Ompu i |48
dikatakan  sebagai  sahala  tua,  sedangkan  pustaha  kedua  diwariskan  kepada  Raja Isumbaon atau sering dikatakan sebagai sahala harajaon.
23
Kedua pustaha ini merupakan awal mula sistem pemerintahan dan adat dari masyarakat Batak Toba, dan menjadi dasar dari organisasi Huta kampung, Horja
dan Bius. Artinya, kedua pustaha tersebut mencakup aspek religi dan aspek sekuler dalam bentuk pemerintahan harajaon. Kedua aspek ini yang menjadi dasar dari
aspek  Bius.  Bahkan  dikemudian  hari  pustaha  laklak  yang  menjadi  sumber religiositas  membentuk  kelompok  parbaringin  pendetaimam  dan  menjadi  ciri
utama dalam sistem Bius Sianjurmulamula. Menurut Sitor Situmorang kedua aspek ini yang seharusnya dapat menciptakan kesatuan dan kemajuan, namun dikemudian
hari justru sering menimbulkan bibit-bibit perpecahan dalam bentuk dualisme.
24
2. Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius
Masyarakat Batak meyakini bahwa huta atau kampung yang pertama kali terbentuk adalah Sianjurmulamula. Hal ini termaktub di dalam tonggo-tonggo atau
doa-doa sebagai berikut:
Sianjurmulamula, Sianjur mula toppa. Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa
Sianjurmulamula, Sianjur mula jadi Mula ni sombayang, mula ni sombauasi.
Parpansur golanggolang, partapian jabi-jabi Sianjurmulamula, Sianjur awal yang diciptakan
Dipisahkan oleh air, disatukan oleh daging Sianjurmulamula, Sianjur awal yang ada.
Permulaan dari sembayang, awal dari sujud.
23
Dalam perkembangannya sesuai turiturian dikisahkan bahwa Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon  tidak  pernah  membuka  pustaha  tersebut  hingga  akhirnya  keturunan  merekalah  yang
membuka pustaha tersebut, yakni Martua Rajadoli dan Tuan Sorimangaraja. Inilah sebabnya Martua Rajadoli  sering  dikatakan  sebagai  Martua  Rajadoli  mula  ni  Raksa  ni  Hadatuhon  sian  Pustaha
Laklak  Martua  Rajadoli  awal  dari  pengetahuan  adikodrati  yang  tertulis  dalam  pustaha  laklak, sedangkan  Tuan  Sorimangaraja  sering  dikatakan  sebagai  Tuan  Sorimangaraja  Mula  ni  torsa  ni
Harajaon sian Pustaha Tumbaga Tuan Sorimangaraja awal dari pengetahuan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Pustaha Tumbaga lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Pemerintahan Harajaon dan
Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba Medan: Bina Media Perintis, 2014, hl. 141.
24
Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 24-26.
Ompu i |49
Parsaapan manogot, parangiron bodari Tempat mata air yang bergelang-gelang, tempat
mandi yang besar
Namun  demikian,  Sianjurmulamula  bukan  hanya  menjadi  huta  pertama, melainkan  tempat  ini  menjadi  penting  dikarenakan  dari  tempat  inilah  kemudian
masyarakat  Batak  menyebar  ke  seluruh  penjuru  seturut  dengan  bertambahnya jumlah  masyarakat  di  huta  tersebut.  Bahkan  perkembangan  ini  membuat  status
Sianjurmulamula pun bukan lagi dipandang sebagai huta, tetapi juga sebagai Bius; yang  meliputi  daerah  huta  Limbong  dan  Sagala.  Walaupun  perkembangan
masyarakat  Batak  sudah  keluar  dari  wilayah  Sianjurmulamula,  namun  demikian status  Sianjurmulamula  masih  menjadi  salah  satu  model  percontohan  di  setiap
pembangunan bius-bius lainnya, yakni dengan menekankan aspek religi Pustaha Laklak  dan  sekuler  pustaha  Tumbaga.  Penyebaran  masyarakat  Batak  banyak
terdapat  di  wilayah  Samosir,  Toba-Holbung,  Humbang  dan  Silindung.  Menarik kemudian menulusuri lebih dalam mengenai perkembangan huta, horja dan bius,
serta bagaimana konsep Sianjurmulamula diterjemahkan di dalam bius-bius yang ada dan dalam hubungannya dengan Huta dan Horja, karena dengan ketiga inilah
sistem hirarki pemerintahan Singamangaraja terlihat.
Huta
Menurut Vergouwen huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol dari pada kelompuk suku perkumpulan semarga atau dapat juga sebagai horja.
25
Alasan  Vergouwen  ini  ada  benarnya  dengan  alasan  Huta  memiliki  kekerabatan yang  dekat  dari  pada  kelompok  suku,  walaupun  mayoritas  penduduk  huta
25
J.C. Vergouwen, Op. Cit, hl. 132.
Ompu i |50
merupakan  satu  kelompok  suku  tertentu  atau  semarga.  Namun  tidaklah  otomatis bahwa  isi  dari  huta  tersebut  adalah  hanya  satu  marga  tertentu  saja,  tetapi  juga
terdapat marga paisolat atau parripe penumpang yang harus tunduk kepada marga utama.
Bagi  masyarakat  Batak  membuka  atau  mendirikan  huta  yang  baru  sama halnya  dengan  mendirikan  harajaon  yang  baru.  Hal  ini  disebabkan  pendiri  huta
akan menjadi raja atau huta tersebut. Konteks yang ada dalam masyarakat Batak setiap  huta  yang  berdekatan  pastilah  memiliki  hubungan  kekerabatan.  Itulah
sebabnya  huta  yang  pertama  tidak  dapat  dilepaskan  dari  huta-huta  yang mengikutinya. Dalam istilah Batak, kampung yang baru dibuka yang dihuni oleh
keluarga-keluarga yang merupakan warga dari satu bagian klan dinamakan lumban atau  biasanya  disebut  lumban  ni  huta.  Dan  ketika  sebagaian  penghuni  lumban
tersebut  membuka  kampung  yang  baru  maka  akan  di  sebut  sosor  atau  biasanya sosor ni huta.
26
Selain  dari  ketidakidentikan  huta  dengan  kelompok  suku  atau  marga,  hal lain yang memperjelas dari huta adalah adanya pembagian wilayah dengan batas-
batas  yang  jelas.  Biasanya  huta  berdiri  di  sebidang  tanah  yang  memiliki  batas disekelilingnya dan di huni oleh kerabatnya pendiri huta. Biasanya batas tersebut
dikeliling  oleh  bambu  atau  parik,  semacam  tembok  yang  terbuat  dari  tanah  atau susunan batu. Huta dan tanah memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dikarenakan huta mengatur hak kepemilikan tanah. Kepemilikan ini mengatur hak tanah yang menyangkut kepada kepemilikan atas marga pendiri huta, pihak boru
26
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl. 149-150.
Ompu i |51
perempuan,  marga  penumpang,  serta  tanah  garapan.  Maka  dari  itu,  posisi  huta memiliki  keotonomian  atas  hak  tanah,  sehingga  ketika  dikaitkan  dengan  sistem
pemerintahan  pemerintahan  tradisional  Batak  Toba,  maka  huta  merupakan memiliki  wewenang  yang  paling  kecil  secara  teritorial.
27
Namun  pengaturan tersebut  bukan  hanya  pada  masalah  tanah  saja,  tetapi  segala  kehidupan  yang
menyangkut  atau  berhubungan  dengan  huta  hatopan  tersebut  merupakan wewenang dari huta tersebut, misalnya perkelahian, adanya pendatang, dll. Dalam
pemerintahan  tradisional  Batak  Toba,  huta  telah  memiliki  aturan  yang  jelas. Bahkan di hutalah akan terlihat dengan jelas penggunaan adat dan hukum dalam
kehidupan  sehari-hari.  Namun,  di  sini  saya  tidak  akan  membahas  seluruh  aturan dan larangan dalam kehidupan di huta, melainkan akan melihat struktur fungsional
dalam huta yang nantinya akan berkaitan dengan horja dan bius. Di dalam huta, hak memerintah merupakan hak bersama hatopan setiap
keturunan patrilineal langsung si pendiri huta tersebut. Walaupun menurut hukum hak tersebut dipegang oleh raja huta namun keturunan dari raja huta tersebut juga
mendapatkan manfaatnya dan mempunyai hak istimewa. Dari fenomena seperti ini Vergouwen membahasakan  huta  sebagai  suatu
“sel dari suatu organisasi politik yang dibentuk oleh marga dan kelompok suku, tetapi sebuah sel dengan kehidupan
persekutuan ”.
28
Yang  menarik  dari  pengertian  ini,  ketika  Vergouwen mengumpamakan huta sebagai suatu sel maka hal ini menandakan bahwa sifat dari
huta selalu berkaitan dengan huta-huta lainnya yang menjadi pengembangan atau
27
Ibid., hl. 147.
28
J.C. Vergouwen, Op. Cit., hl. 141.
Ompu i |52
perluasan  dari  huta  sebelumnya.  Walaupun  hubungan  paralel  ini  diikat  dengan hukum  dan  adat  namun  huta  mememiliki  dimensi  politik  yang  justru  cenderung
menjadi  kekuatan  sebagai  persekutuan  yang  kecil.  Dalam  posisi  inilah  raja  huta memiliki kekuatan ketika menjadi yang paling dituakan dan dihormati.
Raja  huta  atau  yang  sering  dikenal  sebagai  Tunggane  Ni  Huta  tetua kampung  di  Samosir  dan  ada  juga  yang  menyebutnya  Siboan  Bunti  pembawa
persembahan  memiliki  tugas  mengelola  huta,  menegakkan  hukum  dan menyelenggarakan  peradilan,  adat,  ketertiban  dan  disiplin.  Jabatan  atau  gelar  ini
biasanya merupakan gelar keturunan waris dari garis patrilineal. Bahkan, ketika berhubungan dengan kepentingan atau urusan di luar huta tersebut maka raja huta
menjadi perwakilan dari kepentingan huta tersebut. Masyarakat huta tersebut juga haruslah menerima kepemimpinan dan bimbingan dari raja huta. Segala aktivitas
masyarakat,  seperti  perkawinan,  penjualan  ternak  dan  urusan  tanah  haruslah melibatkan raja huta sebagai bentuk partisipasi penting atas peran raja huta. Dari
sinilah kemudian raja huta  menjadi  penentu atau pintu terakhir yang memainkan peranan  penting  bagi  keberlangsungan  hutanya.  Idris  Pasaribu  dalam  novelnya
berjudul Mangalua memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai posisi dan kedudukan  penting  raja  huta,  horja,  bius  ditengah-tengah  masyarakat  dalam
memberikan  nasehat,  mediasi;  yang  dengannya  akan  membawa  solusi  bagi kehidupan  keluarga  dan  masyarakat.
29
Hal  ini  sesuai  dengan  umpasa  berikut  ini dapat menerangkan posisi raja:
Baris-baris ni gaja di rura pangaloan, Molo marsuru raja ingkon oloan
Gajah berbarisbaris di lembah Pangaloan Jika Raja memberikan perintah maka harus dilaksanakan.
29
Lih. Idris Pasaribu, Mangalua Jakarta: Obor 2015, hl. 145.
Ompu i |53
Molo so nioloan tubu hamagoan Ia nioloan dapot pangomoan
Jika tidak dilaksanakan akan lahir malapetaka Yang melaksanakannya akan mendapat keuntungan
Di  dalam  hukum  dan  adat  masyarakat  Batak  ada  beberapa  motif  yang mendasari  akan  adanya  pengikat  atau  hubungan  huta  dengan  huta  lainnya  atau
bahkan ke kelompok suku, yakni :
30
1. Motif  kesilsilahan.  Motif  ini  paling  besar  pengaruhnya  dalam
masyarakat  Batak.  Walapun  terkadang  tidak  melibatkan  seluruh masyarakat di huta tersebut, namun paling tidak mempunyai hubungan
di beberapa anggota masyarakat huta tersebut. 2.
Motif  keagamaan.  Motif  ini  sangat  mempengaruhi  kehidupan masyarakat huta  menjadi  masyarakat kurban dan persekutuan. Seperti
yang dicatat Vergouwen bahwa terkadang motif keagamaan ini kurang berpengaruh dalam kehidupan politik sebagai suatu persekutuan.
3. Motif  kewilayahan.  Motif  ini  kurang  berpengaruh  dalam  mengikat
kelompok  masyarakat.  Namun  beberapa  hal  sangat  berpengaruh khususnya  di  wilayah  emigrasi,  yakni  tempat  kampung-kampung
bersatu di dalam wilayah campuran atau daerah yang memiliki marga yang berbeda namun masih memiliki pertalian.
Setelah menjabarkan pengertian huta dalam masyarakat Batak serta peran penting  raja  huta,  maka  dapat  disimpulkan  huta  memiliki  kedudukan  dan  fungsi
penting bagi kehidupan masyarakat Batak. Bahkan, huta menjadi pondasi kepada sistem yang lebih tinggi, yakni horja dan bius, termasuk nantinya menjadi pondasi
30
Ibid., hl. 144.
Ompu i |54
dalam keberlangsungan dinasti Singamangaraja. Dan raja huta bertanggung jawab kepada horja dan bius. Hal ini terlihat dari umpasa yang menggambarkan dinasti
tersebut.
Huta do mula ni Horja Horja do mula ni Bius
Huta membentuk horja Horja membentuk bius
Horja
Horja merupakan federasi tingkat pertama yang merupakan kumpulan dari beberapa huta. Biasanya horja merupakan kelompok satu marga atau sekelompok
marga  yang  sama  marga-raja  dari  beberapa  huta  walaupun  tidak  menutup kemungkinan  terdapat marga  lain yang  berbeda  dikarenakan  adanyak  kelompok-
kelompok pendatang baru dan juga kelompok marga lain yang leluhurnya memiliki peranan  dalam  membuka  tanah  atau  huta.
31
Namun  demikian  horja  sendiri  pada intinya  merupakan  persekutuan  kelompok-kelompok  yang  masih  terikat  dengan
hubungan kekerabatan marga atau Dalihan Na Tolu: hula-hula, dongan sabutuha maupun boru. Paling tidak adanya keterikatan antarhuta menjadi horja dikarenakan
adanya  ikatan  genealogis,  adat,  religi  dan  teritorial.
32
Hal  inilah  yang  mendasari keberlangsungan dari adanya horja. Misalnya saja horja Bangkara yang merupakan
kumpulan dari huta Raja dan huta Siunongunong Julu dan huta Sionggang. Horja dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai karya atau kerja. Awalnya
perkumpulan ini sebagai suatu seremonial atau pesta atas persekutuan masyarakat kurban yang bersifat religi, namun lambat laun horja menjadi urusan sekuler yang
mangurus keamanan jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok dari
31
Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 38.
32
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl.162
Ompu i |55
huta yang bukan semarga, peperangan, hak kepemilikan dan pengurusan tanah, dll. Sebagai relasi dari masing-masing huta maka horja dimaksudkan sebagai bentuk
kerjasama  baik  sesama  marga  maupun  dengan  marga  boru  marga  suami  dari perempuan  yang  berasal  dari  kampung  tersebut.  Biasanya  bentuk  kerjasama
tersebut berupa pengelolaan tanah golat. Dengan terikat akan relasi antarhuta, maka kepemimpinan horja dinamakan
sebagai  Dewan  Raja  atau  Raja  Horja  atau  juga  sering  dikatakan  sebagai  Raja Junjungan. Mekanisme pengangkatannya dengan melibatkan dan memberikan hak
suara  kepada  setiap  huta  untuk  mengusulkan  calon  raja  yang  kemudian  dipilih secara  demokrasi  oleh  masing-masing  huta.  Namun  biasanya  yang  menjadi  raja
horja adalah marga sipungka pembuka huta atau kampung.
33
Istilah raja di sini bersifat kolektif yang terdiri dari raja-raja si pembuka huta. Setelah terpilih maka
raja  horja  inilah  yang  kemudian  memimpin  setiap  kegiatan  horja  didampingi beberapa  orang  dari  golongan  parbaringin  kaum  pendetaimam,  walaupun  ada
beberapa  horja  yang  justru  kedudukan  raja  merangkap  juga  kedudukan  dan pekerjaan golongan parbaringin.
Menurut Ulber Silalahi ada dua fungsi penting dari horja, yakni: pertama, fungsi religi. Fungsi ini dapat diartikan sebagai suatu pesta atau ulaon marga. Jika
diaktualisasikan  pada  masa  kini  maka  deskripsi  yang  paling  jelas  dalam menggambarkan horja adalah ritus pesta adat atau ulaon adat dari marga walaupun
secara  esensi  telah  berbeda.  Dalam  fungsi  ini  maka  horja  melaksanakan  ritus
33
Ibid., hl. 214.
Ompu i |56
pemujaan leluhur marga, namun pekerjaan ini haruslah direstui oleh Bius melalui permusyawarahan yang disebut sebagai tonggo raja. Dengan menggunakan tarian
tunggal  panaluan  tongkat  sakti  simbol  marga  maka  dalam  perayaan  tersebut haruslah mengundang roh leluhur yang dinamakan horja santi, dan Datu semacam
Dukun berfungsi dalam pemanggilan roh tersebut. Selain ritus pemujaan leluhur maka  horja  dalam  fungsinya  sebagai  religi  juga  melaksanakan  pesta  besar  atau
horja  rea  yang  dipimpin  oleh  parbaringin  kelompok  imam.  Kedua,  fungsi administrasi dan hukum. Fungsi ini menerapkan aturan di dalam horja sebagai suatu
harajaon atau kerajaan yang berlaku baik ke luar diluar wilayah horja ataupun ke dalam bagi anggotanya sendiri. Misalnya jikalau terjadi penggarapan tanah yang
bukan menjadi haknya atau pengambilan hasil ternak diluar hak wilayahnya golat yang dilakukan oleh orangkelompok diluar dari horja tersebut maka aturan dalam
horja akan menuntut hak korban. Jikalau kasus tersebut dilakukan oleh anggotanya maka  akan  dilakukan  perdamaian  yang  dilakukan  di  partungkoan  yang  disebut
sebagai parriaan.
34
Setelah  melihat  fungsi  horja  dari  urusan  religi  hingga  kepada  masalah sekuler maka dalam hubungannya dengan bius, horja menjadi kustituen dari bius
yang merupakan federasi yang lebih tinggi. Dalam konteks ini setiap horja memilih dan  mengutus  wakilnya  untuk  menjadi  dewan  pemerintahan  sekuler  bius,  serta
mengutus wakilnya menjadi imam dalam kelompok parbaringin.
34
Ibid., hl. 165-166.
Ompu i |57
Bius
Pemerintahan  bius  merupakan  pemerintahan  konfederasi  dari  beberapa pemerintahan  horja.  Terbentunya  bius  biasanya  dikarenakan  adanya  kedekatan
geografis,  walaupun  tidak  menutup  kemungkinan  akan  adanya  faktor  genealogis atau sesama marga dalam pembentukan bius. Namun yang menjadi hal esensial dari
kehadiran bius adalah adanya ikatan dari aspek religi. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian  besar  kegiatan  bius  merupakan  kegiatan  keagamaan.  Bahkan  bius  juga
memiliki ritus-ritus tersendiri yang berbeda dari horja dan huta, atau dengan kata lain ritus tersebut hanya dapat diselenggarakan di tingkat bius, misalnya kegiatan
mangase taon perayaan tahun baru, maname perayaan musim tanam, dll. Ada juga kegiatan bius yang merupakan kegiatan sekuler namun tetap dinaungi secara
religi,  misalnya  pesta  bius  yang  dipimpin  oleh  raja  bius  namun  pelaksana  ritus tetaplah kelompok parbaringin kelompok kaum imam. Dalam kegiatan tersebut
parbaringin  memimpin  seremonial  dengan  memberikan  persembahan  kurban kepada debata.
Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula,  yakni adanya 2 pustaha, pustaha laklak dan tumbaga, maka bius selalu mementingkan keseimbangan di dalam unsur
duniawi  sekuler  dengan  religi.  Dengan  konsep  tersebut,  maka  idealnya  bius menjadi  aparatus  yang  diisi  oleh  dewan  bius  atau  biasa  disebut  raja  bius  dan
kelompok parbaringin imam atau pendeta. Dewan bius berisi enam anggota dan kepemimpinannya  bersifat  primus  inter  pares,  di  mana  anggota  tertua  dari  horja
menjadi pemimpinnya. Dewan bius inilah yang menjadi pengayom hukum secara sekuler, sedangkan kelompok parbaringin merupakan kumpulan para pendeta atau
Ompu i |58
kaum imam yang mewakili tiap horja. Walaupun kelompok parbaringin menjadi pendamping dewan bius namun kehadirannya tetaplah tunduk kepada aturan hukum
sekuler.  Keduanya,  dewan  bius  dan  parbaringin,  bekerja  dengan  sifat  saling melengkapi. Biasanya yang menjadi raja bius adalah marga raja dari sipungka huta
atau pembukapendiri kampung. Menurut  Sitor  Situmorang,  bius  yang  sesuai  dengan  Sianjurmulamula
memiliki  konsep  yang  jelas;  dari  hukum  sekuler  yang  menjadi  adat  bius  hingga religiusitas  memiliki  pengaturannya.  Dengan  konsep  ini  Sitor  Situmorang
menganggap bahwa konsep ini dapat menjadi perwujudan suatu bangsa, di mana bius  yang  memiliki  fungsi  otonomi  tersendiri,  adanya  fungsi  onan  pasar  serta
ditambah  fungsi  lembaga  Singamangaraja  menjadikan  Toba  sebagai  state- tendency.
35
Adapun  beberapa  fungsi  bius  dan  menjadi  adat  bius  adalah  mengatur, yakni:
36
1. Hukum pertanahan
2. Hukum relasi bertetangga
3. Hukum pengusaan tanah atau hukum golat
4. Hukum tali-air irigasi dan perairan sungai, danau
35
Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 19-20.
36
Ibid., hl. 12-13. Sitor Situmorang tidak memasukkan penyetujuan Onan sebagai tugas dari bius. Hal ini berbeda dengan Ulber Silalahi. Menurut Sitor, Onan bukan hanya sekedar dilihat
sebagi pasar atau jual beli belaka melainkan telah menjadi lembaga yang tingkatnya sudah diatas bius,  walaupun  hasil  dari  Onan  merupakan  pengesahan  atas  kerjasama  antarbius.  Lebih  jauh  ia
melihat  bahwa  Onan  menjadi  aspek  tertib  hukum  yang  kelembagaannya  diresmikan  oleh Singamangaraja  atau  Sorimangaraja  sebelum  adanya  Singamangaraja.  Bahkan  Onan  menjadi
pemersatu dari bius-bius. Bdk. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 156-158.
Ompu i |59
5. Hukum sumber daya komunal hutan, padang rumput dll, dikuasai secara
kolektif oleh paguyuban. 6.
Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarapan atas sawah. 7.
Hukum yang mengatur hak pendiripemilik huta, dll. Walaupun secara aturan sangatlah jelas, namun kenyataan berkata lain. Bius
yang  memiliki  konsep  ideal  justru  tidak  terjadi  di  setiap  bius  yang  ada.  Hal  ini berdampak kepada fungsi bius, yang berbeda dengan bius-bius lainnya. Salah satu
faktor  yang  menjadi  penyebab  adalah  karena  migrasi  penduduk  yang mengakibatkan  pendirian  bius  tidaklah  sesuai  dengan  konsep  Sianjurmulamula.
Seperti yang dicatat oleh Sitor Situmorang bahwa terdapat 3 kategori konsep bius, yakni:
37
1. Bius berkembang. Bius yang termasuk dalam kategori ini berada di wilayah
pantai  selatan  danau  Toba  dan  pulau  Samosir.  Konsep  bius  ini  mengikuti konsep  Sianjurmulamula,  di  mana  konsep  ini  memiliki  aparatus  berupa
dewan bius dan golongan parbaringin kelompok para imampendeta. 2.
Bius  sedang  berkembang.  Kategori  ini  mencakup  wilayah  Silindung, Humbang  dan  Pahal.  Aparat  dari  bius  ini  tidaklah  selengkap  dari  bius
berkembang  atau  sebagaimana  model  Sianjurmulamula.  Konsep  ini  tidak memiliki  golongan  parbaringin  yang  ideal,  sehingga  setiap  kegiatan  pesta
bius, pemimpin sekuler atau dewan bius melaksanakan tugas yang seharusnya diemban oleh golongan parbaringin.
37
Ibid., hl. 31-32.
Ompu i |60
3. Bius  terbelakang.  Bius-bius  yang  berada  dalam  kategori  ini  yakni  wilayah
pinggiran  Toba.  Bius  dalam  kategori  ini  sudah  sangat  berbeda  dari  konsep Sianjurmulamula.  Bahkan  kepemimpinan  bius  bukan  lagi  bersifat  kolektif
melainkan perorangan. Adanya  perbedaan  bius-bius  ini  mengindikasikan  arus  migrasi  masyarakat
Batak yang menyeluruh ke wilayah pinggiran Toba. Ypes, salah seorang mantan residen  Tapanuli,  mencatat  dan  mendokumentasikan  bahwa  jumlah  bius  yang
tersebar  di  Toba  adalah  sebanyak  86  bius  yang  terdiri  dari:  4  bius  di  wilayah Silindung, 19 bius di Humbang, 40 bius di Toba Hobung dan 23 bius di wilayah
Samosir.
38
Bius  bagi  masyarakat  Batak  memiliki  peranan  penting  dalam  kehidupan bersama  di  Toba.  Seperti  layaknya  sebuah  sistem  organisasi,  maka  bius  menjadi
media  atau  sarana  dalam  menghubungkan  setiap  wilayah-wilayah  di  Toba  lihat skema. Bahkan nantinya sistem bius ini dimanfaatkan kolonialisme Belanda dalam
upaya memecah belah.
38
Data dari Ypes ini berbeda dengan data dari Sitor Situmorang. Menurut Sitor Situmorang terdapat 150 bius pada abad ke-19. Perbedaan ini menurutnya, data statistik yang digunakan Belanda
adalah  data  bius  lama  yang  merupakan  hasil  penggabungan  dari  bius-bius  kecil.  Bahkan  data tersebut  menjadi  samar  ketika  Belanda  mengubah  sistem  bius  dengan  istilah  negeri  sebagai  unit
pemerintahan terbawah Belanda, di mana Kepala Negeri awalnya digelari sebagai Jaihutan yang berarti dipatuhidiikuti menjadi pemimpin bius tersebut lih. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 17-18.
Ompu i |61
Skema Bius
3. Sistem Pemerintahan dan Kelompok Parbaringin
Dua  pustaha,  laklak  dan  tumbaga,  di  dalam  konsep  Sianjurmulamula menjadikan  Toba  memiliki  tata  kelola  pemerintahannya  sendiri.  Konsep  ini
bermula kala dinasti Raja Sorimangaraja membuka dan menerapkan kedua pustaha tersebut,  sehingga  menjadikannya  kerajaan  termasyur  dalam  masyarakat  Batak
Toba  yang  pada  waktu  itu  berpusat  di  Baligeraja.  Dari  dinasti  Sorimangaraja inilah nantinya kemudian menjadi dinasti Raja Singamangaraja. Seperti yang sudah
dikatakan di atas mengenai 3 struktur tata kelola pemerintahan, yakni bius, horja dan  huta, maka  di setiap struktur tersebut di isi oleh jabatan-jabatan  yang dibagi
berdasarkan tugasnya, termasuk dalam hal ini kelompok parbaringin yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mendampingi jabatan-jabatan sekuler.
Aparatus dan Dewan Raja
Sesuai  dengan  konsep  Sianjurmulamula  dalam  dinasti  Sorimangaraja terdapat  jabatan-jabatan  yang  melingkupi  ketiga  struktur  pemerintahan,  yakni
pertama, di tingkat bius atau yang sering dikatakan sebagai Raja Junjungan, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |62
diisi  dengan  jabatan  Pande  Bolon,  Pande  Raja,  Pande  Mulia,  Pande  Namora sering juga dikatakan raja naopat karena terdiri 4 jabatan. Keempat ini ini menjadi
junjungan  marga  atau  yang  paling  dihormati  di  marga-marga  yang  ada  di  Bius tersebut. Tugas utama dalam keempat jabatan ini adalah ritus partondion rohani
atau  yang  berhubungan  dengan  tuhan  Debata.  Kedua,  di  tingkat  horja.  Jabatan atau  aparat  di  tingkat  horja  mempunyai  fungsi  sebagai  Wakil  Raja  Junjungan.
Jabatan  tersebut  masing-masing  adalah  Raja  Saning  Naga  sebagai  orang  kedua paidua  atau  wakil  dari  Raja  Pande  Bolon
39
,  Raja  Parsinabul  atau  Hinalang sebagai  wakil  dari  Pande  Raja,  Raja  Parsirambe  atau  Patuatgaja  sebagai  wakil
dari  Pande  Mulia  dan  terakhir  Raja  Mamburbuang  atau  Raja  Parjuguk  sebagai wakil dari Pande Namora. Tugas wakil junjungan ini merupakan tugas horja serta
menjadi wakil dari Raja Junjungan ditingkat bius dalam urusan kerohanian. Ketiga adalah  di  tingkat  huta  yang  memiliki  4  jabatan.    Raja-raja  di  tingkat  huta  inilah
yang menjadi pelaksana karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Raja-raja di  tingkat  huta adalah Undotsolu  atau  Raja Laut,  Panguluraja  atau  Ulu  Porang,
Pande Aek atau Parhauma-Pangulaon dan Panguludalu atau Parpinahanon.
40
Namun  struktur  birokrasi  dari  Dinasti  Sorimangaraja  ini  sedikit  berbeda dengan Dinasti Singamangaraja. Pada masa Dinasti Singamangaraja, maka sistem
pemerintahannya  lebih  teorganisir  berdasarkan  fungsi  teritorialnya  dan  juga pembagian tugas yang lebih fungsional. Artinya, secara fungsi, pendefinisian akan
39
Menurut Sitor Situmorang pada era Raja Singamangaraja, Pande Bolon adalah jabatan ahli utama  yang  merupakan  ketua  kelompok  Parbaringin  yang juga  mengurus  ritual-ritual.  lih.
Ibid., hl. 201.
40
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., 201-202.
Ompu i |63
sebuah lembaga atau departemen lebih spesifik dibanding Dinasti Sorimangaraja. Misalnya,  fungsi  adat,  sosial,  ekonomi,  pertahanan  dan  keamanan,  peradilan,
keuangan  dan  religi.  Itulah  sebabnya  di  dalam  struktur  pada  masa  Dinasti Singamangaraja,  aparatur  yang  menggerakkan  roda  kerajaan  berjalan  dan  lebih
permanen. Menurut Ulber Silalahi pembagian fungsional tersebut berupa: Pande Bolon
yang  mengurus  adat,  Raja  Ulu  Taon  yang  mengurus  ekonomi  pertanian  dan perdagangan,  Raja  Ulu  Balang  yang  mengurus  pertahanan  dan  keamanan,  Raja
Toguan  mengurus  peradilan,  Raja  Ulu  Dalu  atau  Raja  Namora  mengurusi keuangan, dan kelompok Parbaringin menjadi urusan religi.
41
Kelompok Parbaringin
Selain  dari  jabatan-jabatan  yang  menduduki  3  struktur  federasi  tersebut, terdapat juga kelompok Parbaringin yang tugas utamanya mengurus atau membantu
penyelenggaraan  kegiatan-kegiatan  religi  berdasarkan  kalender  Batak,  walaupun terkadang turut bekerja di urusan sekuler. Kelompok ini memiliki sebutan-sebutan,
yakni malim yang tugasnya menjadi parhalado petugas dalam kegiatan atau ritus partondion  rohani,  Paniroi  yang  memberikan  nasehat  untuk  penyelenggaraan
kegiatan  sekuler,  dan  Sijujur  ari  yang  tugasnya memberikan  kekebalan di  dalam berperang,  serta  menentukan  hari  baik  atau  keberuntungan.
42
Dewan  Raja  dan kelompok  Parbaringin  menjadi  kekuatan  dalam  membangun  dan  mempersatukan
dinasti Sorimangaraja, termasuk juga nantinya Dinasti Singamangaraja. Walaupun
41
Ibid., hl. 272-273.
42
Ibid., hl. 234.
Ompu i |64
tidak semua bius dilengkapi dengan jabatan-jabatan tersebut namun secara struktur dan budaya membuat Dinasti Sorimangaraja memiliki pengaruh yang signifikan di
wilayah Toba. Dalam struktur tersebut kelompok Parbaringin diketuai oleh Pande Bolon.  Pande  Bolon  jugalah  yang  menjadi  pengganti  atau  mewakili
Singamangaraja di Bius Bangkara ketika Singamangaraja tidak ada di tempat. Menurut  Sitor  Situmorang,  kelompok  Parbaringin  merupakan  kelompok
yang berasal dari kelompok Guru Tateabulan yang mewarisi pustaha laklak berisi pedoman kerohanian, kebatinan dan hadatuhon ilmu pengobatan.
43
Kelompok ini sangat  permanen  yang  jabatannya  bersifat  turun  temurun.  Lebih  jauh,  Sitor
Situmorang melihat bahwa kelompok parbaringin inilah yang menjadi pondasi dan pemersatu  dari  masyarakat  Toba,  walaupun  terkadang  memiliki  kendala  atau
konflik  sesama  kelompok  Parbaringin  akibat  mempertahankan  wilayah  bius.
44
Namun  di  dalam  perkembangannya  kelompok  ini  selalu  aktif  dalam  mendukung Raja  Singamangaraja  XII,  dan  konsisten  dalam  melawan  kolonialisme,  bahkan
sesudah tewasnya Raja Singamangaraja XII pada 1907 kelompok ini masih aktif dalam  mempersatukan  masyarakat  Batak  Toba.  Hal  inilah  yang  membuat
pemerintahan  kolonial  Belanda  berusaha  untuk  menghapus  kelompok  tersebut dengan  melarang  setiap  kegiatan  pesta  bius,  walaupun  gelombang  pengaruh
Parbaringin tidak dapat terbendung dengan lahirnya Parmalim, Parhudamdam, serta gerekan Si Raja Batak.
43
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 26.
44
Ibid., hl. 97.
Ompu i |65
Saya  melihat  bahwa  dengan  adanya  kelompok  Parbaringinlah  maka kesatuan dari masa lalu di dalam lembaga kerajaan dapat tercipta. Mereka jugalah
yang mempersiapkan kedatangan Singamangaraja. Maka dari itu kelompok inilah yang juga selalu mendorong akan adanya ompu raja sebagai pemersatu di tengah-
tengah masyarakat Batak Toba. Struktur Birokrasi Harajaon Dinasti Singamangaraja
4. Dinasti Singamangaraja Mitos Raja Bona Ni Onan dan kisah kesaktian
Keberlanjutan kejayaan dinasti di dalam masyarakat Batak Toba semakin besar  pasca  munculnya  dinasti  Raja  Singamangaraja.  Walaupun  kebesaran  dan
Ompu i |66
kejayaan Dinasti Singamangaraja masih menimbulkan pro-kontra, namun beberapa sumber mengatakan bahwa dinasti Raja Singamangaraja masih cukup disegani di
wilayah Toba, bahkan hingga di luar wilayah Toba, misalnya di daerah Deli dan Langkat  yang  di  dalam  naskahnya,
“Riwayat  Hamparan  Perak”,  mengakui kekuasaan  Singamangaraja.  Bahkan  ada  yang  mengatakan  bahwa  kekuasaan
Singamangaraja hingga ke wilayah kesultanan Siak. Hal ini terbukti dengan adanya peta  lama  yang  menggambarkan  kekuasaan  Singamangaraja,  walaupun  peta
tersebut belum tentu menggambarkan realitas aslinya.
45
Namun yang pasti kejayaan Raja  Singamangaraja  telah  tersiar  ke  seluruh  wilayah  penjuru  di  Toba  dan
sekitarnya. Bagi  masyarakat  Batak  Toba,  kehadiran  dan  kejayaan  dinasti
Singamangaraja bukanlah melalui penaklukan atas wilayah-wilayah di Toba, tetapi sebagai bentuk keyakinan atas kelanjutan dari dinasti Sorimangaraja 1395-1425.
Peristiwanya  adalah  pasca  dinasti  Sorimangaraja  maka  terjadi  pergolakan  sosial, politik, ekonomi, agama dan kebudayaan di dalam masyarakat Toba. Hal ini akibat
dari ekspansi para kerajaan yang berasal dari luar wilayah Toba, misalnya Aceh, Sriwijaya, Majapahit dan juga dari negara asing Portugis. Pasca Sorimangaraja,
maka  dinasti  memiliki  kepemimpinan  yang  dapat  mempersatukan.  Bahkan pengganti Sorimangaraja, yakni Sibagot Ni Pohan yang merupakan anak sulungnya
tidak  cukup  mumpuni  dalam  mempersatukan  bius-bius  yang  ada.  Kekuasaannya hanya  terasa  di  Baligeraja  dalam  bius  Patane  Bale  Onan  Balige.  Alih-alih
mempersatukan,  justru  terjadi  perselisihan  antarbius,  bahkan  hingga  merambat
45
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 70.
Ompu i |67
kepada  marga-marga.  Dengan  situasi  tersebut  maka  para  raja  bius  sepakat  untuk melakukan  horja  bius  akhir  abad  ke-
15  dengan  mengucapkan  “tonggo-tonggo Bius Sianjurmulana” sebagai bentuk permohonan doa kepada Debata Mula Jadi
Na  Bolon  agar  mengaruniakan  seorang  pemimpin  besar  Maharaja  seperti layaknya  Sorimangaraja  di  saat  memimpin  Toba-tua.
46
Kelompok  Parbaringin sangat  berperan  besar  terhadap  munculnya  pengharapan  ini  sebagai  suatu
komunitas  kolektif religious.  Doa para  raja  bius pun dikabulkan dengan lahirnya Raja Manghuntal, anak dari Raja Bona Ni Onan Sinambela dengan pasangannya
boru Pasaribu di Bangkara-Toba. Peristiwa kelahiran Raja Manghuntal ini dilukiskan dengan umpasa, sbb:
Marbunga ma jarugi, sajongkal dua jari. Muba ma ugari sian bongka siapari
Tubu ma sada raja tinongos ni Mulajadi Raja Nahasaktian na uja manotari.
Lahirlah  Raja  yang  diberikan  oleh  Pencipta Mulajadi
Raja yang sakti yang mengikat
Pun  demikian  mengenai  kesaktian  Raja  Manghuntal  sendiri,  sehingga  dapat diyakini  sebagai  kelanjutan  dinasti  Sorimangaraja,  digambarkan  di  dalam  mitos
yang  diceritakan  secara  turun  temurun,  yakni  dalam  mitos  Raja  Bona  Ni  Onan. Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa Raja Bona Ni Onan didatangi oleh roh dan
menjelaskan menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh Batara  Guru
47
dan  kelak  akan  menjadi  raja  yang  bergelar  Singamangaraja.  Janji itupun  terealisasi  dengan  mengandungnya  istri  Raja  Bona  Ni  Onan,  yaitu  boru
Pasaribu  yang  merasa  bahwa  cahaya  telah  memasuki  tubuhnya.  Setelah
46
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 250.
47
Di dalam keyakinan tradisional masyarakat Batak, Batara Guru termasuk yang pertama dan terutama dalam  Debata Na Tolu Dewata Trimurti yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Na
Bolon. Lih. Dr. Anicetus B. SInaga, Op. Cit., hl. 319.
Ompu i |68
mengandung,  maka  lahirlah  Raja  Manguntal  yang  artinya  gemuruh  karena  pada waktu melahirkan diiringi dengan suara gemuruh gempa. Dalam mitos tersebut juga
diceritakan bagaimana Raja Manghuntal berkomunikasi dengan Raja Uti manusia khayangan  untuk  melihat  kelayakan  Manghuntal  sebagai  seorang  raja.
48
Setelah dianggap  layak  maka  Raja  Manghuntal  menjadi  Raja  Singamangaraja  yang
dilegitimasi oleh  para raja  bius. Secara berurutan Dinasti  Sisingamangaraja telah memiliki 12 raja yang semuanya, sbb:
Singamangaraja I Raja Manghuntal
1540-1550 Singamangaraja II
Raja  Tinaruan,  gelar  Raja Manjolong
1550-1595 Singamangaraja III
Raja Itubungna 1595-1627
Singamangaraja IV Tuan Sorimangaraja
1627-1667 Singamangaraja V
Raja Pallongos 1667-1730
Singamangaraja VI Raja Pangulbuk
1730-1751 Singamangaraja VII
Ompu Tuan Lombut 1751-1771
Singamangaraja VIII Ompu  Sohalompoan  gelar
Datu Muara Labu 1771-1788
Singamangaraja IX Ompu Sotaronggal gelar Raja
Manubung Langit 1788-1819
Singamangaraja X Ompu  Tuan  Na  Bolon  gelar
Aman Julangga 1819-1841
Singamangaraja XI Ompu  Sohahuaon  gelar  Raja
Pansom 1841-1871
Singamangaraja XII Ompu  Pulo  Batu  gelar  Raja
Patuan Bosar 1871-1907
Selain  dari  mitos  kesaktian  Raja  Bona  Ni  Onan  maka  kesaktian Singamangaraja  juga  diukur  dan  diperlihatkan  dengan  sebuah  legitimasi  tanda,
yakni  dengan  mencabut  pedang  piso  gajah  dompak  dari  sarungnya.  Konon,  piso
48
Diambil  dari http:www.kompasiana.comitnaibaho.blogspot.comsisingamangaraja-
xii-bagian-i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed .  Diakses  pada  18  Maret  2016
pukul 22.25 WIB.
Ompu i |69
yang  menyerupai  keris  dan  memiliki  gagang  berbentuk  gajah  ini  mempunyai kekuatan  magis  dan  menjadi  tanda  kebesaran  dari  Singamangaraja.  Piso  ini  bisa
diangkat  oleh  orang-orang  tertentu  yang  merupakan  keturunan  dari Singamangaraja. Namun peristiwa kesaktian dari Piso Gajah Dompak ini berakhir
hingga di Singamangaraja XI setelah diambil oleh pihak kolonialis.
49
Dari  mitos-mitos  mengenai  kesaktian  Singamangaraja,  sebenarnya  masih banyak lagi kisah-kisah yang menggambarkan kesaktian dari Singamangaraja yang
belum  terungkap  dan  hanya  sebatas  tradisi  oral  bersifat  turun  temurun.  Namun paling  tidak  kisah-kisah  tersebut  ingin  menggambarkan  bahwa  sosok
Singamangaraja  memiliki  kesaktian  dan  menjadi  keyakinan  bersama  bagi masyarakat Batak tradisional.
Bius Bangkara dan Kedaulatan Dinasti Singamangaraja
Di dalam pemerintahannya, Raja Singamangaraja tampil menjadi pemimpin yang  memberikan  dampak  bagi  kesatuan  para  raja-raja  bius.  Tentunya,  hal  ini
didukung  dari  posisi  kedudukannya.  Menurut  Dr.  Ulber  Silalahi,  sistem pemerintahan  kerajaan  tradisional  Batak  yang  bersifat  konfederasi-teritorial
memberikan  keuntungan  kepada  Singamangaraja  dalam    Paling  tidak  sebelum terjadinya  perang  Paderi  atau  sebelum  Singamangaraja  X  1819,  bius-bius  yang
ada  di  tanah  Batak  dapat  dikatakan memiliki  persatuan  dan perdamaian.  Melalui sistem  lembaga,  Raja  Singamangaraja  dapat  mengatur  dan  memberikan
pengaruhnya  bagi  masing-masing  bius,  walaupun  secara  teritorial  Raja
49
Muhammad Said, Singa Mangaradja XII Medan: Waspada, 1961, hl. 3-4.
Ompu i |70
Singamangaraja  tidak  mencampuri  dan  mengambil  kedaulatan  atas  bius,  beserta Horja  dan  Huta.  Artinya,  sistem  konfederasi  sangat  menghargai  birokrasi
wilayahnya Bius atau bersifat otonom, namun demikian hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh bius, atau tersangkut paut dengan bius-bius yang ada  lintas bius,
maka Singamangaraja memiliki peran yang signifikan. Seperti misalnya dalam hal ini ialah Onan pasar pekan. Onan menjadi urusan Singamangaraja ketika sudah
berkaitan dengan wilayah seluruh Toba dan juga diluar wilayah Toba. Salah satu contoh onan yang menjadi tanggung jawab Singamangaraja adalah adalah onan di
Limbong.  Menurut  Sitor  Situmorang,  Onan  menjadi  penting  bagi  perkembangan masyarakat Batak bukan hanya dikarenakan sebagai lalu lintas ekonomi, tetapi juga
memiliki hukum yang terlihat dari adanya norma-norma, yakni: Pertama, pantang melakukan tagihan piutang pada hari pasar. Hutang piutang harus diselesaikan di
luar  hari  pasar.  Kedua,  Onan  juga  berfungsi  untuk  memperoleh  perlindungan suaka.  Ketiga,  Onan  sebagai  pusat  lalu  lintas  sosial  antarwilayah,  sehingga
dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi.
50
Selain Onan peran Singamangaraja juga terlihat di bidang pertanian, ekonomi, religi, dsb.
Sistem  konfederasi  membatasi  keterlibatan  Singamangaraja  kepada  bius- bius.  Tugas  Singamangaraja  hanya  pada  hal-hal  yang  signifikan.  Namun,
keterbatasan ini tidak terjadi dengan Bius Bangkara
51
yang sebagai kedudukan dari
50
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 157.
51
Bius Bangkara memiliki 6 horja yang masing-masing dipimpin oleh marga  Bangkara, Sinambela, Sihite, Manullang, Marbun dan Purba. Keenam marga ini diangkat menjadi perwakilan
dan sebagai anggota kabinet di harajaon Bangkara, dan mereka diberikan simbol kerajaan berupa barang pusaka kerajaan. Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl.  258. Bahkan, menurut Cucu dari
Singamangaraja  XII,  Raja  Napatar,  kuasa  dari  6  marga  tersebut  sangatlah  besar,  yakni  termasuk menyepakati  terpilihnya  Raja  Singamangaraja.  Lih.
https:tobadreams.wordpress.com2008 1221wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-xii
. Diakses pada 4 september 2016.
Ompu i |71
teritori Singamangaraja memiliki kedaulatan dan kemandiriannya yang lebih dari bius-bius  lainnya.  Menurut  Sitor  Situmorang,  perbedaan  tersebut  adalah  karena
adanya  kedudukan  Singamangaraja  yang  mempengaruhi  dua  bidang,  yakni: pertama,  bidang  simbolis  sebagai  bentuk  penghormatan  atas  kehadiran
Singamangaraja  yang  ditandai  dengan  penanaman  enam  batang  beringin  sebagai tempat keramat paguyuban. Dan kedua dalam bidang pelaksanaan upacara dalam
hal religi yang berkaitan dengan kedirian Singamangaraja sebagai dewaraja. Hal ini menjadikan Bius Bangkara menjadi tempat ziarah dan kiblat dalam doa-doa yang
dilakukan oleh kelompok Parbaringin.
52
Di  dalam  sistem  konfederasi , maka diperlukan “kerelaan” akan bius-bius
untuk  masuk  menjadi  bagian  konfederasi.  Kehadiran  Dinasti  Singamangaraja memberikan  keuntungan  bagi  para  bius.  Paling  tidak  keuntungan  tersebut
didapatkan dalam bidang ekonomi, sosial, pertanian, dsb. Catatan-catatan mengenai adanya penyelesaian konflik antarbius ataupun antarhuta, penghapusan perbudakan
seringkali  melekat  kepada  kebijakan  Singamangaraja.  Bahkan,  bius-bius  yang sudah  termasuk  dalam  konfederasi  Singamangaraja  sangat  meyakini  akan
supremasi Singamangaraja dalam memecahkan masalah sosial dengan meberikan solusi. Biasanya penyelesaian masalah tersebut berada di dalam kegiatan pesta bius,
yang  merupakan  ajang  kegiatan  religius  dan  sekaligus  sarana  perjumpaan masyarakat dalam memupuk persatuan di masyarakat Batak. Saya tidak menampik
juga bahwa tidak semua bius rela mengikuti Singamangaraja. Terlebih pasca perang
52
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 203.
Ompu i |72
Paderi,  serta  adanya  pengaruh  kolonialisme,  misal  pelarangan  pesta  bius,  yang menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan kepada Singamangaraja.
53
D. Raja Singamangaraja dan
Sahala Kepemimpinan
Kepemimpinan  dalam  masyarakat  Batak,  khususnya  Toba  sangatlah berbeda  dengan  kepemimpinan  sekuler  selayaknya  di  pemerintahan,  perusahaan,
dsb.  Demikian  halnya  dengan  Singamangaraja  yang  ketika  berbicara  tentang kepemimpinannya  maka  ia  tidak  hanya  tampil  sebagai  pemimpin  sekuler,
melainkan juga rohani. Maka dari itu dalam suatu rasionalisasi akan sebuah jabatan kepemimpinan,  ia  tidak  dapat  didefinisikan  menurut  fungsi  dan  tujuannya.  Itu
artinya  kepemimpinannya  tidak  serta  merta  terikat  di  dalam  suatu  birokrasi, melainkan memiliki kharisma yang mempengaruhi pengikutnya.
Istilah  kharisma  jika  dirujuk  kepada  Max  Weber  maka  kepemimpinan kharismatik  merupakan  kuasa  yang  sangat  besar  yang  menunjuk  kepada  pribadi
seseorang. Pendapat Weber ini tidak mengarahkan kepemimpinan kepada kategori sebuah  tujuan  yang  bermuara  kepada  baik  ataupun  buruk.  Namun  bagaimana
sebuah  hubungan  pemimpin  dan  pengikut  saling  mempengaruhi.    Ia  juga berpendapat  bahwa  kepemimpinan  kharismatik  tidak  melekat  kepada  struktur
birokrasi. Pandangannya ini ia landaskan kepada penggabungan antara sesuatu yang
53
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 429.
Ompu i |73
tradisional  dengan  yang  rasional,  sehingga  kharisma  berhubungan  dengan komunitas dan dengan mistis.
54
Pandangan  Weber  ini  menggambarkan  fenomena  atas  kharisma  yang tentunya pandangannya berangkat perspektif sosiologi dan psikologi sebagai latar
belakang pendidikannya. Namun mengenai pandangan tentang kuasa dan personal Weber  tidak  melihatnya  secara  menyeluruh  dan  kebelakang.  Seolah-olah  adanya
fenomena  yang  melampaui  birokrasi  dan  memiliki  pengaruh  kepada  pengikut disebut  sebagai  sesuatu  yang  berkharisma.  Pembagian  antara  yang  rasional  dan
tradisional justru yang menimbulkan kerancuan dalam memandang kekuasaan.
55
Dalam pandangan
masyarakat Batak
baca: tradisional,
Raja Singamangaraja  dianggap  memiliki  sahala  harajaon.  Istilah  sahala  sering  sekali
diartikan sebagai kharisma atau wibawa. Memang dalam kamus Batak J. Warneck, istilah sahala berarti memiliki kemuliaan, hikmat, kharisma. Namun menurut Sitor
Situmorang, dan saya pun sepakat dengannya, bahwa istilah sahala sangat berbeda dengan  arti  yang  sebenarnya.  Pergeseran  ini  ditandai  dengan  adanya
pengrasionalisasian  atas perbendaharaan  kata  di  dalam  bahasa  dan  budaya  Batak sehingga  pengartian  dari  suatu  istilah  hanya  berdasarkan  kepada  fenomena
sosialnya, selayaknya Weber mendefinisikannya.
54
George P. Hansen, The Trickster and the Paranormal Philadelphia: Xlibris, 2001, hl. 103-104.
55
Dalam hal ini  saya  sepakat dengan  Ben Anderson yang melihat kuasa tradisional dan rasional dengan melihat kesamaan-kesamaannya, tanpa berusaha untuk membaginya. Menurut Ben
adanya Kuasa justru akan melekatkan dirinya pada kepemimpinannya, bukan menyerahkan dirinya seperti  dalam  kekuasaan  yang  rasional,  Lih.  Benedict  R.  O’G.  Anderson,  Kuasa  Kata:  Jelajah
Budaya Politik di Indonesia Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000, hl. 162-163.
Ompu i |74
Memang  di  dalam  fenomenanya,  sahala  dapat  mempengaruhi  pengikut, namun  makna  sahala  tidak  dapat  dilepaskan  realitas  pemakaian  yang
mengikutinya,  yakni  sahala yang disandang oleh Singamangaraja bukanlah hasil upaya manusia, melainkan sebagai karunia dari Mula Jadi Na Bolon. Hal ini juga
seperti  yang  dikatakan  Anicetus  B.  Sinaga  seperti  yang  dikutip  Ulber  Silalahi: “Mulajadi  Na  Bolon  telah  menganugerahkan  karunia  keadilan  dan  kerajaan
kepada  Sisingamangaraja,  yakni  “Singa  hakikat  hukum,  hakikat  kerajaan, hakikat  sabda.  Padanyalah  satuan  ukuran,  hakikat  kerajaan,  ketentuan  satuan
segala ukuran, bajak pembelah tali keadilan sempurna, hakikat satuan ukuran isi dan  inti  serta  satuan  timbangan.  Yang  berlebihan  disisihkan,  dan  yang  kurang
digenapi ”
56
Dengan  pandangan  ini  maka  sahala  adalah  sesuatu  yang  diberikan give yang pada saat tertentu tidak terikat kepada individu atau personal.
Sitor  Situmorang  menggambarkan  sahala  lebih  spesifik  dari  sebelumnya. Menurutnya  sahala
berarti  “daya  kesaktian  yang  diperoleh  lewat  wahyu  untuk menjadi  raja.  Sahala  yang  melekat  pada  Singamangaraja  adalah  sahala  yang
sempurna dan berbeda pengertiannya dari sahala biasa. Sahala yang melekat pada Singamangaraja  adalah  satu-satunya,  tak  ada  duanya  ataupun  tandingannya,
membawahi segala bentuk sahala lain.” Ia pun menyimpulkan: “Dalam paham itu, Singamangaraja adalah penjelmaan sahala, bukan manusia biasa. Roh berwujud
manusia , inkarnasi Batara Guru alias Dewa”.
57
56
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 253.
57
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 62.
Ompu i |75
Pandangan  Sitor  Situmorang  ini  dalam  menggambarkan  sahala  sesuai dengan  realitas  keyakinan  masyarakat  Batak  Toba  tradsional.  Artinya,
Singamangaraja menjadi raja dan diterima oleh masyarakat Batak Toba tradisional atas keyakinannya kepada Singamangaraja sebagai inkarnasi Batara Guru. Bahkan,
ia  menjadi  sumber  sahala  bagi  siapapun  yang  layak  ia  pilih.  Batara  Sangti  juga menyimpulkan
hal serupa
bahwa Singamangaraja
merupakan suatu
“perhinggapan” dari Debata Mula Jadi Na Bolon, sehingga dengan sahalanya ini, ia  menjadi  “penjaga  ladang  yang  tak  memakai  panah  atau  gembala  yang  tak
memakai cambuk” bagi para pengikutnya.
58
Fenomena dari keyakinan ini adalah sebagai  bentuk  pengujian  atas  kesaktian  dari  seseorang  untuk  menjadi  Raja
Singamangaraja,  baik  berupa  ritus  mencabut  piso  gajah  dompak,  mendatangkan hujan, menghilangkan wabah penyakit, dsb.
59
Dalam bentuk realitas-sekuler, kemunculan raja dipandang untuk mengatasi masalah  sosial  yang  muncul  di  tengah-tengah  masyarakat  Batak  Toba.  Namun
fenomena  ini  bukanlah  sesuatu  yang  pragmatis  sebagai  suatu  kemunculan  raja. Munculnya  Dinasti  Singamangaraja  tetap  memandang  adanya  sahala  sebagai
sesuatu yang mistis sedangkan birokrasi atau struktur adalah pancaran dari sahala
58
Ucapan Batara Sangti ini sesuai dengan tonggo-tonggo doa dari kelompok Parbaringin yang  menghendaki  adanya  pemimpin  di  dalam  masyarakat  Batak  Toba  Tradisional:
“Ya Debata Mula Jadi Nabolon Engkau yang menjadikan Tuan Singa Mangaraja, Singa melampauiSinga yang
tidak dapat di lampaui di Bangkara. Perhinggapan dari pada Batara Guru. Ya Allah Engkau telah memanggil kesisiMu Tuan Singa Mangaraja tunjukkanlah kiranya kepada kami, siapa yang menjadi
tempat  perhinggapanMu,  agar  supaya  kami  jangan  kiranya  seperti  kerbau  liar  yang  tidak
mempunyai gembala.” Lih. Batara Sangti, Sejarah Batak Balige: Karl Sianipar, 1977, hl. 331.
59
Pada  saat  pengangkatan  Raja  Singamangaraja  XII  terlebih  dahulu  ditunjuk  oleh masyarakat adalah Raja Parlopuk namun dikarenakan Raja Parlopuk tidak dapat memenuhi syarat-
syarat  kesaktian  maka  Raja  Singamangaraja  jatuh  ke  tangan  Raja  Patuan  Bosar.  Lih. https:tobadreams.wordpress.com20081221wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-
xii
Di akses pada 4 september 2016.
Ompu i |76
ini. Dengan pandangan ini maka sahala mengesahkan kewibawaan raja, sehingga raja-raja  bius,  horja  dan  huta  melekat
kepada  Singamangaraja.  Tak  dapat dipungkiri bahwa salah satu yang menjadi masalah dalam masyarakat Batak Toba
adalah  seringnya  terjadi  konflik  wilayah,  baik  huta  ataupun  bius,  sehingga keyakinan kepada raja adalah untuk mengatasi konflik sebagai suatu harapan sosial
yang  bersifat  kolektif.  Dengan  kehadirannya,  maka  mediasi,  solusi  akan  hadir tengah-tengah  masyarakat.  Namun  harapan  tersebut  akan  sirna  seturut  dengan
hilangnya  kepercayaan  kepada  raja  dengan  memandang  tidak  adanya  sahala  di dalam diri seseorang.
Dengan  pandangan  ini,  saya  tidak  sepakat  dengan  beberapa  pandangan Ulber Silalahi. Pertama, pandangannya mengenai pemisahan antara sahala dengan
kepemimpinan  kharismatik  yang  menyatakan  munculnya  kharisma  melalui sahala.
60
Pandangannya  ini  muncul  untuk  membedakan  persona  atau  pribadi sebagai suatu karakterisik dengan manifestasi roh sahala. Dalam pandangan ini,
Silalahi  justru  terjebak  di  dalam  kerancuan  dan  ambiguitas  dualisme  pandangan akibat  menafsir  dari  fenomenologi  yang  dibangunnya.  Bagi  saya,  sahala  adalah
kharisma itu sendiri, di mana masyarakat Batak Toba tradisional hanya meyakini kesaktian  yang  ada  di  personal  sebagai  inkarnasi  dari  Batara  Guru,  tanpa
memandang  personal  karakter.  Artinya,  sahala  adalah  roh  tondi  yang  menjadi manusia  yang  juga  akan  menentukan  karakter  personal.  Kedua,  pandangannya
mengenai  kekuasaan  tradisional  dengan  rasional,  di  mana  yang  tradisional
60
Lih.  Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 505.