Ompu i
|101
kebijakannya  dengan  mencari  mitra  zending  sebagai  sekutunya  yang  kemudian mengutus RMG. Salah satu alasan yang diyakini menjadi dasar kebijakan ini adalah
faktor Islamisasi yang berkembang pesat. Ide  pengkristenan  ini  sebenarnya  bukanlah  yang  pertama  di  Tanah  Batak.
Sebelumnya, ketika orang-orang Inggris tiba ke Jawa dan Sumatra pada 1811, Sir Thomas  Stamford  Raffles  dan  Lord  Moira  juga  mendorong  usaha  penginjilan  di
Tanah Batak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan orang Islam Aceh daerah utara dengan orang Islam Minangkabau daerah selatan. Mereka mengutus dua misionaris
Richard  Burton  dan  Nathaniel  Ward  yang  berasal  dari  badan  zending  Baptis, Inggris.
49
Namun  usaha  pengkabaran  Injil  tersebut  kurang  memberikan  hasil. Hanya  beberapa  orang  yang  dibaptis,  yakni:  Jacobus  Tampubolon  dan  Simon
Siregar  pada  31  Maret  1861  yang  sekaligus  menjadi  orang  Batak  pertama  yang menerima Injil.
50
Menurut  Jan  Aritonang,  kehadiran  badan-badan  zending  ke  Tanah  Batak dapat dikatakan sebagai suatu kesempatan dan juga sekaligus tantangan masyarakat
Batak dalam hubungannya dengan kehidupan sosial-politik, budaya dan agama.
51
Zending menjadi kesempatan bagi masyarakat Batak untuk tampil menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, kantor ataupun sekolah yang selama ini hanya diisi oleh
orang  Melayu  pesisir  beragama  Islam.
52
Faktor  lainnya  adalah  masalah  internal
49
Ibid., hl. 45.
50
Ibid., hl. 47.
51
Jan Aritonang, “The Batak People,” Op. Cit., hl. 127.
52
Paul B. Pedersen, Op.Cit., hl. 43. Menurut Robert van Niel masyarakat pribumi dibagi menjadi  dua  kasta,  rakyat  jelata  yang  terdiri  dari  petani,  orang  desa  yang  dinamakan  dan  kaum
elitpriyayi  yang  diisi  oleh  administrator,  pegawai  pemerintahan  dan  orang-orang  yang berpendidikan,  sehingga  dapat  dikatakan  bahwa  masuknya  zending  ke  Tanah  Batak  memberikan
Ompu i
|102
teratasi,  yakni  keamanan,  ekonomi,  pendidikan  dsb.  Namun  walaupun  demikian, masyarakat  Batak  yang  kuat  dengan  adat  dan  budaya  merasa  enggan  dalam
meninggalkan identitas adat dan budayanya terlebih wilayah Toba atau yang masih mengakui Singamangaraja sebagai pemimpinnya.
Adanya  krisis  yang  melatarbelakangi  masuknya  badan  zending  RMG  ini memberikan titik tolak bagi masyarakat Batak untuk mau menerima para zending.
53
Bagaimanapun  falsafah  Batak  tradisional  tetap  menjadi  suatu  acuan  dalam menerima  pengaruh  asing  demi  terwujudnya,  yakni  hamoraon  kekayaan,
hagabeon keturunan, dan hasangapon kemuliaan atau martabat. Dan hal inipun terbukti  dengan  masuknya  RMG  dapat  menjawab  krisis  yang  dibutuhkan  berupa
faktor keamanan, ekonomi, pendidikan, dsb. Perbedaan yang jelas tampak adalah masalah  perlakuan  dari  pihak  kolonial  kepada  orang  Batak  yang  berbeda  dari
perlakuan  kepada  Minangkabau  atau  Jawa  yang  tersiksa  akibat  tanam  paksa.
54
Walaupun di sisi lain, hal ini dapat dilihat dengan adanya pendidikan keahlian atau ketrampilan yang diberikan pihak kolonial, termasuk zending, kepada masyarakat
Batak, misalnya sekolah pertukangan yang ada di Balige, dan sekolah lainnya. Tanggal 7 Oktober 1861 merupakan hari penting bagi HKBP dan RMG yang
mengingatkan kepada awal mula masuknya RMG ke Tanah Batak yang sekaligus
potensi  kepada  masyarakat  untuk  naik  kasta.  Lih.  Robert  van  Niel,  Munculnya  Elite  Modern Indonesia Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hl. 31.
53
Dari laporan BRMG, selain faktor adanya krisis akibat Perang Paderi, maka ada faktor lain yang menyebabkan jatuhnya wibawa Raja Singamangara di wilayah Silindung, yakni adanya
masalah internal, di mana ia membawa lari istri seorang Raja. Lih. BRMG 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 121.
54
Ibid., hl. 78.
Ompu i
|103
juga  menjadi  tanggal  lahirnya  HKBP,
55
di  mana  pada  tanggal  tersebut  diadakan rapat  di  Sipirok  yang  dihadiri  oleh  4  orang  Pendeta,  yakni  Pdt.  Heine,  Pdt.
Klammer,  Pdt.  Betz  dan  Pdt.  Van  Assselt  yang  membahas  mengenai  pembagian tugas pekabaran Injil di Tapanuli.  Masuknya RMG ke Tanah Batak ini tak lepas
dari jasa Dr. Friedrich Fabri yang pada waktu itu menjabat inspektur RMG yang memutuskan  untuk  memindahkan  wilayah  pos  pekabaran  Injil  dari  Borneo  ke
Tanah  Batak  akibat  adanya  perang  Hidayah  di  Borneo  Kalimantan  yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah misionaris, serta hilangnya ladang pekerjaan
mereka.
56
Dalam  p
embagian  tugas  tersebut,  Pdt.  Klammer  ditugaskan  di  wilayah Sipirok, Pdt. Betz ke daerah Bungabondar dan Pdt. Heine bersama Pdt. Van Asselt
ke  wilayah  Pahae. Keempat  misionaris  ini  masih  menguasai  wilayah  perbatasan
Tapanuli  Selatan  dengan  Utara  sebelum  akhirnya  Nommensen  datang  dan membuka  perkampungan  di  Sait  Ni  Huta,  bius  Silindung  pada  20  Mei  1964  dan
mengadakan  kebaktian  pertama  kali  pada  29  Mei  1964.  Perkampungan  ini
55
Penetapan  tanggal  kelahiran  HKBP,  yaitu  tanggal  7  Oktober  1861,  didorong  atas perlunya semua umat Kristen Batak untuk merayakan hari jadi kekristenan; dan RMG melalui rapat
konfrensi para missionaris tahun 1905 menentukan secara resmi tanggal tersebut sebagai hari jadi kekristenan atau Gereja Batak, istilah HKBP belum menjadi nama resmi pada waktu itu, melainkan
Gereja  Batak  Batakmission  Tahun  1905  yang  digunakan  sebagai  tahun  penetapan  tanggal kelahiran Gereja Batak secara bersamaan menjadi hari perayaan yang pertama bagi kelahiran Gereja
Batak. Perayaan pertama ini kemudian menjadi titik tolak perlunya kesadaran di dalam mengingat hari  jadi  Kekristenan  di  Tanah  Batak.  Pada  tahun  1925  melalui  Sinode  Agungnya,  nama  Gereja
Batak diganti dan diresmikan menjadi ”Huria Kristen Batak” Gereja Kristen Batak. Tidak ada lagi nama  Gereja  Batak  yang  digunakan  pada  waktu  itu.  Baru  pada  tahun  1929  melalui  Sinode
Agungnya, nama ”Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi ”Huria Kristen Batak Protestan” HKBP. Nama ini kemudian menjadi nama gereja yang dipakai sekarang. Penamaan HKBP tersebut
kemudian  menjadi  resmi  ketika  pada  tahun  1931  diakui  sebagai  Badan  Hukum.  Pemerintah  pun kemudian mengeluarkan S.K. pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana tertulis dalam
lembaran  pemerintah  1932  No.  360.  Pengakuan  ulang  oleh  pemerintah  pun  dilakukan  dengan mengeluarkan surat tanggal 2 April 1968 No. DdPDAKd13568. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai
UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun  Tarutung: HKBP, 1986, hl. 28 32.
56
Th. Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hl. 184.
Ompu i
|104
kemudian  dinamakan  oleh  Nommensen  sebagai  Huta  Dame  Kampung  Damai dengan  menjadikan  perkampungan  ini  sebagai  tempat  pelayanan  dalam  urusan
rohani, kesehatan, serta pendidikan. Dari sinilah kemudian Nommensen berkenalan dengan  Raja  Pontas  Lumbantobing,  raja  yang  mambantu  para  Misionaris
menyebarkan  Injil,  dan  memberikan  lahan  di  Pearaja  sekarang  menjadi  Kantor Pusat  HKBP  kepada  Nommensen  yang  dijadikan  pargodungan  sekolah,  gereja,
klinik. Bagi masyarakat Batak masuknya zending sebagai sesuatu yang tidak dapat
ditolak.  Paling  tidak  hal  ini  dilukiskan  di  dalam  dokumen  Die  Evangelische Missioner
atas ketidaksanggupan
Raja Pontas
Lumbantobing dalam
mempertahankan adat dan budaya Batak atas masuknya kuasa dari luar:
57
“Alai  ianggo  Raja  Pontas  pos  do  Rohana  di  nasida.  Ai  diantusi  ibana  do,  na ingkon mago bangsona, so boi maju ala ni angka hamusuon na so olo mansohot.”
Terjemahannya:
“Tetapi Raja Pontas sangat setuju, karena ia mengerti bahwa bangsanya akan hilang karena t
idak dapat maju akibat konflik sesama yang selalu berlangsung.”
Pasca masuknya RMG ke Tanah Batak, Kristenisasi berjalan pesat. Data yang tercatat, ketika Nommensen meninggal  pada tahun 1918,  gereja telah bertumbuh
dan  mencakup  kurang  lebih  180.000  orang  anggota  yang  dibaptis,  Pendeta  yang bersuku Batak sebanyak 34 orang, sedangkan Guru Injil sebanyak 788 orang dan
penatua sebanyak 2.200 orang. Di bidang pendidikan, data yang tercatat, sekolah-
57
Diambil dari  “Die  Evangelische  Missioner”  dalam  A.A.  Sitompul,  Sitotas  Nambur
Hakristenon Di Tano Batak Jakarta: Dian Utama, 2005, hl. 74.
Ompu i
|105
sekolah yang berdiri sebanyak 510 buah yang mempunyai 32.700 orang murid yang terdaftar.
58
2. Pendekatan Adat dan Budaya
Salah satu faktor yang menyebabkan diterimanya para misionaris RMG di Tanah Batak adalah dengan menggunakan adat dan budaya Batak yang menyangkut
bahasa,  sistem  sosial  dan  politik,  dsb.  Awalnya,  sikap  penolakan  terhadap  adat diberlakukan  terhadap  masyarakat  Batak,  namun  lambat  laun  dalam  prakteknya
terdapat  negosiasi  antara  masyarakat  Batak  dengan  pihak  zending.  Negosiasi  ini dilakukan berdasarkan pada nilai-nilai Kekristenan, meskipun dalam hal ini, saya
sepakat dengan Uli Kozok bahwa ada alasan tertentu dalam melihat adat dan budaya masyarakat  yang  dianggap  primitif,  yakni  adanya  budaya  superioritas  bangsa
Eropa, terlebih pada abad ke-19  rasisme sangat berkembang.
59
Persoalan-persoalan mengenai  nilai-nilai  Kekristenan  yang  diperhadapkan  dengan  adat  dan  budaya
Batak menjadi faktor-faktor yang dinegosiasikan, walaupun para misionaris tetap melihat pentingnya bahasa, aksara, struktur sosial, serta intisari budaya Batak yang
perlu  dilestarikan sesuai  dengan  paham  Gustav  Warneck  mengenai  “logos
58
P.B. Pedersen, Op. Cit., hl. 64. Pertobatan yang sangat cepat ini mendapat kekhawatiran di  tubuh  RMG  melalui  missionaris-missionaris  lainnya.  Memang  tidak  ada  alasan  yang  konkret
untuk menjadi bahan bantahan atas apa yang telah dicapai oleh Nommensen di dalam mengabarkan Injil di Tanah Batak, namun alasan mendasar yang dipakai RMG adalah pengalaman sebelumnya,
yaitu  ketika  RMG  juga  menjadi  badan  zending  di  Kalimantan,  di  mana  pada  waktu  itu  terjadi kehancuran  yang  sangat  vital.  Kekhawatiran  RMG  di  Barmen  ini  hanya  ditanggapi  Nommensen
dengan sangat dingin, bahwa Allah saat ini memang hadir untuk orang Batak. Lih. Ibid., hl. 60.
59
Menurut Uli Kozok, sikap penolakan terhadap budaya primitif awalnya didengungkan oleh  para  misionaris  RMG  yang  menganggap  adat  dan  budaya  Batak  tidak  memiliki  peradaban,
sehingga  hal  yang  perlu  dilakukan  adalah  transfer  budaya  dari  peradaban  Eropa  dengan menggunakan  Culturkampf  perang  budaya  yang  mengingatkan  pada  usaha  pemerintah  Jerman
untuk  memisahkan  dan  membatasi  ruang  gerak  gereja  Katolik.  Lih.  Uli  Kozok,  Utusan  Damai, Op.Cit., hl. 72-73.
Ompu i
|106
spermatikos ”.
60
Kebijakan-kebijakan  yang  dinegosiasiasikan  itu,  misalnya, pelarangan tari-tarian atau tor-tor, pemakaian alat musik Batak margondang, dan
pengijinan pernikahan semarga yang ditolak oleh masyarakat Batak dengan alasan menghilangkan  konsep  Dalihan  Na  Tolu,  walaupun  tor-tor  dan  margondang
tetaplah  dilarang.
61
Sikap  tegas  terhadap  adat  dan  budaya  dalam  kehidupan masyarakat  Batak  ini  untuk  menghilangkan  agama  tradisional  masyarakat  Batak
dan menjauhkan unsur sinkretisme dalam Kekristenan. Bahkan pihak zending tidak pandang  bulu  dalam  melaksanakan  hal  ini,  misalnya  Raja  Pontas  Lumbantobing
yang  sangat  membantu  pihak  zending  justru  pernah  dibali  dikucilkan  atau dihukum oleh pihak zending akibat mengikuti pesta penguburan yang berdasarkan
adat Batak.
62
Bagi  pihak  zending  sendiri  penyebaran  pekabaran  Injil  dilakukan  secara menyeluruh di  segala aspek, paling tidak hal  ini dilakukan pada masa  awal-awal
masuknya zending di Tanah Batak ketika pemisahan antara pemerintahan sekuler dan  Kekristenan  belum  terjadi.  Melalui  konsep  pargodungan
63
maka  Injil diberitakan  ke  segala  aspek,  misalnya  melalui  kesehatan,  pendidikan  dan
pengajaran, bahasa, dll. Bahkan mereka memandang bahwa Kekristenan haruslah menggabungkan  dirinya  kepada  adat  dan  budaya  Batak  dan  mengambil  tempat
dalam pola kehidupan atau tata tertib kehidupan masyarakat Batak. Misalkan saja
60
Dalam  hal  ini  penerapan  metode  misiologi  yang  dilakukan  oleh  badan  zending  RMG sangat berbeda dengan badan zending dari Inggris  yang justru tidak  menghargai bahasa pribumi.
Bdk. John McLeod, Op.Cit., hl. 141.
61
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 73-74.
62
Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hl. 53.
63
Istilah ini untuk menyebut kompleks halaman gereja yang digunakan juga sebagai tempat pendidikan, kesehatan, dsb.
Ompu i
|107
melalui  bentuk  penerjemahan,  di  mana  Nommensen  menerjemahkan  Perjanjian Baru  ke  dalam  Bahasa  Batak-Toba  pada  tahun  1876,  sedangkan  Johannsen
menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1894. Dengan  konsep  ini  maka  para  misionaris  tetap  menggunakan  tradisi  adat
dan budaya Batak dalam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan. Bahkan  tradisi-tradisi  Batak  yang  bersifat  sastra  turut  digunakan  dan
ditransformasi,  misalnya  salah  satunya  torsatorsa  cerita  rakyat,
64
serta  masih banyak lagi usaha yang dilakukan para misionaris dalam penggunaannya terhadap
adat dan budaya Batak. Namun salah satu yang menjadi sorotan saya di sini adalah penggunaan sistem struktur dalam kehidupan sosial masyarakat Batak.
Beberapa  penulis-penulis  dari  luar  atau  lokal  yang  menulis  tentang pekabaran Injil di Tanah Batak mungkin akan rumit dan keliru ketika berhadapan
dengan  sistem  struktur  sosial  dalam  masyarakat  Batak,  terlebih  ketika  mencoba memetakan upaya para misionaris RMG dalam menggunakan sistem struktur sosial
masyarakat  Batak.  Hal  ini  diakibatkan  kesalahan  dalam  memahami  mengenai harajaon  kerajaan  dalam  struktur  masyarakat  Batak  yang  justru  sering  dipakai
sebagai refrensi buku, seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab II.  Maka dari itu untuk  menerangkan  bagaimana  para  misionaris  sendiri,  khususnya  Nommensen,
dalam  menggunakan  sistem  struktur  sosial  masyarakat  Batak  maka  perlu
64
Manguji  Nababan  ed.,  Torsatorsa  Hombung:  Turiturian  Ni  Halak  Batak  Medan: Vanivan  Jaya,  2015,  hl.  X.  Salah  satu  yang  digunakan  misalnya  torsatorsa  Cincin  Idam-idaman
yang digunakan oleh F.W Staudte dan G v. Asselt untuk membantu dalam melihat firman Tuhan. Lih. Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 55.
Ompu i
|108
ditempatkan dalam pemahaman adat  dan budaya  Batak, di  mana semuanya telah diatur di dalamnya yang saya telah jelaskan di bab sebelumnya.
Para  misionaris  dalam  melaksanakan  pekabaran  Injilnya  berusaha memasuki  wilayah-wilayah  di  Tanah  Batak  dengan  pendekatannya  terhadap
struktur  sosial  masyarakat  Batak,  yakni  kepada  raja-raja  baik  huta  hingga  bius. Bahkan  strukturnya  tidak  diubah,  melainkan  dibina  menjadi  harajaon  kerajaan
Kristen. Para Misionaris tampaknya memahami pondasi struktur masyarakat Batak; dan hal ini, tak lepas dari peran Nommensen yang mengetahui secara mendalam,
serta  memberikan  saran  kepada  para  misionaris  lainnya.  Sebagai  bukti  adalah dengan terciptanya aturan peraturan atau tata gereja 1881 yang berdasarkan tatanan
sosial  masyarakat  Batak,  di  mana  Nommensen  menjadi  inspiratornya.
65
Dengan pendekatannya ini maka nantinya akan terlihat, posisi Nommensen sendiri dalam
struktur sosial masyarakat Batak Toba, yang dengan praktik-praktiknya selayaknya seperti gambaran dari kepemimpinan Ompu i Raja Singamangaraja. Namun di sini,
saya akan terlebih dahulu menjabarkan bagaimana Nommensen sendiri aktif dalam mengkonstruk  suatu  struktur  sosial  masyarakat  Batak  Toba  menjadi  kerajaan
Kristen. Raja bagi masyarakat  Batak mengambil peran  yang sangat penting dalam
kehidupan  sosial  masyarakat.  Ia  menjadi  pelaksana  atas  adat  dan  hukum,  baik sekuler maupun religi. Dengan perannya ini, maka pengaruh raja sangatlah besar
bagi pengikutnya. Pendekatan  yang dilakukan Nommensen kepada raja di  Tanah
65
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 47.
Ompu i
|109
Batak  memberikan  pengaruh  penting  bagi  pengikut  raja  tersebut.  Hal  ini  dapat terlihat dari pengaruh yang ditimbulkan atas masuknya Raja Pontas Lumbantobing
menjadi Kristen, ditambah dengan sikapnya yang pemberani dalam menyelesaikan konflik-konflik  marga  atau  antarkampung,  maka  komunitasnya  pun  turut  juga
menerima  Kekristenan.  Bahkan  Raja  Pontas  sendiri  tidak  segan-segan  untuk mengajak para raja dan para imam kelompok parbaringin untuk menerima Injil.
Raja  Pontas  sendiri  memiliki  kekuasaan  yang  mencakup  wilayah  bius,  sehingga kekuasaannya  berada  diwilayah  lintas  huta.  Namun  demikian  ia  juga  sering
mengajak raja-raja diluar kekuasaannya. Misalnya raja di Sipahutar.
66
Selain Raja Pontas, masih banyak juga raja-raja lainnya yang menerima dan mendukung  para  misionaris,  misalnya  Ompu  Hatobung  dari  Pansurnapitu,  Kali
Bonar  dari  Sigompulon-Pahae,  dll.  Dengan  pendekatan  atas  raja  maka  tak  heran basis yang dibangun mencakup wewenang atas wilayah  yang menjadi kekuasaan
raja, baik itu di tingkat huta hingga bius. Nommensen tidak sedikitpun mengganti raja-raja yang berkuasa di wilayahnya masing-masing. Bahkan untuk tingkat huta
hingga bius, ia sangat menghargai peran dari para raja:
“Mereka yang berhubungan dengan saya, orang-orang yang telah dibaptis maupun yang  belum  dibaptis,  tidaklah  berada  dibawah  kekuasaan  saya.  Saya  adalah  guru
mereka, tetapi bukan raja mereka. Tak seorangpun yang sudah Kristen atau yang mau menjadi Kristen dengan demikian berubah sukunya; sebaliknya rajanya yang sekarang
ini tetaplah juga rajanya selanjutnya …”
67
66
Pdt. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155.
67
Pernyataan Nommensen ini diungkapkan pada awal-awal misinya di Huta Dame ketika pemerintahan kolonial Belanda belum masuk ke wilayah Silindung. Lothar Schreiner, Op. Cit., hl.
44.
Ompu i
|110
Pernyataan  Nommensen  ini  menjadi  titik  tolak  dalam  pemakaian  Suhi Ampang  Na  Opat  dalam  adat  dan  budaya  masyarakat  Batak,  khususnya  sistem
struktur  konfederasi  yang  diterapkan  Dinasti  Singamangaraja.  Bahkan  peran  raja menjadi  penghubung  antara  pengikutnya  dengan  pihak  misionaris,  seperti  yang
ditulis  oleh  misionaris  Johannsen  dalam  suratnya  von  Sibolga  nach  Silindung: “Pada  hari-hari  berikutnya,  banyak  raja-raja  yang  berlomba-lomba  datang
mengundang kami ke rumahnya untuk dijamu. Masing-masing mendesak, supaya dialah yang pertama kami kunjungi…”
68
Peran raja bagi pekabaran Injil sangatlah penting,  bahkan  atas  jasanya  tersebut  anak-anak  raja  mendapatkan  perlakuan
khusus  dengan  diperbolehkan  menimba  pendidikan  berbahasa  Belanda  di Loguboti.
69
Bahkan  Warneck  sendiri  sangat  mengakui  otoritas  raja,  serta menghargai peran raja dalam perkembangan Kekristenan di Tanah Batak:
“Sungguh  mereka  adalah  penguasa  negeri:  tanpa  izin  mereka  baik  zendeling maupun  evangelis  penginjil  pribumi  tidak  boleh  bermukim  di  situ.  Dan  kalupun
seringkali  mereka  hanya  secara  lahiriah  saja  ikut  membantu,  yaitu  menghadiahkan tempat  untuk  mendirikan  gedung  sekolah  atau  gereja,  atau  mendorong  warganya
datang ke gereja, atau meminta kehadiran zendeling dan hal-hal yang serupa, itu toh sudah merupakan kerjasama yang hakiki, karena mereka sudah membukakan pintu.”
70
Selain pendekatannya kepada raja dalam menarik simpatik para pengikut, ia  pun  memperkokoh  basis  komunitas  masyarakat  Kristen  Batak  dengan
membangun gereja-gereja berdasarkan marga-marga.
71
Hal ini menandakan bahwa pendekatan  ini  ingin  menanamkan  basis  komunitas  dalam  aspek  kekerabatan
masyarakat  Batak  atau  Dalihan  Na  Tolu.  Dengan  pendekatan  ini  maka  wilayah
68
Andar  Lumbantobing,  Makna  Wibawa  Jabatan  Dalam  Gereja  Batak  Jakarta:  BPK Gunung Mulia, 1996, hl. 80.
69
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 79.
70
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 154.
71
Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 46.
Ompu i
|111
yang  dicakup  adalah  setiap  harajaon-harajaon  kerajaan  bius  yang  dalam kehidupan  sosial  masyarakat  Batak  menjadi  dominasi  dari  marga-marga  tertentu
sebagai  pemilik  wilayah  cuius  region  eius  religio.  Misalnya  saja  Gereja Simarangkir yang merupakan basis dari marga Simorangkir, dsb. Walaupun setiap
gereja tidak dibangun di setiap huta, namun hal ini cukup dalam mengawasi adanya pertikaian-pertikaian yang terjadi, baik di tingkat huta hingga bius. Selain pendirian
gereja, ia pun juga menempatkan marga-marga setempat untuk mengisi gereja atau pos-pos Pekabaran Injil PI tersebut.
72
Dengan pendekatan ini maka Kekristenan semakin menyebar dengan cepat, di mana pada tahun 1881 sudah ada enam distrik
atau  lingkungan,  yakni  Sipiriok,  Sigompulon –  Pahae,  Sibolga,  Silindung,
Humbang dan Toba yang kesemuanya merupakan gambaran dari peta marga-marga Batak.
73
Pendekatan  Nommensen  kepada  adat  dan  budaya  dalam  sistem  sosial masyarakat Batak pada dasarnya membangun dan memperkokoh pondasi kerajaan
Kekristenan yang ia bangun. Bahkan prinsip ini dilakukan oleh Nommensen dengan menempatkan  empat  orang  penatua  sintua  bersama-sama  dengan  raja  dalam
mengawasi harajaon Kristen bius yang diatur oleh aturan peraturan. Sesuatu hal yang  dilakukannya  untuk  mengantisipasi  adanya  penolakan-penolakan  yang
dilakukan para penganut yang masih memeluk agama tradisional.
74
Menurut saya, penempatan penatua menjadi pendamping raja justru menjadi suatu reproduksi baru
atas  kerajaan  Kekristenan  dalam  menggantikan  peran  kelompok  Parbaringin
72
Ibid., hl. 46.
73
Ibid., hl. 47.
74
Ibid., hl. 51.
Ompu i
|112
sebagai pendamping raja, terlebih ketika pesta bius yang menjadi upacara kegiatan bagi agama tradisional Batak yang juga melibatkan kelompok Parbaringin sendiri
dilarang dan dihilangkan dari kegiatan-kegiatan bius. Usaha yang dilakukan ini tidak berhenti sampai di situ saja tetapi terdapat
juga usaha dari para misionaris untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh raja baca: bius, yaitu dengan melibatkan para raja juga dalam suatu kegiatan-
kegiatan formil, misalnya pesta mission pesta zending, serta mewadahi  aspirasi dari setiap wilayah kekuasaannya dengan diciptakannya rapat yang melibatkan para
raja  dan  penatua  sintua  sebagai  suatu  komunitas  Kekristenan.
75
Dengan pendekatannya  ini,  Nommensen  justru  lebih  sibuk  dengan  urusan-urusan  sosial
politik masyarakat, sehingga dengan melibatkan raja maka otomatis para misionaris dibebaskan  dari  beban  masalah  tersebut.
76
Pendekatan  terhadap  raja,  serta pengawasan terhadap bius-bius justru mempertegas posisi Nommensen sebagai raja
ompu i atas raja-raja bius Kristen. Semakin  berjalannya  waktu  dan  semakin  banyak  raja  yang  mengikuti
Kekristenan membuat RMG yang dipelopori Nommensen dan Johannsen akhirnya memisahkan urusan sekuler dengan gerejawi dengan terbentuknya aturan-peraturan
yang  menyangkut  hukum  gereja  pada  1866  dan  diikuti  peraturan  atau  undang- undang sipil untuk orang Kristen pada 1867 yang mengurus masalah perkawinan,
pencurian, judi, bekerja di hari minggu.
77
Dengan adanya undang-undang sipil ini
75
Surat Kuliling Immanuel No. 6, Juni 1893.
76
Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 65.
77
Seperti yang diutarakan oleh Schreiner bahwa undang-undang sipil ini tidak ditemukan naskahnya. Ibid., hl. 63-64.
Ompu i
|113
maka  dimulailah  pembentukan  suatu  adat  Kristen  yang  terpisah  dengan  urusan rohani,  sedangkan  adanya  hukum  yang  mengatur  gereja  berarti  manandakan
dimulainya organisasi struktural gereja yang berdasarkan bius-bius atau adat Batak yang merupakan cikal bakal dari organisasi Episkopal yang ada di HKBP sekarang,
di  mana  hukum  selalu  berjalan  dari  atas  ke  bawah.  Adanya  pemisahan  ini  justru sangat  berbeda  dengan  pemahaman  masyarakat  Batak  tradisional  yang  memiliki
kesatuan hukum.
78
Namun demikian walaupun memiliki dua aturan bukan berarti terjadi  pemisahan  sepenuhnya  antara  sekuler  dengan  agama.  Kesatuan  tersebut
masih  tetap  tidak  dapat  dipisahkan.  Bahkan  saya  melihat  pemisahan  ini  justru menandakan kekuasaan Nommensen terhadap urusan rohani dan sekuler, di mana
Nommensen  menjadi  misionaris  yang  paling  memahami  dalam  urusan  adat  dan budaya Batak.
3. Campur Tangan Pemerintahan Kolonial: Rezim Kekuasaan dan Kekerasan
Setelah  melihat  mengenai  pendekatan  RMG  kepada  pentingnya  adat  dan budaya masyarakat  Batak, dalam hal ini kepada  raja-raja sebagai pelaksana adat,
maka usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menaklukkan raja-raja tak dapat dilepaskan dengan tampilnya pemerintahan kolonialis Belanda melalui aksi
militerisme  atau  kekerasan.  Keterlibatan  ini  tak  dapat  dipungkiri  sebagai  upaya dalam mendukung perluasan Kekristenan di Tanah Batak.
78
Walaupun dalam budaya Batak memiliki dua urusan dalam Pustaha laklak rohani dan Pustaha  Tumbaga  duniawi,  namun  kesatuan  hukum  tetap  tercipta.  Dua  pustaha  ini  tetaplah
menjadi  sumber  dalam  masyarakat  Batak  tradisional,  termasuk  juga  undang-undang  yang  dibuat oleh Raja Singamangaraja XI dan XII yang pada waktu itu pemisahan sekuler dan rohani belum ada.
Bdk. Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 234-235.
Ompu i
|114
Pada  awal-awal  permulaan  penginjilan  memang  terlihat  bahwa  para Misionaris,  terutama  Nommensen  tidak  menghendaki  akan  masuknya
pemerintahan kolonial Belanda yang menganggap bahwa masuknya pemerintahan kolonial  Belanda  sejalan  dengan  masuknya  Islamisasi  di  Tanah  Batak.  Namun
dalam pandangan ini bukan berarti bahwa pihak RMG sendiri menghindari  akan keterlibatan pemerintah kolonial. Para misionaris justru menghendaki akan adanya
kesepemahaman  dengan  pemerintah  kolonial.  Yang  artinya  penginjilan  dan kolonialisme haruslah berjalan bersama-sama. Prinsip  serupa juga dipahami oleh
Raja Pontas Lumbantobing yang notabene adalah seorang pribumi, terlebih ketika Kekristenan telah menyebar di tanah Batak.
79
Bagi  pihak  RMG  sendiri,  keberadaan  pemerintah  kolonial  tidak  dapat dipisahkan, karena hal ini berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan kedua belah
pihak  berupa  pembiayaan  atau  bantuan  dana,
80
sehingga  dapat  dikatakan  bahwa hubungan  keduanya  merupakan  suatu  keniscayaan.  Dengan  demikian  dapat
dikatakan  bahwa  mengikuti  Kristen  berarti  tunduk  kepada  kolonialisme.  Hal  ini juga dicatat oleh J. Silitonga seperti yang kutip oleh Aritonang:
“Raja Pontas menganjurkan masyarakat Sipahutar untuk menerima zending atau Injil dan pemerintah” Dan menurut pemahaman Silitonga Silindung aman karena Raja
Pontas atas anjuran Nommensen – mau tunduk kepada Belanda.”
81
Campur tangan pihak kolonial dengan RMG baru terasa ketika RMG sendiri memasuki dan melakukan misinya ke wilayah Utara, yakni Toba, di mana menurut
79
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 70.
80
Lih.  S.C.  Graaf  van  Randwijck, Oegstgeest:  Kebijaksanaan  “Lembaga-Lembaga
Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989, hl. 165.
81
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155.
Ompu i
|115
Uli Kozok, bentuk campur tangan tersebut berupa aksi militer ke beberapa wilayah Toba, sehingga terjadi koalisi keduanya karena memiliki musuh yang sama, yakni
Raja Singamangaraja XII. Menurutnya koalisi ini terus berlanjut hingga kematian Raja Singamangaraja XII.
82
Peristiwa ini dikatakan sebagai Perang Toba Pertama 1878.
Pandangan ini
didasarkan atas
Bericht der
Rheinischen Missionsgesellschaft BRMG 1878 yang berasal dari surat Nommensen 20 Juni
1878  mengenai  “Laporan  Terakhir  tentang  Perang  di  Toba.”  Namun  selain mengincar  Raja  Singamangaraja  XII  sebagai  musuh  utama  dari  pemerintahan
kolonialis  beserta  RMG  namun  dari  isi  surat  tersebut  mengindikasikan  bahwa bentuk ekspansi ke wilayah Toba adalah juga bertujuan untuk menaklukkan raja-
raja bius, khususnya yang menolak kehadiran misionaris. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Nommensen menjadi saksi mata dan
ikut di dalam perjalanan bersama militer Kolonial yang dibantu dengan orang-orang Kristen dari Silindung
– sesuatu yang tidak bisa diharapkan dari orang muslim – untuk mengekspansi wilayah-wilayah Toba. Namun demikian mengenai tujuan dari
ekspansi ini menurutnya bahwa hal ini tak lepas dari telah masuknya orang Aceh di wilayah  Toba,  sehingga  para  penginjil  merasa  perlu  untuk  meminta  bantuan
pemerintahan  kolonial  sebelum  terjadinya  Islamisasi  yang  akan  menjadi penghambat bagi masuknya Injil:
“Oleh  Sebab  itu  kami  merasa  perlu  meminta-agar  pemerintah  menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari barus dan
Singkil,  dan  sama  dengan  kami  tidak  menginginkan  orang  Aceh  menetap  di  Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya.”
83 82
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 94-95.
83
BRMG Desember 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl.139.
Ompu i
|116
Perjalanan Nommensen  beserta pasukan dimulai dari wilayah Bahal  Batu dan kemudian menguasai wilayah kampung-kampung sekitar, yakni Butar, untuk
seterusnya  melanjutkan  ekspansinya  ke  wilayah  utara.  Beberapa  wilayah  Toba dikuasai,  termasuk  diantaranya  Bangkara  yang  menjadi  pusat  kekuasaan  Raja
Singamangaraja  XII.  Walaupun  Nommensen  ikut  di  dalam  rombongan  militer namun  ia  selalu  menekankan  kepada  pemerintah  kolonial  untuk  terlebih  dahulu
mengedepankan dialog kepada para raja dan masyarakat agar mau tunduk kepada pemerintah  kolonial,  dikarenakan  setiap  kampung  yang  menolak  untuk  tunduk
kepada pemerintahan kolonial maka kampungnya akan dibakar dan di denda oleh pemerintah kolonial. Ada beberapa kampung yang menolak untuk tunduk misalnya
di bius Bangkara, Lobu Siregar, dll., namun ada juga yang langsung menyerahkan diri tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Raja menjadi pusat sasaran dalam
berdialog  yang  dilakukan  Nommensen  dengan  alasan  tunduknya  raja  maka  akan diikuti oleh para pengikutnya.
“Jerit tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema diseluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan
ayah  Sembilan  anak,  dan  memintanya  agar  jangan  terlalu  cepat  membakar  kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka agar menyerah
dan tunduk pada Belanda.”
84
Pasca  Perang  Toba  pertama  maka  sebisa  mungkin  para  misionaris  untuk menghilangkan  trauma  yang  ditinggalkan  akibat  perang,  sehingga  kekawatiran
akan  kebencian  terhadap  Eropa  tidak  terjadi.  Dalam  ekspansi  tersebut  menurut Nommensen ekspansi ini sangat membantu kedua belah pihak,  yakni pemerintah
kolonial dan RMG sendiri.
84
Ibid., hl. 145.
Ompu i
|117
“Penaklukan  Toba  amat  penting  untuk pemerintah  Belanda,  tetapi  lebih  penting lagi  untuk  zending  kita.  Sekiranya  Singamangaraja  beserta  dengan  sekutunya,  baik
Islam, Aceh maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan masuknya
agama  Islam,  dan  kemungkinan  agama  Kristen  berkembang  di  sini  menjadi  hampir sirna.”
85
Namun  menurut  para Missionaris  perang ini  justru  membawa masyarakat Batak  Toba  keluar  dari  keterisolasinnya  dan  terbuka  terhadap  pengaruh  Eropa.
86
Pasca Perang Toba pertama maka banyak orang Toba yang berbondong-bondong masuk  Kristen,  seturut  dengan  takluknya  para  raja  dengan  mengikuti  perintah
pemerintahan  kolonial,  serta  memeluk  agama  Kristen.  Sedangkan  bagi  para Misionaris  maka  pemerintahan  kolonial  Belanda  memberikan  penghargaan  dan
bantuan  dana  sebesar  1000  Golden  kepada  para  Misonaris  melalui  Gubernur Sumatra.
87
Peta Ekspedisi Militer 1878
88
85
BRMG 1882 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 155.
86
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 156.
87
Ibid., hl. 93-94.
88
Diambil dari Ibid., hl. 112.
Ompu i
|118
Selain  dalam  menaklukkan  raja-raja  di  Tanah  Batak  untuk  memperluas wilayah  pekabaran  Injil  maka  usaha  pemerintahan  kolonialis  beserta  RMG  juga
diikuti  dengan  memperkecil  ruang  kelompok  Parbaringin  di  tengah-tengah masyarakat Batak tradisional. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu lembaga,
kelompok  Parbaringin  ini  memiliki  pengaruh  yang  cukup  besar  dalam mempersatukan masyarakat Batak tradisional; dalam hal ini kesatuan akan raja-raja
bius; serta mempertahankan dinasti Singamangaraja. Hal ini tentunya yang menjadi penghambat  bagi  masuknya  Kekristenan  dan  ekspansi  pemerintahan  Kolonial.
Dengan pertimbangan tersebut, pihak zending dan pemerintahan kolonial sepakat dalam  menciptakan  kelompok  ini  sebagai  musuh  bersama  dengan  melarang
kehadiran  kelompok  ini,  serta  tidak  diberikannya  ruang  di  tengah-tengah masyarakat dengan bentuk pelarangan Pesta Bius.
89
Bentuk  campur  tangan  pemerintah  kolonial  dengan  penginjilan  yang dilakukan  RMG  menandakan  konstruk  kekuasaan  yang  dilakukan  bangsa  Eropa
dalam mengalahkan kekuasaan bangsa primitif sebagai suatu kesepemahaman yang sama dalam bentuk Eropasentrisme. Puncaknya adalah dengan terbunuhnya Raja
Singamangaraja  XII  oleh  pasukan  militer  kolonial  Belanda  yang  dikomandani Christoffel pada 17 Juni 1907.
Adanya keterlibatan RMG dengan pemerintah kolonial ini juga diakui oleh RMG,  kini  bernama  UEM  United  Envangelism  Mission,  dengan  permintaan
89
Sitor  Situmorang,  Toba  Na  Sae:  Sejarah  lembaga  sosial  politik  pada  abad  XIII-XX Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hl 97.
Ompu i
|119
maafnya  atas  keterlibatan  RMG  dengan  pemerintahan  kolonial:  pertama  pada tanggal 27 September 1971 dan kedua pada tahun 1990.
C. Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan
1. Media dan Komunitas yang Dibayangkan
Selain  adanya  keterlibatan  pemerintahan  kolonial,  maka  usaha  lain  yang dilakukan  oleh  RMG  sebagai  suatu  konstruk  kekuasaan  di  Tanah  Batak  adalah
dengan menciptakan komunitas baru, yakni kerajaan harajaon Kekristenan, untuk menggantikan komunitas yang lama. Tentunya, dengan penciptaan komunitas baru
ini akan terlihat bentuk-bentuk kolonialisme dalam hubungan penjajah dengan yang dijajah, sikap superior dan inferior dalam bentuk relasi kuasa, serta bentuk-bentuk
penyikiran melalui pembentukan opini umum. Penciptaan atau pembentukan harajaon kerajaan Kristen di Tanah Batak
tidak  dapat  dilepaskan  dengan  diciptakannya  Surat  Kuliling  Immanuel.  Sama halnya dengan buku atau media cetak lainnya, maka Surat Kuliling Immanuel dapat
mewakili keberadaan media cetak lainnya atau yang Bennedict Anderson katakan sebagai  kapitalisme  cetak  print  capitalism  yang  memiliki  pengaruh  kepada
masyarakat,  karena  bersinggungan  dan  hadir  di  tengah-tengah  masyarakat. Pengaruh  tersebut  dapat  menciptakan  kesatuan  masyarakat  atau  pembentukan
komunitas. Di sini, saya akan melihat dan mengkaji majalah ini, karena  menurut Foucault,  melalui  literatur  akan  terlihat  hubungan  antara  pekerjaankarya  dengan
Ompu i
|120
bahasa,  di  mana  reproduksi  atau  konstruksi  dari  suatu  pelaku  dapat  terlihat.
90
Dengan kata lain, kehadiran Surat Kuliling Immanuel akan membawa kepada karya besar  RMG  yang  menyangkut  visi,  tujuan,  dan  strategi  dalam  menciptakan
komunitas baru. Surat Kuliling Immanuel ini dibuat oleh misionaris Jacobus H. Meerwaldt
yang  terbit  pertama  kali  pada  1  Januari  1890  dengan  melihat  keinginan  A. Schreiber,  Inspektur  Barmen  pada  waktu  itu.
91
Ia  mengasuh  Surat  Kuliling Immanuel  pada  periode  1890-1895  dan  1904-1916.
92
Walaupun  Surat  Kuliling Immanuel  ini  diasuh  secara  bergilir  oleh  para  misionaris,  namun  ide  besar  yang
menyangkut isi dan struktur penulisan tidak dapat dilepaskan dari Meerwaldt. Kini majalah ini bernama Surat Parsaoran SP Immanuel dan menjadi majalah resmi di
HKBP.
93
Surat  Kuliling  Immanuel  dapat  dikatakan  sebagai  majalah  komunitas, karena isinya mengenai isu-isu pastoral, refleksi, pengetahuan Alkitab, theologi dan
dogma Kristen, sejarah dan pengajaran, berita-berita misi dan pengetahuan popular matematika, dsb yang menyangkut kebutuhan komunitas Batak.
94
Dengan terbit sebulan sekali, maka surat ini diedarkan dan diperuntukkan kepada Pendeta Batak
90
Michel  Foucault,  Language,  Madness,  and  Desire  On  Literature  Minneapolis: University of Minnesota Press, 2015, hl. 46.
91
Tahun 1890 sebagai tahun terbit pertama kali Surat Kuliling Immanuel ini berdasarkan pengesahan HKBP  yang tertulis di halaman pertama Majalah SP Immanuel HKBP dan Almanak
HKBP di lembaran “Angka Taon Siingoton”, walaupun konsep Surat Kuliling ini telah ada pada 1 Oktober 1889. Lih. Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889.
92
Rachman Tua Munthe, Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik
di Indonesia Periode 1890-1965 Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, hl. 29.
93
Tahun 1890 sebagai tahun terbit Surat Kuliling Immanuel maka  komunitas Kristen di Tanah Batak telah memiliki 18 Jemaat Induk; 81 Jemaat cabang; 18.207 anggota jemaat; Pengerja
Barat yang terdiri dari 22 Pendeta dan 1 schwester; pengerja pribumi terdiri dari 11 pendeta Batak, 88 guru dan 272 penatua majelis; Sekolah yang terdiri dari 92 SD dan 1 Sekolah Lanjutan dengan
jumlah murid 2.666. Lih. Ibid., hl. 28.
94
Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink eds., A History of Christianity in Indonesia Leiden: Brill, 2008, hl. 958.
Ompu i
|121
dan guru-guru yang ada di Sekolah Tinggi untuk menambah pengetahuan mereka, serta  tidak  menutup  kemungkinan  masyarakat  Batak  Kristen  yang  melek  huruf
dengan membayar ganti rugi sebesar 1,25 ringgit selama setahun.
95
Karena sifatnya juga  diperuntukkan  kepada  masyarakat  maka  Surat  Kuliling  Immanuel  juga
membuka  ting-ting  atau  boa-boa berita  atau  “iklan”  bagi  masyarakat  Batak
Kristen yang mau diberitakan di majalah ini dengan membayar 0,25 ringgit.
96
Faktor  Surat  Kuliling  Immanuel  sangatlah  penting  bagi  pembentukan komunitas terutama kepada orang-orang  yang melek huruf, di  mana sekolah dan
pendidikan menjadi faktor pendukung dari imajinasi ini, namun demikian hal ini juga tidak menutup dipahami juga oleh orang-orang buta huruf, mengingat Surat
Kuliling  ini  menjadi  satu-satunya  media  atau  pemberitahuan  ting-ting  dalam lingkungan internal masyarakat Kristen di Tanah Batak yang juga dijadikan bahan
kotbah,  warta  ibadah,  kesaksian,  pengajaran,  dll.  dalam  setiap  kegiatan  atau aktivitas RMG, termasuk dalam ibadah minggu.
Mengenai  Meerwaldt  sendiri,  ia  menjadi  sosok  penting  dibalik  kehadiran buku-buku atau media cetak yang dikeluarkan oleh RMG di Tanah Batak. Selain
Surat  Kuliling  Immanuel,  ia  juga  menerbitkan  buku  anak-anak  sekolah,  seperti Bunga-Bunga Na Angur, Tolu Pulu Onom Turpuk Sidjahaon Ni Anaksikola, dsb. Ia
sangat  mengandalkan  fungsi  buku  atau  media  cetak  sebagai  bentuk  pengajaran dalam mengubah pemahaman masyarakat.
95
Surat  Kuliling  Immanuel,  1  Oktober  1889.  Lihat  juga  J.T.  Nommensen,  Ompu  I  Dr. Ingwer Ludwig Nommensen Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974, hl. 164. Menurut J.T. Nommensen
Surat Kuliling Immanuel dicetak menggunakan Hektograph oleh Jonatan, salah seorang guru.
96
Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889.
Ompu i
|122
Menurut Ben Anderson, kehadiran kapitalisme cetak, seperti yang ia kutip dari Francis Bacon, telah mengubah tampilan dan keadaan dunia.
97
Hal ini diyakini atas  kehadiran  kapitalisme  cetak  di  dalam  suatu  peradaban  manusia.  Namun
berkaitan dengan suatu komunitas maka lebih jauh Ben Anderson melihat bahwa pengaruh tersebut memungkinkan terciptanya bentuk baru komunitas terbayang,
98
atau singkatnya, komunitas yang baru akan tercipta melalui kapitalisme cetak. Hal ini  juga  ditunjukkan  dengan  kehadiran  Surat  Kuliling  Immanuel  di  mana
kehadirannya justru memberikan imajinasi akan suatu komunitas yang baru, yakni kerajaan harajaon Kristen. Yang menariknya kemudian kehadiran Surat Kuliling
Immanuel  juga  menghadirkan  yang  Ben  Anderson  definisikan  sebagai  ajang terciptanya pertukaran atau komunikasi, adanya kepastian baru dalam bahasa, serta
adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu aslinya.
99
Definisi ini ingin menerangkan pengaruh penting dari kapitalisme cetak sebagai suatu sarana
atau alat dalam menciptakan kekuasaan atau sebagai reproduksi kekuasaan yang di dalam  fungsinya  sebagai  literatur  dapat  terlihat  akan  adanya  karya  atau  usaha
tersebut dari subjek. Surat  Kuliling  Immanuel  tidak  hanya  selembaran  yang  ditulis  dengan
tangan, tetapi isinya melahirkan suatu imajinasi yang membentuk komunitas baru. Mekanismenya  adalah  sebagai  komunitas,  masyarakat  Batak  tidak  lagi  hanya
membayangkan  dirinya  sendiri.  Hal  ini  tercipta  dengan  adanya  berita-berita  atau
97
Bennedict  Anderson,  Imagined  Community:  Reflections  on  The  Origin  and  Spread  of Nationalism London: Verso, 2006, hl. 37.
98
Ibid., 46.
99
Ibid.,  hl.  44-45.  Walaupun  Ben  Anderson  mengartikan  istilah  kapitalisme  cetak  ini kepada bentuk nasionalisme, namun saya melihat, nasionalisme dan internasionalisme agama dalam
membentuk dan menciptakan komunitas baru yang berbeda dari komunitas tradisional.
Ompu i
|123
kabar-kabar di Surat Kuliling Immanuel mengenai pekabaran Injil yang dilakukan RMG, baik yang ada di Tanah Batak maupun di luar Tanah Batak, yakni Afrika,
Papua, Eropa Jerman dan Borneo.
100
Imajinasi seperti ini akan mengkonstruk rasa ke”kita”an dalam suatu komunitas baru di bawah bendera RMG melalui pertukaran
atau  komunikasi  yang  sebelumnya  dalam  masyarakat  Batak  tradisional  sendiri masih terikat dengan batasan suatu wilayah, yakni bius dan huta. Sikap bela rasa
dapat  lahir  dari  imajinasi  seperti  ini.  Namun  dari  kasus  ini  yang  pasti,  jikalau melihat pemikian Ben Anderson, maka komunitas baru yang dibentuk dari lahirnya
kapitalisme  cetak  adalah  komunitas  tersebut  tidak  lagi  hanya  membayangkan dirinya lagi, melainkan kepada bangsa-bangsa diluar dirinya.
Selain  menciptakan  komunikasi  dalam  komunitas  maka  faktor  penting lainnya  dari  kehadiran  kapitalisme  cetak  menurut  Ben  Anderson  adalah  bahasa,
baik yang menyangkut kepastian baru dalam bahasa, serta adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu. Hal ini menandakan bahwa bahasa bukan hanya
digunakan  sebagai  alat  komunikasi  tetapi  juga  sebagai  alat  kekuasaan.  Di  dalam surat  kuliling  Immanuel  sangatlah  jelas  terlihat  bahwa  bahasa  digunakan  untuk
mereproduksi  kekuasaan,  bahkan  bahasa  tersebut  juga  direproduksi  oleh  RMG. Walaupun penggunaan bahasa dalam majalah tersebut adalah bahasa Batak-Toba
101
namun hal ini tak lepas dari reproduksi yang digunakan oleh RMG. Bahasa lama diganti dengan bahasa baru; dan hal ini akan membedakan suatu komunitas baru
100
Surat Kuliling Immanuel menampilkan kisah-kisah pekabaran Injil yang tidak hanya di Tanah Batak tetapi juga di luar Tanah Batak, yakni Borneo, Namibia, Papua. Misalnya seperti di
Surat Kuliling, No. 7, 1 Juli 1892, No. 8, 1 Agustus 1893, dll.
101
Bahasa Batak-Toba selalu digunakan oleh  RMG dalam  melakukan  misinya di Tanah Batak,  termasuk  ke  wilayah  Simalungun.  Walaupun  daerah-daerah  tersebut  memiliki  sedikit
perbedaan bahasa namun Bahasa Batak-Toba menjadi bahasa penghubung.