan Lance Castles istilah Batak sendiri sebagai suatu unit pemerintahan baru di mana orang Batak ditugasi untuk mengelola daerah baru, yang dipandang rendah oleh orang Melayu. Bdk. Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940 Jakarta: KPG, 2001, hl. 2. 37 Ibid., hl. 66. 38 Ibid., hl 74-75. Ompu i |97 Kozok yang menilai bahwa Misionaris dalam melaksanakan misinya juga membawa dan menegakkan supremasi bangsa Eropa Barat. 39 Dengan demikian, munculnya wacana-wacana ini dapat dikatakan bahwa orientalisme yang dipandang sebagai teritorial dari “ketimuran” justru menjadi ajang penguasaan atas dunia timur melalui dominasi wacana Barat dengan anggapan bahwa masyarakat Timur yang “primitif” tidak sanggup dalam menguasai budaya mereka sendiri dan hanya diperuntukkan bagi Barat. Hal inilah yang kemudian digunakan oleh Misionaris dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak; yang walaupun dalam misinya tersebut menggunakan bahasa Batak-Toba timur namun penguasaannya baca: gaya berpikir tetaplah dari wacana Barat.

B. Kolonialisme dan Misi Pengadaban

1. Hasrat dan Krisis Batak: Awal Mula Masuknya Zending dan Hamajuon

Sebelum masuknya RMG di Tanah Batak, masyarakat Batak selalu berada didalam tekanan dunia luar. Identitas masyarakat Batak yang masih memeluk agama tradisional menjadi hal yang selalu dipinggirkan dan diasingkan oleh bangsa-bangsa sekelilingnya. Paling tidak menurut Hendrik Kraemer, pengasingan ini berlangsung hingga awal abad ke-19. 40 Identitas agama dan budaya menjadi sesuatu tantangan yang harus dipertahankan, mengingat peluang di dalam 39 Pernyataan Uli Kozok ini tertuang dalam Historia, “Menyingkap Selubung Suci Pembawa Misi”, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 60-63. 40 Jan Aritonang, “The Batak People: A Search For a Religious-Cultural Identity”, dalam Martha Frederiks, dkk. eds. Towards An Intercultural Theology: Essays in Honour of Jan A.B. Jongeneel Utrecht: Uitgeverij Meinema, 2003, hl. 127. Ompu i |98 kehidupan ekonomi sosial dan politik ketika berhadapan dengan dunia luar menjadi sesuatu yang mustahil. Hal ini juga diperparah dengan terjadinya Perang Paderi 1820-an yang menyebabkan kematian Raja Singamangaraja X dan meluluhlantahkan masyarakat Batak. Mekanismenya adalah seperti yang dicatat oleh Aritonang: 41 “Ketika di desak mundur oleh Belanda, mereka menerobos ke Tanah Batak, bahkan sampai ke jantung Tanah Batak Silindung dan Toba sambil mengislamkan penduduknya dengan menggunakan kekerasan. Banyak penduduk yang tidak bersedia masuk Islam, lalu dibunuh.” Menurut Sidjabat, dampak yang ditimbulkannya adalah dengan hancurnya kesatuan dari masyarakat Batak yang telah dibangun oleh Raja Singamangaraja. 42 Masyarakat Batak tidak lagi percaya kepada kepemimpinan Singamangaraja. Hal ini berdampak maraknya perang antarmasyarakat Batak, baik di tingkat huta hingga bius. Menurut saya, efek yang ditimbulkan dari perang Paderi lebih dari itu, yakni krisis identitas, baik religi maupun budaya dalam masyarakat Batak. 43 Selain faktor internal, perang Paderi yang memerangi bangsa Batak juga menimbulkan masalah tersendiri, di mana menurut Anthony Reid, menghancurkan hubungan antara Minangkabau dengan masyarakat Batak yang sebelumnya telah terjalin dengan baik, sehingga memunculkan keterisolasian masyarakat Batak dari bangsa 41 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hl. 106. 42 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hl. 429. 43 Dalam hal ini, saya sepakat dengan pernyataan Warneck bahwa kelemahan dalam animisme seperti dalam agama tradisional masyarakat Batak adalah bahwa penilaian dari kehidupan duniawi menentukan kebaikan tertinggi. Hal ini ia dasarkan atas perjumpaannya dengan orang Batak yang mengatakan: “manusia ada di dunia ini untuk memakan nasi.” Lih. Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom London: Oliphant, Anderson Ferrier, 1867, hl. 130. Ompu i |99 sekitarnya. 44 Namun hal ini berubah lambat laun pasca perang Paderi ketika pemerintah kolonial Belanda telah menaklukkan dan menguasai wilayah Tapanuli Selatan 1833 dan mengusahakan perdamaian paksa Pax Neerlandica yang menyebabkan Islam diterima di wilayah Tapanuli Selatan . 45 Peta Sumatera Utara Menurut Pedersen, kehadiran pemerintahan kolonial Belanda secara tidak langsung membuat Islam justru berkembang di wilayah-wilayah jajahan. 46 Kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang membatasi pos-pos Pekabaran Injil untuk terlibat di Sumatra yang berguna dalam menjaga hubungan baik serta menghindari fanatisme Islam, menjadi buktinya, selain kebijakan pemerintahan 44 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia Jakarta: Obor KITLV, 2011, hl. 27-28. 45 Van den End, Op. Cit., hl. 173. 46 Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43. Ompu i |100 kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang Melayu Muslim yang menyebabkan penyebaran bahasa Melayu dan agama Islam. Hal ini juga disadari para misionaris RMG, termasuk Nommensen nantinya, yang justru berharap pemerintahan kolonial Belanda tidak masuk ke Tanah Batak karena takut Islam menyebar di Tanah Batak. 47 Mengenai wilayah Batak Toba sendiri yang masih memeluk agama tradisional, pemerintahan kolonial Belanda kurang menaruh perhatian mengingat Belanda sendiri tidak tertarik dengan Tanah Batak yang dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomis. Dengan kebijakan ini, Islam semakin berkembang dan mendapatkan ruang dalam menguasai perdagangan. Mulai dari bangsa Melayu, wilayah Batak daerah Selatan, daerah pesisir, hingga Aceh semuanya rata-rata memeluk agama Islam. Perkembangan dan perluasan Islam ini, menurut Pedersen, memberikan fenomena tersendiri bagi masyarakat non-muslim, yakni harapan akan pendidikan dan masuk ke dalam masyarakat modern. Masyarakat Batak yang masih memeluk agama tradisional justru meyakini ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan ekonomi pada saat itu dengan keyakinannya, 48 walaupun di sisi lain krisis akibat Perang Paderi tetap tidak dapat hilang begitu saja berupa trauma terhadap bangsa luar, khususnya di daerah utara yang masih merasakan dampaknya dengan sikap mengucilkan diri, sedangkan agama Islam semakin menyebar di Tanah Batak, khususnya daerah Selatan. Pemerintah Belanda yang melihat hal ini merubah 47 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 95. 48 Menurut Pedersen, kaum Muslim selalu mengharapkan masuknya masyarakat Batak menjadi Islam. Berbagai cara dilakukan untuk mengusahakan Islamisasi kepada masyarakat Batak, misal salah satunya mengizinkan dan memaklumi masyarakat Batak untuk memakan babi walaupun telah menjadi muslim. Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43-44. Ompu i |101 kebijakannya dengan mencari mitra zending sebagai sekutunya yang kemudian mengutus RMG. Salah satu alasan yang diyakini menjadi dasar kebijakan ini adalah faktor Islamisasi yang berkembang pesat. Ide pengkristenan ini sebenarnya bukanlah yang pertama di Tanah Batak. Sebelumnya, ketika orang-orang Inggris tiba ke Jawa dan Sumatra pada 1811, Sir Thomas Stamford Raffles dan Lord Moira juga mendorong usaha penginjilan di Tanah Batak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan orang Islam Aceh daerah utara dengan orang Islam Minangkabau daerah selatan. Mereka mengutus dua misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward yang berasal dari badan zending Baptis, Inggris. 49 Namun usaha pengkabaran Injil tersebut kurang memberikan hasil. Hanya beberapa orang yang dibaptis, yakni: Jacobus Tampubolon dan Simon Siregar pada 31 Maret 1861 yang sekaligus menjadi orang Batak pertama yang menerima Injil. 50 Menurut Jan Aritonang, kehadiran badan-badan zending ke Tanah Batak dapat dikatakan sebagai suatu kesempatan dan juga sekaligus tantangan masyarakat Batak dalam hubungannya dengan kehidupan sosial-politik, budaya dan agama. 51 Zending menjadi kesempatan bagi masyarakat Batak untuk tampil menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, kantor ataupun sekolah yang selama ini hanya diisi oleh orang Melayu pesisir beragama Islam. 52 Faktor lainnya adalah masalah internal 49 Ibid., hl. 45. 50 Ibid., hl. 47. 51 Jan Aritonang, “The Batak People,” Op. Cit., hl. 127. 52 Paul B. Pedersen, Op.Cit., hl. 43. Menurut Robert van Niel masyarakat pribumi dibagi menjadi dua kasta, rakyat jelata yang terdiri dari petani, orang desa yang dinamakan dan kaum elitpriyayi yang diisi oleh administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berpendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya zending ke Tanah Batak memberikan