Kajian Metoda Perencanaan Pelapisan Ulang Campuran Beraspal (AC) Di Atas Perkerasan Beton

(1)

KAJIAN METODA PERENCANAAN PELAPISAN ULANG

CAMPURAN BERASPAL (AC) DI ATAS PERKERASAN

BETON

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

AFRIJAL

050404042

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Pelapisan ulang / lapis tambah (overlay) merupakan salah satu alternatif peningkatan (betterment) pada ruas jalan yang mencapai kondisi kritis atau failure karena tidak membutuhkan biaya (cost) yang cukup besar. Pelapisan ulang bertujuan untuk mengembalikan kekuatan perkerasan sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pengguna jalan. Salah satu bahan penambahan tersebut adalah lapisan beraspal (AC). Perencanaan yang tidak tepat akan menyebabkan jalan cepat rusak (under design) atau menyebabkan konstruksi tidak ekonomis (over design) sehingga mempengarhi kinerja perkerasan itu sendiri baik dari segi struktural maupun fungsional.

Metoda perencanaan yang dibahas dalam tugas akhir ini yaitu AUSTROADS, AASHTO dan Asphalt Institute. Ketiga metoda tersebut dipilih karena adanya perbedaan konsep dalam merencanakan tebal overlay diantaranya beban lalu lintas (CESA), kondisi permukaan perkerasan, CBR-value, lendutan/load transfer dan sebagainya.

Dari hasil perhitungan menunjukkan perbedaan nilai ESAL yang sangat signifikan mempengaruhi kepada ketebalan overlay (cm). Metoda AUSTROADS cenderung memiliki ketebalan yang sama pada setiap nilai ESAL karena pada nomogram hasil yang ditunjukkan selalu dibawah ketebalan yang disarankan (Tmin = 10 cm). Metoda AASHTO menunjukkan perbedaan ketebalan overlay yang variatif karena AASHTO dalam perencanaannya lebih banyak menggunakan parameter disain dalam menentukan tebal overlay sehingga hasilnya lebih akurat. Dan Metoda Asphalt Institute, dari hasil perhitungan dan nomogram menunjukkan nilai tebal overlay rata-rata tinggi yaitu > 20 cm untuk setiap desain ESAL. Oleh sebab itu, untuk metoda Asphalt Institute walaupun tebal overlay > 20 cm (mengingat tidak ekonomis / under-over design) diambil tebal keseragaman yaitu 20 cm. Dengan demikian dari ketiga metoda diatas, Metoda AASHTO-lah yang lebih akurat dan ekonomis dalam menentukan tebal lapis tambah (overlay) karena lebih banyak menggunakan parameter-parameter desain perencanaan dibandingkan dengan metoda lain. Metoda AASHTO sangat lazim digunakan dan cocok dengan kondisi di Indonesia untuk desian perencanaan perkerasan jalan, baik lentur maupun kaku.


(3)

KATA PENGANTAR

Tiada yang pantas diucapkan selain rasa syukur penulis kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih yang kasih-Nya tiada terpilih, Tuhan Yang Maha Penyayang yang sayang-Nya tiada terbilang, yang telah memberikan kemampuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Kajian Metoda Perencanaan Pelapisan Ulang Campuran Beraspal (AC) di atas Perkerasan Beton”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc, selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Ir. Joni Harianto, Bapak Medis S. Surbakti, ST.MT, Bapak Yusandy Aswad, ST.MT, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan hingga selesainya tugas akhir ini.

6. Bapak/Ibu Staf Tata Usaha Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam menyelesaikan dan menyukseskan tugas akhir ini.

7. Ayahanda Jamuar dan Ibunda Ermawati tercinta serta teristimewa untuk Opa Kamin Malin Rajo (Alm) dan Oma Siti Pasariah, yang telah mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. “Ayah, Bunda : Karunia terindah bagi ananda yang telah dilahirkan sebagai anakmu. Tanpa kenal lelah dalam membimbing ananda untuk menjadi manusia yang mampu menghadapi hidup dengan ketekunan dan ketegaran”.

8. Teman-teman seperjuangan angkatan ’05, abang-abang angkatan ’02 ’03 ’04, dan adik-adik angkatan ’06 ’07 ’08 ’09. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik dan tanpa menemui hambatan serta rintangan yang berarti.


(5)

Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan Tugas Akhir ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, segala saran, masukan dan kritikan yang sifatnya membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka demi perbaikan tugas akhir ini. Harapan penulis, semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2010 Hormat Saya,

Penulis

Afrijal


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Uraian Umum ... 1

I.2. Permasalahan ... 2

I.3. Maksud dan Tujuan ... 4

I.4. Pembatasan Masalah ... 4

I.5. Metodologi Pembahasan ... 5

I.6. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PERKERASAN BETON ... 9

II.1. Umum ... 9

II.2. Struktur Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) ... 11

II.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perkerasan Beton ... 17

II.3.1. Faktor Beban dan Lalu Lintas ... 18

II.3.2. Faktor Tanah Dasar (Subgrade) ... 20

II.3.3. Material Perkerasan ... 21

II.3.4. Kekuatan Beton ... 23


(7)

II.3.6. Faktor Lingkungan ... 28

II.3.7. Kritera Suatu Perkerasan Jalan untuk di Lapis Ulang (Overlay) ... 29

II.3.8. Summary Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perkerasan Beton ... 40

BAB III PELAPISAN ULANG CAMPURAN BERASPAL (AC) DI ATAS PERKERASAN BETON ... 42

III.1. Peningkatan Struktur Perkerasan Beton dengan Pelapisan Ulang (Overlay) ... 42

III.2. Parameter Desain Perencanaan Overlay ... 47

III.2.1. Traffic Design ... 48

III.2.2. California Bearing Ratio (CBR) ... 55

III.2.3. Modulus Reaksi Tanah Dasar ... 56

III.2.4. Material Konstruksi Perkerasan ... 58

III.2.5. Reability ... 58

III.2.6. Serviceability ... 60

III.2.7. Modulus Elastis Beton (Ec’) ... 61

III.2.8. Flexural Strength (Sc’) ... 61

III.2.9. Drainage Coefficient (Cd) ... 62

III.2.10. Load Transfer ... 65

III.2.11. Summary Parameter Desain Perencanaan Overlay ... 66

III.3. Metoda Penentuan Tebal Pelapisan Ulang Campuran Beraspal (AC) di atas Perkerasan Beton ... 67


(8)

III.3.1. Metoda AUSTROADS ... 67

III.3.2. Metoda AASHTO ... 74

III.3.3. Metoda Asphalt Institute ... 83

III.4. Hubungan antara Traffic Design (ESAL) dengan Kondisi Struktural Perkerasan berdasar Parameter Desian CBR dalam Menentukan Tebal Pelat Beton Rigid Pavement ... 89

BAB IV APLIKASI DAN PERENCANAAN ... 101

IV.1. Perhitungan Tebal Overlay AC di atas Perkerasan Beton ... 101

IV.1.1. Data-data Perencanaan Overlay ... 101

IV.1.2. Perhitungan Volume Lalu lintas ... 104

IV.1.3. Perhitungan Overlay AC ... 116

IV.1.3.1. Metoda AUSTROADS ... 116

IV.1.3.2. Metoda AASHTO ... 121

IV.1.3.3. Metoda Asphalt Institute ... 130

IV.1.4. Hubungan antara Traffic Design (ESAL) dengan Tebal Lapis Tambah (Overlay)…………. 136

IV.2. Analisa dan Diskusi ... 137

IV.2.1. Analisa Lalu Lintas ... 137


(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141 V.1. Kesimpulan ... 141 V.2. Saran ... 143 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Persentase Kondisi Jalan di Indonesia ... 3

Gambar 1.2. Diagram Flowchart Pengerjaan Tugas Akhir ... 8

Gambar 2.1. Struktur Perkerasan Kaku ... 11

Gambar 2.2. Perkerasan Jalan Beton ... 12

Gambar 2.3. Struktur Perkerasan Kaku ... 14

Gambar 2.4. Pembebanan pada Pelat Beton ... 15

Gambar 2.5. Titik-titik pengujian Lendutan pada Perkerasan Beton ... 32

Gambar 2.6. Skema Load Transfer ... 34

Gambar 3.1. Kemampuan-layanan Rigid Pavement dan Additional Overlay .. 44

Gambar 3.2. Umur Rencana untuk Pelebaran Perkerasan / Overlay (tebal diatas hanya sebagai contoh) ... 48

Gambar 3.3. Konfigurasi Beban Sumbu ... 52

Gambar 3.4. Correction of Effective Modulus of Subgrade Reaction for Potensial Loss Subbase Support ... 56

Gambar 3.5. Hubungan antara k & CBR ... 57

Gambar 3.6. Lapis Peredam Retak pada Sistem Lapisan Tambahan ... 71

Gambar 3.7. Grafik untuk Menentukan Tebal Slab Beton ... 72

Gambar 3.8. Flowchart Perhitungan Overlay Metoda AUSTROADS ... 73

Gambar 3.9. Faktor Konversi dari Penurunan Ketebalan Perkerasan Beton ke Tebal Lapis Ulang A ... 75

Gambar 3.10. Titik-titik Pengujian Lendutan pada Perkerasan Beton ... 76


(11)

Gambar 3.12. Modulus Elastis Perkerasan Beton Ditentukan dari Nilai k, AREA

dan tebal pelat ... 77

Gambar 3.13. Grafik untuk Mengestimasi Modulus Komposit Reaksi Subgrade (k) ... 78

Gambar 3.14. Faktor Fjc ... 80

Gambar 3.15. Flowchart Perhitungan Overlay Metoda AASHTO ... 82

Gambar 3.16. Design Chart for Full-Depth Asphalt Concrete ( SI Metric) ... 87

Gambar 3.17. Flowchart Perhitungan Overlay Metoda Asphalt Institute MS – 17 ... 88

Gambar 3.18. Grafik Hubungan antara ESAL dengan Tebal Pelat Beton Rigid Pavement dengan parameter desain nilai CBR ... 100

Gambar 4.1. Lalu Lintas Rencana (Design Traffic / ESAL) ... 138

Gambar 4.2. Hubungan Tebal Lapis Tambah dan Beban Lalu Lintas ditinjau dari Umur Rencana (n) ... 139


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Quality of Drainage ... 27

Tabel 2.2. Terminal Serviceability (pt) ... 30

Tabel 2.3. Koefisien Load Transfer “J” ... 34

Tabel 3.1. Data/parameter golongan kendaraan, LHR, pertumbuhan lalu lintas (i) dan VDF ... 49

Tabel 3.2. Nilai VDF berdasarkan Bina Marga MST-10 ... 51

Tabel 3.3. Konfigurasi Beban Sumbu ... 52

Tabel 3.4. Nilai VDF berdasarkan NAASRA MST-10 ... 53

Tabel 3.5. Faktor Distribusi Lajur (DL) ... 54

Tabel 3.6. Loss of Support Factors (LS), (AASHTO ’93 hal II-27) ... 57

Tabel 3.7. Reliability (R) yang disarankan ... 59

Tabel 3.8. Standard Normal Deviation (ZR), (AASHTO ’93 hal I-62) ... 60

Tabel 3.9. Terminal Serviceability (pt) ... 61

Tabel 3.10. Quality of Drainage ... 63

Tabel 3.11. Koefisien Pengaliran C ... 63

Tabel 3.12. Koefisien Pengaliran (C) ... 64

Tabel 3.13. Drainage Coefficient (Cd) ... 65

Tabel 3.14. Load Transfer Coefficient (J) ... 65

Tabel 3.15. Parameter Desain Perencanaan pada Rigid Pavement & Overlay . 66 Tabel 3.16. Faktor Konversi Lapis Perkerasan Lama untuk Perencanaan Lapis Ulang Menggunakan Perkerasan Beton Aspal ... 69

Tabel 3.17. Koefisien Load Transfer ... 79


(13)

Tabel 3.19. Truck Factor untuk Kelas Jalan yang berbeda ... 86

Tabel 3.20. Tebal Pelat Beton berdasar Nilai CBR = 4% ... 92

Tabel 3.21. Tebal Pelat Beton berdasar Nilai CBR = 5% ... 95

Tabel 3.22. Tebal Pelat Beton berdasar Nilai CBR = 6% ... 98

Tabel 3.23. Tebal Pelat Beton berdasar Nilai CBR = 4 %, 5 % dan 6 % ... 99

Tabel 4.1. Data Kondisi Perkerasan Eksisting ... 102

Tabel 4.2. Data Lendutan dan Load transfer ... 102

Tabel 4.3. Data Volume Lalu Lintas dan LHR ... 103

Tabel 4.4. Faktor Hubungan antara Umur Rencana dengan Perkembangan Lalu Lintas ... 106


(14)

ABSTRAK

Pelapisan ulang / lapis tambah (overlay) merupakan salah satu alternatif peningkatan (betterment) pada ruas jalan yang mencapai kondisi kritis atau failure karena tidak membutuhkan biaya (cost) yang cukup besar. Pelapisan ulang bertujuan untuk mengembalikan kekuatan perkerasan sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pengguna jalan. Salah satu bahan penambahan tersebut adalah lapisan beraspal (AC). Perencanaan yang tidak tepat akan menyebabkan jalan cepat rusak (under design) atau menyebabkan konstruksi tidak ekonomis (over design) sehingga mempengarhi kinerja perkerasan itu sendiri baik dari segi struktural maupun fungsional.

Metoda perencanaan yang dibahas dalam tugas akhir ini yaitu AUSTROADS, AASHTO dan Asphalt Institute. Ketiga metoda tersebut dipilih karena adanya perbedaan konsep dalam merencanakan tebal overlay diantaranya beban lalu lintas (CESA), kondisi permukaan perkerasan, CBR-value, lendutan/load transfer dan sebagainya.

Dari hasil perhitungan menunjukkan perbedaan nilai ESAL yang sangat signifikan mempengaruhi kepada ketebalan overlay (cm). Metoda AUSTROADS cenderung memiliki ketebalan yang sama pada setiap nilai ESAL karena pada nomogram hasil yang ditunjukkan selalu dibawah ketebalan yang disarankan (Tmin = 10 cm). Metoda AASHTO menunjukkan perbedaan ketebalan overlay yang variatif karena AASHTO dalam perencanaannya lebih banyak menggunakan parameter disain dalam menentukan tebal overlay sehingga hasilnya lebih akurat. Dan Metoda Asphalt Institute, dari hasil perhitungan dan nomogram menunjukkan nilai tebal overlay rata-rata tinggi yaitu > 20 cm untuk setiap desain ESAL. Oleh sebab itu, untuk metoda Asphalt Institute walaupun tebal overlay > 20 cm (mengingat tidak ekonomis / under-over design) diambil tebal keseragaman yaitu 20 cm. Dengan demikian dari ketiga metoda diatas, Metoda AASHTO-lah yang lebih akurat dan ekonomis dalam menentukan tebal lapis tambah (overlay) karena lebih banyak menggunakan parameter-parameter desain perencanaan dibandingkan dengan metoda lain. Metoda AASHTO sangat lazim digunakan dan cocok dengan kondisi di Indonesia untuk desian perencanaan perkerasan jalan, baik lentur maupun kaku.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. UMUM

Perkerasan dan struktur perkerasan merupakan struktur yang terdiri dari satu atau beberapa lapis perkerasan dari bahan-bahan yang diproses, dimana fungsinya untuk mendukung berat dari beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu sendiri. Struktur perkerasan terdiri dari dari beberapa lapisan dengan kekerasan dan daya dukung yang berbeda-beda, tiap lapisan perkerasan harus terjamin kekuatan dan ketebalannya sehingga tidak akan mengalami distress yaitu perubahan karena tidak mampu menahan beban dan tidak cepat kritis atau failure.

Jenis perkerasan yang umum digunakan adalah perkerasan lentur (flexible

pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Sekarang di Indonesia, tengah

dikembangkan perkerasan komposit (composite pavement) yaitu perpaduan antara perkerasan kaku dengan permukaan aspal (NAASRA, 1987). Dan tipe inilah yang dibahas dalam tugas akhir ini.

Sebagaimana halnya suatu perkerasan lentur jalan raya, maka perkerasan jalan beton pun akan mengalami penurunan kinerja sehubungan dengan pengaruh beban lalu lintas yang berlebih dan lingkungan sekitarnya dimana jalan itu berada. Penurunan kinerja yang umum pada perkerasan jalan adalah penurunan dari segi fungsional dan struktural dalam melayani lalu lintas. Dalam rangka meningkatkan kembali kemampuan perkerasan jalan beton tersebut serta memanfaatkan perkerasan lama yang sudah ada secara efektif, maka perlu dilakukan usaha


(16)

lagi. Untuk memperpanjang masa pelayanan jalan beton tersebut, dapat dilakukan penambahan lapis tambah diatas perkerasan beton yang sudah ada, dimana salah satunya bahan penambahan tersebut adalah lapisan beraspal (AC).

Pelapisan tambahan bertujuan untuk mengembalikan kekuatan perkerasan sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat pengguna jalan (stake holders). Penurunan fungsional dapat terjadi dari beberapa kondisi yang dapat merugikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalan seperti :

• Rendahnya kekesatan jalan

• Tekstur permukaan jalan yang sudah bergelombang • Distorsi permukaan yang berlebihan

Kondisi drainase perkerasan (hydroplaning)

Sedangkan penurunan struktural dapat diakibatkan oleh kapasitas beban yang berlebih (overload) pada struktur perkerasan. Ini diperlihatkan pada kondisi perkerasan eksisting seperti terjadinya retak-retak refleksi (cracking), kerusakan pada sambungan, amblas, defleksi (penurunan), alur, gelombang serta kerusakan lainnya.

I.2. PERMASALAHAN

Menurut data Dirjen Bina Marga 2006, sebagian kondisi jalan di Indonesia berada dalam kondisi kurang/tidak mantap dan bahkan dalam kondisi kritis (lihat gambar 1.1), sehingga upaya untuk meningkatkan kondisi jalan tersebut menjadi kondisi mantap/baik memerlukan biaya (cost) yang cukup besar. Hal ini terjadi, karena tidak adanya perawatan dan pemiliharaan rutin ataupun berkala dari pengelola/instansi terkait.


(17)

Gambar 1.1. Persentase Kondisi Jalan di Indonesia

Untuk mempertahankan kondisi perkerasan jalan pada kondisi track yang benar penanganan perkerasan yang diutamakan adalah pemeliharaan, baik rutin maupun berkala. Apabila kondisi perkerasan telah mencapai kondisi kritis bahkan runtuh (failure), maka jenis penanganan yang harus dilakukan adalah peningkatan (betterment). Indonesia sebagai negara berkembang, pada umumnya mempertimbangkan konstruksi lapis tambah (overlay). Salah satu faktor pemilihannya adalah karena tidak memerlukan cost yang cukup besar.

Tujuan perencanaan overlay adalah mengembalikan kekuatan perkerasan sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pemakai jalan. Perkerasan yang baik diharapkan dapat menjamin pergerakan manusia dan/atau barang secara lancar, aman, cepat, murah dan nyaman.

Permasalahan yang dibahas dalam tugas akhir ini tidak meliputi semua metoda yang digunakan untuk perencanaan tebal lapis tambah, tetapi hanya beberapa metoda perencanaan perkerasan yang paling umum digunakan yaitu


(18)

metoda AUSTROADS, AASHTO dan Asphalt Institute dengan memakai analisa lendutan / load transfer atau nilai CBR. Akan tetapi tidak semua metoda yang ada ekonomis dan layak digunakan untuk setiap kondisi, karena itu perlu dilakukan kajian yang seksama mengenai kelebihan dan kekurangan atau akurasi dari masing-masing metoda tersebut sesuai dengan kondisi di lapangan.

I.3. MAKSUD DAN TUJUAN

Penulisan Tugas Akhir ini dilakukan dengan maksud untuk menganalisa dan membandingkan beberapa prosedur desain dalam menentukan tebal lapis tambah pada suatu perkerasan beton dengan menggunakan metoda AUSTROADS, AASHTO dan Asphalt Institute.

Kemudian tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah mendapatkan gambaran hasil perencanaan tebal lapis tambah, sehingga dapat melakukan suatu evaluasi tebal lapis tambah yang sesuai kebutuhan. Hasil akhir yang diperoleh diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi aplikasi ketiga prosedur desain tersebut untuk digunakan sesuai dengan kondisi lapangan.

I.4. PEMBATASAN MASALAH

Pada penulisan Tugas Akhir ini, penulis membatasi masalah pada penentuan tebal pelapisan ulang (overlay) campuran beraspal di atas perkerasan beton dengan metoda empiris yaitu dengan menggunakan nomogram atau rumus-rumus yang telah tersedia. Hal tersebut akan memudahkan perhitungan baik secara manual dengan nomogram maupun menggunakan komputer lewat rumus-rumus yang telah tersedia.


(19)

Adapun metoda perencanaan overlay yang digunakan adalah :  Metode AUSTROADS

 Metode AASHTO  Metode Asphal Institute

Karena yang paling umum dipergunakan di Indonesia ialah perkerasan beton bersambung tanpa tulangan, maka pada tulisan ini hanya akan dibahas untuk lapis ulang (overlay) perkerasan lentur seperti campuran beraspal (AC) di atas perkerasan beton tanpa tulangan.

1.5. METODOLOGI PEMBAHASAN

Metode pembahasan yang dilakukan pada penulisan Tugas Akhir ini adalah Studi Literatur dengan mencari dan mengumpulkan data-data dari buku ajar (text book), standar perencanaan yang relevan, jurnal maupun buku-buku petunjuk teknis yang sesuai dengan pembahasan “Kajian Metoda Perencanaan Pelapisan Ulang Campuran Beraspal (AC) di atas Perkerasan Beton”, serta masukan dari dosen pembimbing. Kemudian menganalisa, membandingkan dan menulis kembali dalam bentuk yang lebih terperinci dan praktis.

Adapun permasalahan yang dianalisa dan dibandingkan meliputi :

Menganalisa jumlah kumulatif beban standar (CESA) pada masa yang akan datang dari ketiga metoda yang digunakan. Untuk dapat melihat perbedaannya, maka digunakan data LHR, tingkat pertumbuhan lalu lintas (i) dan umur rencana (n) yang sama.

Menganalisa hubungan antara beban lalu lintas (CESA) dan tebal lapis tambah yang dibutuhkan dari ketiga metoda yang digunakan. Untuk itu beban lalu


(20)

lintas yang digunakan dari dari 30.000.000 – 160.000.000 EAL sehingga

trendline-nya terlihat.

I.6. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang dibuat penyusun adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bingkai studi atau rancangan yang akan dilakukan meliputi uraian umum, permasalahan, maksud dan tujuan penelitian, pembatasan masalah, metodologi pembahasan, sistematika penulisan yang dipakai dalam tulisan ini.

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PERKERASAN BETON

Merupakan kajian berbagai literatur serta hasil studi yang relevan dengan pembahasan ini. Dalam hal ini diuraikan hal-hal yang mengenai perkerasan jalan, struktur perkerasan jalan beton/kaku (rigid pavement), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perkerasan beton, dan kriteria suatu perkerasan jalan untuk di lapis ulang (overlay) serta teori-teori yang berhubungan dengan penulisan ini.

BAB III PELAPISAN ULANG CAMPURAN BERASPAL (AC) DI ATAS PERKERASAN BETON

Bab ini menguraikan tentang peningkatan struktur perkerasan beton dengan pelapisan ulang dan parameter disain perencanaan overlay serta metoda penentuan tebal pelapisan ulang campuran beraspal (AC) diatas perkerasan beton.


(21)

BAB IV APLIKASI DAN PERENCANAAN

Berisikan pembahasan mengenai metoda penentuan tebal pelapisan ulang campuran beraspal (AC) di atas perkerasan beton dengan contoh perhitungannya serta analisa dan diskusi.


(22)

PERMASALAHAN

Perlunya kajian mengenai perencanaan tebal lapis tambah yang dibutuhkan, karena metoda yang digunakan mempengaruhi hasil perencanaan.

Gambar 1.2. Diagram Flowchart Pengerjaan Tugas Akhir MAKSUD

Untuk menganalisa dan membandingkan beberapa prosedur desain dalam menentukan tebal lapis tambah pada suatu perkerasan beton

TUJUAN

Untuk mendapatkan gambaran hasil perencanaan tebal lapis tambah dari masing-masing metoda yang digunakan, sehingga dapat menjadi pembelajaran

dalam aplikasi penggunaan metoda tersebut

TINJAUAN PUSTAKA

Data Sembarang

Kondisi Perkerasan Volume Lalu Lintas (CESA)

Lendutan/Load

Transfer

AASHTO Asphalt Institute AUSTROADS

Menentukan Tebal Lapis Tambah

• AUSTROADS

• AASHTO

• Asphalt Institute

ANALISA DAN PERBANDINGAN

KESIMPULAN


(23)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA

PERKERASAN BETON

II.1. UMUM

Tanah saja biasanya tidak cukup untuk kuat dan tahan, tanpa adanya deformasi yang berarti terhadap beban roda berulang. Untuk itu perlu adanya suatu lapis tambahan yang terletak antara tanah dan roda, atau lapis paling atas dari badan jalan. Lapis tambahan ini dibuat dari bahan khusus yang terpilih (yang lebih baik), yang selanjutnya disebut lapis keras/perkerasan (pavement), (Sulaksono, SW, ITB, 2000).

Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari banyak lapisan yang dibuat untuk menambah daya dukung tanah agar dapat memikul repetisi beban lalu-lintas sehingga tanah tadi tidak mengalami deformasi yang berarti (Croney, D, 1977). Perkerasan atau struktur perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri dari satu atau lebih lapisan perkerasan yang dibuat dari bahan yang memiliki kualitas yang baik (Basuki, H, 1986). Jadi, perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas (NAASRA, 1987).

Perkerasan dimaksudkan untuk memberikan permukaan yang halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta tebal dari setiap lapisan harus cukup aman untuk memikul beban yang bekerja di atasnya.

Kinerja perkerasan jalan dilihat dari kemampuan perkerasan itu menerima beban berulang yang bekerja di atasnya. Setiap kali muatan lewat, terjadi


(24)

pendukung tersebut kehilangan kekuatannya, pengulangan beban menyebabkan terjadinya gelombang atau retakan yang akan berlanjut kepada kualitas keamanan dan kenyamanan dalam berkendara (fungsional) dan akhirnya mengakibatkan keruntuhan pada badan jalan itu sendiri (struktural/wujud perkerasan).

Bilamana indeks daya layan jalan (present serviceability index) dari suatu perkerasan jalan beton/kaku mencapai tingkat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi (pt = 2.5 untuk jalan raya utama/arteri, pt = 2.0 untuk jalan lalu lintas rendah), perkerasan dapat dibuat kembali (konstruksi ulang), di daur-ulang (recycling) atau dapat dilakukan penambahan lapis tambah/pelapisan ulang (overlay) di atas perkerasan jalan yang sudah ada (Oglesby, CH, dkk).

Menurut Yoder, E. J dan Witczak (1975), Pada umumnya jenis konstruksi perkerasan jalan ada 2 jenis :

Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Yaitu pekerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.  Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland cement) sebagai bahan pengikat.

Selain dari dua jenis perkerasan tersebut, di Indonesia sekarang dicoba dikembangkan jenis gabungan rigid-flexible pavement atau composite pavement, yaitu perpaduan antara perkerasan lentur dan kaku. Dan tipe inilah yang dibahas dalam tugas akhir ini yaitu pelapisan ulang campuran beraspal (AC) di atas perkerasan beton.


(25)

II.2. STRUKTUR PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT)

Perkerasan kaku/beton didefinisikan sebagai perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.

Perkerasan kaku adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat dimana saat pembebanan berlangsung perkerasan tidak mengalami perubahan bentuk, artinya perkerasan tetap seperi kondisi semula sebelum pembebanan berlangsung (Basuki, H, 1986). Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan permukaan yang terdiri dari pelat beton tersebut akan pecah atau patah. Perkerasan kaku ini biasanya terdiri 2 lapisan yaitu:

Lapisan permukaan (surface course) yang dibuat dengan pelat beton Lapisan pondasi (base course)

Susunan lapisan pada perkerasan kaku umumnya seperti pada gambar dibawah ini :

 


(26)

(27)

Lapisan pondasi atau kadang-kadang juga dianggap sebagai lapisan pondasi bawah jika digunakan dibawah perkerasan beton karena beberapa pertimbangan yaitu untuk kendali terhadap pumping, kendali terhadap system drainase (drainase bawah perkerasan), kendali terhadap kembang-susut yang terjadi pada tanah dasar, untuk mempercepat pekerjaan konstruksi, serta menjaga kerataan tanah dasar (AASHTO ’93).

Fungsi dari lapisan pondasi atau pondasi bawah adalah : • Menyediakan lapisan yang seragam, stabil dan permanen

Menaikkan harga Modulus Reaksi Tanah Dasar (Modulus of Subgrade

Reaction = k) menjadi Modulus Reaksi Komposit (Modulus of Composite Reaction)

• Melindungi dari gejala pumping pada daerah sambungan, retakan dan ujung samping perkerasan

• Mengurangi terjadinya keretakan pada pelat beton • Menyediakan lantai kerja

Pada perkerasan kaku ini, lapisan pondasi bisa ada atau tidak ada pada suatu struktur perkerasan, sebab bila kondisi tanah dasar atau tanah asli baik maka pelat beton ini dapat langsung diletakkan diatas tanah dasar atau tanah asli. Lapisan beton dibuat untuk memikul beban yang bekerja diatasnya, dan meneruskannya ke lapisan pondasi. Lapisan pondasi diharapkan mampu mendukung lapisan permukaan dan meneruskannya ke tanah dasar (subgrade).


(28)

Gambar 2.3. Struktur Perkerasan Kaku

Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elasitisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban terhadap bidang area tanah yang cukup luas, sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari slab beton sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari lapisan-lapisan tebal pondasi bawah, pondasi dan lapisan permukaan. Karena yang paling penting adalah mengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling diperhatikan dalam merencanakan perkerasan jalan beton semen Portland adalah kekuatan beton itu sendiri (AASHTO ’93).

Tegangan-tegangan yang terjadi pada pelat perkerasan beton adalah : 1. Tegangan akibat pembebanan oleh roda (lalu lintas)

• Pembebanan ujung • Pembebanan pinggir • Pembebanan tengah


(29)

2. Tegangan akibat perubahan temperatur dan kadar air. Tegangan ini mengakibatkan :

• Pengembangan • Penyusutan

Lipatan atau lentingan (wrap)

3. Tegangan akibat timbulnya gejala pumping

Gejala pumping ini dapat diatasi dengan menggunakan lapisan pondasi bawah pada perkerasan beton.


(30)

[

]

                − − − + + +       − ∆ + − + + = 25 , 0 75 , 0 75 , 0 10 46 , 8 7 10 10 0 18 10 42 , 18 63 , 215 132 , 1 ' log ) 32 , 0 22 , 4 ( ) 1 ( 10 624 , 1 1 5 , 1 5 , 4 log 06 , 0 ) 1 ( log 35 , 7 log k E D xJx D x C S x p D x PSI D S Z w c d c t R

Di Indonesia, perencanaan perkerasan jalan beton umumnya menggunakan metoda AASHTO dan PCA (Portland Cement Association).

Metoda AASHTO dalam perencanaan perkerasan kaku menggunakan parameter-parameter sebagai berikut :

• Analisa lalu lintas : mencakup umur rencana, lalu lintas harian rata-rata, pertumbuhan lalu lintas tahunan, vehicle damage factor, Equivalent

Single Axle Load (ESAL).

Terminal serviceability

Initial serviceability

Serviceability loss

Realiability

• Standar deviasi normal

• CBR dan Modulus reaksi tanah dasar

• Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton • Flexural strength / Modulus rupture

Drainage coefficient

Load transfer coefficient

Dengan demikian, dapatlah ditentukan tebal pelat beton dengan rumus dibawah ini :


(31)

Menurut NAASRA, ada 5 jenis perkerasan kaku, yaitu :  Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan.  Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan.  Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan.

Perkerasan beton semen dengan tulangan serat baja (fiber).  Perkerasan beton semen pratekan.

Tugas akhir ini hanya membahas pelapisan ulang campuran beraspal (AC) diatas perkerasan beton bersambung tanpa tulangan.

II.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA

PERKERASAN BETON

Jalan direncanakan memiliki umur rencana pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lalu lintas, misalnya umur rencana 10 - 20 tahun, dengan harapan dalam kurun waktu tersebut jalan masih mampu melayani lalu lintas dengan tingkat pelayanan pada kondisi yang mantap. Untuk itu, diperlukan adanya upaya pemeliharaan dan peningkatan jalan selama umur rencana tersebut.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu pertumbuhan suatu wilayah terus meningkat sehingga beban lalu lintas yang diterima oleh suatu perkerasan akan bertambah bahkan melebihi, dan akan menyebabkan penurunan tingkat kemampuan pelayanan jalan tersebut. Akibat pengaruh beban lalu lintas dan lingkungan seperti halnya perkerasan lentur, perkerasan beton juga akan mengalami penurunan kinerja, baik dari segi fungsional maupun segi struktural (NAASRA, 1987).


(32)

Menurut NAASRA (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perkerasan beton diantaranya adalah faktor beban dan lalu lintas, faktor tanah dasar, kekuatan beton, material, dan faktor lingkungan. Menurut Huang (2004), faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja perkerasan beton adalah lalu-lintas dan pembebanan, lingkungan, material, reliability, dan sistem manajemen perencanaan perkerasan. Hampir sama dengan diatas, Yoder dan Witczak (1975) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perkerasan beton antara lain adalah beban lalu-lintas, faktor tanah dasar, faktor lingkungan (drainase jalan), dan material.

II.3.1. Faktor Beban dan Lalu Lintas

Secara umum, untuk semua jenis perkerasan, kondisi lalu lintas yang akan menentukan pelayanan adalah :

 Jumlah sumbu yang lewat  Beban sumbu

 Konfigurasi sumbu

Untuk semua jenis perkerasan, penampilan dipengaruhi terutama oleh kendaraan berat.

a. Konfigurasi Sumbu dan ekivalensi

Kerusakan akibat kendaraan tergantung pada :  Jarak sumbu

 Jumlah roda/sumbu ban  Beban sumbu


(33)

Untuk kebutuhan perencanaan, kendaraan yang diperhitungkan adalah 4 jenis yaitu :

 Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)  Sumbu tunggal roda ganda (STRG)  Sumbu tandem roda ganda (SGRG)  Sumbu triple roda ganda (STrRG) b. Lajur Rencana

Pembangunan lapisan perkerasan yang baru atau pelapisan tambahan akan dilaksanakan pada 2 lajur atau lebih yang kemungkinan bisa berada kebutuhannya terhadap ketebalan lapisan, tetapi untuk praktisnya akan dibuat sama. Untuk itu dibuat lajur rencana yaitu lajur yang menerima beban terbesar.

c. Umur Rencana

Umur rencana adalah jangka waktu dalam tahun sampai perkerasan harus diperbaiki atau ditingkatkan pelayanannya. Perbaikan terdiri dari pelapisan ulang, penambahan, atau peningkatan.

Beberapa tipikal usia rencana :

 Lapisan perkerasan aspal baru 20 – 25 tahun  Lapisan perkerasan kaku baru 20 – 40 tahun

 Lapisan tambahan (aspal 10 – 15 tahun), (batu pasir 10 – 20 tahun). d. Angka Pertumbuhan Lalu Lintas

Jumlah lalu lintas akan bertambah baik pada keseluruhan usia rencana atau pada sebagian masa tersebut. Angka pertumbuhan lalu lintas dapat ditentukan dari hasil survai untuk setiap proyek.


(34)

Dengan demikian, Lalu lintas yang padat dan berulang dengan muatan yang berlebih (overload) yang diterima oleh struktur perkerasan beton akan berpengaruh terhadap kinerja perkerasan beton itu sendiri, pengaruhnya antara lain :

a. Keamanan

Ditentukan oleh besarnya gesekan adanya kontak ban dengan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan, dan kondisi cuaca. b. Wujud Perkerasan (Structural Pavement)

Berhubungan dengan kondisi fisik dari jalan tersebut seperti adanya retak-retak, amblas, alur, gelombang, defleksi (penurunan), kerusakan pada sambungan dan sebagainya.

c. Fungsi Pelayanan (Functional Performance)

Berhubungan dengan bagaimana perkerasan tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Kenyamanan berkendara (riding

quality) merupakan penggambaran dari wujud perkerasan dan fungsi

pelayanan.

II.3.2. Faktor Tanah Dasar (Subgrade)

Tanah dasar yang umumnya adalah berupa tanah asli, galian ataupun berupa tanah timbunan yang memiliki kekuatan dan stabilitas yang tidak kuat. Sehingga harus dilakukan perbaikan setempat dengan cara pemadatan sampai kepadatan tertentu ataupun dengan stabilisasi dengan bahan campuran tertentu yang telah dipilih (Yoder, E.J. and Witczak, M.W, 1975). Agar dapat menahan beban lalu-lintas yang bekerja diatasnya, maka digunakan prinsip perkerasan yaitu


(35)

dengan membangun sistem lapisan perkerasan diatasnya, dimana lapisan yang paling atas memiliki kekuatan bahan yang paling tinggi. Tujuannya agar lapisan perkerasan tersebut mampu menahan beban yang bekerja dan mengurangi tegangan yang terjadi pada tanah dasar. Sifat dari masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air kondisi lingkungan dan lain sebagainya.

Kekuatan tanah dasar secara langsung mempengaruhi tebal perkerasan. Semakin kuat tanah dasar, maka semakin tipis tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan. Sebaliknya apabila semakin lemah stabilitas tanah dasar, maka semakin tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan.

Dalam perencanaan suatu jalan baru, lapisan tanah dasar sangat diperhatikan, apakah tanah dasar tersebut nantinya dapat menahan/menopang lapisan perkerasan di atasnya (NAASRA, 1987). Maka untuk itu, sebelum pengerjaan lapisan pondasi dilakukan dulu uji pengukuran daya dukung subgrade dengan :

California Bearing Ratio (CBR)

 Parameter Elastis (hanya untuk perkerasan lentur)  Modulus Reaksi Tanah Dasar (k).

Hal ini bertujuan untuk mengestimasi nilai daya dukung subgrade yang akan digunakan dalam perencanaan.

II.3.3. Material Perkerasan

Material perkerasan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori sehubungan deangan sifat dasarnya, akibat beban lalu lintas (NAASRA ’87) yaitu :


(36)

• Material berbutir lepas

Material berbutir terdiri atas kerikil atau batu pecah yang mempunyai gradasi yang dapat menghasilkan kestabilan secara mekanis dan dapat dipadatkan. Dapat pula ditambah zat aditif untuk menambah kestabilan tanpa menambah kekakuan.

• Material terikat

Merupakan material yang dihasilkan dengan menambah semen, kapur, atau zat cair lainnya dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan bahan yang terikat dengan kuat tarik.

• Aspal

Aspal adalah kombinasi bitumen dan agregat yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan selagi panas untuk membuat lapisan perkerasan. Kekuatan/kekakuan aspal diperoleh dari gesekan antara partikel agregat, viskositas bitumen pada saat pelaksanaan dan kohesi dalam massa dari bitumen dan adhesi antara bitumen dan agregat. Ini hanya terjadi pada perkerasan lentur.

• Beton semen

Merupakan agregat yang dicampur dengan semen PC secara basah. Agregat dengan gradasi baik yang digunakan dalam material perkerasan jalan akan memberikan dampak yang baik dalam menopang beban lalu lintas, mengurangi keretakan pada lapisan permukaan perkerasan. Jadi, material yang digunakan untuk perkerasan haruslah diperhatikan dengan baik sebelum digunakan untuk campuran beton. Pilihlah agregat dengan gradasi baik untuk mendapatkan pelayanan jalan beton yang lebih lama.


(37)

II.3.4. Kekuatan Beton

Beton semen adalah agregat yang dicampur dengan semen PC secara basah. Lapisan beton semen dapat digunakan sebagai lapisan pondasi bawah pada perkerasan kaku maupun perkerasan lentur, dan sebagai lapisan pondasi atas pada perkerasan kaku.

a. Beton Pondasi Bawah

Untuk pondasi bawah pada perkerasan lentur, beton mempunyai kelebihan kemampuan untuk ditempatkan dengan dituangkan begitu saja pada area dengan kondisi tanah dasar yang jelek (poor subgrade) tanpa digilas. Untuk maksud perencanaan struktur, karakteristik penting yang harus diketahui dan dievaluasi adalah modulus, angka Poisson dan penampilan pada saat pembebanan ulang.

Beton digunakan untuk dipakai keperluan pondasi bawah mempunyai kuat tekan 28 hari minimum 5 Mpa jika menggunakan campuran abu batu (flyash) dan 7 Mpa jika tanpa abu batu.

b. Beton Pondasi Atas

Perkerasan kaku dapat didefinisikan sebagai perkerasan yang mempunyai alas/dasar atau landasan beton semen.

Prinsip parameter perencanaan untuk perencanaan beton didasarkan pada kuat lentur 90 hari. Kuat lentur rencana beton 90 hari dianggap estimasi paling baik digunakan untuk menentukan tebal perkerasan. Dalam praktek, kuat lentur rencana beton 90 hari cukup memadai untuk konstruksi perkerasan jalan jika diambil 3.5 – 4 Mpa.


(38)

Tipikal hubungan untuk mengubah kuat tekan beton 28 hari ke kuat lentur 90 hari untuk beton yang menggunakan agregat pecah, menurut NAASRA adalah :

F28 = 0.75

C28

F90 = 1.1 F28 = 0.83

C28 Dimana :

F28 = Kuat lentur beton 28 hari (Mpa) F90 = Kuat lentur beton 90 hari (Mpa)

C28 = Kuat tekan rencana beton 28 hari (Mpa)

Alternatif yang mudah untuk dan banyak digunakan benda uji tarik silinder sampai terbelah atau uji tarik tidak langsung (Brazilian

test), yang juga digunakan pada pengendalian mutu. Tipikal hubungan

untuk mengubah kuat belah ke kuat lentur menurut NAASRA, sebagai berikut :

F28 = 1.3 S28 Dimana :

S28 = Kuat belah beton 28 hari (Mpa)

Kuat tekan karakteristik beton pada usia 28 hari untuk perkerasan jalan dengan beton bertulang harus tidak kurang dari 30 Mpa.

Menurut SNI T-15-1991-03 :

Besarnya Modulus Keruntuhan Lentur Beton (fr), yaitu : fr = 0.7

f’c , (Mpa) untuk beton normal


(39)

1) Jika fct sudah ditentukan, maka

f’c diganti 1.8 fct

Dengan ketentuan 1.8 fct <

f’c fr = 1.26 fct (Mpa). 2) Jika fct tidak ditentukan, maka fr harus dikalikan dengan angka

sebagai berikut :

Untuk Beton Ringan Total :

fr = (0.75) 0.7

f’c fr = 0.525

f’c (Mpa) Untuk Beton Ringan Berpasir :

fr = (0.85) 0.7

f’c fr = 0.595

f’c (Mpa) dimana :

f’c = Kuat tekan karakteristik beton pada usia 28 hari fct = Kuat tarik belah rata-rata beton ringan

f’c , fct Mpa Menurut ACI 318-83 :

Untuk Beton Ringan Total : fct = 0.417

f’c (Mpa)

Untuk Beton Ringan Berpasir : fct = 0.473

f’c (Mpa)

Untuk keperluan praktis dalam perencanaan, harga-harga di bawah ini dapat digunakan :

Untuk Beban Normal : fct = 0.556

f’c (Mpa)


(40)

fr = 1.115

f’c (Mpa) Pengujian yang dilakukan :

a. Untuk menentukan Modulus Keruntuhan Lentur Beton (Modulus of

Rupture) dilakukan dengan standar ASTM C78 – 75 atau AASHTO

T97 – 76 (1982) “Flexural Strength of Concrete” menggunakan balok (simple beam) beton dengan Pembebanan Tiga Titik.

b. Untuk menentukan kuat tarik belah beton, dilakukan dengan standar ASTM C496 – 71 atau AASHTO T198 – 74 (1982) “Splitting

Tensile Strength” menggunakan contoh silinder beton.

Kalau ditinjau dari metoda AASHTO, Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elasitisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban terhadap bidang area tanah yang cukup luas, sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari slab beton itu sendiri. Karena yang paling penting adalah mengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling diperhatikan dalam merencanakan perkerasan jalan beton semen portland adalah kekuatan beton itu sendiri (AASHTO ’93).

Kekuatan beton harus di uji terlebih dahulu di laboratorium dengan menggunakan benda uji silinder (15 x 30) cm. Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai dengan spesifikasi pekerjaan. Di Indonesia saat ini umumnya digunakan fc’ = 350 kg/cm2 untuk pelat beton sedangkan untuk beton pondasi bawah (wet lean

concrete) juga demikian dengan menggunakan silinder fc’ = 105 kg/cm2. Dan modulus rupture / flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2 atau 640 psi.


(41)

II.3.5. Kondisi Drainase Perkerasan

Kondisi drainase perkerasan dilihat dari mutu drainase yaitu berapa lama air dapat dikeluarkan/dibebaskan dari pondasi perkerasan. Pendekatannya ini dilihat pada saat hujan. Makin lama air keluar dari perkerasan, maka kondisi perkerasan sangat jelek (poor) dan sebaliknya (AASHTO ’93). Hal ini sangat diperhatikan dalam perencanaan tebal pelat beton dengan meninjau coefficient

drainage (Cd).

Quality of drainage Water removed within Excellent

Good Fair Poor Very poor

2 jam 1 hari 1 minggu 1 bulan

Air tidak terbebaskan

Tabel 2.1. Quality of Drainage

Drainase permukaan perkerasan, ketidak-cukupan drainase permukaan perkerasan erat kaitannya dengan rendahnya kekesatan. Hal ini disebabkan karena kehilangan friction sebagai akibat adanya film air di permukaan perkerasan ketika hujan turun. Ketidakcukupan drainase permukaan dapat dideteksi bila diamati disaat hujan turun.

Kemungkinan penyebabnya adalah :

Alur (grooving) permukaan perkerasan sudah aus atau dimensi alurnya kurang memadai


(42)

• Akibat terjadinya kerusakan amblas II.3.6. Faktor Lingkungan

Kondisi lingkungan yang mencakup kelembaban (curah hujan dan iklim), temperatur, dan kondisi drainase mempengaruhi keawetan kekuatan tiap lapisan pada perkerasan tersebut (Huang, Y.H, 2004). Kondisi lingkungan seperti curah hujan dan temperatur sangat mempengaruhi kualitas bahan perkerasan. Pada kondisi curah hujan yang tinggi dan temperatur yang berubah-ubah dapat mengurangi keawetan bahan lebih cepat dari masa umur layan yang direncanakan.

 Kelembaban

Kelembaban secara umum berpengaruh terhadap penampilan perkerasan, sedangkan kekakuan / kekuatan material yang lepas dan tanah dasar, tergantung dari kadar air materialnya. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan curah hujan dam iklim.

Maka dari itu, untuk wilayah yang curah hujannya tinggi perencanaan suatu jalan baru harus menjadi perhatian seperti sistem drainase jalan.  Suhu Lingkungan

Suhu lingkungan berpengaruh cukup besar pada penampilan permukaan perkerasan jika digunakan pelapisan permukaan dengan aspal, karena karakteristik dan sifat aspal yang kaku dan regas pada temperatur rendah dan sebaliknya akan lunak dan visko elastis pada suhu tinggi. Pada perkerasan beton, temperatur tinggi juga akan berpengaruh besar, terutama pada saat pelaksanaan konstruksi.


(43)

II.3.7. Kriteria Suatu Perkerasan Jalan untuk di Lapis Tambah (overlay) Konstruksi jalan yang telah habis masa pelayanannya atau telah mencapai indeks permukaan akhir yang diharapkan perlu diberikan lapis ulang untuk dapat kembali mempunyai nilai kekuatan, nilai keamanan dan kenyamanan dalam menopang kembali beban lalu lintas yang bekerja di atasnya untuk jangka waktu yang lebih panjang lagi. Sebelum melakukan lapis ulang, perlu dilakukan terlebih dahulu survai kondisi permukaan dan survai kelayakan struktural konstruksi perkerasan.

a. Survai Kondisi Permukaan Perkerasan

Berhubungan dengan kinerja fungsi pelayanan (functional performance) jalan tersebut. Survai ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan

(rideability) permukaan jalan saat ini. Bagaimana perkerasan tersebut memberikan

pelayanan kepada pengguna jalan. Survai ini dilakukan secara visual ataupun dengan bantuan alat mekanis. Survai secara visual meliputi :

• Penilai kondisi lapisan permukaan jalan, dapat dikelompokkan menjadi : baik, kritis atau rusak.

• Penilaian terhadap keamanan dan kenyamanan, dapat dikelompokan menjadi : nyaman, kurang nyaman dan tidak nyaman. Kenyamanan dan keamanan berkendara merupakan penggambaran fungsi pelayanan. Ditentukan oleh besarnya gesekan adanya kontak ban dengan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan (kerataan/gelombang/kekasaran), dan kondisi cuaca.


(44)

Baik atau tidaknya kinerja suatu perkerasan jalan beton ditinjau dari kemampuan-layananan (Serviceability) jalan beton itu sendiri. Kinerja perkerasan diramalkan pada angka sebagai berikut :

Percent of people pt

Stating unacceptable 12

55 85

3.0 2.5 2.0

Tabel 2.2. Terminal Serviceability (pt)

• Initial serviceability : po = 4.5

• Terminal serviceability index (jalan utama) : pt = 2.5 • Terminal serviceability (jalan lalu lintas rendah) : pt = 2.0 • Total loss of serviceability : ∆ PSI = po - pt

Parameter diatas merupakan parameter yang berkembang untuk menyatakan tingkat kemampuan pelayanan jalan atau skala dari tingkat kenyamanan atau kinerja dari jalan dan bisa juga sebagai nilai kemunduran jalan secara fungsional yang dapat diperoleh dari hasil pengukuran dengan bantuan alat roughometer (kekasaran/kerataan) (AASHTO ’93).

Kinerja jalan dari segi fungsional secara umum tidak menjadi patokan suatu jalan itu untuk di overlay. Suatu perkerasan jalan itu sudah seharusnya di overlay lebih berdasarkan tinjuan kondisi strukturalnya.


(45)

b. Survai Kelayakan Struktural Konstruksi Perkerasan (Structural Pavement) Survai kelayakan structural konstruksi perkerasan jalan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

• Pemeriksaan secara destruktif

Pemeriksaan ini tidak lazim digunakan untuk mengevaluasi kinerja perkerasan karena dalam pemeriksaannya cara ini mengambil sampel dari jalan tersebut sehingga dapat merusak lapisan perkerasan dari jalan lama.

• Pemeriksaan secara non-destruktif

Pemeriksaan dengan alat yang diletakkan di atas permukaan jalan sehingga tidak berakibat rusaknya konstruksi perkerasan jalan. Diantaranya melakukan pengujian lendutan (deflection) dan transfer beban (load transfer) dengan menggunakan alat FWD (Falling

Weight Deflectometer).

1. Lendutan (Deflection)

Pengukuran lendutan dilakukan pada jejak roda luar dengan menempatkan sensor pada 0, 12, 24, dan 36 inchi dari pusat beban. Alat uji seperti FWD dianjurkan untuk mengukur lendutan dengan beban berat dan beban sebesar 9000 lbs (4,1 Ton). Plat beban yang digunakan berbentuk lingkaran dengan jari-jari 5.9 inchi atau 15 cm. Pada metoda AASHTO, pengukuran lendutan dilakukan untuk mengetahui kekuatan struktur perkerasan eksisting seperti modulus reaksi tanah dasar (k) dan modulus elastisitas pelat beton (Ec). Selain itu nilai k dan Ec juga dapat ditentukan


(46)

Untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan (JRCP =

Jointed Reinforced Concrete Pavement), ukuran lendutan dengan

menggunakan alat FWD mendekati 0.02 inchi (0.005 mm) (AASHTO ’93). Apabila nilai lendutan yang diperoleh lebih besar dari yang telah ditentukan berarti jalan tersebut mengalami penurunan kondisi perkerasan dan perlu dilakukan pelapisan ulang yang bertujuan untuk meningkatkan lagi pelayanan jalan itu dari segi struktural. Hasil lendutan yang diperoleh merupakan gambaran dari kondisi struktural perkerasan eksisting.

Gambar 2.5. Titik-titik Pengujian Lendutan pada Perkerasan Beton

Pada perkerasan beton, hasil dari pengujian lendutan tidaklah berpengaruh penting dalam perencanaan overlay karena hasilnya terlalu kecil dan kurang mencerminkan kondisi struktural perkerasan , tetapi pengujian yang lebih penting dari lendutan adalah load transfer.


(47)

∆a

∆l

2. Transfer Beban (Load Transfer)

Metoda AUSTROADS dan Asphalt Institute tidak memperhitungkan nilai lendutan dan transfer beban (load transfer) dari sambungan pelat perkerasan, nilai modulus reaksi tanah dasar (k) ditentukan berdasarkan nilai CBR. Sedangkan AASHTO justru memperhitungkannya (AASHTO, 1993).

Untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan, pengukuran nilai load transfer pada sambungan dilakukan pada sisi luar jejak roda sebagai representatif sambungan melintang dan pada temperatur lingkungan lebih kecil dari 800 F (270 C). Penempatan pelat beban dilakukan pada satu sisi dari sambungan dengan tepi pelat menyentuh sambungan. Lendutan di ukur pada titik tengah pelat beban dan pada 12 inci dari titik tengah.

Nilai load transfer yang diperoleh dari nilai lendutan pada titik pengujian di tengah pelat dan pada sambungan merupakan gambaran dari penyebaran beban yang diterima setiap sambungan pelat tersebut. Jika nilai load transfer yang diperoleh mendekati 100 %, berarti penyebaran beban dari sambungan tersebut bagus, tetapi jika nilainya lebih kecil maka penyebaran beban pada sambungan jelek (AASHTO ’93).

Load transfer efficiency dapat didefinisikan dengan rumus dibawah ini :

Efficiency (%) = x 100 %

Dimana : ∆a = lendutan di awal (mendekati) slab beton ∆l = lendutan di akhir (menjauhi) slab beton


(48)

Transfer Beban (%) Koefisien Load Transfer (J) Kriteria

> 70 3.2 Baik

50 – 70 3.5 Sedang

< 50 4.0 Buruk

Tabel 2.3. Koefisien Load Transfer “J”

Shoulder Asphalt Tied PCC

Load transfer devices Yes No Yes No

Pavement type

1.plain jointed & jointed reinforced

2.CRCP

3.2

2.9 – 3.2

3.8 – 4.4

N/A

2.5 – 3.1

2.3 – 2.9

3.6 – 4.2

N/A

Pendekatan penetapan parameter load transfer :

Joint dengan dowel : J = 2.5 – 3.1 (AASHTO ’93 hal II-26) Untuk overlay design : J = 2.2 – 2.6 (AASHTO ’93 hal III-132)

Jadi, pelapisan ulang (overlay) untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan load transfer koefisiennya (J) harus berkisar antara 2.5 – 3.1.


(49)

3. Survai Kondisi Lapisan Permukaan Perkerasan Eksisting

Berhubungan dengan kondisi fisik dari jalan tersebut. Penilaian tingkat kerusakan yang terjadi baik secara kaulitas maupun kuantitas. Penilain terhadap kerusakan jalan dilihat dari adanya retak-retak (cracks), deformasi (deformation), lobang (pothole), gelombang, defleksi (penurunan), gompal (spalling), ketidakcukupan drainase permukaan perkerasan (joint seal defects), kerusakan bagian tepi slab (edge drop-off) serta kerusakan pada pengisi sambungan, dll.

Menurut Dirjen Perhubungan RI yang dikutip dari KapanLagi.com

(17/5/2008) mengatakan : “secara umum suatu perkerasan jalan yang layak

di overlay di lihat dari kondisi struktural perkerasan itu sendiri yaitu kondisi lapisan permukaannya, apakah telah mengalami retak-retak yang banyak, berlobang dan terjadi amblas di-antar sambungan perkerasan. Ini terlebih dahulu disurvai dan dilaporkan dalam bentuk form”.

Senada dengan pernyataan diatas Master Theses from Magister

Teknik Sipil ITB, Kadiar Yunas (12/12/2007) yang dikutip dari ITB Central Library juga mengatakan : “pengoverlay-an suatu perkerasan beton selain

dengan melakukan dengan pengujian lendutan juga dilakukan survai kondisi lapisan permukaan perkerasan secara visual. Semua kerusakan di catat dan di analisa. Masyarakat melihat suatu jalan dari tampilan permukaan perkerasannya saja. Jadi, overlay juga dipengaruhi oleh pandangan visual dari manusia itu sendiri, apakah jalan masih aman dan nyamankan di lalui “.

Penurunan kondisi lapisan permukaan perkerasan eksisting dilihat dari segi struktural perkerasan yang diukur selama survai kondisi untuk


(50)

perkerasan beton bersambung tanpa tulangan. Contoh diambil pada umumnya pada jalur kendaraan berat yang digunakan untuk memperkirakan banyaknya kerusakan.

a. Retak (Cracks)

Retak yang terjadi pada perkerasan beton berdasarkan pada tekanan yang terjadi pada lapisan permukaan beton. Keretakan juga disebabkan oleh kegagalan struktural yang terjadi akibat hilangnya daya dukung yangdisertai kerusakan/pecahnya material pada permukaan perkerasan (Yoder, E.J. and Witczak, M.W, 1975).

Keretakan pada perkerasan beton antara lain adalah :  Retak Refleksi (Reflection Cracks)

Seperti retak memanjang memanjang (longitudinal crack), retak diagonal (diagonal crack) atau retak yang menyerupai kotak.

Retak ini disebabkan oleh material dan disain yang kurang cocok pada awal perencanaan.

Retak Susut (Shrinkage Craks)

Retak ini disebabkan oleh penyusutan campuran beton umumnya pada selama pelaksanaan.

Retak Membelok (Warping Cracks)

Retak yang terjadi pada tengah pelat (center slab) membentuk arah memanjang seperti longitudinal cracks. Retak ini disebabkan oleh tekanan yang sangat berat di atas tengah pelat (Yoder, E.J. and Witczak, M.W, 1975).


(51)

b. Scaling (Sisik)

Adalah kerusakan pada tekstur permukaan perkerasan, dimana hal ini disebabkan oleh masuknya unsur-unsur lain ke dalam campuran agregat seperti lumpur (silt) atau tanah liat (clay), sehingga menyebabkan lapisan permukaan beton kurang rata karena adanya agregat yang muncul menyerupai sisik (Yoder, E.J. and Witczak, M.W, 1975).

c. Deformasi (Deformation)

Adalah penurunan permukaan perkerasan sebagai akibat terjadinya retak atau pergerakan diantara slab. Kerusakan deformasi (NAASRA, 1987) antara lain adalah :

Pemompaan (pumping)

Adalah peristiwa keluarnya air disertai butiran-butiran tanah dasar melalui sambungan dan retakan atau pada bagian pinggir perkerasan, akibat gerakan lendutan atau gerakan vertikal pelat beton karena beban lalu lintas, setelah adanya air bebas yang terakumulasi di bawah pelat beton. Pumping dapat mengakibatkan terjadinya rongga di bawah pelat beton sehingga menyebabkan rusak/retaknya pelat beton.

Patahan (faulting)

Perbedaan elevasi antara slab akibat penurunan pada sambungan atau retakan.

Amblas (depression)

Penurunan permanen permukaan slab dan umumnya terletak di sepanjang retakan atau sambungan. Kerusakan ini dapat menimbulkan


(52)

terjadinya genangan air dan seterusnya masuk melalui sambungan atau retakan.

Rocking

adalah fenomena, dimana terjadi pergerakan vertikal pada sambungan atau retakan yang disebabkan oleh beban lalu lintas.

d. Kerusakan pada bagian tepi perkerasan (edge drop-off)

Penurunan bagian tepi perkerasan adalah penurunan yang terjadi pada bahu yang berdekatan dengan tepi slab. Disebabkan oleh drainase bahu yang kurang baik dan material pada bahu yang tidak stabil.

e. Drainase permukaan perkerasan (surface drainage)

Ketidak-cukupan drainase di daerah permukaan perkerasan erat kaitannya dengan rendahnya kekesatan. Hal ini disebabkan oleh karena kehilangan

friction sebagai akibat adanya film air di permukaan perkerasan ketika

hujan turun. f. Lubang (pothole)

Adalah pelepasan mortar dan agregat pada bagian permukaan perkerasan membentuk cekungan dengan kedalaman 15 mm dan tidak memperlihatkan pecahan-pecahan yang bersudut seperti pada gompal. g. Kerusakan pada pengisi sambungan

Disebabkan oleh pengausan dan pelapukan bahan pengisi, kualitas bahan yang rendah, kurangnya kelekatan (adhesi) bahan pengisi terhadap dinding sambungan dan terlalu banyak / tidak cukup bahan pengisi di dalam sambungan.


(53)

Dengan demikian, suatu perkerasan jalan mengalami hal-hal diatas atau melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan maka perkerasan jalan telah siap untuk direhabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kembali pelayanan jalan tersebut yaitu dengan melakukan lapis ulang (overlay).


(54)

II.3.8. Summary Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perkerasan Beton Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perkerasan beton Menurut

AASHTO ‘93 NAASRA ‘87 Yoder, E.J. and

Witczak, M.W. ‘75

Croney ‘77

Faktor beban dan lalu lintas

Overload, beban berulang, pembebanan yang tidak rata di pelat beton

Overload, beban berulang, pembebanan yang tidak rata di pelat beton

Overload dan beban berulang

Overload dan beban berulang

Faktor tanah dasar (sugbrade)

Kekuatan tanah dasar

secara langsung mempengaruhi tebal perkerasan. Semakin kuat tanah dasar, maka semakin tipis tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan. Sebaliknya

apabila semakin lemah stabilitas tanah dasar, maka semakin tebal lapisan

Kekuatan tanah dasar

secara langsung dipengaruhi oleh kondisi

tanah pada lapisan tanah dasar tersebut.

Tanah asli, galian ataupun timbunan harus distabilisasi untuk mendapatkan nilai daya dukung tanah yang baik.


(55)

perkerasan yang dibutuhkan.

Material perkerasan Beton dengan agregat bergradasi baik

Beton dengan agregat bergradasi baik

Beton dengan agregat bergradasi baik

-

Kekuatan beton Pengujian di laboratorium Fc’ = 350 kg/cm2

Sc’ = 640 psi

Pengujian di laboratorium dengan kuat tekan beton 28 hari.

- -

Kondisi drainase perkerasan

Berapa lama air dapat dikeluarkan/dibebaskan dari pondasi perkerasan (mutu drainase).

- - -

Faktor lingkungan Kondisi cuaca, iklim, curah hujan dan kelembaban

Kondisi cuaca, iklim, curah hujan, temperatur dan kelembaban

Temperatur dan muka air tanah (kelembaban)

Kelembaban, suhu, curah hujan dam iklim


(56)

BAB III

PELAPISAN ULANG CAMPURAN BERASPAL (AC) DI ATAS

PERKERASAN BETON

III.1. PENINGKATAN STRUKTUR PERKERASAN BETON DENGAN PELAPISAN ULANG (OVERLAY)

Pelapisan ulang / pelapisan tambahan digunakan untuk mengembalikan penurunan fungsional maupun penurunan struktural dari lapis perkerasan yang ada sehingga dapat melayani beban lalu lintas yang bekerja di atasnya dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi. Penambahan lapisan jalan beton dengan lapisan beraspal (AC) dapat memperpanjang umur rencana jalan tersebut (Ari Suryawan, Beta Offset 2005).

Tinjauan kemampuan-layanan rigid pavement (lihat gambar 3.1) : a. Kondisi pada akhir tahun ke-Np

Pada akhir tahun ke-Np diperkirakan kondisi kemampuan-layanan perkerasan sebagai berikut :

• Tebal pelat rencana • Tebal pelat efektif • Umur rencana • ESAL design

• Terminal serviceability index = 2.5 b. Kondisi pada akhir tahun ke-N1.5

Pada akhir tahun ke-N1.5 diperkirakan kondisi kemampuan-layanan perkerasan sebagai berikut :


(57)

• Tebal pelat rencana • Umur rencana • ESAL design

Serviceability index (failure) = 1.5 c. Kondisi pada akhir tahun umur rencana

Pada akhir tahun umur rencana diperkirakan kondisi kemampuan-layanan perkerasan sebagai berikut :

• Tebal overlay • Tebal pelat

• Umur rencana = 20 tahun • ESAL design

• Terminal serviceability index = 2.5 d. Overlay

Diperkirakan diperlukan overlay agar kondisi perkerasan tetap diatas nilai batas terminal serviceability index = 2.5 sebelum menurun kemampuan layanannya menjadi 1.5 dan selanjutnya dapat mencapai umur rencana 20 tahun (rigid pavement) atau gabungan rigid-flexible


(58)

Gambar 3.1. Kemampuan-layanan Rigid Pavement dan Additional Overlay

Pertimbangan dalam memilih tipe lapis ulang (AASHTO ’93) sangat bergantung pada hal-hal sebagai berikut :

a. Ketersediaan dana.

b. Kelayakan atas pelaksanaan pelapisan ulang, seperti lalu lintas, ketersediaan bahan dan peralatan, serta kondisi lingkungan.

c. Umur rencana (design life) yang diperlukan, dimana faktor yang mempengaruhinya adalah :


(59)

• Penurunan perkerasan eksisting (tipe penurunan yang spesifik, keparahan dan banyaknya).

• Desain perkerasan eksisting, kondisi dari material perkerasan jalan (khususnya masalah ketahanan) dan lapisan tanah dasar (subgrade

course).

• Beban lalu lintas yang akan datang. • Keadaan cuaca (kelembaban dan suhu).

Kelembaban dan suhu mempunyai pengaruh yang cukup besar pada penampilan permukaan perkerasan. Pada perkerasan beton, temperatur yang tinggi akan berpengaruh besar terutama pada saat pelaksanaan konstruksi. Sedangkan kadar air juga berpengaruh terhadap kekakuan/kekuatan material yang lepas dan tanah dasar. • Kondisi subdrainase eksisting.

Kondisi subdrainase terjadi di bawah struktur perkerasan dan akan mempengaruhi kondisi subgrade. Hal ini disebabkan oleh adanya air tanah akibat proses infiltrasi dan kapilerisasi, tekanan air pori akibat muka ait tanah yang cukup dangkal, air permukaan yang masuk bagian konstruksi dari lapis perkerasan yang retak-retak, dan adanya mata air di bawah konstruksi jalan.

Dengan demikian, kondisi drainase jalan harus diperhatikan sebelum melakukan pelapisan ulang.

Menurut AASHTO ’93, Selain pertimbangan dalam memilih tipe lapis ulang, juga harus dipertimbangkan faktor-faktor dalam perencanaan lapis ulang


(60)

a. Perbaikan perkerasan lama sebelum lapis ulang

Kerusakan dalam perkerasan eksisting meliputi kerusakan fisik yang terlihat maupun tidak pada permukaan perkerasan, banyaknya kerusakan yang harus diperbaiki sebelum dilakukan lapis ulang. Jika kerusakan pada perkerasan eksisting mempengaruhi kinerja dari lapis overlay dalam beberapa tahun, maka perkerasan eksisting harus diperbaiki segera sebelum dilakukan pelapisan ulang. Karena banyak kerusakan terjadi pada lapis yang telah dilapis ulang sebagai hasil dari kerusakan yang tidak diperbaiki pada perkerasan eksisting.

b. Pengendalian retak refleksi

Retak refleksi sering mengakibatkan kerusakan pada lapis ulang, sehingga perlu dilakukan pengendalian dari retak tersebut untuk mengurangi penjalaran dan keparahan dari retak refleksi tersebut. Penyebab retak refleksi antara lain adalah material dan disain yang kurang cocok.

c. Beban lalu lintas

Dalam prosedur desain lapis ulang beban lalu lintas dinyatakan dalam 18-kip ESALs.

d. Subdrainase

Kondisi subdrainase dari perkerasan eksisting biasanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja lapis ulang. Perbaikan kondisi subdrainase yang buruk akan berpengaruh terhadap biaya dari lapis ulang. Pengaliran kelebihan air dari perkerasan akan mengurangi erosi


(61)

dan akan menambah kekuatan dari lapis pondasi dan tanah dasar, sehingga akan mengurangi besarnya defleksi.

e. Material lapis ulang

Material lapis ulang harus dipilih dan direncanakan sesuai dengan beban lalu lintas, kondisi lingkungan, dan penurunan perkerasan yang ada.

f. Ketahanan pelat beton

Ketahanan pelat beton sangat berpengaruh pada performa lapis ulang dengan campuran beraspal.

g. Desain sambungan

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam desain sambungan meliputi jarak sambungan, kedalaman dari penggergajian, bentuk reservoir

sealant, dan transfer beban yang dibutuhkan.

III.2. PARAMETER DESAIN PERENCANAAN OVERLAY

Perencanaan gabungan rigid-flexible pavement (composite pavement) yang digunakan adalah pendekatan desain hotmix diatas perkerasan beton yang mengacu pada AASHTO (American Association of State Highway and

Transportation Officials) guide for design of pavement structures 1993 ( AASHTO 1993).

Prosedur dan parameter-parameter perencanaan mengikuti metode perencanaan rigid pavement, antara lain :


(62)

III.2.1. Traffic Design (Analisa Lalu lintas) III.2.1.1 Umur Rencana

• Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi baru.

• Sedangkan untuk pelebaran jalur ataupun overlay dengan gabungan

rigid-flexible pavement, umur rencana diambil 10 tahun untuk

menyesuaikan umur rencana flexible pavement-nya (yang umumnya umur rencana flexible pavement adalah 10 tahun).

Gambar 3.2. Umur Rencana untul Pelebaran Perkerasan / Overlay (tebal diatas hanya sebagai contoh)


(63)

III.2.1.2. Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) dan Pertumbuhan Lalu Lintas Ciri pengenalan penggolongan kendaraan sesuai dengan kondisi di Indonesia berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997), Pedoman Teknis No. T-19-2004-B Survai pencacahan lalu lintas dengan cara manual dan berdasarkan PT Jasa Marga. Dari ketiga pedoman dalam penentuan LHR dilapangan disepakatilah penghitungan berdasarkan Pedoman Teknis No. T-19-2004-B yang disajikan seperti tabel dibawah ini sekalian digabungan dengan data/parameter vehicle damage factor (VDF).

No Jenis kendaraan Gol LHR i (%) VDF

1 Sedan, jeep, dan station wagon 2 2 Opelet, pick-up opelet, sub-urban, combi,

mini bus

3

3 Pick-up, micro truck dan mobil hantaran atau pick-up box

4

4 Bus kecil 5a

5 Bus besar 5b

6 Truk ringan 2 sumbu 6a

7 Truk sedang 2 sumbu 6b

8 Truk 3 sumbu 7a

9 Truk gandengan 7b

10 Truk semi trailer 7c

Tabel 3.1. Data/parameter Golongan Kendaraan, LHR, Pertumbuhan Lalu Lintas (i) dan VDF


(64)

LHR = Jumlah lalu lintas harian rata-rata (kendaraan) pada tahun survai pada tahun terakhir.

i = Pertumbuhan lalu lintas pertahun (%)

VDF = Vehicle Damage Factor

III.2.1.3. Vehicle Damage Factor (VDF)

Sesuai dengan kondisi di Indonesia yang sering dipakai untuk menentukan Nilai VDF adalah berdasarkan Bina Marga dan NAASRA.

• Bina Marga MST-10

Mengacu pada buku Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen No. SNI 1732-1989-F dan Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Raya deengan alat Benkelmean Beam No. 01/MN/BM/83.

Angka ekivalen beban sumbu kendaraan adalah angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal/ganda kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8.16 Ton (18000 lb).

Sumbu Tunggal =

[

beban sumbu tunggal (kg) / 8160

]

4


(65)

Konfigurasi beban sumbu pada berbagai jenis kendaraan beserta angka ekivalen kendaraan dalam keadaan kosong (min) dan dalam keadaan bermuatan (max) dapat dilihat pada tabel 2.2.

No Tipe Kendaraan & Golongan VDF

1 Sedan, jeep, st. wagon 2 1.1 0.0005

2 Pick-up, combi 3 1.2 0.2174

3 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4 1.2L 0.2174

4 Bus kecil 5a 1.2 0.2174

5 Bus besar 5b 1.2 0.3006

6 Truk 2 as (H) 6 1.2H 2.4159

7 Truk 3 as 7a 1.2.2 2.7416

8 Trailer 4 as, truk gandengan 7b 1.2+2.2 3.9083

9 Truk semi trailer 7c 1.2.2+2.2 4.1718


(66)

(67)

• NAASRA MST-10

Nilai angka ekivalen beban sumbu (E) yang digunakan NAASRA Australia adalah sebagai berikut :

a. Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)

E =

[

beban sumbu tunggal (kg) / 5400

]

4

b. Sumbu tunggal roda ganda (STRG)

E =

[

beban sumbu tunggal (kg) / 8200

]

4

c. Sumbu tandem roda ganda (SGRG)

E =

[

beban sumbu ganda (kg) / 13600

]

4

No Tipe kendaraan & golongan VDF

1 Sedan, jeep, st. wagon 2 1.1 0.0025

2 Pick-up, combi 3 1.2 0.2738

3 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4 1.2L 0.2738

4 Bus kecil 5a 1.2 0.2738

5 Bus besar 5b 1.2 0.3785

6 Truk 2 as (H) 6 1.2H 3.0421

7 Truk 3 as 7a 1.2.2 5.4074

8 Trailer 4 as, truk gandengan 7b 1.2+2.2 4.8071

9 Truk semi trailer 7c 1.2.2+2.2 7.2881


(68)

III.3.1.4. Traffic Design

Data dan parameter lalu lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan meliputi :

• Jenis kendaraan

• Volume lalu lintas harian rata-rata • Pertumbuhan lalu lintas tahunan • Vehicle Damage factor

• Umur rencana

• Faktor distribusi arah • Faktor distribusi lajur

ESAL (Equivalent Single Axle Load) selama umur rencana (traffic design).

 Faktor distribusi arah (DD) = 0.3 – 0.7 dan umum diambil 0.5 (AASHTO ’93 hal. II-9).

 Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada tabel 3.5. (AASHTO ’93 hal. II-9).

Jumlah lajur setiap arah DL (%)

1 2 3 4

100 80 – 100

60 – 80 50 – 75


(69)

Rumus umum traffic design (ESAL = Equivalent Single Axle Load) :

W

18

=

Nn

N1

LHR

j

x VDF

j

x D

D

x D

L

x 365

Dimana :

W18 = Traffic desain pada lajur lalu lintas, ESAL

LHRj = Jumlah lalu lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j

DD = Faktor distribusi arah DL = Faktor distribusi lajur

N1 = Lalu lintas pada tahun pertama jalan dibuka Nn = Lalu lintas pada akhir umur rencana

III.3.2. California Bearing Ratio (CBR)

CBR dalam perencanaan perkerasan kaku digunakan untuk menentukan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (modulus of subgrade reaction : k).

CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6 % untuk lapisan tanah dasar, mengacu pada spesifikasi Departemen PU edisi 2004. Akan tetapi tanah dasar dengan nilai CBR 5 % dan atau 4 % pun dapat digunakan setelah melalui kajian geoteknik, dengan CBR kurang dari 6 % ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan, masalah yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan akan bertambah atau masalah penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut.


(70)

III.3.3. Modulus Reaksi Tanah Dasar

Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan

grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar ketentuan CBR tanah dasar. MR = 1500 x CBR

k = MR / 19.4

MR = Resilient Modulus

Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan grafik pada gambar 3.4. dibawah ini (AASHTO ’93 hal II-27).

Gambar 3.4. Correction of Effective Modulus of Subgrade Reaction for Potensial Loss Subbase Support


(71)

No Tipe materal LS 1

2 3 4 5 6 7

Cement treated granular base (E = 1.000.000 – 2.000.000 psi) Cement aggregate mixture (E = 500.000 – 1.000.000 psi) Asphalt treated base (E = 350.000 – 1.000.000 psi)

Bituminous stabilized mixtures (E = 40.000 – 300.000 psi) Lime stabilized (E = 20.000 – 70.000 psi)

Unbound granular materials (E = 15.000 – 45.000 psi)

Fine grained/Natural subgrade materials (E = 3.000 – 40.000 psi)

0 – 1 0 – 1 0 – 1 0 – 1 1 – 3 1 – 3 2 – 3

Tabel 3.6. Loss of Support Factors (LS), (AASHTO ’93 hal II-27)

Pendekatan nilai modulus reaksi tanah dasar (k) dapat menggunakan hubungan nilai CBR dengan k seperti yang ditunjukkan gambar 3.5. dibawah ini. Diambil dari Highway Engineering (Teknik Jalan Raya), Clarkson H Oglesby, R. Gary Hicks, Stanford University & Oregon State University, 1996.


(72)

III.3.4. Material Konstruksi Perkerasan

Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut :

a. Pelat beton

Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2  Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm), fc’ = 350 kg/cm2

(disarankan) b. Wet lean concrete

Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm), fc’ = 105 kg/cm2

Sc’ digunakan untuk penentuan parameter flexural strength dan

fc’digunakan untuk penentuan parameter modulus elastis beton (Ec).

III.3.5. Reliability

Realibility maksudnya adalah probabilitas perkerasan yang direncanakan

akan tetap memuaskan selama masa layanannya.

Penetapan angka Reliability dari 50 % - 99.9 % menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi terjadinya selisih (deviasi) desain. Besaran-besaran yang dipakai adalah :

• Peramalan kinerja perkerasan

Kinerja perkerasan diramalkan pada angka desain Terminal

Serviceability pt = 2.5 (jalan raya utama), pt = 2.0 (jalan lalu lintas

rendah) dan Initial Serviceability po = 4.5 (angka ini bergerak dari 0 –


(73)

• Peramalan lalu lintas

Dilakukan dengan studi tersendiri, bukan hanya didasarkan rumus empirik. Tingkat kehandalan jauh lebih baik dibandingkan bila dilakukan secara empirik, linear atau data skunder.

• Perkiraan tekanan gandar

Perkiraan tekanan gandar yang diperoleh secara primer dari WIM

Survey, tingkat kehandalannya jauh lebih baik dibanding menggunakan

data sekunder.

• Pelaksanaan konstruksi

Dalam pelaksanaan konstruksi, spesifikasi sudah membatasi/syarat agar perkerasan sesuai (atau lebih) dari apa yang diminta desain. Bahkan desain merupakan syarat minimum dalam spesifikasi.

Keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu jaminan pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang.

Klasifikasi Jalan Reliability, R (%)

Urban Rural

Jalan tol Arteri Kolektor

Lokal

85 – 99.9 80 – 99 80 – 95 50 – 80

85 – 99.9 75 – 95 75 – 95 50 – 80

AASHTO ’93 hal II-9.


(1)

Dari gambar 4.2. dan gambar 4.3. terlihat bahwa pada umur rencana (n) = 5 tahun terdapat perbedaan ketebalan dari ketiga metoda, begitu juga dengan umur rencana (n) = 10 tahun. Perbedaan nilai ESAL sangat mempengaruhi kepada ketebalan overlay (cm). Metoda AUSTROADS cenderung memiliki ketebalan yang sama pada setiap nilai ESAL karena pada nomogram hasil yang ditunjukkan selalu dibawah ketebalan yang disarankan ( Tmin = 10 cm ). Metoda AASHTO

menunjukkan perbedaan ketebalan overlay yang variatif karena disebabkan oleh AASHTO dalam perencanaannya lebih banyak menggunakan parameter disain dalam menentukan tebal overlay sehingga hasilnya lebih akurat. Dan Metoda Asphalt Institute, dari hasil perhitungan dan nomogram menunjukkan nilai tebal overlay rata-rata tinggi yaitu > 20 cm untuk setiap desain ESAL. Oleh sebab itu, untuk metoda Asphalt Institute walaupun tebal overlay > 20 cm (mengingat tidak ekonomis / under design) diambil tebal keseragaman yaitu 20 cm.

Dengan demikian dari ketiga metoda diatas, Metoda AASHTO-lah yang lebih akurat dalam menentukan ketebalan lapis tambah (overlay) karena lebih banyak menggunakan parameter-parameter desain perencanaan dibandingkan dengan metoda lain. AASHTO menggunakan pendekatan beban lalu lintas, kondisi perkerasan, CBR – Value, dan lendutan/load transfer. Sedangkan AUSTROADS dan Asphalt Institute hanya menggunakan pendekatan beban lalu lintas dan CBR – Value. Dua faktor perencanaan itu saja tidak cukup dalam penentuan tebal overlay suatu perkerasan, tetapi diperlukan parameter-parameter desain perencanaan yang lebih banyak, yang tepat, akurat dan ekonomis. Hal ini akan mempengaruhi kinerja perkerasan dalam menerima beban lalu lintas nantinya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

1. Pelapisan ulang / lapis tambah (overlay) menjadi suatu cara alternatif dalam peningkatan kinerja perkerasan baik struktural maupun fungsional karena tidak membutuhkan biaya (cost) yang cukup besar. Pelapisan ulang bertujuan untuk mengembalikan kekuatan perkerasan sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pengguna jalan. Salah satunya bahan penambahan tersebut adalah lapisan beraspal (AC).

2. Dalam menentukan tebal overlay yang tepat, akurat dan ekonomis haruslah dipikirkan parameter-parameter perencanaannya, diantaranya adalah beban lalu lintas (CESA), kondisi permukaan perkerasan, CBR-Value, lendutan/load transfer dan sebagainya. Hal ini nantinya akan berpengaruh kepada ketebalan overlay sehingga berdampak kepada kinerja perkerasan itu sendiri.

3. Dari hasil perhitungan CESA, ketiga metoda perencanaan overlay tersebut memberikan perbedaan nilai kumulatif beban lalu lintas rencana yang cukup signifikan. Metoda AUSTROADS menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari metoda AASHTO dan Asphalt Institute. Perbedaan nilai angka ekivalen (E) atau Vehicle Damage Factor (VDF) dari ketiga metoda merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi jumlah kumulatif beban lalu lintas rencana (CESA).

4. Dari perhitungan Tebal Overlay, perbedaan nilai ESAL sangat mempengaruhi kepada ketebalan overlay (cm). Metoda AUSTROADS cenderung memiliki


(3)

ditunjukkan selalu dibawah ketebalan yang disarankan ( Tmin = 10 cm ).

Metoda AASHTO menunjukkan perbedaan ketebalan overlay yang variatif karena disebabkan oleh AASHTO dalam perencanaannya lebih banyak menggunakan parameter disain dalam menentukan tebal overlay sehingga hasilnya lebih akurat. Dan Metoda Asphalt Institute, dari hasil perhitungan dan nomogram menunjukkan nilai tebal overlay rata-rata tinggi yaitu > 20 cm untuk setiap desain ESAL. Oleh sebab itu, untuk metoda Asphalt Institute walaupun tebal overlay > 20 cm (mengingat tidak ekonomis / under-over design) diambil tebal keseragaman yaitu 20 cm.

5. Dengan demikian dari ketiga metoda diatas, Metoda AASHTO-lah yang lebih akurat dalam menentukan ketebalan lapis tambah (overlay) karena lebih banyak menggunakan parameter-parameter desain perencanaan dibandingkan dengan metoda lain. AASHTO menggunakan pendekatan beban lalu lintas, kondisi perkerasan, CBR – Value, dan lendutan/load transfer. Sedangkan AUSTROADS dan Asphalt Institute hanya menggunakan pendekatan beban lalu lintas dan CBR – Value. Dua faktor perencanaan itu saja tidak cukup dalam penentuan tebal overlay suatu perkerasan. Dalam menentukan suatu tebal overlay yang tepat, akurat dan ekonomis diperlukan parameter-parameter desain perencanaan yang lebih banyak, hal ini akan mempengaruhi kinerja perkerasan dalam menerima beban lalu lintas nantinya.


(4)

V.2. SARAN

1. Mengingat desain perkerasan jalan dipengaruhi oleh metoda perencanaan yang digunakan, sebaiknya pemilihan metoda tersebut dijadikan salah satu pertimbangan dalam perencanaan desain perkerasan jalan.

2. Sebaiknya dalam suatu perencanaan suatu perkerasan jalan maupun tebal lapis tambahnya, perlu diperhitungkan temperatur dan iklim. Karena mungkin dalam pelaksanaan konstruksi terdapat perbedaan temperatur dan mungkin itu berpengaruh kepada campuran aspal maupun beton. Struktur perkerasan yang direncanakan tidak harus memiliki respon yang baik terhadap beban lalu lintas tapi juga harus mampu mengantisipasi perubahan temperatur dan iklim, karena berpengaruh terhadap kekuatan bahan yang digunakan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

AUSTROADS, 1992. Pavement Design : A Guide to The Structural Design of Road Pavement. Austroads, Sydney, Australia.

AASHTO, 1986. Guide for Design of Pavement Structures. AASHTO, Washington DC, USA.

AASHTO, 1993. Guide for Design of Pavement Structures. AASHTO, Washington DC, USA.

ASPHALT INSTITUTE, 1983. Asphalt Overlays for Highway and Street Rehabilitation. Manual Series No. 17 ( MS – 17 ). The Asphalt Institute, Kentucky, USA.

Yoder, E. J. 1967. Principles of Pavement Design. Jhon Wiley & Sons, Inc. New York – London – Sydney - Toronto.

NAASRA, 1987. A Guide to the Structural Design of Road Pavements. NAASRA. Australia.

Huang, Y. H, 2004. Pavement Analysis and Design. Second Edition. Pearson Education Inc, New Jearsey.

Croney, D, 1977. The Design and Performance of Road Pavements. Transport and Road Research Laboratory, London.

Oglesby, C. H, & Hicks R. G. Teknik Jalan Raya. Edisi Keempat – Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Sulaksono, S.W, 2000. Rekayasa Jalan. ITB. Bandung.

Affandi, Furqon, Dr. Ir, dkk. 2003. Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen. SNI – 2003.


(6)

Suryawan, Ari. 2005. Perkerasan Jalan Beton (Rigid Pavement). Spesifikasi perencanaan metoda AASHTO ’93. Beta Offset. Yogyakarta.

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM, 2005. Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur dengan Metoda Lendutan. Pd. T – 05 – 2005 – B. Dep. PU, Jakarta.

Kusnianti, Neni, dkk, 2006. Jurnal Jalan – Jembatan. Volume 23 No. 2 Juli 2006. Departemen PU, Jakarta.