Efektivitas Proteksi Asam Askorbat Terhadap Peroksidasi Lipid Pada Mencit(Mus Musculus L)Yang Dipapar Plumbum Secara Intraperitoneal

(1)

TESIS

Oleh

ALMAYCANO GINTING 067008001/BM

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

EFEKTIVITAS PROTEKSI ASAM ASKORBAT

TERHADAP PEROKSIDASI LIPID PADA MENCIT (Mus musculus L) YANG DIPAPAR PLUMBUM SECARA INTRAPERITONEAL

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALMAYCANO GINTING 067008001/BM

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Tesis : EFEKTIVITAS PROTEKSI ASAM ASKORBAT TERHADAP PEROKSIDASI LIPID PADA MENCIT (Mus musculus L) YANG DIPAPAR PLUMBUM SECARA INTRAPERITONEAL

Nama Mahasiswa : Almaycano Ginting Nomor Pokok : 067008001

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D) (DR. Ramlan Silaban, M.Si) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D) ( Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc )


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 september 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D Anggota : 1. DR. Ramlan Silaban, M.Si

2. Prof. Dr.Erman Munir,M.Sc 3. dr. Datten Bangun, M.Sc, SpFK


(5)

ABSTRAK

Plumbum (Pb) merupakan salah satu logam berat yang bersifat racun bagi manusia. Pb dapat ditemukan pada semua lingkungan sekitar kita . Efek toksik Pb menyebabkan stres oksidatif sel dan meningkatkan peroksidasi lipid jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas proteksi dari asam askorbat yang diberi peroral terhadap peroksidasi lipid akibat paparan Pb secara intraperitoneal.

Penelitian ini dilakukan di laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sebanyak 36 ekor mencit ( Mus musculus L ) dibagi dalam 9 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 4 ekor mencit. Kelompok 1, hanya diberi aquadest, sedangkan kelompok ke-2 sampai ke-5 diberi Pb masing-masing dengan dosis 20, 40, 80 dan 160 mg/kgBB berturut-turut secara intraperitoneal. Kelompok perlakuan ke-6 sampai ke-9 adalah kelompok yang disupplementasi asam askorbat dosis 400 mg/kgBB peroral sehari sekali selama tujuh hari. Pada kelompok ke-6 sampai ke-9 tersebut selanjutnya diberi Pb asetat masing-masing dengan dosis 20, 40 , 80 dan 160 mg/kgBB berturut-turut secara intraperitonel satu jam setelah pemberian asam askorbat terakhir. Darah mencit diambil secara intracardial setelah dimatikan dengan cara dislokasi leher setelah 48 jam perlakuan, kemudian diukur kadar MDA dan jumlah eritrosit. Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode asam thiobarbiturat (TBA) dan jumlah eritrosit dihitung dengan menggunakan sebuah mikroskop binokuler. Data dianalisa menggunakan uji Anova dan Kruskal Wallis ( =0.05). Korelasi antara kadar MDA dan jumlah eritrosit menggunakan korelasi Pearson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) Pemberian asam askorbat dengan dosis 400 mg/kgBB mencit yang dipaparkan Pb secara intraperitoneal pada dosis 20, 80 dan 160 mg/kgBB cenderung menurunkan kadar MDA plasma, tetapi pada dosis Pb 40 mg/kgBB sebaliknya meningkatkan kadar MDA. Semua perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna (p>0.05). (b) Pemberian asam askorbat dosis 400 mg/kgBB pada mencit yang dipapar Pb secara intraperitoneal dengan dosis Pb 20 dan 40 mg/kgBB, tidak berdampak pada jumlah eritrosit tetapi sebaliknya pada dosis Pb 80 dan 160 mg/kgBB, meningkatkan jumlah eritrosit. Peningkatan ini secara statistik tidak bermakna (p>0.05) (c) Asam askorbat peroral tidak efektif memproteksi timbulnya peroksidasi lipid pada mencit yang dipaparkan Pb secara intraperitoneal.

Kata kunci: Plumbum, Malondialdehyde, Asam Askorbat, Peroksidasi Lipid, Stress Oksidatif


(6)

ABSTRACT

Lead (Pb) is one of the heavy metal that is poisonous for humans. Lead can be found all around us. Toxic effects are due to oxidative stress in cells and greater lipid peroxidation of tissues . This research aimed to study the effectiveness of ascorbic acid supplementation to prevent lipid peroxidation in mice exposed to lead intraperitoneally.

This research was done in the Multidicipline Laboratory, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Medan. 36 mice (Mus musculus L) were divided into 9 group of 4 mice each. The first group was given aquadest and the second to the fifth group was given lead intraperitoneally in doses 20, 40 , 80 and 160 mg/kgbw respectively. The sixth to the ninth treatment groups were given oral ascorbic acid supplementation of 400 mg/kgbw daily for 7 days. These groups were given lead intraperitoneally at doses of 20mg/kgbw, 40 mg/kgbw, 80 mg/kgbw and 160 mg/kgbw one hour after the last ascorbic acid treatment. 48 hours later mice were sacrificed by cervical dislocation and blood was taken intracardially measurement of MDA levels and erythrocyte counts were made. Malondialdehyde (MDA) levels were assayed using thiobarbituric acid (TBA), and erythrocytes were counted using a binocular microscope. Data were analyzed using Anova and Kruskal Wallis test (g= 0,05). The correlation between MDA levels and erythrocyte counts were analyzed using Pearson’s test.

Results of the research showed (a) Ascorbic acid at 400 mg/kgbw in the mice exposed to 20, 80 and 160 mg/kgbw lead decreased MDA levels while a 40 mg/kgbw dose of lead showed an increased MDA level in all cases the differences did not reach statistical significance (p>0.05).(b) Ascorbic acid at 400 mg/kgbw in the mice exposed to 20 and 40 mg/kgbw lead did not have any effect on the erythrocyte count but mice exposed to 80 and 160 mg/kgbw had an increased erythrocyte count in the presence of ascorbic acid. The increase did not reach statistical significance (p>0.05). (c) Oral ascorbic acid was not effective in preventing lipid peroxidation in mice intraperitoneally exposed to lead.

Keyword: Lead, Malondialdehyde, Ascorbic acid, Lipid Peroxidation, Oxidative Stress.


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya

penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis dengan judul Efektivitas proteksi asam

askorbat terhadap peroksidasi lipid pada mencit (Mus musculus L) yang dipaparkan plumbum secara intraperitoneal. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus

dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar

Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K) dan

seluruh jajarannya yang telah memeberikan kesempatan pada penulis untuk

mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Direktur Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program

Magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Siregar,

SpPD, KGEH yang telah memberikan izin dan memfasilitasi penulis untuk

mengikuti pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Ketua Program Studi Biomedik dan sekaligus Pembimbing utama, dr.


(8)

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program

magíster di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Dr. Ramlan Silaban, M.Si (sebagai anggota komisi pembimbing), atas perhatian,

bimbingan dan dorongan selama ini kepada penulis.

Prof. Dr. Erman Munir, MSc. dan dr. Datten Bangun, M.Sc, Sp.FK (komisi

pembanding) yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan,

semangat, serta saran-saran yang membangun kepada penulis dari awal tesis sampai

selesainya tesis ini.

Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada semua dosen yang telah

membimbing dan membagi ilmu kepada penulis selama mengikuti program magister

ini.

Ucapan terima kasih yang tulus dan bakti penulis sampaikan kepada kedua orang

tua, Drs. M Nurjaya Ginting dan Purwandhani Amino, kedua mertua saya , Hj.

Jeumpa dan Alm. H. Sulaiman, serta seluruh keluarga yang telah memberikan

dukungan moril dan materil selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah

Pascasarjana.

Kepada istriku tercinta, dr. Dewi Saputri, yang dengan penuh cinta kasih,

semangat dan kesabaran yang terus memotivasi dalam menyelesaikan penelitian dan

pendidikan penulis.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan,

mahasiswa Pascasarjana USU Program Studi Biomedik angkatan 2004, 2005 dan


(9)

terjalin selama ini. Kepada seluruh pihak yang telah membantu selama penulis

mengikuti pendidikan ini tak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak

terhingga.

Akhirnya penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun

demi perbaikan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 1 September 2008

Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I.IDENTITAS PRIBADI

Nama : Almaycano Ginting

NIP : 132 303 382

Pangkat /Golongan : Penata Muda Tk.I/ Assisten Ahli/IIIb

Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 24 Mei 1975

Agama : Islam

Nama istri : dr. Dewi Saputri

Alamat : Jl. M. Yakub Gg. Siddik No.14 A

E-mail: almaycano_dr@yahoo.com

Medan, 20233

II. PENDIDIKAN

1 Sekolah Dasar : SDN Percobaan, Medan, tamat tahun 1988

2 Sekolah Menengah Pertama : SMPN I, Medan, tamat tahun 1991

3 Sekolah Menengah Atas : SMAN I, Depok, tamat tahun 1994

4 Strata I (SI) : Fak.Kedokteran USU, Medan, tamat tahun 2001

III. PEKERJAAN

2002-2004 : Kepala Puskesmas Kec. Mardinding, Kab.Karo, SUMUT


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 5

I.3. Hipotesa ... 6

I.4. Tujuan Penelitian ... 6

1.4.1. Tujuan umum ... 6

1.4.2. Tujuan khusus ... 6

I.5. Manfaat Penelitian ... 6

I.6. Kerangka Teori ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

II.1. Plumbum (Pb) ... 8


(12)

II.1.2. Metabolisme Pb ... 9

II.1.3. Toksisitas Pb ... 10

II.1.4. Dampak pencemaran Pb ... 11

II.2 Radikal Bebas ... 12

II.2.1. Kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas ... 13

II.2.2. Pertahanan seluler melawan radikal bebas ... 14

II.3. Efek Plumbum Terhadap Keseimbangan Oksidan-Antioksidan ... 14

II.4. Oksidasi Lipid ... 16

II.5. Peroksidasi lipid ... 17

II.6. Asam askorbat ... 18

II.7. Sel Darah Merah ... 21

II.7.1. Morfologi... 21

II.7.2. Konsentrasi sel darah merah ... 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

III.1. Desain Penelitian ... 23

III.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 23

III.3. Populasi Penelitian ... 23

III.4. Etika Penelitian ... 24

III.5. Variabel Penelitian ... 24

III.5.1. Variabel independent ... 24

III.5.2. Variabel dependen ... 24


(13)

III.6. Pelaksanaan Penelitian ... 24

III.6.1. Perawatan hewan percobaan ... 24

III.6.2. Perlakuan hewan percobaan ... 25

III.6.3. Pembuatan bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ... 28

III.6.4. Prosedur pengukuran ... 28

III.7. Analisa Data ... 30

III.8. Kerangka Kerja ... 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

IV.1. Deskripsi Proses penelitian ... 32

IV.2. Kadar MDA plasma ... 32

IV.3. Jumlah Eritrosit ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

V.1. Kesimpulan ... 44

V.2. Saran ... 44


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Bagan kerangka teori efek proteksi asam askorbat terhadap peroksidasi lipid ... 7

2. Langkah-langkah elektron tunggal pada oksigen mendorong ke arah pembentukan jenis oksigen yang reaktif seperti superoksida, peroksida hidrogen, dan radikal hidroksil ... 12

3. Reaksi Fenton dan Haber-weis untuk pembentukan radikal hidroksil... 13

4. Efek Pb pada metabolisme glutathion ... 16

5. Rumus bangun asam askorbat ... 18

6. Kerangka kerja penelitian ... 31

7. Sebaran rerata kadar MDA pada kelompok kontrol dan perlakuan ... 33

8. Perbandingan rerata kadar MDA antara kelompok kontrol dan perlakuan ... 34

9. Sebaran rerata jumlah eritrosit pada kelompok kontrol dan perlakuan ... 39

10. Perbandingan rerata jumlah eritrosit antara kelompok kontrol dan perlakuan ... 40


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Persetujuan Komite Etik ... 51 2. Analisa Statistik ... 52


(17)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Plumbum (Pb) merupakan salah satu logam berat yang bersifat racun bagi manusia. Pb dapat ditemukan pada semua lingkungan sekitar kita. Pakar lingkungan

sependapat bahwa Pb merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di

udara (Winarno, 1993). Mayoritas Pb berasal dari pembakaran bahan bakar

kendaraan bermotor, emisi industri dan penggunaan cat bangunan yang mengandung

Pb. Pb juga dapat mencemari air minum karena adanya kontaminasi dari pipa, solder

dan kran air (Hariono, 2005).

Pb yang paling banyak terdapat di udara adalah Pb anorganik, terutama berasal

dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor yang mengandung Pb tetraethyl

dan Pb tetramethyl (USEPA,1986; WHO,1987). Komisi Penghapusan Bensin Ber-Pb

(KPBB) melaporkan bahwa konsentrasi Pb di udara ambient di beberapa kota

besar seperti: Jabotabek pada tahun 2000 menunjukkan 1,75-3,5 g/m3, Kota Bandung pada tahun 2004 2-3,5 g/m3, Yogyakarta 2 g/m3, Makassar 9 g/m3, dan Semarang 9 g/m3. Konsentrasi 1 g/m3 Pb yang berada di udara berdampak pada peningkatan kadar Pb dalam darah 2,5-5,3 g/dL (KPBB, 2006). Akumulasi

kandungan Pb dalam darah akan menyebabkan berbagai dampak buruk antara lain:

Peningkatan kematian orang dewasa akibat penyakit kardiovaskuler, menurunnya IQ

anak-anak, gangguan saluran cerna, anemia, nephropathy dan encephalopathy


(18)

Manusia dewasa dan anak-anak sering terpapar Pb melalui udara, air dan makanan

(Elias, 1985). Problema intoksikasi Pb yang lebih luas ialah kadar Pb yang terdapat

dalam udara yang dapat diabsorbsi melalui paru dengan baik, dimana 25-50% Pb

yang dihirup akan diabsorbsi ke dalam darah (Sjamsudin dan Suyatna, 1978).

Dari beberapa hasil penelitian FKM UI tahun 1987 menunjukkan kadar Pb pada

spesimen darah pekerja jalan Tol Jagorawi adalah 39,2-75,9 g/dL Demikian juga

hasil penelitian Nani pada tahun 1984 menunjukkan bahwa 30-46% pengemudi dan

petugas polantas mempunyai kadar Pb dalam darah 40 g/dL. Sedangkan kadar Pb

yang diperkenankan WHO pada orang dewasa normal adalah 10-25 g/dL dan untuk

usia anak-anak adalah 0-10 g/dL (Depkes, 2001).

Sifat toksikologi Pb saat ini banyak diteliti. Sistem pencernaan, sistem saraf pusat

(Busnell dan Levin,1983; Cohn et al, 1993), sistem hemopoietik (Baloh, 1974),

sistem kardiovaskuler (Stofen, 1974) dan ginjal (Baloh, 1974; Nolan dan Shaikh,

1992) meru- pakan sistem dan organ tubuh yang paling sensitif terhadap efek toksik.

Intoksikasi Pb akut jarang terjadi, biasanya bersifat accidental poisoning yaitu

termakannya senyawa Pb akut yang mengenai saluran pencernaan, susunan saraf

pusat dan susunan saraf perifer. Anemia hemolitik berat kadang-kadang terjadi pada

intoksikasi Pb akut. Hal ini diduga karena Pb merangsang hemolisis oksidatif dan

merusak membran sel eritrosit muda dan dewasa pada sumsum tulang serta darah

tepi, menurunkan aktivitas superoksida dismutase (SOD) dan peningkatan konversi

oksihemoglobin menjadi methemoglobin (Gurer dan Ercal, 2000). Pb menyebabkan


(19)

membran sel. Pb juga menurunkan absorbsi besi di saluran cerna dan menghambat

biosintesa heme, menyebabkan gagalnya pembentukan hemoglobin darah dan juga

menurunkan aktifitas katalase yang memerlukan heme sebagai gugus prostetiknya

(Ercal et al, 2001). Intoksikasi Pb kronik didapatkan melalui paparan terhadap Pb

secara terus-menerus sehingga akumulasi Pb makin meningkat dalam jaringan dan

akhirnya menimbulkan gejala intoksikasi (Sjamsudin dan Suyatna, 1978). Pengaruh

Pb ternyata sangat luas, Pb juga diketahui dapat menginduksi terjadinya stres

oksidatif pada tubuh dengan merangsang pembentukan radikal bebas dan mereduksi

sistem pertahanan antioksidan dari sel (Gurer dan Ercal, 2000). Stres oksidatif yang

muncul merupakan akibat ketidakseimbangan antara produksi dan penghancuran

Reactive Oxigen Spesies (ROS) seperti peroksidasi lipid, anion superoksida,

peroksida hidrogen, dan peroksinitrit. Stres oksidatif yang terjadi ditandai dengan

naiknya Lipid Peroxidation Potensial (LPP) di dalam jaringan yang dapat ditentukan

dengan mengukur molekul malondialdehyde (MDA). Pengukuran MDA banyak

dilakukan sebagai parameter terjadinya peroksidasi lipid. Penelitian pada hewan

percobaan yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 200 mg/kgBB melalui injeksi

peritoneal selama 4 minggu ternyata dapat menyebabkan stress oksidatif yang

ditandai dengan naiknya LPP di dalam jaringan. (Acharya et al, 2003).

Banyak bukti - bukti ilmiah yang mengindikasikan bahwa kerusakan sel yang

diperantarai oleh ROS atau stres oksidatif kemungkinan berperan dalam patologi

intoksikasi Pb (Hemes-Lima et al, 1991; Bechara et al, 1993; Sandhir et al, 1995;


(20)

kuat dengan konsentrasi Pb dalam darah pada orang yang terpapar Pb (Jiun dan

Hsien, 1994). Pada eritrosit dari individu yang terpapar Pb, aktivitas enzim-enzim

antioksidan seperti superoksida dismutase dan glutathion peroksidase, ditandai lebih

tinggi dari pada mereka yang tidak terpapar Pb (Monteiro et al, 1986). Menurut

Gurer et al (1999) dalam penelitiannya mendapati bahwa Pb meningkatkan rasio

prooksidan/antioksidan pada tikus yang diberi Pb.

Kemampuan menetralisir senyawa oksidan sebenarnya sudah dimiliki oleh sel atau

tubuh itu sendiri. Enzim glutathion peroksidase, uric acid dan enzim katalase bekerja

menetralisir oksidan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida (H2O2) dapat

menimbulkan ROS yang memicu terjadinya peroksidasi lipid. Selain itu senyawa

oksida seperti superoksida (O2) dapat dinetralisir oleh tubuh dengan bantuan enzim

superoksida dismutase (SOD), radikal hidroksil dan oksigen singlet dinetralisisr oleh

uric acid. Walaupun tubuh memiliki enzim-enzim antioksidan sendiri, namun

kerjanya banyak berada di intrasel. Kemampuan tubuh tidak cukup untuk menetralisir

seyawa oksidan akibat paparan bahan-bahan beracun yang berasal dari lingkungan

yang bersifat radikal, termasuk salah satunya Pb dari pembakaran bahan bakar

kendaraan bermotor, pestisida, nitrat, radioaktif dan sebagainya (Goodman, 1995).

Asam askorbat (L-Ascorbic Acid) merupakan senyawa alami yang bersifat

antioksidan kuat dan mempunyai kemampuan mengikat zat-zat radikal seperti

superoksida dan radikal hidroksil, serta juga bereaksi langsung dengan hidrogen

peroksida (Carr dan Frei, 1999). Pada beberapa reaksi asam askorbat bersifat sebagai donor elektron. Asam askorbat dengan dosis 400 mg dapat melindungi otot dari


(21)

kerusakan oksidatif selama aktivitas jangka panjang seperti berolahraga berat dan menstimulasi reparasi fungsi otot (Tjay dan Rahardja, 2006). Pada tikus yang terpapar Pb, dengan pemberian konsentrasi 500 mg/L Asam askorbat di dalam air minumnya dapat menurunkan kadar ROS sebesar 40% (Hsu et al, 1998).

Pada penelitian yang menggunakan asam askorbat dengan dosis 1000 mg pada ibu-ibu hamil didapatkan adanya suatu hubungan yang terbalik antara konsentrasi Pb darah dan kadar asam askorbat pada wanita hamil (West et al, 1994). Hasil-hasil

yang didapat tersebut mendorong anggapan bahwa antioksidan mungkin memegang

peranan penting pada penanganan keracunan Pb. Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa asam askorbat dengan dosis 400mg/kgBB yang diberikan secara oral, mampu meningkatkan kadar glutathion di darah maupun di hati tikus albino swiss sebagai indikator terjadinya perbaikan terhadap stress oksidatif (Gajawat et al, 2006).

Meskipun telah banyak penelitian tentang keracunan Pb, namun belum banyaknya kajian tentang bagaimana efektivitas proteksi asam askorbat terhadap berbagai konsentrasi paparan Pb memberi peluang penelitian selanjutnya.

I.2. Perumusan Masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah tersebut diatas, memberikan dasar

untuk merumuskan permasalahan penelitian yaitu apakah pemberian asam askorbat

peroral mampu memproteksi terjadinya peroksidasi lipid secara efektif pada mencit


(22)

I.3. Hipotesa

Asam askorbat peroral mampu memproteksi terjadinya peroksidasi lipid secara efektif pada mencit (Mus musculus L) yang dipaparkan Pb secara intraperitoneal.

I.4. Tujuan Penelitian I.4.1 Tujuan umum

Mengetahui efektifitas pemberian asam askorbat dalam memproteksi terjadinya

peroksidasi lipid akibat paparan Pb secara intraperitoneal.

I.4.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui efektifitas proteksi dari pemberian asam askorbat dengan dosis 400

mg/kgBB peroral terhadap kadar MDA plasma mencit yang dipapar Pb secara

intraperitoneal dengan berbagai konsentrasi Pb.

2. Mengetahui bagaimana gambaran MDA plasma dan jumlah eritrosit dari mencit

yang dipaparkan Pb secara intraperitoneal yang sebelumnya telah diproteksi

dengan 400 mg/kgBB asam askorbat peroral.

I.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat ilmiah tentang efektifitas proteksi

asam askorbat terhadap berbagai variasi konsentrasi Pb sebagai upaya

pencegahan kerusakan sel akibat paparan Pb.


(23)

proteksi asam askorbat sehingga dapat dipergunakan dalam upaya membantu

mencegah kerusakan sel akibat paparan Pb.

I.6. Kerangka Teori

- Menghambat enzim anti oksidan - Kompetisi logam transisi, - AkumulasALA - Menstimulasi ROS

Peroksidasi Lipid

Asam askorbat

Radikal bebas Plumbum (Pb)

- Lisis eritrosit - Kerusakan sel jaringan sekitar

MDA Ket: efek proteksi


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. Plumbum (Pb)

Plumbum (Pb) dalam susunan unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami di kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami.

Pb dapat ditemukan di lingkungan dalam bentuk senyawa terutama sebagai mineral

seperti galena, serusite, mimetit dan piromorphite. Polusi lingkungan oleh Pb

berlangsung pada peleburan dan penyulingan Pb, pembakaran bahan bakar yang

mengandung Pb, serta pembakaran batu bara dan minyak bumi. Pb digunakan dalam

bentuk murni dan kombinasi dengan elemen lain, membentuk berbagai senyawa

organik dan anorganik (WHO, 1977).

Apabila Pb terhirup atau tertelan oleh manusia, di dalam tubuh ia akan beredar

mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam ginjal dan otak, serta disimpan

di dalam tulang dan gigi. Manusia menyerap Pb melalui udara, debu, air dan

makanan. Menurut Material Safety Data Sheet (MSDS) 2006, Pb diidentifikasi

sebagai racun berat (grade 3) dan oksidan kuat (grade 3). Berakibat fatal bila

termakan atau terhirup, menyebabkan iritasi kulit, mata dan saluran napas,

neurotoksin, merusak gusi, sistem saraf pusat, ginjal dan sistem reproduksi.

II.1.1 Sifat fisika dan kimia

Plumbum (Pb) atau yang sehari-hari dikenal sebagai timah hitam adalah logam

berat berwarna kelabu kebiruan yang termasuk kedalam golongan IV-A pada tabel


(25)

207,19 dan berat jenis 11,34. Bersifat lunak dengan titik leleh 327°C dan titik didih

1.620°C. Pada suhu 550-600° Pb menguap dan di udara membentuk Pb oksida.

Walaupun bersifat lunak dan lentur, Pb sangat rapuh, sulit larut dalam air dingin

namun dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 1994).

Senyawa organometalik yang terpenting adalah Pb tetraethyl (tetra ethyl lead

/TEL) dan Pb tetrametil (tetra methyl lead /TML) yang tidak larut dalam air tetapi

mudah larut dalam pelarut organik dan lemak (Palar, 1994). Menurut data dari

Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1977, Pb termasuk kedalam

”Top-20” dari bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagaimana arsenic, mercury , cadnium

dan chromium (Sudarmaji et al, 2006).

II.1.2. Metabolisme Pb

Pajanan Pb dapat berasal dari makanan, minuman, udara, lingkungan umum dan

lingkungan kerja yang tercemar Pb. Pb diabsorpsi masuk ke dalam tubuh manusia

melalui pernafasan sekitar 10-30% , saluran pencernaan 5-10% (Palar, 1994) dan

sangat sedikit melalui kulit sehingga dapat diabaikan. Absorpsi Pb melalui saluran

pernafasan dipengaruhi oleh ukuran partikel, volume pernafasan dan daya larut

(DeRoos, 1997). Sebanyak 30-40% Pb yang diabsoprsi melalui pernafasan akan

masuk aliran darah. (Palar, 1994).

Distribusi Pb yang diabsorpsi ke dalam darah sebanyak 95% diikat oleh eritrosit.

Sebagian lainnya berdifusi ke jaringan lunak (sumsum tulang, sistem saraf, ginjal dan

hati) dan ke jaringan keras (tulang, kuku, rambut, dan gigi)(Palar, 1994). Pada


(26)

ada di jaringan lunak bersifat toksik (Ardyanto, 2005).

Eksresi Pb melalui ginjal sebanyak 75-80%, saluran cerna 15% dan lainnya

melalui empedu, keringat, rambut dan kuku (Palar, 1994). Kadar Pb dalam urin

merupakan cerminan pajanan baru sehingga pemeriksaan Pb urin dipakai untuk

pajanan dari lingkungan kerja. (Goldstein dan Kipen, 1994).

II.1.3. Toksisitas Pb

Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya paparan.

Keracunan yang disebabkan oleh Pb dalam tubuh mempengaruhi berbagai jaringan

dan organ tubuh (Darmono, 2001). Mekanisme toksisitas Pb masih kontroversial, Pb

dipercaya berinteraksi secara kovalen dengan ion phosphat tertier pada asam-asam

nukleat (Holtzman et al, 1984). Pb juga dilaporkan menghambat sintesa DNA dan

pertumbuhan sel in vitro (El-Ashmawy et al, 2006) dan menginduksi pemecahan

DNA melalui perubahan sistem redoks seluler dan penekanan pembentukan protein

kinase C- , yang mengesankan logam ini berperan sebagai penyebab tumor (Fracasso

et al, 2002).

Pemberian senyawa Pb konsentrasi tinggi melalui makanan menyebabkan

kerusakan hati yang hebat dengan melibatkan radikal-radikal bebas (Sipos et al,

2003). Pada orang dewasa kadar Pb darah 10 g/dL akan mempengaruhi

perkembangan sel darah, kadar Pb darah 40 g /dL akan mempengaruhi beberapa

fungsi dari kemampuan darah untuk membentuk hemoglobin, gangguan sistem saraf

yang menyebabkan kelelahan, irritabilitas, kehilangan ingatan dan reaksi lambat


(27)

Menurut Ding et al, (2000) pada penelitiannya menemukan bahwa terdapat bukti

tak langsung radikal hidroksil menjadi molekul yang paling merusak pada hewan

yang dipapar Pb. Produk peroksidasi lipid yang diukur sebagai malondialdehid-asam

thiobarbituric (MDA-TBA) dan radikal hidroksil yang diukur sebagai 2,3 asam

dihidroksi benzoik (2,3 DHBA) pada sel endotel pembuluh darah, setelah pemaparan

plumbum 48 jam meningkat secara bermakna. Percobaan lain yang dilakukan oleh

Pagliara et al (2003) secara in vivo pada tikus, dengan pemberian Pb(NO3)2 yang

diinjeksikan intra vena didapati terjadinya penurunan kadar glutathion tereduksi

(GSH) hepar, dan mungkin berhubungan dengan terjadinya apoptosis sel hepar.

II.1.4. Dampak pencemaran Pb

Menurut ketentuan WHO, kadar Pb dalam darah manusia yang tidak terpapar oleh Pb adalah sekitar 10-25 g/dL. Paparan bahan tercemar Pb dapat menyebabkan

gangguan pada organ sebagai berikut (Sudarmaji, 2006):

a. Gangguan sistem syaraf ; berupa encephalopathy, ataxia, stupor dan coma.

Pada anak-anak dapat menimbulkan kejang tubuh dan neuropathy perifer.

b. Gangguan fungsi ginjal; berupa tidak berfungsinya tubulus renal, nefropati

irreversible, sclerosis vaskuler, sel tubulus atropi, fibrosis dan sclerosis

glomerulus, menimbulkan aminoaciduria, glukosuria dan bila

berlanjut dapat terjadi nefritis kronis.

c. Gangguan sistem reproduksi; berupa keguguran, kesakitan dan kematian

janin, bahkan dapat menyebabkan cacat kromosom.


(28)

e. Gangguan DNA ; DNA repair dihambat

II.2. Radikal Bebas

Radikal didefinisikan sebagai suatu molekul dengan sebuah elektron tak

berpasangan yang sangat reaktif diluar orbit, yang dapat memulai reaksi berantai

dengan memindahkan sebuah elektron dari molekul yang lain untuk

menyempurnakan orbitnya sendiri. Rangkaian tahapan perpindahan elektron ke O2

mengakibatkan pembentukan intermediate-intermediate yang berikut seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2, yakni, anion superoxide (O2-), yang direduksi dari

peroksida hidrogen secara parsial (H2O2), dan radikal bebas hidroksil (OH+). Struktur

elektron O2, bagaimanapun, pada reduksi menyukai penambahan satu elektron pada

saat pembuatan radikal oxigen yang dapat menyebabkan kerusakan selular (Beattie,

2002).

Gambar 2. Langkah-langkah elektron tunggal pada oksigen mendorong ke arah pembentukan jenis oksigen yang reaktif seperti superoksida, peroksida hidrogen, dan radikal hidroksil (Beattie, 2002)


(29)

Dari intermediate ini pada reduksi O2 menjadi air, radikal hidroksil adalah radikal

bebas yang sangat berbahaya karena radikal bebas tersebut dilibatkan dalam reaksi

seperti lipid peroxidation dan pembentukan radikal-radikal toksik lainya. Hidrogen

peroksida sendiri bukanlah suatu radikal bebas tetapi dikonversi oleh reaksi

Haber-Weiss atau Fenton menjadi radikal hidroksil dengan adanya Fe2+ atau Cu+ di sel seperti terlihat pada Gambar 3 (Beattie, 2002; Sadrzadeh et al, 1984).

Gambar 3. Reaksi Fenton dan Haber-weis untuk pembentukan radikal hidroksil (Beattie, 2002)

II.2.1. Kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas

Reaktive Oxygen Species (ROS) bereaksi menyebabkan kerusakan pada semua

kelompok utama makromolekul di sel. Adanya phospholipid di plasma dan

membran-membran organella merupakan subjek terhadap peroksidasi lipid. Suatu reaksi rantai

radikal bebas dimulai dengan pemindahan hidrogen dari sebuah asam lemak tak jenuh

ganda oleh radikal hidroksil. Radikal lipid yang dihasilkan akibat reaksi tersebut

selanjutnya bereaksi dengan O2 untuk membentuk radikal-radikal peroksidasi lipid


(30)

dalam darah (Beattie, 2002).

II.2.2. Pertahanan seluler melawan radikal bebas

Sel-sel yang dapat hidup dalam lingkungan anaerob telah mengembangkan

berbagai cara untuk merubah radikal bebas dan melindungi diri mereka melawan efek

yang merusak dari radikal-radikal ini. Sebuah mekanisme utama sebagai

perlindungan melawan kerusakan yang disebabkan oleh radikal-radikal oksigen

adalah glutathion peroksidase, yang mengkatalis reduksi dari hidrogen peroksida dan

peroksida lipid (Gambar.4). Enzim yang mengandung selenium ini menggunakan

grup-grup sulfhidril glutathion (GSH) sebagai donor hidrogen dengan pembentukan

bentuk disulfida yang dioksidasi dari glutathion (GSSG). Glutathion reduktase

mengubah kembali bentuk disulfida glutathion menjadi bentuk sulfhidril

menggunakan NADPH yang dihasilkan pada Pentose Phosphate Pathway sebagai

donor elektron (Lachant, 1984; Beattie, 2002; Patrick, 2006).

II.3. Efek Plumbum Terhadap Keseimbangan Oksidan-antioksidan

Toksisitas Pb dalam pembentukan radikal bebas terdiri dari dua cara berbeda yang berhubungan, yakni (1) Pembentukan ROS termasuk hidroperoksida, oksigen tunggal

dan hidrogen peroksida dan (2) Penekanan langsung cadangan antioksidan (Ercal et

al, 2001). Mekanisme Pb menginduksi stress oksidatif tidak secara sempurna

diketahui, meskipun banyak sekali penelitian menunjukkan bukti-bukti tersebut.

Beberapa penelitian melaporkan terjadinya perubahan pada enzim-enzim


(31)

(GPx) dan juga molekul antioksidan seperti glutathion (GSH) pada pemaparan Pb. Pb

pada dosis rendah meningkatkan kadar enzim-enzim antioksidan darah seperti SOD,

katalase dan GPx tetapi pemaparan pada dosis lebih tinggi ( lebih dari 40 g/dL

darah) dan jangka waktu lama justru akan menekan enzim-enzim tersebut

(Kasperczyk et al, 2004).

Plumbum menghambat beberapa enzim dengan gugus fungsional SH seperti

Glucose 6-Phosphat Dehidrogenase (G6PD). G6PD merupakan enzim yang

bertanggung jawab menyediakan NADPH diluar mitokondria, dimana hal tersebut

penting dalam menjaga tersedianya GSH yang dibentuk kembali dari Glutathion

teroksidasi (GSSG) oleh enzim Glutathion reductase (GR). Peran GSH sebagai

molekul antioksidan dapat secara non-enzimatik atau enzimatik sebagai kofaktor /

ko-enzim dalam detoksifikasi radikal bebas (Gambar 4). Pb yang berikatan dengan gugus

SH dari GSH menyebabkan kadar GSH menurun dan mempengaruhi aktivitas

antioksidannya. Enzim GR memiliki disulfida pada tempat katalitiknya yang

merupakan target Pb. Dengan demikian Pb yang terikat pada enzim ini

menghambat aktivitasnya (Ercal et al , 2001).

Enzim lainnya yang mengandung SH, h-ALAD juga mengalami penghambatan aktivitas akibat berikatan dengan Pb. Penghambatan terhadap h-ALAD akan menyebabkan produksi heme akan menurun dan meningkatkan akumulasi ALA yang

akan menstimulasi produksi ROS (Bechara et al, 1993). Pengaruh Pb terhadap

eritrosit banyak diamati oleh karena afinitas eritrosit terhadap Pb sangat tinggi.


(32)

sel, menurunkan fluiditas membran dan meningkatkan kecepatan hemolisis.

Gambar 4. Efek Pb pada metabolisme glutathion (Patrick, 2006)

II.4. Oksidasi Lipid

Oksidasi lipid terbentuk dari 3 proses dasar inisiasi, propagasi dan terminasi

akibat proses pembentukan radikal bebas yaitu:

Inisiasi :

RH R• + H •

ROOH + Mn+ RO• + M(n+)+ + OH ROOH + M(n+)+ ROO• +Mn+ + H+ 2 ROOH ROO• + RO• + H2O Propagasi:

R• + O2 ROO•


(33)

RO• + RH ROH + R•

Terminasi:

R• + R• RR

R• + ROO• ROOR

ROO• + ROO• ROOR + O2

RH, R, RO, ROO, ROOH dan M berturut-turut merupakan symbol untuk asam

lemak tidak jenuh atau ester dengan atom H pada atom karbon alilik, radikal alkil,

radikal alkoksil, radikal peroksil, hidroperoksida dan logam transisi (Apriyanto,

2002).

II.5. Peroksidasi lipid

Peroksidasi lipid adalah mekanisme dari trauma sel, baik pada tumbuhan ataupun hewan. Digunakan sebagai indikator dari stres oksidatif pada sel dan

jaringan. Peroksida lipid yang berasal dari asam lemak tak jenuh ganda, bersifat tidak

stabil dan mengalami perubahan membentuk beberapa senyawa kompleks (Mc Kee

dan Mc Kee, 2003).

Asam lemak tidak jenuh ganda mudah sekali teroksidasi oleh radikal bebas atau

senyawa-senyawa reaktif lainnya seperti H2O2. Reaksi peroksidasi lipid dimulai

dengan keluarnya atom hidrogen dari asam lemak tidak jenuh ganda. Radikal lipid

yang terbentuk kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil yang

bersifat radikal, ketika radikal peroksil ini menarik atau mengeluarkan atom hidrogen


(34)

pembentukan senyawa-senyawa aldehyde, terutama Malondialdehyde (MDA).

Sehingga pengukuran MDA sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid

jaringan (Mc Kee dan Mc Kee, 2003).

II.6. Asam Askorbat

Antioksidan dengan berat molekul kecil yang ditemukan dalam makanan adalah

asam askorbat atau sering disebut asam askorbat, vitamin A, vitamin E, zink,

selenium dan karotenoid. (Sudaryanti, 1999). Asam askorbat mula-mula dikenal sebagai asam heksuronat dengan rumus C6H8O6 (Gambar 5) Asam askorbat bekerja

sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reducing agent

(pendonor elektron) yang kuat dan antioksidan. Bukti substansial yang

menghubungkan radikal bebas dengan penyakit, mengarah pada penelitian mengenai

nutrien antioksidan dan antioksidan farmakologis untuk pencegahan penyakit

(Tuminah, 2000).


(35)

Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Anti oksidan pencegah

Pada dasarnya adalah untuk mencegah terbentuknya radikal hidroksil yaitu radikal yang paling berbahaya. Termasuk ke dalam antioksidan pencegah adalah :

a. Katalase (dalam sitoplasma), dapat mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan O2.

Komponen katalase adalah Fe2+.

b. Enzim SOD (Superoksida dismutase) yang ada di dalam tubuh manusia, yaitu yang berada di mitokondria (Mn-SOD) dan di sitoplasma (CuZn-SOD).

c. Bermacam-macam enzim peroksidase seperti glutathion peroksidase yag dapat meredam H2O2 menjadi H2O melalui siklus reduksi-oksidasi glutathion.

d. Senyawa yang mengandung gugus sulfhidril ( glutathion, sistein ) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil dengan mengkatalisir menjadi H2O.

2. Antioksidan pemecah rantai

Antioksidan pemecah rantai dapat digolongkan menjadi antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Yang termasuk ke dalam antioksidan eksogen adalah asam askorbat, vitamin E serta beta karoten. Sedangkan golongan endogen adalah glutathion dan sistein. Vitamin E dan beta karoten bersifat lipofilik sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya asam askorbat, glutathion dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol dan cairan ekstrasel (Sudaryati, 1999; Mayes, 2003).


(36)

Vitamin-vitamin tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung

memberikan elektron pada enzim yang membutuhkan. Penggunaan vitamin tersebut

diharapkan akan memberikan efek yang optimal dalam menghadapi aktivitas senyawa

oksigen reaktif (ROS). (Dewoto dan Wardhini, 1995; Christyaningsih, 2003).

Asam askorbat juga berfungsi sebagai donor ekuivalen pereduksi, yang dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat yang juga bertindak sebagai sumber vitamin. Asam askorbat merupakan agen pereduksi yang mampu mereduksi senyawa-senyawa seperti oksigen molekular, nitrat, dan sitokrom a dan c. Mekanisme kerja berbagai aktivitas asam askorbat masih belum jelas. Dalam beberapa proses asam askorbat tidak berpartisipasi secara langsung, tapi diperlukan untuk mempertahankan agar kofaktor logam dapat berada dalam keadaan tereduksi (Mayes, 2003).

Asam askorbat menstimulasi banyak proses metabolisme berkat sistem redoksnya yaitu mudah dioksidasi dan direduksi kembali dengan bantuan glutathion. Pada beberapa reaksi asam askorbat bersifat sebagai donor elektron. Asam askorbat dosis 400mg dapat melindungi otot dari kerusakan oksidatif selama aktivitas jangka panjang seperti berolahraga berat dan menstimulasi reparasi fungsi otot (Tjay dan Rahardja, 2002). Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa pemberian asam askorbat dengan dosis besar dapat menanggulangi beberapa proses penyakit.

Beberapa infeksi virus dapat diatasi dengan pemberian asam askorbat dosis 500 mg bahkan 1000 mg. Sedangkan asam askorbat dengan dosis 200 mg sampai 500 mg telah terbukti dapat mengatasi kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh berbagai logam berat (Klenner, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Dawson et al (1999),


(37)

telah membuktikan bahwa asam askorbat dengan dosis 1000 mg secara signifikan dapat menurunkan kadar Pb darah pada perokok. Adapun dosis optimal asam askorbat sebagai antioksidan sangat tergantung derajat paparan radikal bebas (Sanjoto, 2001).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) asam askorbat adalah 35 mg untuk bayi dan meningkat kira-kira sampai 60 mg pada dewasa. Kebutuhan asam askorbat akan meningkat 300-500 kali pada penyakit infeksi, tukak peptik, neoplasma dan keadaan-keadan yang dapat meningkatkan metabolisme tubuh. (Dewoto dan Wardhini, 1995).

II.7. Sel Darah Merah

II.7.1. Morfologi

Sel darah merah atau eritrosit adalah sel yang terbanyak di dalam darah. Sel

darah merah mengandung senyawa berwarna merah yang disebut hemoglobin. Sel ini

dengan mudah dapat dilihat dengan bantuan mikroskop pada sediaan hapusan darah.

Sel ini memiliki ciri khas yaitu tidak memiliki inti.dan berbentuk dwicekung

(Sadikin, 2002).

II.7.2. Konsentrasi sel darah merah

Konsentrasi sel darah merah perlu diketahui untuk menilai fisiologis tubuh. Ada

beberapa cara yang digunakan untuk menyatakan konsentrasi sel darah merah di

dalam darah. Pertama ialah menyatakannya dalam konsentrasi hemoglobin, kedua

sebagai jumlah sel darah merah dalam suatu volume tertentu dan yang ketiga dalam


(38)

Jumlah sel darah merah biasanya dihitung secara mikroskopis dengan

menggunakan alat yang bernama kamar hitung improved Neubauer. Dengan cara ini

konsentrasi darah dinyatakan sebagai jumlah sel darah merah/mm3. Nilai yang umumnya disepakati sebagai nilai normal ialah 5x106 sel/mm3 untuk laki-laki dewasa dan 4,5x106 sel/mm3 (Sadikin M, 2002), sedangkan untuk mencit 6,86-11,7x106 sel/mm3 (Mitruka, 1981;Loeb, 1989).


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN III.1. Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan acak sederhana. Sebanyak 36 ekor mencit betina (Mus musculus L) dibagi dalam 9

kelompok perlakuaan .Masing-masing kelompok terdiri atas 4 ekor mencit. Adapun

penentuan jumlah ulangan dengan menggunakan Rancangan Acak Sederhanamenurut

Federer (1963) adalah sebagai berikut:

{(t-1)(n-1)}≥ 15 Keterangan:

n= besar sampel dalam kelompok perlakuan

t= banyaknya kelompok perlakukan (9 kelompok)

III.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilakukan selama 6 minggu.

III.3. Populasi Penelitian

Mencit betina Mus musculus L, strain DDW, berumur 6-8 minggu dengan berat

badan 20-35 gr. Hewan uji diperoleh dari Laboratorium Struktur dan Perkembangan

Hewan, Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium


(40)

III.4. Etika Penelitian

Penggunaan hewan penelitian telah dilakukan sesuai dengan aturan etika

penelitian yang diatur dalam Deklarasi Helsinki dan telah memperoleh ”ethical

clearance” dari komite etik dan komite ilmiah penelitian bidang kesehatan Fakultas

Kedokteran, USU.

III.5. Variabel Penelitian

III.5.1. Variabel independen : Asam askorbat 400 mg/kgBB dan Pb dosis 20

mg/kgBB, 40 mg/kgBB, 80 mg/kgBB, dan

160 mg/kgBB.

III.5.2. Variabel dependen : Kadar MDA plasma dan jumlah eritrosit

III.5.3. Variabel kendali : Jenis kelamin, berat badan, umur, lingkungan

dan makanan.

III.6. Pelaksanaan Penelitian

III.6.1. Perawatan hewan percobaan

Perawatan hewan percobaan dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas

Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, dalam kandang bersekat (berkamar) 36

buah dan diberi alas sekam padi. Masing-masaing kamar ditempatkan 1 ekor mencit.

Kandang ditempatkan dalam ruangan tertutup dengan temperatur ruangan (25± 2°C)

dan masuknya cahaya secara tidak langsung . Mencit diberi makanan sesuai standar


(41)

aquades secara ad libitum. Sebelum perlakuan, hewan percobaan diaklimatisasi

selama 1 minggu. Selama aklimatisasi, pengamatan dilakukan terhadap hewan

percobaan meliputi tingkah laku, kemampuan dalam mengkonsumsi makanan, serta

penimbangan berat badan yang dilakukan di awal dan akhir masa aklimatisasi.

Kandang, tempat makan dan minum dibersihkan dan alas sekam padi diganti

sedikitnya dua hari sekali (Smith, 1988).

III.6.2. Perlakuan hewan percobaan

Sampel yang terdiri dari 36 ekor mencit dibagi ke dalam sembilan kelompok yang

terdiri atas 4 ekor untuk setiap kelompok. Bahan uji larutan asam askorbat diberikan

secara oral dengan menggunakan sonde gavage yaitu alat suntik dengan jarum yang

ujungnya telah ditumpulkan, sedangkan bahan uji larutan Pb asetat diberikan dengan

cara diinjeksikan ke intraperitoneal. Volume pemberian bahan asam askorbat dan

Pb asetat adalah 0,1 mL/10 gBB setiap hari sesuai prosedur pemberian sebagai

berikut

1. Kelompok 1 (n=4): Hewan dari kelompok ini hanya menerima air suling

ganda /Aquabidest.

2. Kelompok 2 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi Pb asetat 20 mg/kgBB

secara intraperitoneal sekali pemberian.

3. Kelompok 3 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi Pb asetat 40

mg/kgBB secara intraperitoneal sekali pemberian.

4. Kelompok 4 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi Pb asetat 80 mg/kgBB


(42)

5. Kelompok 5 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi Pb asetat 160 mg/kgBB

secara intraperitoneal sekali pemberian.

6. Kelompok 6 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi asam askorbat (400

mg/kgBB/hewan ) secara oral-gavage sekali sehari selama 7 hari

berturut-turut, sebelum pemberian Pb asetat. Pb asetat dengan dosis 20 mg/kgBB

diberikan secara intraperitoneal pada hari ke-7, satu jam setelah pemberian

asam askorbat.

7. Kelompok 7 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi asam askorbat ( 400

mg/kgBB/hewan) secara oral-gavage sekali sehari selama 7 hari

berturut-turut, sebelum pemberian Pb asetat. Pb asetat dengan dosis 40 mg/kgBB

diberikan secara intraperitoneal pada hari ke-7, satu jam setelah pemberian

asam askorbat.

8. Kelompok 8 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi asam askorbat ( 400

mg/kgBB/hewan) secara oral-gavage sekali sehari selama 7 hari

berturut-turut, sebelum pemberian Pb asetat. Pb asetat dengan dosis 80 mg/kgBB

diberikan secara intraperitoneal pada hari ke-7, satu jam setelah pemberian

asam askorbat.

9. Kelompok 9 (n=4): Hewan dari kelompok ini diberi asam askorbat ( 400

mg/kgBB/hewan) secara oral-gavage sekali sehari selama 7 hari

berturut-turut, sebelum pemberian Pb asetat. Pb asetat dengan dosis 160 mg/kgBB

diberikan secara intraperitoneal pada hari ke-7, satu jam setelah pemberian


(43)

Pemberian bahan percobaan secara oral dilakukan setiap hari antara pukul 08.30 -

10.30 WIB selama 7 hari berturut-turut.

Tabel 1. Perlakuan pada hewan coba

Kelompok DDW/Aquabidest Asam Askorbat (mg/KgBB)

Pb Asetat (mg/KgBB)

1 √ - -

2 - - 20

3 - - 40

4 - - 80

5 - - 160

6 - 400 20

7 - 400 40

8 - 400 80

9 - 400 160

Pengambilan sampel darah mencit dilakukan 48 jam setelah perlakuan terakhir.

Darah diambil secara intracardial menggunakan spuit 1 ml (TerumoTM) setelah dilakukan dislokasi leher. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam cuvet yang

telah diberi heparin sebagai antikoagulan dan selanjutnya dilakukan pengukuran :

(1) Kadar MDA plasma dan (2) Jumlah eritrosit. Dosis asam askorbat dan Pb serta

lamanya waktu pemberian dalam penelitian ini dimodifikasi dari penelitian yang


(44)

III.6.3 Pembuatan bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan A. Pembuatan larutan asam askorbat

Tepung Asam askorbat (L-ascorbic acid; C6H8O6) yang digunakan pada penelitian

ini dilarutkan dalam air suling ganda dengan konsentrasi 40 mg/mL dan diberikan

secara oral sekali sehari selama 7 hari berturut-turut pada mencit Mus musculus L,

dengan dosis 400 mg/kgBB

B. Pembuatan larutan Pb

Plumbum asetat dalam bentuk tepung (C4H6O4Pb) yang digunakan dalam

penelitian ini disuntik secara intraperitoneal pada mencit dengan dosis sebagai

berikut: (a) Dosis 20 mg/kgBB dibuat dalam konsentrasi 2 mg/mL dengan air suling

ganda sebagai pelarut,(b) Dosis 40 mg/kgBB dibuat dalam konsentrasi 4 mg/mL

dengan air suling ganda sebagai pelarut, (c) Dosis 80 mg/kgBB dibuat dalam

konsentrasi 8 mg/mL dengan air suling ganda sebagai pelarut, (d) Dosis 160

mg/kgBB dibuat dalam konsentrasi 16 mg/mL dengan air suling ganda sebagai

pelarut.

III.6.4. Prosedur pengukuran

A. Pengukuran kadar MDA plasma

Menggunakan metode TBA Assay (Hsieh et al, 2006).

Alat : (1) Micropipette 200 L, (2) Micropipette 1000 L, (3) Micropipettes tips,

(4) Tabung Microcentrifuge polypropylene, (5) Spectrophotometer

Genesis 5TM, (6) Vortex mixer, (7)Water bath, (8) Centrifuge, (9) Cuvette.


(45)

Protokol kerja: Diisikan 100 L sampel (plasma darah) ke tabung microcentrifuge,

lalu ditambahkan 900 L aquadest ke dalam tabung diatas. Selanjutnya ditambahkan

500 L reagensia TBA (2- Thiobarbituric acid). Kemudian tabung divortex lalu

dipanaskan dalam waterbath pada suhu 95°C selama 60 menit. Tabung disentrifugasi

pada 7000 RPM selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam cuvet yang

steril dan bersih lalu dibaca pada panjang gelombang 534 nm.

B. Penghitungan jumlah sel eritrosit

Alat : (1) Pipette eritrosit, (2) Kamar hitung improved Neubauer, (3) Kaca penutup (cover glass)

Bahan : (1) Reagensia Hayem, (2) Darah (whole blood)

Protokol kerja: Diisikan darah ke dalam pipet sampai 0.5, lalu kelebihan darah pada

ujung pipet dihapus. Sambil menahan darah pada ujung pipet, diisikan larutan

Hayem sampai garis 101. Selanjutnya pipet diletakkan pada posisi horizontal agar

cairan tidak keluar. Tekan kedua ujung pipet, kemudian goyang selama 3-5 menit

lalu cairan dibuang sebanyak 3 tetes, selanjutnya dengan posisi 30 derajat cairan

diteteskan ke dalam kamar hitung yang telah ditutup dengan kaca penutup. Kamar

hitung dibiarkan selama 2 menit. Kemudian eritrosit dihitung dibawah mikroskop

dengan pembesaran 40x.

Cara penghitungan: Bidang yang dihitung adalah 5 bidang kecil: E1+E2+E3+E4+E5.

Pengenceran eritrosit 200x , tinggi kamar hitung 1/10 mm, seluruh permukaan kamar

hitung adalah 1/5 mm, maka faktor perkalian adalah : 5*10*200 = 10000/mm3. Sehingga jumlah eritrosit = (E1+E2+E3+E4+E5) * 10000/mm3.


(46)

III.7. Analisa Data

Seluruh data yang diperoleh dianalisa dengan program SPSS versi 11.5.

Perbedaan rerata kadar MDA dan jumlah eritrosit dianalisa menggunakan uji

ANOVA untuk data berdistribusi normal. Bila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan

uji multiple comparition test (MCT) yaitu uji Bonferoni pada tingkat kemaknaan

p<0.05. Bila data tidak berdistribusi normal, dilakukan uji Kruskal Wallis. Korelasi


(47)

III.8. Kerangka kerja

Selama 7 hari

Setelah 48 jam Mencit , 6-8 minggu,

BB 20-35 gr

1 Aquabidest

Asam askorbat 400 mg/kgBB sekali/hari

1 jam setelah pemberian asam askorbat hari ke-7

6 Pb 20 mg/kgBB 7 Pb 40 mg/kgBB 8 Pb 80 mg/kgBB 9 Pb 160 mg/kgBB 2 Pb 20 mg/kgBB 3 Pb 40 mg/kgBB 4 Pb 80 mg/kgBB 5 Pb 160 mg/kgBB

Aklimatisasi 1 minggu

Diperiksa kadar MDA plasma, & jumlah eritrosit


(48)

BAB 1V

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Deskripsi Proses Penelitian

Mencit dipelihara di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU dan

diaklimatisasi selama 7 hari. Selama proses aklimatisasi, berat badan dan aktivitas

fisik setiap mencit terus diperhatikan. Berat badan mencit setelah proses aklimatisasi

meningkat dibandingkan dengan berat badan mencit sebelum dilakukan aklimatisasi.

Setelah aklimatisasi selesai, maka mencit dibagi dalam 9 kelompok perlakuan.

Semua mencit dari kelompok kontrol ataupun kelompok perlakuan diambil

darahnya setelah 48 jam perlakuan terakhir. Pengambilan darah dilakukan dengan

menggunakan teknik dislokasi leher dan pembedahan rongga dada guna memastikan

jarum suntik tepat berada di intracardial mencit. Selanjutnya darah dikumpulkan

dalam cuvet yang telah diberi heparin.

IV.2. Kadar MDA Plasma

Pengaruh pemberian Pb dengan berbagai dosis terhadap kadar MDA plasma

ditunjukkan pada Gambar 7. Penilaian pengaruh pemberian Pb dengan berbagai dosis

yang sebelumnya diproteksi dengan asam askorbat 400 mg/kgBB dilakukan dengan

cara mengelompokkan kelompok perlakuan ke dalam empat kelompok (I-IV).

Masing-masing kelompok terdiri atas kelompok kontrol, kelompok yang hanya


(49)

yang sama. Perbandingan efektifitas proteksi asam askorbat terhadap paparan Pb

yang diberikan secara intraperitoneal dengan berbagai dosis terlihat pada Gambar 8.

2.76 5.7

5.09

3.66 4.18 3.42 9.95 2.83 3.11 0 2 4 6 8 10 K a d a r MD A (u M/ m L )

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9

Kelompok Perlakuan

Gambar 7. Sebaran rerata kadar MDA pada kelompok kontrol dan perlakuan

Keterangan :

K1 : Kelompok yang hanya diberi aquadest (sebagai kontrol) K2 : Kelompok yang diberi Pb asetat dosis 20 mg/kgBB K3 : Kelompok yang diberi Pb asetat dosis 40 mg/kgBB K4 : Kelompok yang diberi Pb asetat dosis 80mg/kgBB K5 : Kelompok yang diberi Pb asetat dosis 160 mg/kgBB

K6 : Kelompok yang diberi Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb asetat dosis 20 mg/kgBB K7 : Kelompok yang diberi Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb asetat dosis 40 mg/kgBB. K8 : Kelompok yang diberi Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb asetat dosis 80 mg/kgBB. K9 : Kelompok yang diberi Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb asetat dosis 160 mg/kgBB

Dari Gambar 8 terlihat bahwa pada kelompok I, pemberian Pb dengan dosis 20

mg/kgBB secara intraperitoneal mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan

peroksidasi lipid yang dibuktikan dengan kadar MDA plasma yang lebih tinggi dari

kontrol yakni 5.7 M/mL banding 2.76 M/mL. Dengan pemberian asam askorbat


(50)

yang mendapat paparan Pb 20 mg/kgBB, 1 jam setelah pemberian asam askorbat

tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan kadar MDA plasma yang lebih rendah

dibandingkan kelompok yang hanya mendapat Pb yakni 3.42 M/mL banding 5.7

M/mL, namun tidak berbeda bermakna (p> 0.05). Ini menunjukkan bahwa proteksi

asam askorbat terhadap peroksidasi lipid akibat paparan Pb pada kelompok ini tidak

efektif. 2.76 5.7 3.42 2.76 5.09 9.95 2.76 3.66 2.83 2.76 4.18 3.11 0 2 4 6 8 10 K a d a r M D A ( M/ m L )

I II III IV

Kelompok Perlakuan Kontrol Pb AA +Pb p= 0.2 p= 0.16 p= 0.42 p= 0.64

Gambar 8. Perbandingan rerata kadar MDA antara kelompok kontrol dan perlakuan

Keterangan:

Kelompok I terdiri atas kelompok kontrol, kelompok dengan Pb 20 mg/kgBB, dan kelompok dengan Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb 20 mg/kgBB

Kelompok II terdiri atas kelompok kontrol, kelompok dengan Pb 40 mg/kgBB, dan kelompok dengan Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb 40 mg/kgBB

Kelompok III terdiri atas kelompok kontrol, kelompok dengan Pb 80 mg/kgBB, dan kelompok dengan Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb 80 mg/kgBB

Kelompok IV terdiri atas kelompok kontrol, kelompok dengan Pb 160 mg/kgBB, dan kelompok dengan Asam askorbat 400 mg/kgBB + Pb 160 mg/kgBB

Pada kelompok II, ketika dosis Pb ditingkatkan menjadi 40 mg/kgBB juga


(51)

plasma yang lebih tinggi dari kontrol yakni 5.09 M/mL banding 2.76 M/mL.

Pemberian asam askorbat 400 mg/kgBB pada kelompok ini tampaknya tidak mampu

menekan timbulnya peroksidasi lipid akibat paparan Pb tersebut, oleh karen kadar

MDAnya bahkan meningkat menjadi 9.95 M/mL. Kadar MDA plasma pada

kelompok yang mendapat proteksi dengan asam askorbat dibandingkan dengan

kontrol ternyata berbeda bermakna (p<0.05), sedangkan bila dibanding dengan

kelompok yang hanya mendapat Pb tidak berbeda bermakna (p>0.05). Sehingga

dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian asam askorbat ini tidak mampu

sama sekali memproteksi terjadinya peroksidasi lipid, bahkan kadar MDAnya

meningkat dengan adanya asam askorbat tersebut.

Pada kelompok III, pemberian Pb dosis 80 mg/kgBB menyebabkan peningkatan

peroksidasi lipid yang ditunjukkan dengan kadar MDA plasma yang lebih tinggi dari

kontrol yakni 3.65 M/mL banding 2.76 M/mL. Pemberian asam askorbat 400

mg/kgBB untuk mencegah terjadinya peroksidasi lipid pada kelompok ini terlihat

menurunkan kadar MDA plasma ( 2.83 M/mL ) bila diberi Pb 80 mg/kgBB tetapi

secara statistik ternyata tidak berbeda bermakna (p>0.05). Data ini menunjukkan

bahwa proteksi asam askorbat terhadap peroksidasi lipid pada kelompok ini tidak

efektif.

Pada kelompok IV, pemberian Pb dosis 160 mg/kgBB juga memberi efek

meningkatkan kadar MDA plasma bila dibandingkan dengan kontrol yakni 4.18


(52)

asam askorbat 400 mg/kgBB sebelum pemberian Pb tampaknya juga mampu

menekan timbulnya peroksidasi lipid akibat paparan Pb tersebut, namun penurunan

kadar MDA plasma yang terjadi ini ternyata tidak berbeda bermakna (p> 0.05). Hal

ini juga menunjukkan bahwa proteksi asam askorbat terhadap peroksidasi lipid juga

tidak efektif.

Kecenderungan naiknya kadar MDA akibat paparan Pb dapat terjadi dikarenakan

Pb menimbulkan kerusakan sel yang diperantarai ROS atau stress oksidatif (Bechara

et al, 1993; Hermes-Lima et al, 1991) dan secara langsung menekan sistem

antioksidan tubuh dan menimbulkan peroksidasi lipid.(Gurer dan Ercal, 2000). ROS

dapat bereaksi dan menyebabkan kerusakan pada banyak molekul di dalam sel.

Fosfolipid yang menjadi unsur utama dalam membran plasma dan membran organela

sel seringkali menjadi subjek dari peroksidasi lipid. Penelitian sebelumnya

membuktikan bahwa kerentanan fosfatidilserin dan fosfatidiletanolamin (lapisan

dalam membran eritrosit) terhadap enzim fosfolipase akan lebih tinggi bila

konsentrasi H2O2 meningkat sehingga meningkatkan akumulasi MDA di membran

eritrosit (Jain, 1984). Peroksidasi lipid adalah suatu reaksi rantai radikal bebas yang

diawali dengan terbebasnya hidrogen dari suatu asam lemak tak jenuh oleh radikal

bebas. Konsekuensi penting dari peroksidasi lipid adalah meningkatnya permeabilitas

membran dan mengganggu distribusi ion-ion yang mengakibatkan kerusakan sel dan

organela (Beattie, 2002; Mudipali, 2007; Yin and Lin, 1995).

Pemberian asam askorbat terkesan dapat menekan terjadinya peroksidasi lipid


(53)

mendapat proteksi dengan asam askorbat (kelompok 6, 8 dan 9 , kecuali pada

kelompok 7). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa, efek proteksi

asam askorbat dapat menurunkan kadar MDA plasma maupun jaringan serta

meningkatkan enzim antioksidan seperti SOD, Glutathion Peroksidase dan Katalase

(Kanter et al, 2005).

Hal yang menarik dijumpai adanya peningkatan kadar MDA plasma

yang signifikan pada kelompok 7 ketika diberi asam askorbat 400 mg/kgBB yang

mendapat proteksi dengan asam askorbat. Hal ini mungkin disebabkan oleh

faktor-faktor berikut ini: (1) Akibat peningkatan hemolisis eritrosit yang terkait dengan

tingginya kadar Pb darah yang dapat meningkatkan konsentrasi MDA plasma.( Wong

et al, 1987).(2) Penghambatan aktivitas enzim-enzim antioksidan endogen seperti

SOD, GPx dan Katalase. Penurunan aktivitas enzim-enzim tersebut akan terlihat pada

kadar Pb darah yang tinggi (>40 g/dL), namun sebaliknya akan meningkat pada

kadar Pb darah yang rendah (<40 g/dL) untuk periode waktu lebih lama.

Penelitian terhadap 137 pekerja yang terpapar Pb didapati kadar Pb darah yang

tinggi (lebih 40 g/dL) memiliki signifikan menurunkan kadar enzim GPx yang

berkorelasi dengan naiknya kadar MDA eritrosit. Sebaliknya pada paparan Pb yang

rendah (25-40 g/dL) akan meningkatkan kadar GPx dan menurunkan kadar MDA

eritrosit. Hal ini diyakini merupakan suatu reaksi kompensasi dari peningkatan

peroksidasi lipid (Kasperczyk, 2004). Penelitian lain juga menunjukkan adanya


(54)

yang terkait dosis (Anderson et al, 2000). Memang terbukti bahwa asam askorbat

merupakan scavenger kuat yang dapat memecahkan proses autokatalitik dari proses

peroksidasi lipid membran sel sehingga dapat memelihara integritas sel. Selain itu

pemberian asam askorbat juga telah dibuktikan dapat memperbaiki sistem antioksidan

tubuh yaitu dengan meningkatkan kadar gluthathion tereduksi. (Gajawat et al, 2006)

IV.3. Jumlah Eritrosit

Pengaruh pemberian Pb dengan berbagai dosis terhadap jumlah eritrosit

ditunjukkan pada Gambar 9. Dari hasil pemberian Pb dengan berbagai dosis yang

sebelumnya diproteksi dengan asam askorbat 400 mg/kgBB, diperoleh data jumlah

eritrosit sebagaimana terlihat pada Gambar 10.

Dari Gambar 10 terlihat bahwa pada kelompok I, pemberian Pb dengan dosis 20

mg/kgBB secara intraperitoneal menyebabkan terjadinya peningkatan hemolisis

eritrosit yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang lebih rendah dari kontrol

yakni 5.37 x 106/mm3 banding 6.22 x 106/mm3. Dengan pemberian asam askorbat 400 mg/kgBB kelihatannya tidak mampu mencegah terjadinya hemolisis akibat

paparan Pb dengan dosis tersebut yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang

lebih rendah dibandingkan kelompok yang hanya mendapat Pb yakni 4.72 x 106/mm3 banding.5.37 x 106/mm3. Peningkatan hemolisis yang terjadi pada kelompok yang mendapat proteksi dengan asam askorbat dibandingkan kelompok yang hanya

mendapat Pb ternyata tidak berbeda bermakna (p>0.05), dengan demikian dapat


(55)

mencegah terjadinya hemolisis akibat paparan Pb pada kelompok ini. 6.22 5.37 5.44 4.14 6.12 4.72 5.24 5.85 7.92 0 2 4 6 8 10 J u m la h e ri tr o s it x 1 0 6 /m m 3

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9

Kelompok Perlakuan

Gambar 9. Sebaran rerata jumlah eritrosit pada kelompok kontrol dan perlakuan

Pada kelompok II, pemberian Pb dengan dosis 40 mg/kgBB secara intraperitoneal

juga menyebabkan terjadinya hemolisis yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit

yang lebih rendah dari kontrol yakni 5.41 x 106/mm3 banding 6.22 x 106/mm3. Pemberian asam askorbat 400 mg/kgBB pada kelompok ini juga belum mampu

mengurangi hemolisis yang terjadi akibat paparan Pb dengan dosis tersebut yang

ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang

hanya mendapat Pb yakni 5.23 x 106/mm3 banding 5.41 x 106/mm3, namun kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05) Hal ini menunjukkan bahwa pemberian

asam askorbat dengan dosis tersebut pada kelompok ini juga tidak dapat mencegah


(56)

Pada kelompok III, pemberian Pb dengan dosis 80 mg/kgBB secara intraperitoneal

menyebabkan terjadinya hemolisis yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang

lebih rendah dari kontrol yakni 4.14 x 106/mm3 banding 6.22 x 106/mm3. Pemberian asam askorbat 400 mg/kgBB terlihat mampu mencegah hemolisis yang terjadi akibat

paparan Pb dengan dosis yang sama yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang

lebih tinggi dibandingkan kelompok yang hanya mendapat Pb yakni 5.85 x 106/mm3 banding 4.14 x 106/mm3. Peningkatan jumlah eritrosit pada kelompok yang mendapat proteksi dengan asam askorbat dibandingkan dengan kontrol dan kelompok yang

hanya mendapat Pb tidak berbeda bermakna (p>0.05). Data ini menunjukkan bahwa

proteksi asam askorbat terhadap jumlah eritrosit akibat paparan Pb pada kelompok ini

tidak efektif. P=0.13 6.22 5.37 4.72 6.22 5.415.24 6.22 4.14

5.85 6.226.12 7.92 0 2 4 6 8 J u m la h e ri tr o s it x 1 0 6 /m m 3

I II III IV

Kelompok Perlakuan

Kontrol Pb AA +Pb P=0.25 P=0.38 P=0.1

Gambar 10. Perbandingan rerata jumlah eritrosit antara kelompok kontrol dan perlakuan


(57)

Pada kelompok IV sama halnya dengan ketiga kelompok sebelumnya, pemberian

Pb dengan dosis 160 mg/kgBB secara intraperitoneal juga menyebabkan terjadinya

hemolisis yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang sedikit lebih rendah dari

kontrol yakni 6.12 x 106/mm3 banding 6.22 x 106/mm3. Pada kelompok ini sama halnya dengan kelompok Pb 80 mg/kgBB, pemberian asam askorbat 400 mg/kgBB

terlihat mampu mencegah hemolisis yang terjadi akibat paparan Pb dengan dosis

yang sama yang ditunjukkan dengan jumlah eritrosit yang lebih tinggi dibandingkan

kelompok yang hanya mendapat Pb yakni 7.92 x 106/mm3 banding 6.12 x 106/mm3. Peningkatan jumlah eritrosit ini ternyata tidak berbeda bermakna (p>0.05) Hasil ini

menunjukkan bahwa proteksi asam askorbat terhadap penghancuran eritrosit akibat

paparan Pb pada kelompok ini juga tidak efektif.

Adanya penurunan jumlah eritrosit akibat paparan Pb terkait dengan 99 % Pb yang

diabsorbsi terikat kuat dengan eritrosit. Pb memiliki efek ketidakstabilan membran

sel yang menyebabkan peningkatan laju hemolisis eritrosit. Hemolisis timbul sebagai

hasil akhir dari peroksidasi lipid pada membran eritrosit yang terkait dengan

ROS.(Lawton dan Donaldson, 1991), dan sering ditandai dengan adanya hipokromik

atau normokromik anemia ( Gurer dan Ercal, 2000). Hal yang menarik adalah bila

dibandingkan gambaran mikroskopis ini pada kelompok yang diberi Pb dengan

kelompok yang diberi asama askorbat dan Pb, terlihat pada Gambar 11, yang

menunjukkan adanya perbedaan bentuk eritrosit pada kelompok kontrol, kelompok

yang hanya dipapar Pb 80 mg/kgBB dan kelompok yang mendapat Pb 80 mg/kgBB


(58)

kontrol (Gambar 11a) terlihat masih banyak bentuk eritrosit yang utuh (cakram)

dibandingkan dengan kelompok yang dipapar Pb (Gambar 11b) dan kelompok yang

mendapat asam askorbat 400 mg/kgBB (Gambar 11c). Hal ini terkait selain terjadinya

peroksidasi membran, paparan Pb juga menimbulkan terjadinya oksidasi hemoglobin

yang dapat menyebabkan hemolisis eritrosit.

(a) (b) (c)

Gambar 11. Bentuk eritrosit dari beberapa mencit kelompok perlakuan. (a) Bentuk eritrosit dari kelompok kontrol, (b) bentuk dari eritrosit dari kelompok yang dipapar Pb 80 mg/kgBB, (c) bentuk eritrosit dari kelompok yang mendapat asam askorbat 400 mg/kgBB dan Pb 80 mg/kgBB. (å = perbedaan bentuk eritrosit )

Efek Pb juga mengganggu aktifitas enzim pirimidine-5’-nukleotidase, sehingga

kadar pirimidin nukleotida rendah didalam darah dan mengakibatkan terganggunya

kerja dari enzim G6PD dan penghambatan terhadap Pentosa Phosphate Shunt

(Lachant et al, 2008). Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa asam


(59)

(Gajawat et al, 2006; Patra, 2001). Pada penelitian lain yang dilakukan pada hewan

coba didapati bahwa efek toksik dari Pb pada saat pembentukan heme diperbaiki oleh

pemberian asam askorbat dosis 100 mg/kgBB (Vij, 1998). Bagaimanapun juga hanya

asam askorbat yang efektif untuk membalikkan penghambatan terhadap kadar enzim h-ALAD darah, yang mengindikasikan secara signifikan efek antioksidan yang sangat baik.(Patrick, 2006).

Efek asam askorbat pada paparan Pb sudah dijelaskan oleh banyak

penelitian sebelumnya bahwa asam askorbat menurunkan absorpsi dari Pb di saluran

cerna melalui penghambatan ion Fe2+ menjadi Fe3+ di duodenum yang akan meningkatkan kemampuan ion Fe berkompetisi dengan Pb.(Suzuki dan Yoshida,

1979). Penelitian dari 75 laki-laki yang merokok yang diberi 1000 mg asam askorbat

setiap hari selama 30 hari menunjukkan penurunan kadar Pb darah dari 1.8 g/dL

menjadi 0.4 g/dL. Namun kadar Pb di dalam urin tidak mengalami perubahan

sehingga diyakini bahwa asam askorbat menghambat penyerapan Pb di saluran

cerna.(Dawson et al, 1999). Hal tersebut tidak terjadi di dalam penelitian ini sehingga

efek asam askorbat tidak signifikan memproteksi eritrosit terhadap peroksidasi lipid

akibat paparan Pb. Kenyataan ini juga ditunjukkan dengan tidak adanya korelasi


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

a. Pemberian asam askorbat dengan dosis 400 mg/kgBB mencit yang dipapar Pb

secara intraperitoneal pada dosis 20, 80 dan 160 mg/kgBB cenderung

menurunkan kadar MDA plasma, tetapi pada dosis Pb 40 mg/kgBB sebaliknya

malah meningkatkan kadar MDA. Semua perbedaan tersebut secara statistik tidak

bermakna (p>0.05).

b. Pemberian asam askorbat dengan dosis 400 mg/kgBB mencit yang dipapar Pb

secara intraperitoneal pada dosis Pb 20 dan 40 mg/kgBB, tidak berdampak pada

jumlah eritrosit tetapi sebaliknya pada dosis Pb 80 dan 160 mg/kgBB,

meningkatkan jumlah eritrosit. Peningkatan ini secara statistik tidak bermakna

(p>0.05).

c. Pemberian asam askorbat peroral tidak efektif memproteksi timbulnya

peroksidasi lipid pada mencit yang dipaparkan Pb secara intraperitoneal.

V.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai hubungan antara kadar Pb

darah dengan derajat kerusakan dan fungsi eritrosit

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis asam askorbat yang lebih


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, U.R., Acharya, S., and Mishra, M. 2003. Lead Acetat Induced Cytotoxicity in Male Germinal Cells of Swiss Mice. Industrial Health. 41:291-4.

Adonaylo, V.N. and Oteiza, P.I. 1999. Lead Intoxication: Antioxidant Defences and Oxidative Damage in Rat Brain. Toxicology. 135: 77-85.

Anderson, D., Philips, B.J., Tian-Wei, Y., Edwards, A.J., Ayesh, R. and Butterworth, K.R.2000. Effects of Vitamin C Supplemention in Human Volunteers with A Range of Cholesterol levels of Biomarkers of Oxygen Radical-Generated Damage. Pure Appl.Chem. 72; 6:973-983.

Apryanto, A. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi. Available at: http://www.kharisma.de/files/home/makalah_ anton.pdf.

Ardiyanto, D. 2005. Deteksi Pencemaran Timah Hitam (Pb) Dalam Darah Masyarakat Yang Terpajan Pb (Plumbum). J Kes Ling. 2;1: 67-76.

Baloh, R.W. 1974. Laboratory Diagnosis of Increased Lead Absorption. Arch Environ Health. 28: 198-208.

Beattie, D.S. 2002. Bioenergetics and Oxidative Metabolism. In : Devlin, T.M. (Ed) Textbook of Biochemistry With Clinical Correlations. 5th.Ed, pp 538-593. Wiley-Liss. New York.

Bechara, E.J.H., Medeiros, M.H.G., Monteiro, H.P., Her-mes-Lima, M., Pereira, B., Demasi, M., et al. 1993. A Free-radical Hypothesis of Lead Poisoning and Inborn porphyries Associated with 5-aminolevulinic Acid Overload. Quim. Nova. 16: 385-392.

Blankenberg, S., Rupprecht, H.J., Bickel, C., et al. 2003. Glutathione Peroxidase 1 Activity and Cardiovascular Events in Patients with Coronary Artery Disease. N. Engl. J. Med. 349 : 7.

Bushnell, P.J. and Levin, E.D. 1983. Effect of Zinc Deficiency Toxicity in Rats. Neurobehav Toxicol Teratol. 5 : 283-288.

Carr, A.C. and Frei, B. 1999. Towards A New Recommended Dietary Allowance for Asam Askorbat Based on Antioxidant and Health Effects in Human. Am. J. Path. 18 : 499.

Christyaningsih, J. 2003. Pengaruh Asam Askorbat dan Vitamin E Terhadap Aktivitas Enzim SOD Yang Diakibatkan Oleh Paparan Asap Rokok pada Tikus, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Hal: 7-9


(62)

Cohn, J., Cox, C., and Cory-Slechta, D.A. 1993. The Effects of Lead Exposure on Learning in Multiple Repeated Acquisition and Performance Schedule. Neurotoxicology. 14: 329-346.

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya Dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 112- 140.

Dawson, E.B., Evans, D.R., Harris, W.A., Teter, M.C., and McGanity, W.J. 1999.

The Effect of Ascorbic Acid Supplementation on The Blood Lead Level of Smokers. J. Am. Coll. Nutr. 18:166-170.

Departemen Kesehatan RI. 2001. Kerangka Acuan Uji Petik Kadar Pb Pada Spesimen Darah Terhadap Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi Pencemaran Pb. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Jakarta.

DeRoss, F.J. 1997. Smelters and Metal Reclaim Menrs. In Occupational Industrial, and Environmental Toxicology. New York: Mosby-Year book, pp 291-333. Dewoto, H.R. dan Wardhini S. 1995. Vitamin dan Mineral. Dalam: Ganiswarna,

S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwanthyastuti, Nafrialdi (Eds). Farmakologi dan Terapi. Ed. 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.Hal. 722-724.

Ding, Y., Gonick, H.C., and Vaziri, N.D. 2000. Lead Promotes Hidroksil Radical Generation and Lipid Peroxidation in Cultured Aortic Endothelial Cells. Am. J. Hipertens. 13:552-555.

Elias, R.W. 1985. Lead Exposures in The Human Environment. In Mahaffey, K.(Ed.). Dietary and Environmental Lead: Human Health Effects, Elsevier, Amsterdam, New York-Oxford., pp 79-107.

El-Ashmawy, I.M., Ashry, K.M., El-Nahas, A.F., and Salama, O.M. 2006.

Protection by Turmeric and Myrrh Against Liver Oxidative Damage and Genotoxicity Inducedd by Lead Acetat In Mice. Basic & Clinical Pharmacology & Toxicology. 98:32-37.

Ercal, N., Gurer, H., and Aykin-Burns, N. 2001. Toxic Metals and Oxidative Stress. Part 1. Mechanisms Involved in Metal Induced Oxidative Damage. Curr Top Med Chem. 1: 529-539.

Federer, W.Y. 1963. Experimental Design Theory and Application. New York, Mac Millan, pp 544.

Fracasso, M.E., Perbellini, L., Solda, S., Talamini, G., and Franceschetti, P. 2002.

Lead Induced DNA Strand Breaks In Lymphocytes of Exposed Workers: Role of ROS and Protein Kinase C. Mutation Research. 515:159-169.


(63)

Gajawat, S., Sancheti, G., and Goyal, P.K. 2006. Protection Against Lead-Induced Hepatic Lesions in Swiss Albino Mice by Ascorbic Acid. Pharmacologyonline. 1:140-149.

Goldstein, B.D. and Kipen, H.M. 1994. Hematologic Disorder. In Levy and Wegman(Eds): Occupational Health Recognizing and Preventing Work-Realted Diseases. 3rd ed, USA: Little Brown and Company.

Goodman, S. 1995. Ester-C: Asam Askorbat Generasi III. Cetakan ketiga. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Hal. 97-100.

Gurer, H. and Ercal, N. 2000. Can Antioxidants Be Beneficial in The Treatment of Lead Poisoning? Free Radic. Biol. Med. 29;10: 927-945.

Gurer, H., Ozgumes, H., Oztezcan, S., and Ercal, N. 1999. Antioxidant Role of g -lipoic Acid in Lead Toxicity. Free Radic. Biol. Med. 27: 75-81.

Hariono, B. 2005. Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Anorganik Pada Tikus Putih (Rattus novergicus), J. Sain Vet. 23; 2: 107-18

Hermes-Lima, M., Pareira, B., and Bechara, E.J.H. 1991. Are Free Radicals Involved in Lead Poisoning? Xenobiotica. 21: 1085-1090.

Hidayat dan Haryadi. 2002. Bensin Tanpa Pb Memicu Kanker. Available at http://www. otomotif . online.com.

Holtzman, D., De Vries, C., Nguyen, H., Oslon, J., and Bensch, K. 1984. Maturation of Resistance to Lead Encephalopathy: Cellular and Sub-cellular Mechanisms. Neurotoxicol. 5:97-124.

Hsieh, Y.Y., Chang, C.C., and Lin, C.S. 2006. Seminal Malondialdehyde Concentration but Not Glutathione Peroxidase Activity is Negatively Correlated with Seminal Concentration and Motility. Int. J. Biol.Sci. 2;1: 23-29.

Hsu, P.C., Hsu, C.C., Liu, M.Y., Chen, L.Y., and Guo YL. 1998. Lead-induced Changes in Spermatozoa Function and Metabolism. J.Toxicol.Environ.Health A.55;1: 45-64.

Jain, S.K. 1984. The Accumulation of Malondialdehyde, a Product of Fatty Acid Peroxidation, Can Disturb Aminophospholipid Organization in the Membrane Bilayer of Human Erythrocyte.J Biol. Chem. 259;6:3391-3394.

Jiun, Y.S. and Hsien, L.T. 1994. Lipid Peroxidation in Workers Exposed to Lead. Archiv. Environ. Health. 49: 256-9.

Kanter, M., Coskun, O., Armutcu, F., Uz, Y.H., and Kizilay, G. 2005. Protective Effectsof Vitamin C, Alone or In Combination with Vitamin A, On Endotoxin-Induced Oxidative Renal Tissue Damage in Rats. Tohoku J. Exp. Med. 206: 155-162.


(1)

Multiple Comparisons

Dependent Variable: MDA Bonferroni

(I) KEL (J) KEL

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Control Pb 40 mg -2.3355 2.33828 1.000 -9.1944 4.5234 As.askorbat 400

mg + Pb 40 mg -7.1900(*) 2.33828 .040 -14.0489 -.3311 Pb 40 mg Control

2.3355 2.33828 1.000 -4.5234 9.1944 As.askorbat 400

mg + Pb 40 mg -4.8545 2.33828 .203 -11.7134 2.0044 As.askorbat 400

mg + Pb 40 mg

Control

7.1900(*) 2.33828 .040 .3311 14.0489

Pb 40 mg

4.8545 2.33828 .203 -2.0044 11.7134

* The mean difference is significant at the .05 level.

E. Data Uji Statistik Kadar MDA Kel.III

Tests of Normality

KEL Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

MDA Control .226 4 . .930 4 .594

Pb 80 mg .178 4 . .974 4 .868

As.askorbat400

mg + Pb 80 .226 4 . .945 4 .684

Test of Homogeneity of Variances

MDA Levene

Statistic df1 df2 Sig.

1.267 2 9 .328

ANOVA

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.005 2 1.002 .469 .640

Within Groups 19.232 9 2.137


(2)

F.Data Uji Statistik Kadar MDA Kel.IV

Tests of Normality

KEL Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

MDA Control .226 4 . .930 4 .594

Pb 160 mg .268 4 . .845 4 .210

As.askorbat 400 mg + Pb 160 mg

.334 4 . .847 4 .215

a Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances

MDA Levene

Statistic df1 df2 Sig.

.298 2 9 .750

ANOVA

MDA

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4.413 2 2.207 .958 .420

Within Groups 20.728 9 2.303

Total 25.141 11

G. Data Uji Statistik Jumlah Eritrosit Kel.I

Tests of Normality

KEL Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

ERI Control .242 4 . .923 4 .555

Pb 20 mg .257 4 . .884 4 .354

As.askorbat 400 mg + Pb 20 mg

.415 4 . .696 4 .010


(3)

Kruskal-Wallis Test

Ranks

KEL N Mean Rank

kontrol 4 5.25

Pb 20

mg 4 3.75

ERI

Total 8

Test Statistics(a,b)

ERI

Chi-Square .750

df 1

Asymp. Sig. .386 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: KEL

Ranks

KEL N Mean Rank

Control 4 8.25

Pb 20 mg 4 6.75

As.askorbat 400 mg + Pb 20 mg

4 4.50

ERI

Total 12

Test Statistics(a,b)

ERI

Chi-Square 1.333

df 1

Asymp. Sig. .248

H. Data Uji Statistik Jumlah Eritrosit Kel.II

Tests of Normality

KEL Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

ERI Control .242 4 . .923 4 .555

Pb 40 mg .365 4 . .762 4 .050

As.askorbat 400 mg


(4)

Kruskal-Wallis Test

Ranks

KEL N Mean Rank

kontrol 4 5.50

Pb 40

mg 4 3.50

ERI

Total 8

Test Statistics(a,b)

ERI

Chi-Square 1.333

df 1

Asymp. Sig. .248 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: KEL

Ranks

KEL N Mean Rank

Pb 40 mg 4 5.25

As.askorbat 400 mg + Pb 40 mg

4 3.75

ERI

Total 8

Test Statistics(a,b)

ERI

Chi-Square .759

df 1

Asymp. Sig. .384

I. Data Uji Statistik Jumlah Eritrosit Kel.III

Tests of Normality

KEL Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

ERI Control .242 4 . .923 4 .555

Pb 80 mg .209 4 . .984 4 .925

As.askorbat 400


(5)

ANOVA

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 9.801 2 4.901 5.198 .032

Within Groups 8.485 9 .943

Total 18.286 11

Multiple Comparisons

Bonferroni

(I) KEL (J) KEL

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound Control Pb 80 mg 2.0725(*) .68656 .044 .0586 4.0864 As.askorbat 400

mg + Pb 80 mg .3625 .68656 1.000 -1.6514 2.3764 Pb 80 mg kontrol

-2.0725(*) .68656 .044 -4.0864 -.0586 As.askorbat 400

mg + Pb 80 mg -1.7100 .68656 .103 -3.7239 .3039 As.askorbat

400 mg + Pb 80 mg

kontrol

-.3625 .68656 1.000 -2.3764 1.6514

Pb 80 mg

1.7100 .68656 .103 -.3039 3.7239

* The mean difference is significant at the .05 level.

J. Data uji Statistik Jumlah Eritrosit Kel.IV

Tests of Normality

KEL Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

ERI Control .242 4 . .923 4 .555

Pb 160 mg .262 4 . .911 4 .486

As.askorbat 400 mg + Pb 160 mg

.245 4 . .964 4 .804

Test of Homogeneity of Variances

ERI Levene

Statistic df1 df2 Sig.


(6)

ANOVA

ERI

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 8.211 2 4.105 3.540 .073

Within Groups 10.438 9 1.160

Total 18.649 11

K. Data Uji Korelasi Kadar MDA dan Jumlah Eritrosit

Correlations

MDA ERI

Pearson

Correlation 1 -.053

Sig. (2-tailed) . .722 MDA

N 48 48

Pearson

Correlation -.053 1

Sig. (2-tailed) .722 . ERI