Ompu i |76
ini. Dengan pandangan ini maka sahala mengesahkan kewibawaan raja, sehingga raja-raja  bius,  horja  dan  huta  melekat
kepada  Singamangaraja.  Tak  dapat dipungkiri bahwa salah satu yang menjadi masalah dalam masyarakat Batak Toba
adalah  seringnya  terjadi  konflik  wilayah,  baik  huta  ataupun  bius,  sehingga keyakinan kepada raja adalah untuk mengatasi konflik sebagai suatu harapan sosial
yang  bersifat  kolektif.  Dengan  kehadirannya,  maka  mediasi,  solusi  akan  hadir tengah-tengah  masyarakat.  Namun  harapan  tersebut  akan  sirna  seturut  dengan
hilangnya  kepercayaan  kepada  raja  dengan  memandang  tidak  adanya  sahala  di dalam diri seseorang.
Dengan  pandangan  ini,  saya  tidak  sepakat  dengan  beberapa  pandangan Ulber Silalahi. Pertama, pandangannya mengenai pemisahan antara sahala dengan
kepemimpinan  kharismatik  yang  menyatakan  munculnya  kharisma  melalui sahala.
60
Pandangannya  ini  muncul  untuk  membedakan  persona  atau  pribadi sebagai suatu karakterisik dengan manifestasi roh sahala. Dalam pandangan ini,
Silalahi  justru  terjebak  di  dalam  kerancuan  dan  ambiguitas  dualisme  pandangan akibat  menafsir  dari  fenomenologi  yang  dibangunnya.  Bagi  saya,  sahala  adalah
kharisma itu sendiri, di mana masyarakat Batak Toba tradisional hanya meyakini kesaktian  yang  ada  di  personal  sebagai  inkarnasi  dari  Batara  Guru,  tanpa
memandang  personal  karakter.  Artinya,  sahala  adalah  roh  tondi  yang  menjadi manusia  yang  juga  akan  menentukan  karakter  personal.  Kedua,  pandangannya
mengenai  kekuasaan  tradisional  dengan  rasional,  di  mana  yang  tradisional
60
Lih.  Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 505.
Ompu i |77
mendahului  yang  rasional.
61
Pandangannya  ini,  selayaknya  Max  Weber menafsirkannya,  juga  akan  menimbulkan  kerancuan.  Padahal  di  dalam
pengertiannya Singamangaraja, seperti dalam pandangan masyarakat Batak Toba tradisional,  justru  menjadi  pondasi  atau  konstruksi  Singa  dari  kekuasaan  yang
rasional,  dalam  hal  ini  bersandar  kepada  patik  larangan  dan  uhum  hukum. Keduanya menjadi satu di dalam diri Raja Singamangaraja.
Pandangan-pandangan  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  kedudukan  Raja Singamangaraja dapat disejajarkan dengan kedudukan Tuhan yang memiliki kuasa
untuk  mendatangkan  kemuliaan,  kemakmuran  dan  kesejahteraan  hasangapon, hamoraon  dan  hagabeon  atau  berimplikasi  kepada  kehidupan  masyarakat.  Dari
pandangan inilah kedudukan dari gelar Ompu i diberikan kepada Singamangaraja yang  menurut  Sitor  Situmorang  dapat  diartikan  sebagai  adanya  kolektivitas  para
leluhur di dalam diri Singamangaraja baca: Dewa.
62
E.  Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Batak Toba tradisional telah diatur di dalam tatanan hukum sekuler dan religi. Melalui Pustaha Laklak atau yang disebut Surat Agong
dan Pustaha Tumbaga, kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki kedaulatannya. Kedua Pustaha ini tidak dapat dipisahkan, melainkan saling melengkapi. Hadirnya
61
Pandangan ini sesuai dengan pernyataannya yang mengatakan: “kekuasaan tradisional dan  kekuasaan  kharismatik  adalah  landasan  dari  organisasi  birokrasi  pemerintahan  tradisional
masyarakat Toba, sedangkan kekuasaan legal-rasional adalah landasan dari birokrasi. Adatpatik dohot  uhum  yang  menjadi  milik  rajamerupakan  kekuasaan  legal-
rasional…”  Lih.  Dr.  Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 507.
62
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 63.
Ompu i |78
Dinasti  Singamangaraja  sebagai  perwujudan  dari  dua  pustaha  ini.  Ia  tidak  hanya dipandang  sebagai  pemimpin  di  dalam  bidang  sekuler  dalam  bentuk  birokrasi,
melainkan menjadi pemimpin religius sebagai inkarnasi dari Batara Guru. Gelar  Ompu  i  berada  di  dalam  kedudukan  ini.  Sebagai  gelar  yang  dimiliki
Singamangaraja, gelar tersebut menjadi penghormatan tertinggi bagi raja, di mana Tuhan hadir kepadanya. Tugas-tugas yang dilakukan sebagai Raja Singamangaraja
meliputi urusan sekuler, yakni sosial, ekonomi, hukum, politik, dll; dan juga urusan religi.  Untuk  urusan  religi  ini,  dengan  sahalanya,  Singamangaraja  menjadi
perantara  antara  manusia  dengan  Mula  Jadi  Na Bolon,  sehingga  ia  memanjatkan doa kepada Mula Jadi Na Bolon dan masyarakat berdoa kepadanya. Tanpa disadari
dengan  kedua  bidang  ini  kekuasaan  Singamangaraja  selayaknya  menjadi  suatu dinasti kerajaan yang justru tidak diamati oleh peneliti-peneliti dari luar, misalnya
Anthony Reid yang hanya memandang kesatuan masyarakat Batak dari keterikatan klan atau marga.
63
Kedua urusan diatas, sekuler dan religi, tidak dapat dipisahkan atau dibagi, namun menjadi kesatuan antara kehidupan beragama dan sosial. Hal ini juga yang
dikatakan  oleh  misionaris,  Johannes  Warneck  setelah  melihat  kehidupan  sosial beragama  masyarakat  Batak  tradisional.
64
Singamangaraja  menjadi  raja  yang dihormati di segala aspek. Dari tingkat huta hingga bius, Singamangaraja tetap di
yakini menjadi pemersatu bagi masyarakat Batak Toba tradisional. Walaupun pada
63
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hl. 23.
64
Joh.  Warneck,  The  Living  Forces  of  The  Gospel:  Experiences  of  A  Missionary  In Animistic Heathendom London: Oliphant, Anderson  Ferrier, 1867, hl. 30.
Ompu i |79
kenyataannya  ada  beberapa  bius  yang  tidak  mau  meyakininya,  namun  pengaruh Singamangaraja  sangatlah  besar  bagi  perkembangan  masyarakat  Batak.  Hal  ini
tidak  lepas  dari  pengaruh  kelompok  Parbaringin  yang  bergerak  dibidang keagamaan  dan  selalu  aktif  dalam  mempersatukan  masyarakat  Batak  Toba,  serta
mendukung eksistensi Raja Singamangaraja. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i
|80
BAB III WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
Setelah menjabarkan mengenai struktur sosial masyarakat Batak tradisional yang  mengakui  kepemimpinan  Raja  Singamangaraja,  maka  dalam  bab  ini  akan
dipaparkan  dan  dijelaskan  mengenai  konstruk  yang  dilakukan  RMG  dengan mempertimbangkan aturan-aturan dan praktik-praktik dalam reproduksi kekuasaan,
sehingga gelar Ompu i dapat dikenakan kepada Nommensen. Dalam  bab  ini  akan  saya  bagi  menjadi  tiga  bagian,  yakni  latar  belakang
RMG  selaku  badan  zending  asal  Eropa  yang  memiliki  pemahaman  yang  sama dengan  pemerintahan  kolonialisme  yang  dilakukan  bangsa-bangsa  Eropa  pada
umumnya. Hal ini terlihat dengan adanya pendekatan dan strategi yang dilakukan RMG di Tanah Batak yang saya tulis di bagian selanjutnya. Untuk bagian terakhir
saya akan memaparkan dan menjelaskan mengenai konstruk RMG sendiri sebagai suatu  misi  pengadaban  untuk  menciptakan  komunitas  baru  menggantikan
komunitas tradisional,  yakni  kerajaan  Kekristenan,  yang kemudian menampilkan Nommensen sebagai pemimpin atau Ompu i.
Ompu i
|81
A. Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme
1. Wacana Kolonial dan Peran Institusi Agama
Pada abad ke-18, kolonialisme dan zending tidak dapat dipisahkan. Namun wacana  ini  justru  muncul  jauh  sebelum  abad  tersebut,  yakni  tepatnya  pada  akhir
abad ke-15.  Hal  ini ditunjukkan dengan tampilnya kekuatan  negara-negara Barat baca:  Eropa  dalam  mengekspansi  Asia  dan  Afrika  dengan  melibatkan  zending.
Dalam ekspansi tersebut terdapat agresi misi mission yang melibatkan institusi- institusi agama dalam bekerjasama dengan pihak kolonial setelah melihat adanya
peradaban-peradaban  yang  bagi  mereka  tradisional  atau  kuno,  disamping  adanya agresi politik sebagai bentuk penghilangan kekuasaan atas raja-raja, agresi ekonomi
di  dalam  menjaga  keseimbangan  organisasi  dengan  menghilangkan  cara-cara tradisional,  agresi  sosial  dengan  mengganggu  tatanan  kearifan  lokal  yang
berhubungan  dengan  nilai-nilai  kekeluargaan  maupun  bermasyarakat,  agresi intelektual  yang  dilakukan  untuk  menciptakan  kekuatan  dari  negara  dengan
mengandalkan pendidikan.
1
Menurut  Stephen  Neill,  adanya  pengaruh  misi  atau  zending  di  dalam kolonialisme  ini  tidak  dapat  dilepaskan  dari  kemajuan  peradaban  Barat  yang
diyakini berasal dari faktor agama, dalam hal ini Kekristenan, sehingga pengaruh gereja  terhadap  peradaban  negara-negara  Barat  sangatlah  besar  dan  menyeluruh.
Hal  ini  didasarkan  atas  hampir  seluruh  peristiwa  sejarah  pada  abad  pertengahan
1
Stephen  Neill,  Colonialism  and  Christian  Missions  London:  Mcgraw-Hill  Book Company, 1966, hl. 12.