Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Ktivitas Enzim Delta Aminolevulinic Acid Dehydratase (o-ALAD, Kadar Hemoglobin Dan Basophilic Stippling Pada Mencit Yang Dipapar Plumbum

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C

TERHADAP AKTIVITAS ENZIM DELTA AMINOLEVULINIC

ACID DEHYDRATASE (

h

-ALAD), KADAR HEMOGLOBIN DAN

BASOPHILIC STIPPLING PADA MENCIT

YANG DIPAPAR PLUMBUM

TESIS

Oleh

NELMA

067008008/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C

TERHADAP AKTIVITAS ENZIM DELTA AMINOLEVULINIC

ACID DEHYDRATASE (

h

-ALAD), KADAR HEMOGLOBIN DAN

BASOPHILIC STIPPLING PADA MENCIT

YANG DIPAPAR PLUMBUM

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Ilmu Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NELMA

067008008/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP

AKTIVITAS ENZIM h AMINOLEVULINIC ACID

DEHYDRATASE, KADAR HEMOGLOBIN DAN BASOPHILIC STIPPLING PADA MENCIT YANG DIPAPAPAR PLUMBUM

Nama Mahasiswa : Nelma

Nomor Pokok : 067008008

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ramlan Silaban, M.Si) (Prof.dr.Azmi S.Kar,SpPD KHOM) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 25 Agustus 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ramlan Silaban, M.Si

Anggota : 1. Prof.dr.Azmi S.Kar,SpPD.KHOM 2. dr. T.Azhar Djohan, SpPK


(5)

ABSTRAK

Plumbum dalam darah pada kadar tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan, Plumbum berkemampuan berikatan dalam gugus–SH dalam molekul protein dan menyebabkan hambatan sintesis Hemoglobin dengan menghambat konversi h aminolevulinic asid menjadi forfobilinogen dan juga menghambat

korporasi dari Fe kedalam proforfirin IX untuk membentuk hemoglobin. Untuk mengatasi permasalahan keracunan Plumbum dapat dilakukan terapi dengan pemberian antioksidan yaitu untuk mengatasi radikal bebas yang disebabkan oleh plumbum. Salah satu antioksidan yang dapat diberikan adalah vitamin c yaitu merupakan antioksidan pemutus rantai akan memutus rantai reaksi menjadi senyawa non radikal atau radikal yang lebih stabil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana efek pemberian vitamin c secara oral selama 1 minggu terhadap aktivitas enzim hamino leuvelenic acid dehydratase, kadar hemoglobin dan basophilic stippling pada mencit percobaan.

Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan rancangan acak lengkap (RAL). Jumlah sample terdiri dari 32 ekor mencit jantan (Mus musculus L) yang dibagi ke dalam 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 7 ekor mencit. Pemeriksaan hemoglobin dilakukan dengan metoda cyanmethemoglobin, aktivitas enzim hALAD dilakukan dengan pemeriksaan Wigfield and Farant dan basophilic stipling dihitung pada hapusan darah yang diwarnai dengan Giemsa. Pengolahan data dilakukan dengan analisis uji Anova dan Kruskall Wallis serta Mann- Whitney.

Hasil dari uji Anova didapatkan bahwa pemberian plumbum dapat menurunkan aktifitas enzim h alad pada kelompok perlakuan (p= 0.010), Namun pada kelompok mencit yang diberikan Plumbum + vitamin c 1000mg/oral/kgBB ternyata dapat meningkatkan aktifitas enzim hALAD (p= 0.077). Ditemukan basophilic stippling pada mencit yang di beri Pb 20mg/kgBB, dan terjadi penurunan jumlah basophilic stipling pada mencit yang diberi vitamin c (p= 0,001)

Hasil dari uji Anova pemberian vitamin c 1000mg/kgBB secara oral selama 7 hari dapat meningkatkan enzim h Amino leuvelenic acid dehydratase dan uji Mann- Whitney menurunkan jumlah basophilic stippling pada hewan coba.

Kata kunci : Plumbum, enzim h Amino Leuvelenic Acid Dehydratase, Kadar Hemoglobin. Basophilic stippling, Vitamin c


(6)

ABSTRACT

Lead in the blood at high concentrations can cause health problems such as binding the SH group in globin molecules which disrupts Hemoglobin synthesis, The conversion of h Aminoleuvilinic acid (hALAD) to phorphobilinogen is disrupted as well as the in corporation of Fe into phorphirin IX to form the Hemoglobin. Antioxidant teraphy is used to treat lead poisoning because lead causes free radical production. An antioxidant that can be given is Vitamin C breaks down the free radical molecule a non-radical form or to a more stable radical. The present was carnet out to find out the of adsministration effect oral Vitamin C for a week, an the activity of h Amino leuvelenic acid dehydratase, the hemoglobin concentration and total basophilic stippling observed in the experimental mice.

This research was conducted with randomised groups of male mice (Mus musculus

L). The mice were divided into 5 groups of 7 mice each. The hemoglobin

concentration was determined using the cyanmethemoglobin method. The activity of the h ALAD was measured according to the method of Wigfield and Farant The basophilic stippling was counted on blood smear dyed with Giemsa. The data was analysed with Anova then Kruskal Walis and Mann- Whitney tests.

The results of the Anova test showed that lead decreased the h ALAD activity in the treatment group (p=0,010). However, in the group which was given lead + Vitamin C at a dose of 1000mg/kg, the activity hALAD increased (p=0,077). Basophilic Stippling was found in all treatment groups (lead dose of 20 mg/kg) but there was a significant decrease observed in the group reserving 1000mg/kg Vitamin C (p=0,001).

The conclusions of this study are Vitamin C 1000mg/kg for seven days increases the h Aminoleuvelenic acid dehydratase activity and decreases the basophilic stippling in the experimental animals.

Key Words :Lead, hAminoleuvelenic acid dehydratase, Hb concentration, Basophilic Stippling, Ascorbic acid.


(7)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Nelma

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 4 Nopember 1962

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Karya Mesjid Gg.Padi No.10 Medan

6. Telp/HP : (061)6625353/085296238500

7. Pendidikan :

SD Negeri No 32 : 1969 - 1975

SMP Negeri 1 Medan : 1975 - 1979

SMAK Depkes Medan : 1979 – 1982

AAK Depkes Bandung : 1992 – 1995

Sarjana (S1) Fakultas Biologi UMA : 1995 – 1999

Pascasarjana (S2) Biomedik SPS USU : 2006 - 2008

8. Riwayat Pekerjaan :

Staf Pengajar Tetap di :

SMAK Depkes Medan : 1984 – 1996


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Teori... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Hipotesis... 7

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1Plumbum (Pb) ... 8

2.2Biosintesis Haemoglobin ... 13


(9)

2.4Oksidan ... 16

2.5Antioksidan ... 18

2.6Dampak Oksidan Terhadap Tubuh ... 19

2.7Vitamin C ... 22

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 24

3.1Desain Penelitian... 24

3.2Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.3Populasi Penelitian ... 24

3.4Variabel Penelitian ... 24

3.5Bahan ... 25

3.6Alat ... 25

3.7Pelaksanaan Penelitian ... 25

3.8Prosedur Pemeriksaan ... 27

3.9Analisa Data ... 31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1Pengaruh Perlakuan terhadap Aktivitas Enzim hALAD... 32

4.2Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hemoglobin ... 38

4.3Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Basophilic Stippling... 43

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1Kesimpulan ... 48

5.2Saran... 49


(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal 1. Data Penelitian Enzim hALAD pada Kelompok Kontrol dan Berbagai

Kelompok Perlakuan (n=32) ... 32

2. Distribusi Rata-rata Aktivitas Enzim hALAD terhadap Kelompok Kontrol

dan Berbagai Kelompok Perlakuan (n=32)... 33

3. Hasil Uji LSD Aktivitas Enzim hALAD pada Kelompok Perlakuan

(n=32)... 34

4. Data Penelitian Kadar Hemoglobin pada Kelompok Kontrol dan Berbagai

Kelompok Perlakuan (n=32) ... 39

5. Distribusi Rata-rata Kadar Hemoglobin pada Kelompok Kontrol

dan Berbagai Kelompok Perlakuan (n=32)... 39

6. Distribusi Basophilic Stippling pada Kelompok Perlakuan (n=32)... 43

7. Hasil Kruskal Walis Basophilic Stippling pada Kelompok Perlakuan

(n=32)... 44

8. Hasil Uji Mann-Whitney Basophilic Stippling pada Kelompok Perlakuan


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal 1. Bagan Kerangka Teori ... 6

2. Efek Paparan Pb pada Haemopoeitik Stem Cell ... 12

3. Siklus Heme ... 15

4. Perbandingan Aktivitas Enzim hALAD pada Seluruh Kelompok Percobaan .... 35 5. Perbandingan Kadar Hemoglobin Kontrol dan Perlakuan... 40


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal 1. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan . 53

2. Pernyataan Melakukan Penelitian dari Kepala Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan ... 54


(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Timbal disebut juga Pb, merupakan logam berat yang terdapat di dalam kerak

bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alamiah. Apabila Pb

terhirup atau tertelan oleh manusia maka di dalam tubuh, akan beredar mengikuti

aliran darah, diserap kembali di dalam ginjal dan disimpan di dalam tulang dan gigi.

Manusia menyerap plumbum melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu

penyebab kehadiran plumbum adalah pencemaran udara, yaitu akibat kegiatan

transportasi darat yang menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO3, NOx,

hidrokarbon, SO2, dan tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah hitam

(timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar (Palar, 1994).

Dalam air minum, Pb dapat berasal dari kontaminasi pipa, solder dan kran air atau

air sungai yang terkontaminasi oleh Pb. Dalam makanan, Pb berasal dari kontaminasi

kaleng makanan dan minuman yang bertimbal. Pb adalah jenis logam yang bersifat

racun bagi tubuh manusia. Absorpsi Pb dapat melewati saluran pernafasan,

pencernaan dan permukaan kulit (Ardyanto, 2005). Organ tubuh manusia yang

dipengaruhi Pb yaitu sistem saraf pusat dan tepi, juga berbagai sistem lain termasuk

ginjal, gastrointestinal, reproduksi, endokrin, haemopoetik, serta kardiovaskular.


(14)

Sel-sel darah merah merupakan suatu bentuk kompleks khelat yang dibentuk oleh

logam Fe (besi) dengan gugus haem dan globin sintesa dari kompleks tersebut

melibatkan 2 enzim, yaitu enzim ALAD (Amino Levulinic Acid Dehidrase) atau

asam amino levulinat dehidrase dan enzim ferrokhelatase. Enzim ALAD adalah

enzim jenis sitoplasma. Enzim ini akan bereaksi secara aktif pada tahap awal sintesa

dan selama sirkulasi sel darah merah berlangsung. Sistim haematopoetik sangat peka

terhadap efek Pb. Efek hematoksisitas Pb adalah menghambat sebagian besar enzim

yang berperan dalam biosintesa heme. Diantara enzim yang terlibat dalam

pembentukan heme adalah enzim aminolevulinic acid dehydrogenase (ALAD) dan

ferrochelatase termasuk enzim yang paling rentan terhadap efek penghambatan Pb.

Sedangkan enzim 伊aminolevulinic acid synthetase (ALAS) uroporphyrinogen decarboxylase (UROD) dan coproporphyri nogen oxidase (COPROD) tidak begitu

peka terhadap penghambatan Pb (Goldstein and Kipen, 1994).

Inhibisi pada ALAD berhubungan dengan konsentrasi Pb dalam darah. Hampir

50% aktivitas enzim ini dihambat pada kadar Pb darah 15 g/dL. Efek yang paling

berperan adalah hambatan pada reaksi enzimatik terakhir dalam sintetis heme, dimana

ferrochelatase mengkatalisis penggabungan besi ferro ke dalam cincin heme. Inhibisi

pada ferrochelatase mengakibatkan akumulasi free erythrosyt protoporpyrin (FEP)

atau zinc protoporphyrin (ZPP) dan coproporphiryn dalam urine (Child, 1990)

Selain melalui inhibisi pada sintesis heme, anemia yang terjadi pada keracunan Pb

juga disebabkan adanya destruksi eritrosit atau dikenal dengan anemia hemolitik.


(15)

hidup eritrosit. Patogenesis terjadinya hemolisis pada keracunan Pb diperkirakan

berhubungan dengan inhibisi pada pyrimidine–5’ nucleotidase. Defisiensi enzim ini

secara herediter ditandai dengan basophilic stippling pada eritrosit, hemolisis kronik,

dan akumulasi nukleotida pirimidin di intra eritrosit. Nukleotida pirimidin ini

berkompetensi dengan nukleotida adenin pada sisi aktif kinase pada glycolitic

pathway yang mengubah stabilitas membran sel darah merah. Defisiensi enzim yang

disebabkan oleh Pb dan penemuan klinis yang ditemukan sama dengan kelainan

herediter karena defisiensi enzim pyrimidine–5’nucleotidase, oleh karenanya

keracunan Pb yang berat dihubungkan dengan penyakit herediter ini.(Palar, 1994)

Penelitian tentang efek plumbum terhadap aktivitas enzim h ALAD pada hewan percobaan telah banyak dilakukan. Pemberian Pb selama 14 hari pada tikus albino

menyebabkan penurunan aktivitas enzim h ALAD secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (Hasan and Seth, 1981). Penelitian pada rattus norvegicus dengan

pemberian 0,5 g/kg/BB/oral/hari/tikus selama 16 minggu mengakibatkan peningkatan

aktivitas enzim h ALAD dan anemia (Hariono, 2008). Keracunan Pb dapat menyebabkan terjadinya anemi akibat penurunan sintesis globin walaupun tak tampak

adanya penurunan kadar zat besi dalam serum dan terjadi anemi ringan disertai

dengan sedikit peningkatan kadar Amino Levulinic Acid di urin (Sudarmaji et al.,

2006).

Untuk mengatasi permasalahan keracunan logam berat termasuk Pb dapat

dilakukan terapi dengan pemberian antioksidan yaitu untuk mengatasi radikal bebas


(16)

C yaitu merupakan antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidans) akan

memutus rantai reaksi menjadi senyawa non radikal atau radikal yang lebih stabil.

Vitamin C senyawa alami yang dengan mengikat zat-zat radikal seperti superoksida

dismutase dan radikal hidroksil, juga bereaksi langsung dengan hidrogen peroksida,

oleh karena itu mencegah berbagai radikal bebas bersifat toksik yang menyebabkan

oksidasi (Gajawat et al., 2006). Banyak penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa Vitamin C sangat bermanfaat dan pengobatan penyakit antara

lain: menurunkan tekanan darah dan kolesterol, mencegah terjadinya resiko

terjadinya serangan jantung, bekerja sebagai antioksidan, melindungi sistim immun

dalam melawan virus (Klenner, 1997)

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti menganggap perlu

melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian suplementasi viatamin C

terhadap enzim h ALAD (Aminolevulinic Acid Dehydrogenase), Kadar Hemoglobin Dan Basophilic Stippling pada tikus yang terpapar dengan Pb.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah pemberian vitamin C secara oral dapat menghambat penurunan aktivitas

enzim h ALAD (Amino Levulinic Acid Dehydrogenase), Kadar Hemoglobin dan terjadinya Basophilic Stippling pada mencit yang dipaparkan plumbum.


(17)

1.3. Kerangka Teori

Plumbum dapat merangsang aktivitas enzim delta aminolevulinic acid syntetase

(ALAS) dalam mitokondria, dan dapat menghambat aktivitas enzim h ALAD dalam sitoplasma(WHO, 1977).

Gangguan sintesis heme pada manusia ditunjukkan dengan peningkatan kadar

prekusor heme yang tidak normal dalam darah dan urin. Penghambatan enzim h ALAD dibuktikan dengan akumulasi h ALA dan eritrosit protoporfirin dalam darah dan urin. Terjadinya peningkatan ekskresi h ALA dalam urin, menunjukkan bahwa terjadi penurunan h ALA, yang disebabkan oleh penghambatan aktivitas enzim h ALAD (WHO, 1977). Keracunan plumbum menyebabkan protobilinogen (PBG),

dan uroporfirin meningkat dalam darah. Besi non-heme seperti ferritin diakumulasi

dalam eritrosit (Scinicariello et al., 2007)

Pemberian antioksidan diharapkan dapat mengatasi radikal bebas yang

disebabkan oleh Pb. Salah satu antioksidan yang dapat diberikan adalah vitamin C

yaitu merupakan antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidans) akan

memutus rantai reaksi menjadi senyawa non radikal atau radikal yang lebih stabil.

Vitamin C senyawa alami yang dengan mengikat zat-zat radikal seperti superoksida

dismutase dan radikal hidroksil, juga bereaksi langsung dengan hidrogen peroksida,

oleh karena itu mencegah berbagai radikal bebas bersifat toksik yang menyebabkan

oksidasi.


(18)

KERANGKA TEORI

PEMBERIAN

PLUMBUM

Sistem Hemopoetik Menghambat

Enzim Dalad

- Enzim Dalad

-Hemoglobin -Bashopilic Stipling

Anemia

Pemberian Vitamin c

Gambar 1. Bagan Kerangka Teori

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efek pemberian Vitamin C secara oral terhadap kadar enzim h ALAD (Amino Levulinic Acid Dehydrase), Kadar Hemoglobin dan Basophilic

Stippling akibat paparan plumbum.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberian Vitamin C dengan dosis

tertentu terhadap kadar enzim h ALAD pada darah yang dipaparkan dengan Plumbum.


(19)

b. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberian Vitamin C terhadap kadar

hemoglobin dan basophilic stippling pada darah yang dipaparkan dengan Plumbum

1.5. Hipotesis

Pemberian suplemen Vitamin C secara oral dapat menghambat penurunan

aktivitas enzim h ALAD, kadar hemoglobin dan terbentuknya basophilic stippling pada darah yang dipaparkan Plumbum.

1.6. Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi tentang penggunaan vitamin c sebagai antioksidan

khususnya terhadap pengaruh plumbum

b. Informasi tambahan untuk dunia pendidikan khususnya bidang kesehatan

c. Dasar penyuluhan/konseling untuk mencegah timbulnya anemi kronis oleh

plumbum

d. Penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya tentang

pengaruh Pb pada manusia.

e. Pemeriksaan basophilic stippling dapat digunakan untuk membantu diagnosa


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Plumbum (Pb)

2.1.1. Sifat Fisika dan Kimia Plumbum

Plumbum biasa juga disebut timbal atau Timah Hitam dalam susunan berkala merupakan logam berat yang terdapat secara alami dan tersebar kealam dalam jumlah

kecil melalui proses alami. Apabila timbal terhirup atau tertelan oleh manusia,

didalam tubuh akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali didalam ginjal,

dan disimpan dalam tulang dan gigi. Manusia menyerap timbal melalui udara, debu,

air dan makanan (Bartik, 1981)

Timbal (Pb) adalah logam berat, dengan nomor atom 82, berat atom 207,19 dan

berat jenis 11,34, bersifat lunak dan berwarna biru keabu-abuan dengan kilau logam

yang khas sesaat setelah dipotong. Kilaunya akan segera hilang sejalan dengan

pembentukan lapisan oksida pada permukaannya, mempunyai titik leleh 327,50C dan

titik didih 17400C. (Palar,1994)

Lebih dari 95 % timbal bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam

timbal anorganik, kurang larut dalam air, selebihnya dalam bentuk timbal organik.

Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa tetraethyllead (TEL) dan

tetramethyllead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat


(21)

2.1.2. Keracunan Plumbum

Ukuran keracunan suatu zat ditemukan oleh kadar dan lamanya paparan.

Keracunan dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan yang

disebabkan oleh Pb dalam tubuh mempengaruhi berbagai jaringan dan organ tubuh.

Organ-organ tubuh yang menjadi sasaran dari keracunan timbal adalah sistem

peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan

jantung.(WHO,1977)

Pada orang dewasa kadar Pb darah 10 µg/dl, akan mempengaruhi perkembangan

sel darah, kadar Pb darah 40µg/dl akan mempengaruhi beberapa fungsi dari

kemampuan darah untuk membentuk hemoglobin, gangguan system syaraf

menyebabkan kelelahan, irritability, kehilangan ingatan dan reaksi lambat. Pada

ginjal menyebabkan penyakit ginjal yang kronis dan gagal ginjal. Pada sistem

reproduksi mengakibatkan berkurangnya jumlah sperma dan meningkatnya jumlah

sperma yang abnormal. Jumlah yang sangat tinggi pada wanita akan mengakibatkan

keguguran. Tingginya level Pb didarah juga meningkatkan tekanan darah (Shannon,

1998).

2.1.3. Metabolisme Plumbum

Paparan Pb dapat berasal dari makanan, minuman, udara, lingkungan umum, dan

lingkungan kerja yang tercemar Pb. Paparan non okupasional biasanya melalui

tertelannya makanan dan minuman yang tercemar Pb. Paparan okupasional melalui


(22)

Masukan Pb 100 hingga 350 g/hari dan 20 g diabsorbsi melalui inhalasi uap Pb

dan partikel dari udara lingkungan kota yang polutif. Timah hitam dan senyawanya

masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan,

sedangkan absorpsi melalui kulit sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Bahaya yang

ditimbulkan oleh Pb tergantung oleh ukuran partikelnya. Partikel yang lebih kecil dari

10 g dapat tertahan di paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar mengendap di

saluran nafas bagian atas (Ardyanto,2005)

Absorpsi Pb melalui saluran pernafasan dipengaruhi oleh tiga proses yaitu

deposisi, pembersihan mukosiliar, dan pembersihan alveolar. Deposisi terjadi di

nasofaring, saluran trakeobronkhial, dan alveolus. Deposisi tergantung pada ukuran

partikel Pb, volume pernafasan dan daya larut. Partikel yang lebih besar banyak di

deposit pada saluran pernafasan bagian atas dibanding partikel yang lebih kecil.

Pembersihan mukosiliar membawa partikel di saluran pernafasan bagian atas ke

nasofaring kemudian di telan. Rata-rata 10 – 30% Pb yang terinhalasi diabsorpsi

melalui paru-paru, dan sekitar 5-10% dari yang tertelan diabsorbsi melalui saluran

cerna (Palar,1994)

Fungsi pembersihan alveolar adalah membawa partikel ke ekskalator mukosiliar,

menembus lapisan jaringan paru kemudian menuju kelenjar limfe dan aliran darah.

Sebanyak 30-40% Pb yang di absorpsi melalui seluran pernapasan akan masuk ke

aliran darah. Masuknya Pb ke aliran darah tergantung pada ukuran partikel daya larut,


(23)

2.1.4. Distribusi dan Penyimpanan Plumbum

Plumbum yang diabsorpsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh sebanyak

95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian Pb plasma dalam bentuk yang

dapat berdifusi ke jaringan lunak (sum-sum tulang, sistem saraf, ginjal, hati ) dan

kejaringan keras ( tulang, kuku, rambut, gigi ). Gigi dan tulang panjang mengandung

Pb yang lebih banyak dibandingkan tulang lainnya. Pada gusi dapat terlihat lead line

yaitu berupa pigmen yang berwarna abu-abu pada perbatasan antara gigi dan gusi.

Hal ini merupakan ciri khas dari keracunan Pb. Pada jaringan lunak sebagian Pb

disimpan dalam aorta, hati, ginjal, otak dan kulit (Ardyanto, 2005)

2.1.5. Ekskresi Plumbum

Ekskresi Pb melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal dan

saluran cerna. Ekskresi Pb melalui urine sebanyak 75 – 80%, melalui feces 15% dan

lainnya melalui empedu, keringat, rambut, dan kuku. Ekskresi Pb melalui saluran

cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar

lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi empedu. Sedangkan Proses

eksresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasiglomerulus (Ardyanto,2005)

Kadar Pb dalam urine merupakan cerminan paparan baru sehingga pemeriksaan

Pb urine dipakai untuk paparan okupasional. Pada umumnya ekskresi Pb berjalan

sangat lambat. Waktu paruh Pb didalam darah kurang lebih 25 hari, pada jaringan

lunak 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Ekskresi yang lambat ini

menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada paparan okupasional


(24)

2.1.6. Pengaruh Plumbum pada Sistem Peredaran Darah

Kira-kira 90% Pb yang masuk kedalam sirkulasi darah menuju ke eritrosit, ada

juga yang ke albumin darah, g-globulin dan protein lain. Plumbum mempengaruhi sistem peredaran darah dengan berbagai cara:

a. Dengan memperlambat pematangan normal sel darah merah (eritrosit) dalam

sum-sum tulang, hal ini menyebabkan terjadinya anemia.

b. Mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Sel darah merah yang diberi

perlakuan dengan timbal, memperlihatkan peningkatan tekanan osmosis dan

kelemahan pergerakan. Selain itu juga memperlihatkan penghambatan Na-K-ATP

ase yang meningkatkan kehilangan kalium, intraseluler. Pengaruh ini menjelaskan

bahwa kejadian anemia pada peristiwa keracunan plumbum disertai oleh

penyusutan waktu hidup sel darah merah.

c. Menghambat biosintesis hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim h ALAD dengan enzim ferroketalase (WHO, 1977)


(25)

2.1.7. Deteksi Plumbum dalam tubuh manusia

Untuk mengetahui seberapa besar kandungan plumbum yang diabsorbsi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar plumbum dalam darah juga dapat dilakukan

dengan: Pengujian kadar koproporfirin dalam urin, Pengujian kadar ALA dalam urin,

Pengujian kadar ALA dan aktivitas enzim hALAD dalam darah.

Pengujian kadar ALA dan aktivitas enzim hALAD dalam darah biasanya dipakai untuk mengetahui kadar plumbum pada orang yang terpapar plumbum. Pengukuran

yang paling sensitif adalah pengukuran yang dilakukan terhadap penurunan aktivitas

enzim hALAD dalam darah (Habal, 2006)

2.2. Biosintesis Haemoglobin

Hemoglobin Terdapat dalam sel darah merah dan memberi warna pada darah.

Hemoglobin merupakan protein konjugasi globin dan haem (yaitu suatu kompleks

proporfirin dengan besi). Untuk mengetahui struktur heme dan cara pembentukannya

, maka terlebih dahulu harus diketahui tentang porfirin. Biosintesis porfirin berasal

dari derivate Koenzim A dari asam suksinat pada siklus krebs dalam mitokondria dan

asam amino glisin. Hasil reaksi kondensasi antara suksinil Ko-enzim A dan glisin

adalah asam alfa amino beta ketoadipat yang dengan cepat dikarboksilasi menjadi

asam delta aminolevulenat. Sintesis asam delta-aminolevulenat terjadi di

mitokondria. Dalam sitoplasma 2 molekul delta-aminolevulenat dikatalisis oleh


(26)

molekul porfobilinogen. Masih dalam sitoplasma, 4 unit porfobilinogen mengalami

kondensasi membentuk polimer siklik yaitu uroporfobilinogen. Ada 2 isomer

uroporfobilinogen, yaitu isomer I dan isomer tipe III. Heme berasal dari isomer tipe

III. Uroporfibilinogen III diubah menjadi koproporfirinogen III. Reaksi ini dikalisis

oleh uroporfirinogen dekarboksilase. Kemudian koproporfirinogen III memasuki

mitokondria, selanjutnya diubah menjadi protoporfirinogen. Dari 15 kemungkinan

isomer hanya satu yang dibentuk, yaitu protoporfirinogen IX. Protoporfirinogen IX

dioksidasi oleh enzim protoporfirinogen oksidasi menghasilkan proforfirin IX.

Oksidasi ini menghasilkan ikatan rangkap terkonjugasi yang merupakan ciri porfirin.

Tahap ahir pembentukan heme adalah pemasukan ion ferro ke dalam proporfirin yang

dikatalisis oleh enzim ferrokhelatase (Murray et al., 2003) .

Heme yang telah terjadi kemudian mengadakan kombinasi dengan globin yaitu

suatu globular protein yang terdiri dari 4 rantai asam amino untuk membentuk

hemoglobin. Hemoglobin yang terbentuk merupakan molekul utama yang

bertanggung jawab bagi transpot oksigen dan karbon dioksida dalam darah. Sekitar

97-98% dari oksigen diambil dari paru-paru ke jaringan dalam gabungan yang


(27)

Gambar 3 : Siklus Heme (King and S, 2004)

2.3. Radikas Bebas

Pb merupakan unsur yang dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas dan

menurunkan kemampuan antioksidan tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan

organ, Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai spesies yang terdiri satu atau

lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan

berbagai cara. Salah satunya adalah apabila dua radikal bertemu maka elektron yang

tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen (Halliwel, 1987).

Radikal bebas ditemukan baik melalui faktor eksogen maupun endogen serta

mempengaruhi kehidupan sel. Radikal terpenting dalam tubuh adalah radikal derivad

dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species /ROS)

(Arief, 2006).

Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan

elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik. Produksi radikal


(28)

rangsangan. Secara rutin adalah superokside yang dihasilkan melalui aktifasi fagosit

dan reaksi katalisa seperti ribonucleotida reductase. Sedang pembentukan melalui

rangsangan adalah kebocoran superoksida, hidrogen peroksida dan kelompok oksigen

reaktif (ROS) lainnya pada saat bertemunya bakteri dengan fagosit teraktifasi. Pada

keadaan normal sumber utama radikal bebas adalah kebocoran elektron yang terjadi

dari rantai transpot elektron, misalnya yang ada dalam mitokondria dan endoplasma

retikulum dan molekul oksigen yang menghasilkan superoksida (RetnoGitawati,

1995)

Apabila ada ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan maka

akan terjadi suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu

keadaan dimana tingkat kelompok oksigen reaktif (ROS) yang toksik melebihi

pertahanan antioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas

yang akan bereaksi dengan lemak, protein, dan asam nucleat seluler sehingga terjadi

kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu. (Arief, 2006)

2.4. Oksidan

Dalam pengertian ilmu kimia, oksidan adalah senyawa penerima elektron, yaitu

senyawa-senyawa yang dapat menarik elektron, sedangkan radikal bebas adalah atom

atau molekul (sekumpulan atom) yang memiliki elektron yang tak berpasangan (

unpaired electron ) (Suryohudoyo, 2003).

Beberapa oksidan kuat (ROS) bisa dihasilkan selama proses metabolieme dalam

sel darah maupun sebagian besar sel tubuh lainnya. Oksidan kuat ini adalah ion


(29)

(HOO) dan singlet oksigen (O2). Radikal yang terahir merupakan molekul yang

reaktif dan dapat bereaksi dengan protein, asam nukleat, lipid dan molekul lainnya

untuk mengubah strukturnya serta menimbulkan kerusakan jaringan.

Superoksida terbentuk karena adanya proses auto oksidasi Hb ( yang besarnya 3% auto oksidasi per hari ) menjadi methemoglobin. Superoksida secara spontan

mengalami dismutasi sehingga terbentuk H2O2 dan O2 , akan tetapi kecepatan reaksi

yang sama akan mengalami peningkatan yang luar biasa akibat kerja enzim

superoksid dismutase (SOD).Ion Fe2+ pada Hb rentan terhadap oksidasi oleh

oksidan.(ion superoksid ), dimana terbentuk metHb yang tidak mampu mengangkut

oksigen. Pada keadaan normal hanya dijumpai sedikit metHb didalam darah, karena

eritrosit memiliki sistem yang efektif untuk mereduksi kembali Fe3+ menjadi Fe2. Ion

superoksida terbentuk melalui beberapa cara, antara lain :

a. Sebagai reaksi samping yang melibatkan Fe2+ , misalnya : pada proses

fosforilasi oksidatif, proses oksigenasi hemoglobin, proses hidroksilasi oleh

enzim monooksigenase ( sitokrom p 450 dan sitokrom b4 ), dan ion Fe2+

b. Reaksi yang dikatalisis oleh NADPH / NADH oksidase yang terdapat dalam

mitokondria

c. Reaksi yang dikatalisis olehenzim xantin oksidase

Hidrogen peroksida terbentuk karena aktivitas-aktivitas enzim oksidase yang

terdapat pada retikulum endoplasmik dan peroksisom. Selain itu, hidrogen peroksida

merupakan oksidan yang kuat dan dapat mengoksidasi berbagai senyawa yang


(30)

Pada eritrosit dan beberapa jaringan, enzim glutation peroksidase yang

mengandung silenium ( Se ) mengkatalisis H2O2, sehingga mencegah peroksidasi

lipid dan menghambat terjadinya oksidasi Hb menjadi metHb. Daya rusak hidrogen

peroksida bukan hanya karena senyawa tersebut merupakan oksidan yang kuat, tetapi

H2O2 juga dapat menghasilkan radikal hidroksil bila H2O2 bereaksi dengan logam

transisi seperti Fe 2+ dan Cu +.

Radikal hidroksil dapat juga terbentuk dari reaksi ion superoksida dan hidrogen peroksida (reaksi Haber Weiss).

Reaksi ini memerlukan ion Fe3+ dan Cu 2+ dan diperkirakan melalui 2 tahap, yaiu:

Radikal peroksil terbentuk dari ion superoksida dengan asam. Radikal ini sangat reaktif dan akan membentuk radikal baru serta H2O2

Singlet Oksigen, merupakan bentuk oksigen yang jauh lebih reaktif dibandingkan oksigen biasa. Singlet oksigen ini terbentuk dari reaksi-reaksi yang dikatalis oleh

enzim-enzim tertentu.

2.5. Antioksidan

Senyawa antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, dalam arti yang

lebih luas adalah : senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan,

termasuk diantaranya enzim-enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam

dampak negatif oksidan diterapkan dua strategi :

a. Mencegah terhimpunnya senyawa-senyawa oksidan secara berlebihan


(31)

Berdasarkan dua mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan

dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :

a. Antioksidan pencegah

b. Antioksidan pemutus rantai

Eritrosit dilengkapi antioksidan berupa enzim seperti copper-zink-superoxide

dismutase (CuZn-SOD), glutation peroksidase (GSH-Px), katalase (Cat) dan glutation

reduktase (Suryohudoyo, 2000)

Sintesis antioksidan yang berupa enzim dalam eritrosit ini terjadi selama

erytropoesis, Sedangkan pada eritrosit dewasa, enzim-enzim ini tidak disintesis lagi,

hal ini berkaitan dengan hilangnya inti sel pada eritrosit dewasa sebagai peredam

dampak negatif ROS (Suryohudoyo, 2000)

2.6 Dampak Oksidan Terhadap Tubuh 2.6.1. Dampak negatif

Dampak negatif timbul karena senyawa ROS merupakan oksidan yang kuat dan

mempunyai reaktifitas yang dapat merusak komponen-komponen sel yang penting

untuk mempertahankan integritas dan kehidupan sel. Diantara senyawa ROS yang

lain, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena

reaktifitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang

penting untuk mempertahankan integritas sel yaitu :

a. Terhadap membran sel

Komponen terpenting membran sel adalah fosfolipid, glicolipid dan kolesterol.


(32)

dan arakidonat) yang sangat rawan terhadap serangan-serangan radikal, terutama

radikal hidroksil. Radikal hidroksil dapat menimbulkan reaksi rantai yang dikenal

dengan nama peroksidasi lipid. Akibat dari rantai reaksi ini adalah terputusnya rantai

asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel, antara lain

berbagai macam aldehida seperti, malondialdehida (MDA), 9-hidroksil-nonenal serta

bermacam-macam hidrokarbon seperti hidrokarbon etana (C2 H6) dan pentane

(C5H12).

Selain reaksi diatas dapat pula terjadi ikatan silang antara dua rantai asam lemak

atau antara asam lemak dan rantai peptida (protein) yang timbul karena reaksi dua

radikal. Semua ini menyebabkan kerusakan parah membran sel yang membahayakan

kehidupan sel (Suryohudoyo, 2000).

b. Terhadap protein

Oksidan dapat merusak protein karena dapat mengadakan reaksi dengan

asam-asam amino yang menyusun protein. Diantara asam-asam-asam-asam amino penyusun protein

yang paling rawan adalah sistein. Sistein mengandung gugus sulfhidril (SH) dan

justru gugus inilah yang paling peka terhadap serangan radikal bebas seperti radikal

hidroksil.

Pembentukan ikatan disulfida (S-S) menimbulkan, ikatan intra atau antar molekul

sehingga protein kehilangan fungsi biologisnya (misalnya enzim kehilangan


(33)

c. Terhadap DNA

Radikal bebas dapat menimbulkan berbagai perubahan pada DNA yang antara

lain berupa : hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin

serta terputusnya rantai fosfodiester DNA. Bila kerusakan tak terlalu parah, maka

masih bisa diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA. Namun apabila kerusakan terlalu

parah, misalnya rantai DNA terputus diberbagai tempat, maka kerusakan tersebut tak

dapat diperbaiki dan replikasi sel terganggu. Susahnya, perbaikan DNA ini justru

menimbulkan mutasi, karena dalam memperbaiki DNA sistem perbaikan DNA

cendrung membuat kesalahan, dan apabila mutasi ini mengenai gen-gen tertentu,

maka mutasi tersebut dapat menimbulkan kanker (Suryohudoyo, 2000)

2.6.2. Dampak positif

Oksidan yang dihasilkan oleh sel-sel khusus yang disebut sel radang seperti

granulosit, monosit, dan makrofag mempunyai dampak positif dalam menghadapi

serangan mikroorganisme. Namun oksidan tersebut selain dapat menghancurkan

mikroorganisme, dapat pula merusak sel-sel jaringan tubuh sehingga apabila terjadi

keradangan hebat yang melibatkan banyak sel radang, kerusakan jaringan tak dapat


(34)

2.7. Vitamin C

2.7.1. Struktur vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air, banyak didapatkan dalam

buah-buahan segar dan sayur-sayuran terutama sitrus, berri dan dari famili kubis.

Ditemukan pertama kali oleh Sir Richard Hawkins pada abad 16 yang melaporkan

bahwa jeruk dan lemon adalah yang paling efektif dalam menyembuhkan

pelaut-pelaut Inggris dari penyakit scorbut (LindeCM, 1992).

Vitamin C mempunyai 2 bentuk, yaitu asam askorbat (bentuk reduksi) dan asam

dehidroaskorbat ( bentuk Oksida ). Vitamin ini sangat tidak stabil pada pH netral atau

alkali, juga terhadap panas tetapi sangat stabil terhadap asam dan selama

penyimpanan sementara dalam keadaan dingin dan segar (Almatsier, 2003).

2.7.2. Fungsi Vitamin C

Pada level molekuler, askorbat dan dehidroaskorbat mempunyai sifat pereduksi

dan juga mempunyai sifat penting lainnya sebagai antioksidan yang mempengaruhi

redoks-potensial tubuh (sebagai sumberreducing equivalent di seluruh tubuh). Pada

proses hidroksilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai

kofaktor Fe++ atau Cu++, vitamin C ikut berperan sebagai :

a. Sumber elektron untuk mereduksi oksigen ( misalnya sebagai kosubstrat )


(35)

Reaksi hidroksilasi tersebut misalnya pada :

a. Reaksi pembentukan hidroksiprolin dan hidroksilisin dalam sintesis prokolagen

pada endoplasmik retikulum sel.

b. Sintesis karnitin dari lisin yang penting dalam proses pengangkutan asam-asam

lemak ke dalam mitokondria untuk mendapat proses oksidasi.

c. Hidroksilasi tirosin dan mungkin pada pembentukan katekolamin dan serotonon

5-OH triptamin atau mungkin proses hidroksilasi hormon steroid, obat-obatan

aromatik dan karsinogen melalui sistem mikrosomal oksigenasi endoplasmik

retikulum hati (LindeCM, 1992).

Penelitian tentang pemberian vitamin c 500 mg dan 1000 mg dapat mengatasi

beberapa infeksi virus serta pemberian vitamin c 200 mg dan 500 mg dapat mengatasi

kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh berbagai logam berat. Penelitian yang

dilakukan oleh Dawson dkk telah membuktikan bahwa vitamin c dengan dosis 1000

mg secara signifikan dapat menurunkan kadar Pb darah pada perokok(Dawson et al.,

1999)

Pemberian 500 mg vitamin C dan 300 mg vitamin E pada perokok dapat

menurunkan aktivitas enzim antioksidan namun belum dapat mengurangi peroksidasi


(36)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah eksperimental laboratorik

dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 34 ekor mencit jantan (Mus

musculus L) dibagi dalam 5 kelompok percobaan. Masing-masing kelompok terdiri

dari 7 ekor mencit. Adapun penentuan jumlah ulangan dengan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut :

t(r-1) ≥ 20 t : Jumlah Perlakuan

r : Jumlah Ulangan(Sugandi and Sugiharto, 1994)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Penyidikan dan Pengujian

Veteriner (BPPV) Medan, dalam waktu 12 minggu

3.3. Populasi Penelitian

Populasi adalah Mencit jantan Mus musculus L. Strain Balb c, berumur 6-8

minggu dengan berat badan 20-50 gram, yang diperoleh dari Badan Penyidikan dan

Pengujian Veteriner (BPPV) Medan.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel Indipenden, yaitu Pb asetat dan Vitamin C

3.4.2 Variabel Dipenden, Enzim h ALAD, Kadar Hemoglobin dan Basophilic Stippling


(37)

3.4.3 Variabel kendali, yaitu jenis kelamin, umur, berat badan, kesehatan dan

lingkungan

3.5.Bahan

a. Sediaan Plumbum Aceticum (Lead acetate) dalam bentuk kristal (CH3COO)2Pb

3H2O made in Germany diencerkan dengan aquadest

b. L(+) Ascorbic Acid produk PT.Merck

c. Pellet produksi PT.Mabar Feed Medan

3.6. Alat

a. Peralatan untuk pemeriksaan aktivitas enzim hALAD (Spectro Fotometer Genesis Tm20) yang terkalibrasi dengan baik

b. Peralatan untuk pemeriksaan kadar hemoglobin (Spectro Fotometer Genesis

Tm

20) yang terkalibrasi dengan baik

c. Peralatan untuk pemeriksaan hapusan darah (Pewarnaan Menurut Giemsa)

d. Timbangan hewan

e. Termometer ruangan

f. Spuit 1ml merek Trumo

3.7. Pelaksanaan Penelitian 3.7.1 Pemeliharaan Hewan Coba

Hewan dipelihara dalam kandang yang diberi alas sekam dan anyaman kawat

sebagai penutup. Pemberian makan dan minum dilakukan setiap hari secara ad


(38)

dimasukkan kedalam tiap kandang terpisah, setiap kandang diberi tanda sesuai

dengan perlakuan(Kusumawati)

3.7.2. Perlakuan Hewan Coba

a. Sampel dibagi menjadi lima kelompok masing-masing kelompok terdiri dari

tujuh ekor mencit, kecuali kelompok kontrol 6 ekor mencit

b. Kelompok 1 adalah kelompok kontrol yang diberi aquadest

c. Kelompok 2 adalah kelompok yang diberi perlakuan dengan timbal acetat

dosis 20 mg/kgBB secara intraperitoneal selama 2 hari (Gajawat et al., 2006)

d. Kelompok 3 adalah kelompok yang diberi perlakuan Vitamin C dosis 200

mg/kgBB secara oral selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian Vitamin C

pada hari ketujuh dilanjutkan dengan pemberian timbal acetat 20mg/kgBB

secara intraperitoneal selama 2 hari (Klenner, 1997)

e. Kelompok 4 adalah kelompok yang diberi perlakuan Vitamin C dosis

500mg/kgBB secara oral selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian Vitamin

C pada hari ketujuh dilanjutkan dengan pemberian timbal acetat 20mg/kgBB

secara intraperitoneal selama 2 hari

f. Kelompok 5 adalah kelompok yang diberi perlakuan Vitamin C dosis

1000mg/kgBB secara oral selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian Vitamin

C pada hari ketujuh dilanjutkan dengan pemberian timbal acetat dosis


(39)

g. Dilakukan pemeriksaan kadar enzim hALAD, kadar hemoglobin,dan basophilic stippling pada mencit pada tiap kelompok penelitian, setelah itu

mencit dibunuh secara dislokasi leher.

3.8. Prosedur Pemeriksaan

3.8.1. Pemeriksaam enzim ALAD

a. Pembuatan larutan pereaksi untuk pemeriksaan enzim ALAD Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pembuatan larutan pereaksi yaitu : timbangan analitik,

labu ukur 100ml, pH meter, baker glas 250ml, gelas ukur 500ml dan 100ml.

Bahan kimia yang digunakan adalah : Na2HPO412H2O, NaH2PO42H2O, hALA,

Trichloro asetat (TCA), HgCl2, Triton X 100, p-dimethylaminobenzaldehyd, asam

acetat glacial, asam perclorat, aquadest.

Cara kerja

a. Larutan triton X-100

0,5 ml troton x 100 dicampur denga 500ml aquadest b. Larutan buffer natrium fosfat pH 6,2

Sebanyak 53,72 g Na2HPO412H2O ditimbang dilarutkan didalam 500 ml

aquadest (larutan A), NaH2PO42H2O 23,4 dilarutkan dalam 500 ml aquadest (larutan

B), selanjutnya 100ml larutan A dicampur dengan 168 ml larutan B, dilakukan

pengukuran pH dengan pH meter, jika pH menunjukkan lebih besar dari 6,4, maka

larutan ditambahkan asam fosfat sedikit demi sedikit hingga pH 6,4 sedang jika pH


(40)

c. Larutan ALA 125mmol/L

Sebanyak 209,5 mg hALA dilarutkan hingga 100mL dan disimpan dalam 40C d. Larutan Trichloro asetat(TCA) 60g/L yang mengandung HgCl2 60mmol /L

15g TCA dan 4g HgCl2 dilarutkan dengan aquadest hingga 250 mL aquadest

e. Larutan pereaksi Erlich

Timbang 2,0 g p-dimethylaminobenzaldehyd kemudian larutkan dalam 60 mL

asam acetat glacial, selanjutnya tambahkan 32 mL asam perclorat 70% sambil diaduk

tambahkan asam acetat hingga 100 mL (Wigfield & Farant,1981)

Prosedur penentuan aktivitas enzim ALAD dalam darah

Aktivitas enzim hALAD dilakukan sesuai metode (Wigfield&Farant, 1981),yaitu: Pipet 20µL sampel darah dengan mikropipet, dimasukkan kedalam tabung mikro

tambahkan 100 µL larutan Triton X-100 campur selama 15 detik dan tempatkan

campuran dalan ice-bath selama 3 menit untuk menyempurnakan lisis. Kedalam

hemolisat ditambahkan 100 µL buffer natrium fosfat pH 6,4 dan 100 µL larutan h Aminolevulinic Acid kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370C. Untuk

blanko tambahkan 200 µL campuran larutan TCA merkuri klorida, inkubasi semua

sampel selama 90 menit pada 37 0C. Untuk mengahiri inkubasi hentikan reaksi

dengan menambahkan 200 µL campuran larutan TCA merkuri klorida, Sentrifugasi

pada kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada Eppendorf microcentrifuge. Setelah

disentifugasi pindahkan 400 µL larutan supernatan ketabung lain dan tambahkan 400


(41)

400 µL aquadest. Setelah 5 menit, absorbansi diukur pada panjang gelombang 555

nm (Wigfield and Farrant, 1981)

3.8.2. Penentuan Hematokrit

Digunakan untuk menentukan aktivitas enzim hALAD a. Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan adalah: pipet hematolrit, centrifuger

hematokrit, skala hematokrit, lilin(wax)

b. Cara Kerja

Sampel darah dimasukkan dimasukkan kedalam pipet hematokrit hingga

hampir penuh(2/3 dari panjang pipet), tutup salah satu ujung pipet dengan lilin

centrifuger selama 5 menit dengan kecepatan 16.000 rpm, persentase hematokrit

dibaca dengan skala khusus.

3.8.3. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin

Kadar Hemoglobin ditentukan dengan metode Fotoelektrik Cyanmethemoglobin (Gandasoebrata,1992)

a. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan : mikro pipet, spectrofotometer, tabung reaksi

Bahan yang digunakan : sampel darah dan reagen hemoglobin berupa kit dari

PT. Human

b. Cara Kerja

Isi pipet dengan 20 L darah heparin, dimasukkan kedalam tabung yang telah


(42)

tersebut Diamkan kurang lebih selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian diukur

serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.

(SoebrataGanda, 1992)

3.8.5 Pemeriksaan Hapusan Darah

Pemeriksaan hapusan darah dilakukan dengan metode Giemsa (Gandasoebrata ,1992)

a. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan : Objec glass, kaca pendorong(untuk membuat hapusan

darah)

Bahan yang digunakan : Sampel darah dan reagen Giemsa dari PT.Merck, aquadest

serta metanol.

b. Cara Kerja

Letakkan satu tetes kecil darah, pada 2-3 mm dari ujung kaca objek. Letakkan

kaca penghapus dengan sudut 30-450 terhadap kaca objek didepan tetesan darah.

Tarik kaca pengahapus kebelakang huingga menyentuh tetesan darah, tunggu hingga

darah menyebar pada sudut tersebut. Dengan gerakan yang cepat dorong kaca

penghapus hingga terbentuk hapusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek.

Biarkan hapusan darah mengering diudara lalu warnai dengan pewarnaan Giemsa

(SoebrataGanda, 1992)

Cara Pemeriksaan Hapusan Darah

Preparat diobservasi di bawah mikroskop dg pembesaran okuler 10 kali &


(43)

basophilik stipling yang tampak secara zig zag per lapangan pandang dalam 1000

eritrosit.

3.9. Analisa Data

Data yang diperoleh akan ditentukan distribusinya dengan menggunakan uji

normalitas dari Kolmogorov-Smirnov dan Shapito –Wilk. Apabila data berdistribusi

normal maka akan dilakukan uji statistik parametrik, yaitu dengan uji Anova satu


(44)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh perlakuan terhadap aktivitas enzim ALAD

Pengaruh pemberian Pb terhadap aktivitas enzim hALAD dan pengaruh pemberian Pb dengan vitamin c 200mg/kgBB, vitamin c 500mg/kgBB dan 1000mg/kgBB dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Data penelitian Enzim ALAD pada kelompok kontrol dan berbagai kelompok perlakuan (n = 32)

No Aktivitas enzim hALAD (U/L)

Kontrol Pemberi

an Pb

P1 P2 P3

1 1,2642 0,1979 0,7685 1,1905 1,1164

2 2,1880 0,7431 0,8650 1,3571 1,2924

3 1,1760 0,2854 0,4193 1,3096 1,7305

4 1,7672 0,8478 1,6501 1,2509 1,1320

5 3,0997 0,8413 0,437 0,2352 0,6795

6 1,0940 0,5271 0,7471 0,1730 1,1651

7 0,6876 1,5167

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh perlakuan terhadapaktivitas enzim h ALAD dilakukan uji ANOVA


(45)

Tabel 2. Distribusi rata-rata Aktivitas Enzin ALAD terhadap kelompok kontrol dan berbagai kelompok perlakuan (n=32)

No Variabel Mean

(u/L)

SD 95% CI P.Value

1 2 3 4 5

Aktvitas enzim hALAD Kontrol Perlakuan Pb P1 P2 P3 1,76 0,59 0,91 1,04 1,19 0,78 0,26 0,49 0,69 0,34 0,95-2,58 0,35-0,83 0,46-1,37 0,31-1,76 0,84-1.55 0,010

Berdasarkan hasil perhitungan uji anova untuk rata-rata enzim hALAD pada kontrol yaitu mencit yang tanpa perlakuan adalah 1,76u/L, dengan standar deviasi

0,78. Pada mencit yang diberikan hanya Pb secara intraperitoneal selama 2 hari

didapatkan enzim hALAD 0,59u/L dengan standar deviasi 0,26. Pada mencit yang diberikan Vitamin C 200mg/kg BB secara oral selama 1 minggu dan kemudian

diberikan Pb secara intraperitonial selama 2 hari ternyata didapatkan enzim hALAD 0,91 /L dengan standar deviasi 0,49. Sedangkan mencit yang diberikan Vitamin C

500mg/kg BB secara oral selama 1 minggu dan kemudian diberikan Pb secara

intraperitonial selama 2 hari ternyata enzim, hALAD 1,04µ/L dengan standar deviasi 0,69. Sedangkan mencit yang diberikan Vitamin C 1000mg/kg BB secara oral selama

1 minggu dan kemudian diberikan Pb secara intraperitonial selama 2 hari ternyata

didapatkan enzim hALAD 1,19 /Ldengan standar deviasi 0,34.

Dari rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil uji statistik nilai

p = 0,010. Berarti pada alpha 5% (g 0,05) maka H0 ditolak, sehingga dapat


(46)

perlakuan. Karena nilai rata-rata Aktivitas enzim hALAD berbeda nyata pada 5 kelompok maka analisis dilanjutkan ke uji LSD, untuk mengetahui kelompok mana

yang berbeda secara signifikan yang hasilya seperi tabel dibawa ini :

Tabel 3 Hasil uji LSD Aktivitas enzim ALAD pada kelompok perlakuan (n=32)

Variabel P Value

Aktv Enzim DALAD Kontrol - Perlakuan Pb

Kontrol –Vit C 200mg/kgBB +Perlakuan Pb Kontrol –Vit C 500mg/kgBB +Perlakuan Pb Kontrol –Vit C 1000m/kgBBg +Perlakuan Pb

0,001 0,008 0,027 0,077

Berdasarkan analisis uji LSD didapatkan kelompok yang terdapat perbedaan

signifikan adalah antar kelompok kontrol (mencit tanpa perlakuan) dan mencit

dengan perlakuan Pb didapatkan p = 0,001, maka H0 ditolak, berarti dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata nilai aktivitas enzim

hALAD pada kedua kelompok perlakuan tersebut. Sementara itu antara kelompok kontrol dengan mencit yang diberikan vitamin C 200mg/kgBB ( secara oral selama 1

minggu) dan diberikan perlakuan Pb (secara intraperitoneal selama 2 hari), dari hasil

uji statistik didapatkan p= 0,008 maka H0 ditolak, oleh karena itu dapat disimpulkan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan nilai rata-rata aktivitas enzim hALAD pada kedua kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol dengan kelompok mencit

diberikan vitamin C 500mg/kgBB ( secara oral selama 1 minggu) dan diberikan

perlakuan Pb (secara intraperitoneal selama 2 hari), dari hasil uji statistik LSD


(47)

yang signifikan nilai rata-rata aktivitas enzim hALAD pada dua kelompok tersebut. Selanjutnya pada kelompok kontrol dengan kelompok mencit yang diberikan vitamin

C 1000 mg/kg BB (secara oral selama 1 minggu) dan pemberian Pb (secara

intraperitoneal selama 2hari), didapatkan hasil uji statistik nilai p = 0.077, maka H0

diterima. Berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata nilai

aktivitas enzim hALAD pada kedua kelompok perlakuan.

1.76 0.59 0.91 1.04 1.19 0 0.5 1 1.5 2 2.5

KN KP C200 C500 C1000

Perlakuan A k ti v ita s D A L A D (U /l )

Gambar 4. Perbandingan Aktivitas enzim ALAD pada Seluruh Kelompok Percobaan

Keterangan:

KN : Kelompok yang hanya diberi aquadest

KP : Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C200 : Kelompok yang diberikan vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C500 : Kelompok yang diberikan vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C1000 : Kelompok yang diberikan vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama tujuh hari

sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal


(48)

Gambar tersebut menunjukkan adanya penurunan aktivitas enzim hALAD pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Keadaan tersebut sesuai dengan teori

yang dikemukakan dalam WHO(1989), bahwa kadar Pb dalam darah yang mencapai

0,1 g/ml dapat menurunkan aktivitas enzim hALAD. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayes(1985), Enzim h-ALAD adalah enzim yang mengandung Zn dan peka terhadap penghambatan oleh Pb. Selain itu Pb juga

memberikan dampak negatip bagi proses eritropoesis maupun pematangan eritrosit.

Pb yang berikatan dengan eritrosit menyebabkan defisiensi enzim G-6-PD, Defisiensi

G-6-PD pada metabolisme glukosa (melalui jalur Heksosa Mono fosfat / HMP) untuk

energi eritrosit dapat menyebabkan kegagalan regenerasi trifosfopiridin nucleotida

(TPNH) yang mengakibatkan gagalnya reduksi GSSG (glutation tereduksi) menjadi

GSH (Glutation) karena tidak terbentuk reduktor NADPH. GSH berperan dalam

melenyapkan oksidator kuat pada eritrosit dan melindungi gugus Sulf hidril eritrosit,

Sehingga blokir terhadap enzim G-6PD menyebabkan eritrosit mudah teroksidasi dan

lisis. Oksidasi eritrosit menyebabkan terbentuknya methemoglobin dalam jumlah

yang banyak dan mengendap disisi membran eritrosit, sehingga kelenturannya

berkurang dan mudah tereduksi oleh fagosit (Sadikin, 2001). Dalam penelitian ini,

setelah dilakukan uji statistik ternyata hanya penurunan enzim hALAD yang menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan, sedangkan peningkatan kadar Hb menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal

ini dikarenakan bahwa biosintesis enzim hALAD sangat rentan terhadap peningkatan kadar kadar Pb dibandingkan dengan biosintesis Hb. Hal ini juga ditegaskan oleh Lu


(49)

(1995) yang menyatakan bahwa enzim yang terlibat dalam sintesis hemoglobin

terutama enzim hALAD paling rentan terhadap keracunan Pb.

Penurunan enzim tersebut adalah dikarenakan : Toksisitas Pb disebabkan adanya

interaksi antara Pb dengan senyawa ligand yang ada didalam tubuh misalnya gugus

enzim –SH dari hALAD (yang mengakibatkan penumpukan hALA) dan hem sintetase (mengakibatkan penumpukan protoporfirin) sehingga terjadi hambatan

sintesis hemoglobin. Pb juga dapat menghambat enzim ferokelatase yang

menyebabkan ion fe tidak dapat berikatan dengan cincin proporpirin, oleh karena

terjadi kompetisi antara Pb dengan Fe akibat dari hal tersebut diatas maka Pb dapat

mengakibatkan penurunan enzim hALAD (Ganiswara et al., 1995). Keadaan ini sesuai dengan penelitian (Sugiharto and W, 2004) yang menyebutkan bahwa

pemberian larutan Pb nitrat [(PbNO3)2] dengan dosis 12 ppm dan 50 ppm selama 30

hari secara oral pada tikus putih memberikan hasil terjadinya penurunan enzim

hALAD dan kadar Hb.

Selain itu, pada penelitian ini ditemukan bahwa kelompok mencit yang diberikan

vitamin C 1000mg/kg BB + Pb dapat menaikkan nilai aktivitas enzim hALAD. Hal ini dibuktikan dari hasil uji anova bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna

antara kelompok (vitamin C 1000mg/kgBB +Pb) dengan kelompok kontrol, yang

berarti nilai rata-rata aktivitas enzim hALAD pada kelompok kontrol dengan perlakuan tidak jauh berbeda. Hal ini dapat diyakini, bahwa dengan pemberian

vitamin C 1000 mg/kgBB dapat menaikkan nilai aktivitas enzim hALAD, yang sebelumnya diberikan Pb, akan tetapi pemberian vitamin C 200mg/kgBB dan vitamin


(50)

C 500mg/kgBB tidak dapat menaikkan nilai aktivitas enzim hALAD, walaupun nilai rata-rata antara kelompok yang diberikan Pb saja, vitamin C 200mg/kgBB + Pb,

vitamin C 500 mg/kg BB + Pb didapatkan ada kenaikan aktivitas enzim hALAD, namun kenaikan tersebut masih di bawah nilai kelompok kontrol, dan hal ini

dibuktikan hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata antara kelompok

tersebut secara bermakna yang artinya dalam penelitian ini terjadi peningkatan

aktivitas enzim hALAD dengan pemberian vitamin C 1000mg/kgBB tetapi tidak dapat memperbaiki hingga sama seperti kontrol.Dalam penelitian ini vitamin C

1000mg/kgBB dapat berperan sebagai zat antioksidan dan detoksikasi dengan cara

meningkatkan aktivitas enzim gluthatione S-transferase (GST) serta kelompok enzim

gluthatione yang lain (GS-x) yang berperan dalam melenyapkan oksidator kuat

(dalam hal ini ion Pb) pada eritrosit dan melindungi gugus enzim-SH eritrosit.

4.2. Pengaruh perlakuan terhadap kadar hemoglobin

Pengaruh pemberian Pb dengan vitamin c 200mg/kgBB, vitamin c 500mg/kgBB dan


(51)

Tabel 4. Data penelitian kadar Hemoglobin pada kelompok kontrol dan berbagai kelompok perlakuan (n = 32)

No Kadar Hb (gr/dl)

Kontrol PemberianPb P1 P2 P3

1 13,2 14,6 15,77 12,77 10,41

2 11,8 7,93 15,83 14,34 17,15

3 12,2 11,38 12,20 11,64 13,52

4 12,2 12,53 12,04 11,19 15,87

5 9,6 15,67 7,26 12,91 13,17

6 12,3 11,30 8,54 14,54 13,84

7 11,03 14,47

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh perlakuan terhadap kadar Hemoglobin

dilakukan uji ANOVA

Tabel 5. Distribusi rata-rata kadar Hemoglobin pada kelompok kontrol dan berbagai kelompok perlakuan (n = 32)

No Variabel Mean

(gr/dl)

SD 95% Confidece

Interval P.Value 1 2 3 4 5 Kadar Hb Kontrol Perlakuan Pb P1 P2 P3 11,88 12,11 12,30 12,89 13,99 1,21 2,61 3,39 1,36 2,33 10,61-13,15 9,70-14,53 9,17-15,43 11,47-14,33 11,54-16,44 0,554

Berdasarkan hasil perhitungan uji anova untuk rata-rata kadar Hb pada kontrol yaitu

mencit yang tanpa perlakuan adalah 11,88 gr/dl, dengan standar deviasi 1,21. Pada

mencit yang hanya diberikan Pb secara intraperitonial selama 2 hari didapatkan kadar

Hb 12,11 gr/dl dengan standar deviasi 2,61. Sedangkan mencit yang diberikan

Vitamin C 200mg/kgBB (P1) secara oral selama 1 minggu dan kemudian diberikan


(52)

dengan standar deviasi 3,39. Sedangkan mencit yang diberikan vitamin C 500mg/kg

BB(P2) secara oral selama 1 minggu dan kemudian diberikan Pb secara

intraperitoneal selama 2 hari ternyata didapatkan kadar Hb 12,89gr/dl dengan standar

deviasi 1,36. Sedangkan mencit yang diberikan vitamin C 1000mg/kg BB (P3)

secara oral selama 1 minggu dan kemudian diberikan Pb secara intraperitonial selama

2 hari ternyata didapatkan kadar Hb 13,99gr/dl dengan standar deviasi 2,33.

Dari rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil uji statistik nilai

p = 0,554. Berarti pada alpha 5% (g 0,05) maka H0 diterima, sehingga dapat

disimpulkan tidak ada perbedaan kadar Hb diantara 5 kelompok perlakuan, oleh

karena itu tidak dilanjutkan ke uji LSD.

11.88 12.11 12.3

12.89

13.99

0 2 4 6 8 10 12 14 16

KN KP C200 C500 C1000

Perlakuan

Ka

d

a

r Hb

(

g

r/

d

l)

Gambar 5. Perbandingan kadar hemoglobin kontrol dan perlakuan


(53)

Keterangan:

KN : Kelompok yang hanya diberi aquadest

KP : Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C200 : Kelompok yang diberikan vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C500 : Kelompok yang diberikan vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C1000 : Kelompok yang diberikan vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama tujuh hari

sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Gambar tersebut menunjukkan peningkatan kadar Hemoglobin antara

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, Hal ini tidak sesuai dengan teori yang

mengemukakan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa

tingginya kadar Pb dalam tubuh dapat mengakibatkan terganggunya sistem

metabolisme tubuh. Salah satu jalur matabolisme yang sangat rentan terhadap Pb

adalah sistem hemopoetik, sebab hampir 90 % Pb terikat eritrosit. (WHO, 1977)

Gambaran anemia adalah karakteristik untuk penderita keracunan Pb kronis. Ini

adalah akibat menurunnya masa hidup (lifesfan) eritrosit disebabkan interfensi logam

Pb dalam sintesis haem. Pb menghambat enzim h-aminolevulinic acid dehydratase dan ferrochelatase dalam eritrosit, akibatnya terjadi anemia (Hariono, 2008).

Pb dalam darah pada kadar tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada

manusia, karena Pb berpengaruh terhadap biosintesis heme pada beberapa tahap

reaksi enzimatis. Pb berkemampuan berikatan dalam gugus–SH dalam molekul

protein dan menyebabkan hambatan pada aktivitas kerja sistem enzim. Pb

mengganggu sintesis Hb dengan menghambat konversi delta aminolevulinic asid

menjadi forfobilinogen dan juga menghambat korporasi dari Fe kedalam proforfirin


(54)

dehydratase dan ferokelatase (Jeffe.1991). Menurut Darmono (1995) pemberian Pb

dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan ion Fe dan mengakibatkan gejala anemia

sebab terdapat penurunan daya absorbsi ion Fe dari sel epitel usus, sehingga terjadi

kompetisi antara Pb dan Fe pada protein carier logam (terutama protein ferritin).

Kadar ferritin yang rendah merupakan indikator spesifik defisiensi Fe baik untuk

terjadi anemi atau tidak. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan nilai hematokrit dan

mean corpuscular, serta kadar Hb.

Dalam penelitian ini didapatkan kadar Hb pada kelompok perlakuan (dengan

pemberian Pb) terjadi peningkatan dibanding dengan kelompok kontrol (tanpa

pemberian Pb)(tabel 3). Tetapi dari hasil analisis statistik peningkatan kadar Hb

tersebut tidak significan (bermakana) yang artinya hampir sama nilai kadar Hb pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, hal ini diduga karena keracunan Pb

bersifat kronis yang terjadi secara perlahan lahan dan berlangsung dalam jangka

waktu yang lama (Palar, 1994) juga oleh Koeman, 1987 menyatakan bahwa ukuran

keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya pemaparan. Keracunan

dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan akut yaitu

keracunan yang terjadi sebagai akibat pemaparan yang terjadi dalam waktu relapif

pendek (dapat terjadi dalam waktu 2-3 jam), dengan kadar yang relatif besar.

Keracunan akut yang disebabkan oleh Pb biasanya terjadi akibat kecelakaan misalnya

: peledakan atau kebocoran yang tiba-tiba dari uap logam Pb, kerusakan sistem


(55)

didalam ruangan. Keracunan yang kronis yaitu keracunan yang terjadi karena

absorbsi Pb dalam jumlah kecil, tetapi terjadi dalam jangka waktu yang lama dan

terakumulasi didalam tubuh. Durasi waktu dari permulaan terkontaminasi sampai

terjadi gejala atau tanda-tanda keraacunan mungkin dalam beberapa bulan bahkan

sampai beberapa tahun(Ariens, 1978)

4.3. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah Basophilic Stippling

Pengaruh pemberian Pb terhadap jumlah Basophilic Stippling dan pengaruh

pemberian Pb dengan vitamin C 200mg/kgBB, vitamin C 500mg/kgBB dan

1000mg/kgBB dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 6. Distribusi basophilic stippling pada kelompok perlakuan (n = 32) No Perlakuan

Kontrol Pb P1 P2 P3

1 2 3 4 5 6 7 0 0 0 0 0 0 3 2 3 2 3 3 3 3 2 1 2 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0

Karena dari uji normalitas data Basophilic Stippling tidak berdistribusi normal, maka

tidak dapat dilakukan dengan uji anova, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji


(56)

Tabel 7. Hasil Kruskal Walis Basophilic Stpipling pada kelompok perlakuan (n=32)

Variabel Mean SD Kruskal

Wallis

P value

Basophilic Stipling

Perlakuan 2,97 1,40 24.274 0.000

Berdasarkan data di atas didapatkan nilai rata-rata basophilic stipling

kelompok perlakuan adalah 2.97 dengan standar deviasi 1.40. Dari hasil perhitungan

Kurskal Wallis H didapat nilai 24.274, sedang harga X2 tabel dengan tingkat

kepercayaan (g) 0.05 dengan dk = 4, dapat harga = 9.488. Karena X2 hitung 24.274 >

X2tabel 9.488, maka H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang significan nilai Basophilic stippling pada kelima kelompok

perlakuan.

Hasil analisis statistik penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan nilai

rata-rata yang bermakna antara kelompok kontrol dengan perlakuan, akan tetapi pada uji

Kruskal Wallis ini tidak diketahui kelompok mana yang memiliki perbedaan tersebut

secara signifikan, maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk menentukan

kelompok mana yang berbeda.

Tabel 8. Hasil uji Mann-Whitney Basophilic Stippling pada kelompok perlakuan (n=32)

Variabel P Value

Basophilic Stippling KN - KP

KN – C200 KN – C500 KN – C1000

0,001 0,001 0,019 0,056


(57)

0 2.71 1.57 0.66 0.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

KN KP C200 C500 C1000

Perlakuan J u m la h B a s o p h ilic S tip p lin g

Gambar 6. Jumlah Basophilic Stippling Pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan Keterangan:

KN : Kelompok yang hanya diberi aquadest

KP : Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C200 : Kelompok yang diberikan vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C500 : Kelompok yang diberikan vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C1000 : Kelompok yang diberikan vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama tujuh hari

sebelum diberikan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Pada uji Mann-Whitney didapatkan kelompok yang terdapat perbedaan signifikan

adalah antar kelompok kontrol (mencit tanpa perlakuan) dan mencit dengan

perlakuan Pb didapatkan p = 0,001, maka H0 ditolak, berarti dapat disimpulkan

bahwa terdapat perbedaan yang significan jumlah rata-rata basophilic stipling pada

kedua kelompok perlakuan tersebut. Sementara itu antara kelompok kontrol dengan

mencit yang diberikan vitamin C 200mg/kgBB ( secara oral selama 1 minggu) dan

diberikan perlakuan Pb (secara intraperitoneal selama 2 hari), dari hasil uji statistik


(58)

terdapat perbedaan yang signifikan jumlah rata-rata basophilic stipling pada kedua

kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol dengan kelompok mencit diberikan

vitamin C 500mg/kgBB ( secara oral selama 1 minggu) dan diberikan perlakuan Pb

(secara intraperitoneal selama 2 hari), dari hasil uji statistik Mann -Whytney

didapatkan p = 0,019, maka H0 ditolak. Berarti dapat disimpulkan terdapat perbedaan

yang signifikan jumlah rata-rata basophilic stipling pada dua kelompok tersebut.

Selanjutnya pada kelompok kontrol dengan kelompok mencit yang diberikan vitamin

C 1000 mg/kg BB (secara oral selama 1 minggu) dan pemberian Pb (secara

intraperitoneal selama 2 hari), didapatkan hasil uji statistik nilai p = 0.056, maka H0

diterima. Berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah rata-rata

basophilic stipling pada kedua kelompok perlakuan Pb dengan vitamin C

1000mg/kgBB dengan kelompok kontrol. Dengan demikian pada penelitian ini dapat

diketahui bahwa pemberian vitamin C 1000mg/kgBB dapat menurunkan jumlah

basophilic stippling di dalam darah mencit yang diberikan Pb.

Pada eritrosit yang matang, Pb menyebabkan defisiensi enzim G-6PD dan

penghambatan enzim pirimidin-5’-nukleotidase, sehingga terjadi akumulasi degradasi

RNA serta ribosom eritrosit yang ditandai dengan ditemukannya Basophilic Stipling

(terdapatnya bintik biru atau bintik-bintik basophilic pada eritrosit), Hal ini

menyebabkan turunnya masa hidup eritrosit dan meningkatkan kerapuhan membran

eritrosit, sehingga terjadi penurunan jumlah eritrosit (Ganiswara, et al 1995) pada

penelitian ini ditemukan pada kelompok mencit yang diberi perlakuan Pb acetat 20


(59)

Kurniawati (1996) menyebutkan bahwa pemberian larutan timbal dapat menyebabkan

kerusakan eritrosit (Kurniawati, 1996). Hal ini juga didukung oleh penelitian

(Wahyuni, 2000) yang menyatakan pemberian larutan timbal dapat menurunkan nilai

volume padat eritrosit (PCV/packed cell volume).

Selain itu, Pb juga memberikan dampak negatif bagi proses eritropoesis maupun

pematangan eritrosit. Pb yang berikatan dengan eritrosit menyebabkan eritrosit

menjadi rapuh (terjadi kerusakan membran sel), mengurangi eritropoesis, mengurangi

masa hidup eritrosit matang, dan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik (Lu,

1995).

Menurut Heryando Palar (1994), keracunan yang disebabkan plumbum adalah

anemia yang kronis. Keracunan yang kronis ini terjadi secara perlahan-lahan dan

berlangsung dalam jangka waktu lama. Anemi hemolitik yang terjadi karena

keracunan Pb disebabkan oleh karena destruksi eritrosit dan singkatnya masa hidup

eritrosit. Patogenesis terjadinya hemolisis pada keracunan Pb diperkirakan

berhubungan dengan inhibisi pada pyrimidine-5’nucleotidase. Defisiensi enzim ini

secara herediter ditandai dengan ditemukannya basophilic Stipling pada eritrosit. Hal

.ini terlihat pada kelompok dengan pemberian Pb terlihat hasil yang berbeda secara


(60)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah

diuraikan, penulis berkesimpulan bahwa :

1. Pada rentang dosis perlakuan, Pb tidak mematikan terhadap hewan coba.

2. Terdapat penurunan aktivitas enzim hALAD pada mencit yang diberi Pb

3. Pemberian Vitamin C 1000 mg/kgBB/oral selama 1 minggu dapat meningkatkan

aktivitas enzim hALAD

4. Terjadi peningkatan kadar Hb antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan namun tidak significan.

5 Terdapat basophilic stippling pada kelompok mencit yang diberi Pb

6 Terjadi penurunan jumlah basophilic stipling pada mencit yang diberikan vitamin


(61)

5.2 Saran

1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang pemeriksan hematologi lainnya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hewan uji lebih

banyak sehingga hasil yang didapatkan lebih sempurna.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan dosis Vitamin c


(62)

DAFTAR PUSTAKA

ALMATSIER (2003) Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta.

ARDYANTO, D. (2005) Deteksi Pencemaran Timah Hitam(Pb) Dalam Darah Masyarakat Yang Terpajan Timbal(Pb). J Kes Ling, 2.

ARIEF, R. (2006) Radikal Bebas, Surabaya.

ARIENS, E. J. (1978) Toksokologi Umum.

BARTIK, M. (1981) Veterinary Toksicology. Elsevier Scientific Publishing

Company.

CHILD, J. A. (1990) Hematologi Klinik, Jakarta.

DARMONO (2005) Toksikologi Logam Berat, Surabaya.

DAWSON, E. B., EVANS, D. R., HARRIS, W. A., CTETER, M. & MCGANITY, W. J. (1999) The Effect of Ascorbit Acid Suplementation on the Blood Lead Levels of Smokers. Journal of the American College of Nutrition, 18, 166-70.

EMA, A. R. (2006) Pengaruh Suplementasi vitamin C dan E Terhadap Profil Lipid Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di Poliklinik Kardiologi Ruamah Sakit Umum Dokter Slamet Garut. J Sains Kesehatan, 2.

GAJAWAT , S., SANCHETI, G. & K, G. P. (2006) Protection Against Lead Induced Hepatic Lesion in Swiss Albino Mice by Ascorbic Acid.

Pharmacologyonline, 1, 140-9.

GANISWARA, S., SEIIABUDU, R., SYAMSUDIN, U. & BUSTAM, Z. (1995) Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Indonesia Jakarta.

GOLDSTEIN, B. D. & KIPEN, H. M. (1994) Hematologic Disolder In Levy and Wegmen. Occupational Health Recognizing and Preventing Work-Realted

Deseases 3 rd.

HABAL, M. R. (2006) Toxicity, Lead. American college, 1-10.

HALLIWEL, B. (1987) Oxidans and Human Disease :Some New Consepts. FASEB


(63)

HARIONO, B. (2008) Polusi Logam Berat Plumbum di Lingkungan Perubahan Patologik dan Pemantauannya. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

HASAN, M. Z. & SETH, T. D. (1981) Effect of Lead and Zinc Administration of Liver,Kidney and Brain Levels of Copper, Lead,Manganes and Zinc on Erithrocyte ALA-D Activity In Rats. Toxicology, 353-58.

KING, M. & S, M. (2004) Heme and Porphyrin Metabolism. University of Brescia.

KLENNER, F. (1997) Significance of High Daily Intake of Ascorbic Acid in Preventive Medicine Medicine, 1

.

KURNIAWATI, H. (1996) Pengaruh pemberian Larutan Timbel Anorganik Per Oral Terhadap Inklusi Eritrosit Pada Mencit. FMIPA. Surabaya

.

KUSUMAWATI, S. U. D. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Gajah Mada University

Press. Surabaya.

LINDECM (1992) Nutritional Biochemistry and Metabolism. Elsevier Scientific

Publishing Company, 167-177.

LU, F. (1995) Toksikologi Dasar. UI Press Jakarta.

MAYES (1995) Harper's Review of Biochemistry. Lange Medical Publication, 370-376.

MUGAHI, NM, H. & Z, H. (2000) Effect of Chronic Lead Acetate Intoxication on Blood Indices of Male Adul Rats. Medical Science.

MURRAY, K., KD.GRENNER, MAYES, A. & WV.RODWEL (2003) Biokimia

Harper, Jakarta.

PALAR, H. (1994) Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Jakarta.

RETNOGITAWATI (1995) Radikal Bebas-Sifat dan Peran dalam Kerusakan/Kematian Sel. Cermin Dunia Kedokteran.


(64)

SCINICARIELLO, FRANCO, MURRAY, EDWARD, H., MOFFETT, B, D., ABADIN, G, H., SEXTON, J, M., FOWLER & A, B. (2007) Lead and delta-aminolevulinic acid dehydratase polymorphism. Environmental Health

Perspectives.

SHANNON, M. W. (1998) Clinical Managemen of Poisoning and Drug Overdose.

Sponsorhip of the United Nation Enviroment Program and The World Health,

3 rd, 767-784.

SOEBRATAGANDA, R. (1992) Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat Jakarta.

SUDARMAJI, J, M. & IP, C. (2006) Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. J Kes Ling, 2.

SUGANDI, E. & SUGIHARTO (1994) Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi, Jakarta.

SUGIHARTO & W, D. (2004) Uji Toksisitas antara Timbal dan Kadmium pada pemeriksaan Kadar Hb,Jumlah Eritrosit dan nilai PCV Tikus Putih. Unair

Surabaya.

SURYOHUDOYO, P. (2003) Kapita Selecta:Ilmu Kedokteran Molekuler, Surabaya.

TMARTIANA (2007) Use of Hematological and Immunological Biomarker As indicator of Pb Intoxication. Folia Medica Indonesia, 43, 148-152.

WAHYUNI, A. (2000) Pengaruh Pemberian Ekstrak Akar Ginseng Terhadap Volume padat eritrosit dan Kadar Timbal Darah Tikus Putih Yang Diberi Perlakuan Larutan Timbal. Unair Erlangga.

WHO (1977) Lead Enviromenmental Health. Published Under The Joint

Organization Ganeva, 3.

WIGFIELD, D. & FARRANT, J. (1981) Assay of Delta Amino Levulenate Dehydratase in 10uL of Blood. Clin Chem, 127, 100-103.


(65)

(66)

(1)

HASIL PENGOLAHAN PENELITIAN SECARA STATISTIK

Descriptives

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Bound Upper Bound KADA

RHB

Kontrol

Blank 6 11.8833 1.21065 .49424 10.6128 13.1538

Kontrol Pb 7 12.1143 2.60769 .98561 9.7026 14.5260

P1 7 12.3014 3.38692 1.28014 9.1690 15.4338

P2 6 12.8983 1.36322 .55653 11.4677 14.3289

P3 6 13.9933 2.33461 .95310 11.5433 16.4434

Total 32 12.6113 2.34889 .41523 11.7644 13.4581

AKTE NZIM

Kontrol

Blank 6 1.764854 .7756539

.316659

4 .950855 2.578853 Kontrol Pb

7 .590042 .2623909 .099174

4 .347371 .832713

P1

7 .914825 .4879860 .184441

4 .463513 1.366137

P2

6 1.038467 .6877962 .280791

6 .316669 1.760265

P3

6 1.193927 .3369777 .137570

6 .840290 1.547563 Total

32 1.078674 .6364436 .112508

4 .849211 1.308136

ANOVA

Sum of Square

s df

Mean

Square F Sig. KADA

RHB

Between Groups

(Combined)

17.535 4 4.384 .771 .554

Linear

Term

Unweighte

d 15.242 1 15.242 2.681 .113

Weighted 15.279 1 15.279 2.688 .113

Deviation 2.256 3 .752 .132 .940

Within Groups 153.500 27 5.685

Total 171.035 31

AKTE NZIM

Between Groups

(Combined)

4.774 4 1.193 4.140 .010

Linear

Term

Unweighte

d .293 1 .293 1.015 .323

Weighted .221 1 .221 .767 .389

Deviation 4.553 3 1.518 5.264 .005

Within Groups 7.783 27 .288


(2)

Multiple Comparisons

95% Confidence Interval Dependent

Variable

(I)

PERLAKUA (J)

PERLAKUA

Mean Differenc

e (I-J)

Std.

Error Sig.

Lower Bound

Upper Bound Kontrol Pb -.2310 1.32654 .863 -2.9528 2.4909

P1 -.4181 1.32654 .755 -3.1399 2.3037

P2 -1.0150 1.37661 .467 -3.8396 1.8096

Kontrol Blank

P3 -2.1100 1.37661 .137 -4.9346 .7146

Kontrol Pb Kontrol Blank .2310 1.32654 .863 -2.4909 2.9528

P1 -.1871 1.27450 .884 -2.8022 2.4279

P2 -.7840 1.32654 .559 -3.5059 1.9378

P3 -1.8790 1.32654 .168 -4.6009 .8428

P1 Kontrol Blank .4181 1.32654 .755 -2.3037 3.1399 Kontrol Pb .1871 1.27450 .884 -2.4279 2.8022

P2 -.5969 1.32654 .656 -3.3187 2.1249

P3 -1.6919 1.32654 .213 -4.4137 1.0299

P2 Kontrol Blank 1.0150 1.37661 .467 -1.8096 3.8396 Kontrol Pb .7840 1.32654 .559 -1.9378 3.5059

P1 .5969 1.32654 .656 -2.1249 3.3187

P3 -1.0950 1.37661 .433 -3.9196 1.7296

P3 Kontrol Blank 2.1100 1.37661 .137 -.7146 4.9346 Kontrol Pb 1.8790 1.32654 .168 -.8428 4.6009

P1 1.6919 1.32654 .213 -1.0299 4.4137

KADARHB

P2 1.0950 1.37661 .433 -1.7296 3.9196

AKTENZIM Kontrol Blank Kontrol Pb 1.174813 (*)

.298705

4 .001 .561920 1.787705

P1 .850029(

*)

.298705

4 .008 .237136 1.462922

P2 .726388(

*)

.309981

3 .027 .090359 1.362417 P3

.570927 .309981

3 .077 -.065102 1.206956 Kontrol Pb Kontrol Blank

-1.174813 (*)

.298705

4 .001 -1.787705 -.561920 P1

-.324783 .286986

9 .268 -.913632 .264065 P2

-.448425 .298705

4 .145 -1.061318 .164468 P3

-.603885 .298705

4 .053 -1.216778 .009008 P1 Kontrol Blank


(3)

*) Kontrol Pb

.324783 .286986

9 .268 -.264065 .913632 P2

-.123642 .298705

4 .682 -.736535 .489251 P3

-.279102 .298705

4 .358 -.891995 .333791

P2 Kontrol Blank

-.726388( *)

.309981

3 .027 -1.362417 -.090359 Kontrol Pb

.448425 .298705

4 .145 -.164468 1.061318 P1

.123642 .298705

4 .682 -.489251 .736535 P3

-.155460 .309981

3 .620 -.791489 .480569 P3 Kontrol Blank

-.570927 .309981

3 .077 -1.206956 .065102 Kontrol Pb

.603885 .298705

4 .053 -.009008 1.216778 P1

.279102 .298705

4 .358 -.333791 .891995

P2

.155460 .309981

3 .620 -.480569 .791489

Kruskal-Wallis Tes

PERLAKUA N

Mean

Rank BPHILIC

BPHILIC Kontrol Blank 6 6.00 Chi-Square 24.274

Kontrol Pb 7 28.07 df 4

P1 7 20.93 Asymp. Sig. .000

P2 6 13.33

P3 6 11.50

Total 32


(4)

Median Test

PERLAKUA

Kontrol Blank Kontrol Pb P1 P2 P3

BPHIL IC

> Median

0 7 3 0 0

<= Median 6 0 4 6 6

BPHILIC

N 32

Median 1.00

Chi-Square 24.021(a)

df 4

Asymp. Sig. .000

Mann-Whitney Test

Ranks

6 5.00 30.00

6 8.00 48.00

12 PERLAKUA

Kontrol Blank P3

Total BPHILIC

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

9.000 30.000 -1.915 .056 .180a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

BPHILIC

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: PERLAKUA b.


(5)

Ranks

6 4.50 27.00

6 8.50 51.00

12 PERLAKUA

Kontrol Blank P2

Total BPHILIC

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

6.000 27.000 -2.345 .019 .065a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

BPHILIC

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: PERLAKUA b.

Mann-Whitney Test

Ranks

6 3.50 21.00

7 10.00 70.00

13 PERLAKUA

Kontrol Blank P1

Total BPHILIC

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

.000 21.000 -3.210 .001 .001a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

BPHILIC

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: PERLAKUA b.


(6)