Analisis. Bab ini menjadi ruang untuk analisa atas data yang digunakan Kesimpulan. Akhirnya dalam bab terakhir ini saya akan berusaha
Ompu i |34
Ketiga, gelar ompu i digunakan kepada raja, baik dari tingkat huta hingga
bius. Misalnya Ompu Hatobung yang merupakan raja dari Bius Pansurnapitu, dsb. Bagi masyarakat Batak, raja mendapatkan tempat kehormatan, sehingga setiap yang
dilakukan raja selalu diikuti oleh masyarakatnya, dikarenakan raja sebagai sumber atau pelaksana adat dan budaya yang harus diikuti oleh pengikutnya. Hal ini terlihat
dari umpasa pantun yang menerangkan posisi penting raja yang harus dijunjung tinggi dan diikuti.
Ompu raja di Jolo, Martungkot Sialagundi Pinungka ni ompunta parjolo, Siihuthonon ni na di pudi
Terjemahannya
Ompu raja di depan, Bertongkatkan Pohon Sialagundi Dibuka pertama oleh Ompu kita, akan diikuti dibelakang
Namun dari raja-raja bius yang menggunakan gelar ompu i, maka raja yang paling terkenal yang mendapat gelar tersebut adalah Singamangaraja.
4
Hal ini terlihat dari lagu “Tampollong Ma Disi” Ansideng Ansinonding yang dinyanyikan
masyarakat sekitar pemukiman Singamangaraja di Bangkara pasca terbunuhnya Raja Singamangaraja XII
5
, dan juga masih banyak lagi bukti-bukti lainnya yang menyebut Singamangaraja dengan sebutan Ompu i.
Gelar Ompu i yang digunakan oleh Singamangaraja sangatlah berbeda dengan raja pada umumnya atau seperti yang dikatakan Sidjabat dengan
4
Raja Singamangaraja adalah raja yang wilayah kekuasaannya tidak hanya di wilayah Toba, melainkan hingga Sumatera Utara. Hal ini terlihat dari jejak-jejak yang ditinggalkannya.
Semasa hidupnya, ia aktif melawan permerintahan kolonial Belanda, sehingga atas jasanya tersebut, ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia melalui Surat Keputusan
Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.
5
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hl. 16.
Ompu i |35
pembedaannya yang melihat dengan huruf “o” kecil dan “O” besar antara ompu i dengan Ompu i.
6
Hal ini dikarenakan kedudukan Singamangaraja yang mendapatkan tempat istimewa ditengah-tengah masyarakat.
Kedudukan raja di dalam Singamangaraja bukan hanya jabatan sekuler, namun lebih dari pada itu sebagai pemimpin spiritual rohani.
7
Bahkan saya melihat bahwa pada awalnya gelar Ompu i ini justru digunakan untuk penyembahan
atau religiusitas yang kemudian menjadi menyatu dengan jabatan struktural sekuler, yakni raja. Hal ini juga ditegaskan oleh PH O.L. Tobing 1963 yang
melihat bahwa gelar Ompu i berhubungan dengan penyembahan dalam religiositas,
8
sehingga pemberian gelar ompu i kepada Raja Singamangaraja disebabkan adanya keyakinan bahwa Raja Singamangaraja merupakan titisan
Debata atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai “Debata Na Tarida” Tuhan
yang terlihat, dalam pengertian religi masyarakat tradisional Batak, yang dalam umpasa dikatakan: “Singamangaraja, Debata Na Tarida, sombaon na binoto”,
artinya “Singamangaraja adalah Tuhan yang terlihat, roh suci yang dapat diketahui”.
9
Melihat ketiga fungsi pemakaian gelar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gelar ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada sesuatu yang
dianggap paling dihormati, dihargai dan mendapatkan tempat yang paling tinggi
6
Lih. Ibid., hl. 431.
7
N. Siahaan B.A., Sedjarah Kebudajaan Batak: Suatu Studi Tentang Suku Batak Toba- Angkola-Mandailing-Simelengun-Pakpak Dairi-Karo Medan: C.V. Napitupulu Sons, 1964,
hl.30
8
Ibid., hl. 42
9
Sering kesalahan arti terjadi di dalam mendefinisikan antara leluhur dengan Tuhan. Dalam pandangan religi masyarakat Batak Toba tradisional, para leluhur Ompu juga dikenakan kepada
DewaTuhan. Hal ini disebabkan karena dahulu dalam masyarakat Batak tradisional, tidak ada pemisahan antara realitas kenyataan dengan sesuatu yang metafisik mahluk kayangan.