149
Pemerintahan Kolonial Belanda dalam penggunaan kekuatan militer terlihat jelas, seperti  yang  juga  dipaparkan  dalam  Buku  Uli  Kozok,  Utusan  Damai  dalam
Kemelut Perang. Sedangkan di sisi lain dengan Surat Kuliling Immanuel maka akan terlihat konstruk yang lebih luas atas upaya RMG dalam membentuk opini umum,
mengkonstruk  pengetahuan  atau  membentuk  pemahaman  dalam  membangun sebuah komunitas baru dengan wajah pemimpin yang baru baca: ompu i. Hal ini
menandakan akan adanya hubungan antara bentuk kekuasaan di dalam teks baca: Surat Kuliling Immanuel tersebut dengan Meerwaldt sendiri sebagai penulis dalam
suatu  praktik  diskursif  pada  analisa  wacana.  Maka  dari  itu  sebagai  data  primer, Surat Kuliling Immanuel menjadi analisa saya untuk melihat pengetahuan wacana
Ompu i Nommensen melalui aturan-aturan dan praktik-praktik. BRMG
SURAT KULILING IMMANUEL
Penulis
Para Misionaris J.H. Meerwaldt
Konsumen
Kantor Pusat RMG Pendeta  Batak,  Guru-guru,  dan
Masyarakat  Batak  Kristen  melek huruf
Isi
Laporan atas Pekabaran Injil di Tanah Batak
Pembahasan Alkitab Pengetahuan Umum Matematika,
budaya dan bahasa, dll. Isu-isu Pekabaran Injil RMG di
Tanah Batak, Afrika Tanzania, Namibia,dll, Borneo, dll.
150
Tahun Terbit
Awal Mula Pekabaran Injil 1861
1890
Jenis
Laporan Majalah
B. Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i
Pengetahuan  menurut  Foucault  akan  menentukan  bagaimana  wacana  itu beroperasi.  Melalui  aturan-aturan  maka  pengetahuan  menciptakan  pola  perilaku,
rasa, dll. Ada batasan-batasan yang muncul dalam pengetahuan membuat wacana tersebut  dilanggengkan  dan  beroperasi.  Batasan  inilah  yang  dibentuk  di  dalam
discursive  formation  sehingga  sistem  pengetahuan  dapat  tersusun  rapi,  bahkan tersamarkan, yang tanpa disadari mempengaruhi perilaku, rasa, dll. Misalnya saja
penelitian  Foucault  mengenai  wacana  psikopatologi,  di  mana  yang  menjadi objeknya  adalah  tentang  kegilaan.  Batasan-batasan  pengetahuan  yang  ditelitinya
inilah yang kemudian dianggap menciptakan tentang objek kegilaan  atau disebut sebagai  orang  gila;  yang  dalam  hal  ini  adanya  kepentingan-kepentingan  yang
mendasari  pengetahuan sebagai  suatu  proyeksi dalam  pengetahuan  medis  berupa penyingkiran terhadap sesuatu yang tidak rasional. Bahkan proyeksi tersebut juga
menciptakan  pengawasan  dalam  bentuk  institusi  bagi  orang  yang  dianggap  gila. Penelitian Foucault ini merupakan contoh adanya suatu konstruksi yang dibangun
dalam sistem pengetahuan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Hal yang sama juga terjadi dalam wacana kepemimpinan dalam masyarakat Batak;  bahwa  dalam  wacana  kepemimpinan  maka  pengetahuan  akan  masyarakat
Batak  berada  di  dalam  objek  wacana  Ompu  i  yang  sarat  kepentingan  kekuasaan Eropasentris  yang  kemudian  direproduksi  dan  dilanggengkan.  Untuk  itu  dalam
melihat pengetahuan akan wacana kepemimpinan Ompu i maka saya akan terlebih dahulu melihat sistem pengetahuan dalam masyarakat Batak tradisional.
1. Wacana Ompu i Singamangaraja
Di dalam masyarakat Batak tradisional, pengetahuan akan kepemimpinan, dalam hal ini kepemimpinan Raja Singamangaraja, bagi masyarakat Batak berada
di dalam dua hal, yakni Raja sebagai titisan dari dewa tuhan atau dalam bahasa Batak  dikatakan  sebagai  Debata  Na  Tarida  Tuhan  yang  Terlihat  yang  dapat
dikenali,
7
dan dalam kaitannya dengan sistem struktur sosial masyarakat Batak, di mana hal ini menjadi sistem yang terikat dengan filosofi adat dan budaya Batak,
yaitu Suhi Ampang Na Opat. Pengetahuan ini bukanlah memisahkan antara dunia religi dengan sekuler,
melainkan  menjadi  satu  kesatuan  antara  hubungan  pemimpin  dengan  pengikut dalam suatu komunitas. Artinya, kehadiran Raja Singamangaraja diyakini sebagai
pemimpin atas dua dunia, religi dan sekuler, di mana praktik-praktik kekuasaannya dilanggengkan. Hal ini terjadi dengan adanya unsur-unsur modalitas yang memiliki
7
Adniel  Lumbantobing,  Sedjarah  Si  Singamangaradja  I-XII  Tarutung:  Dolok Martimbang, 1959, hl. 10.
152
peran yang siginifikan, yakni raja-raja bius hingga masyarakat Batak sendiri yang memandang Raja Singamangaraja sebagai penuntun bagi pengikutnya.
Keyakinan  masyarakat  Batak  tradisional  atas  kepemimpinan  Raja Singamangaraja menjadikan adat dan budaya Batak berada dalam kedaulatannya.
Hal  ini  ditandai  dengan  berdaulatnya  masyarakat  Batak  tradisional  dalam  sistem struktur  kekeluargaan,  masyarakat  dan  bangsa  baca:  Bangso  Batak  seperti  di
dalam filosofi dalihan na tolu, paopat sihal-sihal, dan suhi ampang na opat. Pola sistem  ini  menjadi  struktur  yang  mengikat  dalam  bentuk  praktik-praktik  dengan
kehadiran raja lintas bius. Bahkan sebelumnya hal ini juga telah terwujud pada saat dinasti  Sorimangaraja,  di  mana  pengwejawantahan  atas  filosofi  adat  dan  budaya
masyarakat  Batak  terpenuhi;  yang  kemudian  berlanjut  dan  dilengkapi  dengan munculnya dinasti Singamangaraja sebagai pemimpin atas wilayah-wilayah bius.
Namun  demikian  satu  hal  yang  juga  penting  atas  keyakinan  kepada  raja,  yakni bahwa raja sebagai pemimpin yang merupakan titisan tuhan atau memiliki sahala
dalam  prakteknya  akan  selalu  membawa  hamoraon  kekayaan,  hagabeon keturunan,  dan  hasangapon  kemuliaan  atau  martabat  bagi  masyarakat  Batak.
Permintaan  akan  turunnya  seorang  raja  ketika  masa  pergantian  dari  dinasti Sorimangaraja ke Singamangaraja menjadi bukti akan harapan masyarakat kepada
sosok pemimpin. Dan permintaan maupun harapan ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kelompok Parbaringin: kelompok yang bergerak dibidang kerohanian.
Pentingnya  kehadiran  Raja  Singamangaraja  tidak  dapat  dilepaskan  dari pengaruh  kelompok  Parbaringin  yang  memaknai  kepemimpinan  dalam  sudut
153
pandang religiositas. Sebagai kelompok yang mewarisi Pustaha Laklak yang berisi pedoman kerohanian, kelompok ini memiliki  kedudukan atas kehidupan spiritual
dalam  masyarakat  Batak,  misalnya  doa-doa  persembahan  dari  hasil  panen  yang diberikan  Debata  Mulajadi  Na  Bolon,  pesta-pesta,  pengobatan,  dsb.  Bahkan
kedudukan tersebut juga mendapatkan tempatnya dalam struktur masyarakat Batak tradisional, termasuk dalam hal ini kedudukan di dalam jabatan Pande Bolon yang
merupakan  ketua  dari  kelompok  Parbaringin  yang  memiliki  peran  mendampingi raja dan juga mengganti posisi raja ketika raja tidak dapat hadir.
Sebagai  satu  kesatuan  dalam  gerakan  keagamaan  maka  kelompok  ini memiliki  pengaruh  yang  sangat  besar  dalam  masyarakat  Batak  tradisional.
Kehadirannya selalu memperkuat kedudukan raja, baik ditingkat huta hingga bius, termasuk  dalam  hal  ini  aktif  dalam  mempertahankan  dan  menyokong  eksistensi
Raja  Singamangaraja.  Bahkan  ketika  Raja  Singamangaraja  XII  telah  tiada sekalipun,  kelompok  ini  selalu  aktif  dalam  melawan  pihak  kolonial  melalui
gerakan-gerakan  perlawanan.  Hal  ini  menandakan  besarnya  pengaruh  kelompok Parbaringin  dalam  struktur  masyarakat,  termasuk  dalam  mempersatukan
masyarakat  Batak.  Dengan  kehadirannya  yang  menyebar  di  setiap  bius  maka kelompok  ini  menjadi  panutan  dan  juga  kebutuhan  bagi  masyarakat  Batak
tradisional, di mana pengaruh yang dimunculkannya melalui institusi dan dominasi dalam  hal  wacana-wacana  yang  membawa  nilai-nilai  spiritualitas  dalam
masyarakat Batak memberikan kesatuan yang mengikat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Fungsi dari kelompok Parbaringin ini dapat dikatakan sebagai suatu institusi yang  mereproduksi  nilai-nilai  spritualitas  yang  diwariskan  dari  Pustaha  Laklak
yang  merupakan  pelengkap  atas  dunia  sekuler  yang  telah  diatur  dalam  Pustaha Tumbaga.  Bagaimanapun  kedua  pustaha  ini  merupakan  dasar  dari  tatanan
kehidupan masyarakat Batak tradisional, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihalsihal dan  Suhi  Ampang  Na  Opat,  maupun  juga  dasar  dari  pengetahuan  akan  wacana
kepemimpinan yang memiliki unsur spiritual sebagai Debata Na Tarida.  Dengan dasar ini maka kepemimpinan Singamangaraja tidak hanya dipandang sebagai raja
para imam kelompok Parbaringin yang dihubungkan dengan sesuatu yang religius saja  tetapi  melihat  wilayah  kekuasaannya  maka  banyak  raja-raja  bius  yang  juga
menaruh  hormat  kepadanya,  sehingga  pengaruh  Raja  Singamangaraja  terhadap kebijakan  yang  sifatnya  sekuler  cukup  besar.  Misalnya  saja  di  bidang  pertanian,
hukum, rumah tangga, militer dan adat-istiadat, di samping urusan agama.
8
Sistem  kerajaan  dalam  dinasti  Singamangaraja  sangatlah  berbeda  dari sistem  kerajaan  lainnya.  Seperti  yang  sudah  digambarkan  pada  bab  sebelumnya
maka  dinasti  Singamangaraja  bersifat  konfederasi  dari  bius-bius  yang  ada.  Pola semacam ini justru menghendaki sikap akan karakter kepemimpinan dari seorang
pemimpin,  dikarenakan  raja  tidak  menguasai  wilayah,  dalam  pengertian kepemilikan  tanah.  Kesaktian,  pendamai,  pengampun,  dsb,  merupakan  sifat  dan
karakter seorang pemimpin dari pola kepemimpinan semacam ini. Seberapa besar pengaruh kekuasaannya tergantung dari perilaku seorang pemimpin. Hal ini juga
8
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 78.