Gambaran Maskrokopis Dan Miskrokopis Hati Ginjal Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat

(1)

GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS

HATI DAN GINJAL MENCIT AKIBAT PEMBERIAN

PLUMBUM ASETAT

TESIS

Oleh

DWI RITA ANGGRAINI

057008001/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS

HATI DAN GINJAL MENCIT AKIBAT PEMBERIAN

PLUMBUM ASETAT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

Dalam Program Studi Ilmu Biomedik

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DWI RITA ANGGRAINI

057008001/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS HATI DAN GINJAL MENCIT AKIBAT PEMBERIAN

PLUMBUM ASETAT Nama Mahasiswa : Dwi Rita Anggraini Nomor Pokok : 057008001

Program Studi : Ilmu Biomedik

Menyetujui, Komisi Pembimbing :

( Prof.dr.H.Achmad Effendi, AAI ) ( dr.Soekimin, Sp.PA ) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

( dr.Yahwardiah Siregar, Ph.D.) ( Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B., MSc.)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Mei 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua Komisi : Prof.dr.H.Achmad Effendi, AAI Anggota Komisi : dr. Soekimin, Sp.PA

dr. Datten Bangun, MSc., SpFK dr. Delyuzar, Sp.PA


(5)

(6)

ABSTRAK

Masalah polusi logam berat termasuk plumbum merupakan masalah yang serius di negara-negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Pemaparan plumbum dapat melalui saluran pernafasan, pencernaan dan permukaan kulit, dan di dalam tubuh plumbum akan terakumulasi pada jaringan keras maupun lunak. Pemaparan terhadap plumbum secara berulang-ulang akan meningkatkan konsentrasi nya dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan organ.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek pemaparan plumbum yang diberikan dalam jangka waktu bertingkat terhadap kerusakan organ hati dan ginjal.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pada 25 ekor hewan percobaan mencit jantan, sehat, berat badan 30-50gr. Hewan percobaan dibagi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor, diberi Pb asetat 100mg/kgBB/hari/oral dimana kelompok P1 (selama 4 minggu), P2 (selama 8 minggu), P3 (selama 12 minggu), P4 (selama 16 minggu) dan kelompok kontrol (tidak diberi Pb asetat). Kemudian diperiksa kadar Pb dalam jaringan dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorption Test) serta kerusakan hati dan ginjal secara makroskopis dan mikroskopis. Data yang diperoleh di analisa dengan uji Kruskal Wallis Test.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar Pb dalam jaringan hati dan ginjal . Derajat kerusakan hati dan ginjal secara makrosopis terlihat pada minggu ke-8. Pada hati abnormal (+) sebesar 100%, sedangkan pada ginjal abnormal (+) 60%, abnormal (++) 20% dan abnormal (+++) 20%. Derajat kerusakan secara mikroskopis pada hati mulai terlihat pada minggu ke-8 yaitu abnormal (+) 80%, abnormal (++) 20%, sedangkan pada ginjal terlihat lebih awal yaitu sejak minggu ke-4, abnormal (+) sebesar 20%.


(7)

ABSTRACT

The effect of environmental due to heavy metals include lead is a serious health problem in industrialized and developing countries such as Indonesia. Lead absorption through respiratory tract, gastrointestinal tract, skin contact and in the body can be accumulated in hard tissue and soft tissue. Exposure to lead for a long tome, increased lead concentrated in tissues and cause damaged organs.

The aim of this study at evaluating level liver and kidney damaged of male mice caused lead exposure at the different time.

This study was designed as a experimental study at twenty five male mice (weighing : 30-50g) were divided into 5 group (n=5). They were treated with Pb asetat 100mg/kgBB/daily/oral, which P1 (for 4 weeks), P2 (for 8 weeks), P3 ( for 12 weeks), P4 (for 16 weeks) and K (control mice) were fed with normal food and water (no lead added). After that, concentrations of lead in tissue were determined with AAS, liver and kidney damaged with histopathology examination. The data is analyzed with Kruskal Wallis Test.

The result of this study shows that increase average concentrations of lead in tissue, by macroscopis test liver and kidney damaged occur in 8 weeks. The liver damaged at level abnormal (+) 100% and at the kidney abnormal (+) 60%, abnormal (++) 20% and abnormal (+++) 20%. By microscopis test was shows liver damaged in 8 weeks at level abnormal (+) 80%, abnormal (++) 20% and the kidney in 4 weeks at level abnormal (+) 20%.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat ALLAH SWT berkat rahmat dan ridho-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Gambaran

Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat”.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan Penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, SpA(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Direktur Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.MSc., dan Ketua Program Studi Biomedik dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya Penulis sampaikan kepada Prof.dr.Achmad Effendi (ketua komisi pembimbing); dr.Soekimin, SpPA (anggota komisi pembimbing) serta dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan


(9)

dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada Penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

Komisi Penguji, dr.Datten Bangun, MSc., SpFK, dr.Delyuzar, Sp.PA, dan dr.Alya Amila Fitrie, M.Kes, yang telah bersedia dengan sabar membantu Penulis dalam menyempurnakan, menguji, dan menilai tesis ini. Tak lupa terima kasih juga saya sampaikan kepada semua dosen yang telah membimbing saya selama mengikuti program magister ini.

Persembahan terima kasih tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada ayahanda dan ibunda tercinta (alm.dr. Soedarno dan Hj. Sudarmi), yang telah membesarkan dengan susah payah dengan penuh kasih sayang dan dengan jasa mereka inilah Penulis dapat menjalani pendidikan hingga pascasarjana ini. Semoga Allah SWT mengampuni dan selalu merahmati kedua ayahanda dan ibunda ini.

Kepada ayah dan ibu mertua (H. Basyaruddin Lubis dan Hj. Sitinur Anwari Nasution), suamiku tercinta Parlindungan Lubis, S.SiT, ananda tersayang M. Adlin Azis Lubis, tiada kata yang setara untuk mengutarakan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran dan dorongan serta do’a yang diberikan kepada Penulis. Kakanda Supriati Eka Wahyuni, SP dan suami, adinda dr. Sudarto, Endang Kurniati, Amd, SE., serta Rahmad Kurniawan, SE, yang telah memberikan dorongan moral, do’a dan selalu mengingatkan Penulis untuk dapat menjalani pendidikan sampai menyelesaikan tesis ini dengan baik.


(10)

Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada dr.Lita Feriyawati, M.Kes, dr. Mega Sari Sitorus, M.Kes, serta dr. Triwidyawati, MSc., atas dorongan semangat sehingga tesis ini dapat selesai, dan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini, Penulis ucapkan terima kasih.

Akhirnya, Penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik serta saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 31 Mei 2008 Penulis,

(Dwi Rita Anggraini) NIM : 057008001


(11)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Dwi Rita Anggraini 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 28 Nopember 1977

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Medan Utara No. 51 Medan 6. Telp/HP : 061-4558424/08126446990 7. Pendidikan

SD Negeri 060806 Medan : 1983-1989

SMP 11 Medan : 1989-1992

SMA Negeri 8 Medan : 1992-1995 Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran USU : 1995-1999 Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran USU : 1999-2001 Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik, USU : 2005-2008 8. Riwayat Pekerjaan

Dokter PTT Puskesmas Desa Indah Pematang Siantar : 2002 - 2004

Staf Pengajar Tetap di Departemen Anatomi FK-USU : 2004 - sekarang


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...………... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR GRAFIK ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Teori ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Plumbum ... 6

2.1.1 Gambaran Umum ... 6

2.1.2 Keracunan Plumbum ... 9

2.1.3 Gejala Keracunan Plumbum ... 13

2.1.4 Efek Plumbum pada hati dan ginjal ... 13

2.2 Hepar ... 15

2.2.1 Anatomi Umum ... 15

2.2.2 Gambaran Histologi ... 16


(13)

2.2.2.2 Hepatosit ... 17

2.2.2.3 Pembuluh Darah dan Sinusoid ... 17

2.2.3 Fungsi Hepar ... 19

2.2.4 Hal-Hal yang Menimbulkan Kelainan Organ Hepar ... 21

2.3 Ginjal ... 21

2.3.1 Anatomi Umum ... 21

2.3.2 Gambaran Histologi ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1 Desain Penelitian ... 26

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

3.3 Rancangan Penelitian ... 26

3.4 Populasi Penelitian ... 27

3.5 Besar Sampel ... 27

3.6 Variabel yang diteliti ... 28

3.6.1 Variabel Independen ... 28

3.6.2 Variabel Dependen ... 28

3.7 Pelaksanaan Penelitian ... 28

3.7.1 Pemeliharaan Hewan Percobaan ... 28

3.7.2 Persiapan Hewan Percobaan ... 28

3.7.3 Perlakuan Hewan Percobaan ... 29

3.8 Cara kerja ... 30

3.8.1 Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 30

3.8.2 Pembuatan preparasi untuk pemeriksaan kadar plumbum dalam jaringan ... 30

3.8.3 Pemeriksaan dengan alat Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) ... 31

3.9 Pengamatan Hasil ... 33


(14)

3.9.2 Pengamatan mikroskopis hati ... 34

3.9.3 Pengamatan mikroskopis ginjal ... 35

3.9.4 Konsentrasi Pb dalam jaringan ... 36

3.10 Analisa Data ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Kadar Pb dalam Jaringan ... 37

4.2 Derajat Kerusakan Hati dan Ginjal secara Makroskopis ... 38

4.3 Derajat Kerusakan Hati dan Ginjal secara Mikroskopis ... 45

4.4 Berat Hati dan Ginjal Hewan Uji ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(15)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Tingkat keracunan Pb dalam darah pada anak-anak ... 10 2. Gambaran anatomi pada keracunan plumbum ... 11 3. Kadar Pb dalam jaringan hati dan ginjal mencit jantan setelah pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari dengan jangka waktu bertingkat... 37 4. Derajat kerusakan jaringan hati dan ginjal secara makroskopis setelah

pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari dengan jangka waktu

bertingkat ... 38 5. Morfologi hati mencit setelah perlakuan Pb asetat 100 mg/kgBB/oral/

hari ... 39 6. Morfologi ginjal mencit setelah diberi Pb asetat 100 mg/kgBB/oral/

hari... 42 7. Derajat kerusakan jaringan hati dan ginjal secara mikroskopis setelah

pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari dengan jangka waktu

bertingkat ... 45


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1 Mekanisme absorpsi plumbum secara oral ... 4

2 Portal canal : Gambaran portal canal (triad portal) pada lobus hepar 16 3. Gambaran struktur hati ……… 18

4. Gambaran makroskopis ginjal pada potongan horizontal ……… 22

5. Gambaran nephron ginjal ... 23

6. Histologi ginjal, glomerulus, tubulus proksimal dan tubulus distal .... 24

7. Gambaran hati yang normal (kelompok kontrol) ... 40

8. Gambaran hati minggu ke-4 (P1) ... 40

9. Gambaran hati minggu ke-8 (P2) ... 41

10. Gambaran hati minggu ke-12 (P3) ... 41

11. Gambaran hati minggu ke-16 (P4) ... 41

12. Gambaran ginjal pada kelompok kontrol ... 43

13. Gambaran ginjal pada kelompok P1 (4 minggu) ... 43

14. Gambaran ginjal pada kelompok P2 (8 minggu) ... 43

15. Gambaran ginjal pada kelompok P3 (12 minggu) ... 44

16. Gambaran ginjal pada kelompok P4 (16 minggu) ... 44

17. Jaringan hati pada kelompok kontrol (normal) ... 48

18. Jaringan hati pada kelompok P1 (4 minggu) ... 49

19. Jaringan hati pada kelompok P2 (8 minggu) ... 49

20. Jaringan hati pada kelompok P3 (12 minggu) ... 49

21. Jaringan hati pada kelompok P4 (16 minggu) ... 50

22. Jaringan ginjal pada kelompok kontrol (normal) ... 51

23. Jaringan ginjal pada kelompok P1 (4 minggu) ... 51

24. Jaringan ginjal pada kelompok P2 (8 minggu) ... 51

25. Jaringan ginjal pada kelompok P3 (12 minggu) ... 52


(17)

DAFTAR GRAFIK

No. Teks Halaman

1. Grafik berat rata-rata hati hewan uji ... 53 2. Grafik berat rata-rata ginjal kanan hewan uji ... 53 3. Grafik berat rata-rata ginjal kiri hewan uji ... 53


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang

Kesehatan... 60

2. Data Penelitian ... 61

3. Tests of Normality ... 62


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Masalah polusi logam berat termasuk timbal (Pb) merupakan masalah yang serius di negara-negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Pencemaran lingkungan oleh plumbum antara lain diakibatkan oleh penambangan dan industri yang menggunakan plumbum. Pencemaran lingkungan oleh asap, debu dan gas yang mengandung plumbum berasal dari asap kendaraan bermotor serta pembuangan limbah pabrik baterai, cat, tekstil juga buruknya sanitasi makanan, merupakan faktor yang menunjang untuk terjadinya keracunan plumbum pada mahluk hidup. Khususnya bagi individu muda senyawa plumbum sangat potensial merusak sistem saraf sehingga pada anak-anak dapat disertai penurunan IQ, akibatnya anak-anak cenderung lambat dalam berfikir dan tidak cerdas (Wade, dkk., 1993; Johonson, 1998; Hariono, 2005).

Pemaparan plumbum bisa melalui makanan, minuman, inhalasi (terhirup partikel-partikel plumbum) dan melalui permukaan kulit. Absorpsi plumbum sebagian besar didepo pada tulang dan jaringan lunak, tergantung pada cara pemaparan plumbum dan daya affinitas jaringan. Sebagian besar plumbum dapat masuk dalam tubuh melalui pernafasan sampai di alveoli paru-paru menembus dinding alveoli dan masuk ke sirkulasi darah. Plumbum yang masuk tubuh melalui saluran cerna akan didistribusikan ke tulang (60%), hati (25%), ginjal (4%),


(20)

retikuloendotelial sistem (3%), dinding usus (3%) dan ke jaringan lainnya. Plumbum setelah melalui hati dan ginjal dapat diekskresikan melalui feses dan urin. Sebagian besar plumbum akan disimpan dalam hati dan tulang setelah penyuntikan intravena (Venugopal, 1978).

Plumbum organik seperti tetraethyl lead (TEL) yang dipakai sebagai bahan tambahan pada bahan bakar bensin dan tetramethyl lead (TML) hampir seluruhnya diabsorpsi melalui kulit dan saluran pencernaan karena mempunyai kemampuan mudah larut dalam substansi lemak. Demikian juga TEL mudah diabsorpsi lewat kulit dan melalui epitel paru. Dalam tubuh, TEL akan diubah menjadi triethyl lead dan diakumulasi pada jaringan yang kaya lemak seperti hati, ginjal dan otak. Dengan demikian walaupun sangat sedikit jumlah plumbum yang masuk ke dalam tubuh, suatu saat pada kondisi tertentu plumbum dapat secara tiba-tiba memperlihatkan gejala klinis dan membahayakan tubuh.

Penelitian mengenai absorpsi plumbum antara lain: penelitian Alexander (1973) melaporkan bahwa tingkat absorpsi plumbum yang tinggi (sekitar 53%) pada anak-anak berumur 5 bulan sampai 8,5 tahun. Bartik (1981) melaporkan bahwasanya plumbum organik seperti TEL dan TML hampir seluruhnya diabsorpsi melalui kulit dan saluran pencernaan karena mempunyai kemampuan mudah larut dalam substansi lemak. Sementara itu Hariono (2005) melaporkan bahwasanya absorpsi plumbum anorganik melalui saluran pencernaan pada tikus sekitar 16% dan diekskresikan melalui ginjal sekitar 0,006%.


(21)

Penelitian efek plumbum terhadap perubahan pada jaringan antara lain : penelitian yang dilakukan El-ashmawy, dkk (2005) melaporkan pemberian Pb asetat 0,5%/kgBB/oral/hari selama 8 minggu pada mencit menunjukkan penurunan GSH S-transferase, peningkatan lipid peroksidase hati yang signifikan dengan keracunan plumbum asetat. Hariono (2005) pemberian plumbum asetat 0.5gr/kgBB/oral/hari selama 16 minggu pada tikus menunjukkan perubahan pada sel hati dan ginjal. Secara makroskopis, hati dan ginjal pada minggu ke-14 dan 16 nampak pucat, gambaran histopatologik hati terlihat degenerasi hidrofik dari tingkat ringan sampai sedang pada minggu ke-12 sampai minggu ke-16. Epitel tubulus proksimal ginjal terlihat degenerasi, hiperplasi dan kariomegali pada minggu ke-8, pelebaran lumen tubulus dan ruang Bowman serta adanya benda-benda inklusi dalam inti sel. Penelitian lain melaporkan pemberian Pb asetat 400 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB selama 5 minggu pada ayam boiler menyebabkan infiltrasi limfosit pada hati dan reaksi inflamasi berat pada daerah periportal yang menyebabkan cirrhosis (Sipos, dkk., 2003).

Berdasarkan data-data diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal mencit akibat pemberian plumbum asetat.

1.2.Perumusan Masalah

Bagaimana gambaran makroskopis dan mikroskopis pada hati dan ginjal mencit akibat pemberian plumbum asetat ?


(22)

1.3.Kerangka Teori

K E R A N G K A T E O R I

P b a s e t a t

s a lu r a n c e r n a

f e c e s j a r in g a n lu n a k t u la n g u r in e

e m p e d u

c a ir a n e k s t r a s e l

h a t i g in j a l

o r a l d a r a h

o r g a n

Gambar 1. Mekanisme absorpsi plumbum secara oral 1.4 Hipotesis

Plumbum asetat menyebabkan kelainan pada gambaran makroskopis dan mikroskopis pada hati dan ginjal mencit.

1.5. Tujuan Penelitian Tujuan Umum :

Mengetahui gambaran makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal mencit akibat pemberian plumbum asetat

Tujuan Khusus :

1. Mengetahui gambaran makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal mencit setelah pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari selama 4, 8, 12 dan 16 minggu


(23)

2. Mengetahui pengaruh lamanya pemaparan Pb asetat terhadap konsentrasi Pb dalam jaringan.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sejauh mana perubahan yang terjadi pada hati dan ginjal mencit (secara makroskopis dan mikroskopis) setelah pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari selama 4, 8, 12 dan 16 minggu.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plumbum (Pb)

2.1.1 Gambaran Umum

Plumbum atau dikenal sebagai timah hitam dalam susunan unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami didalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami. Plumbum organik dan anorganik banyak digunakan pada pabrik pembuatan kaca, pabrik cat, pewarna karet, pewarna tinta, bahan peledak, bahan pembuatan tekstil, reagensia kimia dan sebagai bahan kimia baterai (Wade, dkk., 1993). Plumbum asetat khususnya digunakan pada proses pencelupan dan pencetakan tekstil, bahan pernis kayu, pabrik pestisida, pabrik cat, reagensia kimia dan pewarna rambut (Johonson, 1998).

Pemaparan plumbum bisa melalui makanan, minuman, inhalasi (terhirup partikel-partikel plumbum) dan melalui permukaan kulit. Proses pembakaran dari sisa bahan bakar terutama bensin akan menyebar ke atmosfer setelah sepuluh hari mencemari tanah, tanaman dan juga sumber air. Pencemaran plumbum di air bisa melalui pipa saluran dari plumbum atau aktifitas pematrian plumbum (Winarno, 1993).

Asap rokok juga merupakan sumber pemaparan plumbum, dimana orang yang merokok dan menghirup asapnya akan terpapar plumbum pada level yang lebih tinggi


(25)

daripada orang yang tak terpapar asap rokok. Rokok mengandung 2,4μg plumbum dan 5% nya terdapat pada asap rokok (Gajawat, dkk., 2006).

Plumbum yang mencemari udara terdapat dalam dua bentuk yaitu yang berbentuk gas dan partikel-partikel. Gas timbul terutama berasal dari pembakaran aditif bensin dari kendaraan bermotor yang terdiri dari tetraethyl lead (TEL) dan tetramethyl lead (TML). Partikel-partikel plumbum di udara berasal dari sumber-sumber lain seperti pabrik-pabrik alkil plumbum dan Pb-oksida, pembakaran arang dan sebagainya.

Beberapa penelitian mengenai plumbum antara lain : penelitian Fardiaz (1992) melaporkan bahwa polusi plumbum yang terbesar berasal dari pembakaran bensin. Menurut Wade, dkk., (1993) plumbum organik seperti TEL dan TML banyak digunakan sebagai bahan aditif bensin, tetapi penggunaannya berkurang secara drastis di Amerika Serikat mulai tahun 1970-an sedangkan di Mexico TEL dan TML digunakan sebagai bahan aditif bensin sejak 5 tahun yang lalu. Meskipun populasi yang terpapar plumbum mengalami penurunan, keracunan yang bersifat kronis masih menjadi masalah kesehatan umum di Mexico dan seluruh dunia yang berdampak pada jutaan anak-anak dan orang dewasa (Todd, dkk., 1996; Bodgen, dkk., 1997).

Sementara itu menurut penelitian Elson (2005) melaporkan sekitar 1,3 juta ton plumbum digunakan setiap tahunnya di Amerika Serikat pada pabrik-pabrik dan sebagai bahan aditif bensin, dimana antara 400-600 ribu ton plumbum pertahun tersebar ke atmosfer kemudian mencemari makanan dan masuk ke dalam tubuh serta


(26)

jaringan. Kini para pakar lingkungan sependapat bahwa plumbum merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di udara.

Banyak faktor yang mempengaruhi toksisitas plumbum terhadap hewan, seperti yang dirangkum oleh Jones, dkk., (1997) antara lain adalah :

a) Umur; lebih peka pada usia muda

b) Spesies; adanya variasi individu dalam kepekaan dan jumlah plumbum yang diekskresikan

c) Keadaan reproduksi

d) Kadar plumbum yang masuk ke dalam tubuh; pada kasus keracunan akut, kadar plumbum yang masuk cukup besar sehingga menimbulkan kematian mendadak. Sedangkan pada kasus kronis yang disebabkan masuknya plumbum dengan kadar rendah secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama tidak menimbulkan kematian mendadak, walau jumlah total plumbum yang masuk lebih besar dibandingkan pada kasus keracunan yang akut

e) Bentuk plumbum; bentuk padat atau PbO2 yang tidak larut dalam air, kurang toksik dibanding Pb asetat yang dapat larut dalam air

f) Jumlah dan kecepatan absorbsi; hanya 1-2% dari plumbum yang masuk dapat diabsorbsi melalui pencernaan sedangkan yang melalui inhalasi relatif lebih besar. Plumbum organik seperti TEL dan TML diabsorbsi lebih cepat melalui kulit g) Hadirnya beberapa racun dan penyakit lain dapat mempertinggi toksisitas

h) Pengaruh hormonal; plumbum yang berada didalam tulang dipengaruhi oleh hormon yang bekerja pada metabolisme kalsium tulang.


(27)

Apabila plumbum terhirup atau tertelan manusia, akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan didistribusikan ke berbagai organ tubuh dan membentuk depo dalam tubuh.

2.1.2 Keracunan Plumbum

Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya pemaparan. Keracunan dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan yang disebabkan oleh plumbum dalam tubuh mempengaruhi berbagai jaringan dan organ tubuh. Organ-organ tubuh yang menjadi sasaran dari keracunan plumbum adalah sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung (Palar, 1994).

Munculnya gejala klinis dari kasus keracunan plumbum memerlukan waktu beberapa jam, hari atau minggu setelah kontak dengan plumbum. Pada keadaan akut, sering tidak tertolong karena kematian terjadi sangat mendadak setelah gejala klinis muncul. Kematian dapat terjadi setelah 12-24 jam tubuh kontak dengan plumbum. Kebanyakan plumbum akan terakumulasi pada organ tubuh, kesan toksik plumbum timbul akibat pemaparan dalam waktu yang lama.

Absorpsi plumbum sebagian besar didepo pada tulang dan jaringan lunak, tergantung pada cara pemaparan plumbum dan daya affinitas jaringan. Sebagian besar plumbum akan disimpan dalam hati dan tulang setelah pemberian intravena. Pemberian secara oral akan didistribusikan ke tulang (60%), hati (25%), ginjal (4%), retikuloendotelial sistem (3%), dinding usus (3%) dan kejaringan lainnya (Venugopal, 1978).


(28)

Hal ini sejalan dengan penelitian Hariono (2005), setelah pemberian Pb asetat peroral pada mencit akan terjadi akumulasi plumbum tertinggi pada jaringan lunak terjadi berturut-turut pada ginjal disusul hati, otak, paru, jantung,otot dan testis. Kadar plumbum tertinggi dalam jaringan keras ditemukan di tulang rusuk, kepala, paha dan gigi serta paling rendah di bulu.

Tanda-tanda keracunan plumbum pada semua tingkat umur tidak spesifik, sering berlaku tanpa disadari. Gejala keracunan yang lebih jelas hanya ditunjukkan apabila terdapat kandungan plumbum yang tinggi dalam darah. Menurut Central for Disease Control and Prevention (CDC), Amerika Serikat tahun 2000 kadar plumbum dalam darah adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Tingkat keracunan Pb dalam darah pada anak-anak Kelompok Kadar Pb dalam darah

(μg/dL)

Efek

1 <10 Gangguan belajar

2a 10-14

2b 15-19

Gangguan pendengaran, pertumbuhan lambat, masalah belajar.

Sakit kepala, berat badan menurun, 3 20-44 gangguan nervous sistem

4 45-69 Anemia, nyeri perut yang hebat

5 >69 Kerusakan otak mengakibatkan

kematian

Perubahan anatomik terutama pada keracunan plumbum dapat terlihat pada tabel di bawah ini (Robinson dan Kumar, 1995) :


(29)

Tabel 2. Gambaran anatomi pada keracunan plumbum

No Target Kelainan

1. Darah a) Anemia biasanya mikrositik, hipokromik (berhubungan dengan rusaknya sintesis hemoglobin dan meningkatnya kerapuhan sel-sel darah merah) b) Basophilic stippling pada sel-sel darah merah

(berhubungan dengan mitokondria dan luka-luka ribosom dengan penyatuan ribosom)

2. Sistem saraf a) Ensefalopati (pada anak-anak) dengan membengkaknya otak, kemungkinan demielinasi otak dan otak kecil yang putih sebelah belakang, kematian pada sel-sel saraf, cabang-cabang halusnya dan perkembangbiakan astrositik

b) Inflamasi saraf dengan demielinasi

3. Rongga mulut Garis plumbum ginggiva terdapat pada orang dewasa dengan ginggivitis (deposit bewarna biru/hitam dari plumbum sulfida)

4. Ginjal Inklusi intranuklear tahan asam, terutama dalam sel-sel tubulus proksimal (terdiri dari bagian kompleks plumbum-protein)

5. Sistem rangka Endapan plumbum yang radioopak pada epifise anak-anak

Keracunan plumbum yang kronik merupakan masalah ksehatan di seluruh dunia. Beberapa penelitian tentang keracunan plumbum antara lain, di Amerika dilaporkan, walaupun kadar plumbum dalam darah pada populasi mengalami penurunan, tetapi kadar terendah terpapar plumbum masih tetap meluas. Diperkirakan 2 juta anak-anak pra sekolah diduga mempunyai kadar plumbum <10μg/dl dan 200 ribu anak berada pada level 25μg/dl. Sementara >1,4 juta pekerja dewasa mempunyai potensi terpapar plumbum di lingkungan pekerjaan dan ribuan kasus dilaporkan mengalami peningkatan kadar plumbum dalam darah (CDC, 1991).


(30)

Penelitian menunjukan bahwa plumbum yang diserap oleh anak walaupun dalam jumlah kecil dapat menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik dan mental yang berakibat pada fungsi kecerdasan dan kemampuan akademik. Efek keracunan plumbum pada anak-anak dibawah usia 6 tahun lebih serius dibandingkan orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak-anak masih mengalami perkembangan sel-sel otak dan sistem saraf serta blood brain barier belum terbentuk sempurna sehingga meningkatkan kerusakan apabila terpapar plumbum. Plumbum juga dapat mmepengaruhi perkembangan IQ, hal ini sejalan dengan penelitian di Universitas Pennsylvania menunjukkan secara langsung hubungan tingginya kadar plumbum pada anak-anak dan dewasa muda dengan tingkat kecerdasan (Needleman, 2003). Plumbum dapat membahayakan bayi sebelum lahir karena plumbum dapat melewati plasenta dan menyebabkan aborsi, atau menimbulkan gangguan pertumbuhan anak setelah lahir.

Penelitian Osamah (2006), kerusakan ginjal dapat terjadi apabila terpapar plumbum 40μg/dl, kerusakan saraf dan anemia dapat terjadi apabila kadar plumbum darah >60μg/dl. Hipertensi dan stroke dapat terjadi pada pemaparan jangka panjang. Kadar plumbum dalam darah >150μg/dl dapat menyebabkan ensefalopati, sakit kepala, konstipasi, sakit perut, diare dan nafsu makan yang berkurang. Konvulsi dan paralisa dapat juga terjadi, bahkan bisa mengakibatkan kematian.

2.1.3 Gejala Keracunan Plumbum


(31)

gejala klinis yang muncul, tapi perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium juga pemeriksaan pasca mati untuk hewan yang telah mati.

Gejala awal keracunan plumbum ditandai dengan sakit kepala, rasa lelah, nyeri sendi, anorexia, konstipasi, muntah, pucat dan anemia. Kemudian diikuti dengan agitasi, irritabiliti, penurunan daya ingat, gangguan koordinasi dan vertigo, depresi, dan pada tahap yang kronis dapat menyebabkan kerusakan otak yang bersifat irreversibel (ensefalopati), koma bahkan dapat menyebabkan kematian.

Gangguan neurofisiologi dapat terjadi pada individu yang terpapar plumbum pada tingkat sedang yang ditandai dengan gangguan keseimbangan, konfusi, halusinasi serta gangguan bicara dan pendengaran (EPA, 2004).

2.1.4 Efek Plumbum pada Hati dan Ginjal

Mekanisme dari keracunan plumbum masih kontroversi, diduga plumbum berikatan secara kovalen dengan preperat besi (III) pada asam nukleat dan protein, menghambat penggabungan besi menjadi hem, mengganggu sintesa globin, menghambat asam delta-aminolevulenat dehidratase dalam sel darah merah serta mempengaruhi sintesa DNA in vitro (Robbin dan Kumar, 1995).

Plumbum dapat merangsang signal interselluler antara sel Kupffer dan sel hepatosit yang akan meningkat secara signifikan ditandai dengan rendahnya kadar lipopolisakarida dan aktivitas proteolitik yang meningkat (Milosevic dan Maaier, 2000). Secara umum, efek dari plumbum pada sistem hepatobilier adalah mengkatalisa peroksidasi dari asam lemak tak jenuh (Yin dan Lin, 1995), mereduksi


(32)

nitrogen-oxide (Krocova, dkk., 2000) dan meningkatkan radikal hydroxyl (Ding, dkk., 2000).

Beberapa penelitian mengenai efek plumbum terhadap jaringan hati dan ginjal antara lain : penelitian Valverde (2002) pemberian Pb asetat 0,0068μg/cc/inhalasi pada mencit menunjukkan peningkatan migrasi DNA pada hati dan ginjal setelah pemaparan.

Penelitian yang dilakukan Hariono (2005) melaporkan pemberian Pb asetat 0,5gr/kgBB/oral/hari pada tikus dijumpai secara makroskopis, hati dan ginjal nampak pucat pada minggu ke-14 dan 16 dan gambaran histopatologik terlihat degenerasi hidrofik dari tingkat ringan sampai sedang pada minggu ke-12 sampai minggu ke-16. Epitel tubulus proksimal ginjal terlihat degenerasi, hiperplasi dan kariomegali pada minggu ke-8, pelebaran lumen tubulus dan simpai Bowman serta adanya benda-benda inklusi dalam inti sel. Penelitian Sipos, dkk., (2003) pemberian Pb asetat 400mg/kgBB selama 5 minggu pada ayam boiler menyebabkan infiltrasi limfosit pada hati dan reaksi inflamasi berat pada daerah periportal yang menyebabkan cirrhosis.

Sementara itu menurut Gajawat (2006) pemberian Pb asetat 20mg/kgBB intraperitoneal pada mencit menunjukkan perubahan histopatologi dan biokimia pada hati mencit yang menimbulkan kerusakan oxidant-antoxidant balance yang menyebabkan peningkatan oxidative stress, peningkatan persentase hati yang


(33)

abnormal, menginduksi lipid proksidase yang dapat merusak membran sel sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi sel.

2.2 Hati (Hepar)

2.2.1 Anatomi Umum

Hepar merupakan organ kelenjar tubuh yang paling besar, terletak di dalam rongga perut. Permukaan bagian atasnya cembung, melekat ke diafragma. Sedangkan pada bagian bawah, permukaannya cekung dan bersentuhan dengan organ lambung dan duodenum (Covelli, 1972). Pada bagian bawah permukaan hepar terdapat pembuluh darah masuk (vena porta dan arteri hepatika), dan duktus hepatikus kiri dan kanan yang keluar dari organ ini di daerah yang disebut portal hepatis (Junqueira, 1995). Pembuluh darah vena dari bagian caudal yaitu vena cava inferior melekat pada bagian ini (Putz & Pabst, 1999).

Hepar bervariasi baik lokasi maupun jumlah lobusnya dari satu spesies hewan ke spesies lain (Frandson, 1992). Hepar mencit (Mus musculus L.) memiliki empat lobus utama yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian dorsal organ ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan, yakni : sebuah lobus median, dua lobus lateral (kiri dan kanan), dan satu lobus caudal yang terbagi setengah dibagian dorsal dan setengah lainnya dibagian ventral (Covelli, 1972). Sedangkan manusia (Homo sapiens) memiliki hepar dengan dua lobus utama, yakni lobus kanan dan kiri yang masing-masing terdiri dari dua segmen. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral. Segmen median terbagi menjadi dua


(34)

bagian, satu lobus quadratus dan caudatus (Hage, 1982). Bentuk hepar manusia memiliki segitiga dan memiliki berat lebih kurang 1,5 kg serta ukurannya 7-10cm pada orang dewasa normal (Dalimartha, 1997; Bateson, 2001).

2.2.2 Gambaran Histologi 2.2.2.1 Jaringan Ikat

Hepar memiliki sangat sedikit jaringan ikat untuk organ yang demikian besar. Terdapat selapis jaringan ikat fibrosa yang menutupinya setebal 70-100μm yang disebut kapsula Glisson. Ia paling tebal pada porta hepatis dan dari situ jaringan ikat berlanjut kedalam ruang interlobularis sambil menunjang sistem vaskular, saluran empedu dan pembuluh limfe, membagi hati dalam lobus dan lobulus. Jaringan ikat interlobularis sulit dilihat (sedikit dan tipis), kecuali pada babi memang memiliki jaringan ikat interlobularis yang tebal dan jelas.Kelompok dari arteri, vena, pembuluh limfe dan saraf, berikut dengan jaringan ikat penunjangnya, disebut triad portal (portal canal, portal area). (Delmann & Brown, 1992).

Gambar 2. Portal canal : Gambaran portal canal (triad portal) pada lobus hepar. Portal canal terdiri dari : 1) arteri hepatica, 2) vena portal hepatic, 3) pembuluh lymphe dan 4) saluran empedu (bile duct). Gartner and Hiatt, Color Textbook of Histology, 2nd edition, Chapter 18.


(35)

2.2.2.2 Hepatosit

Komponen struktur utama dari hepar adalah sel hepar atau hepatosit. Hepatosit tersusun berupa lempeng-lempeng yang saling berhubungan dan bercabang membentuk anyaman tiga dimensi. Hepatosit berbentuk polihedral, intinya bulat terletak ditengah, nukleolus dapat satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sering adanya dua inti, sebagai hasil pembagian yang tidak sempurna dari sitoplasma setelah terjadi pembelahan inti. Sitoplasmanya agak berbutir, tetapi tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi seluler. Diantara hepatosit terdapat saluran sempit yaitu kanalikuli biliaris, yang mengalir ke tepi lobulus kedalam duktus biliaris (Junqueira, 1995).

Hepatosit memiliki enam atau lebih permukaan, dan ada tiga bentuk yang berbeda : a).permukaan yang berhadapan dengan ruang perisinusoid, dimana pada permukaan bebasnya tumbuh mikrovili, b).permukaan yang berbatasan dengan kanalikuli biliaris dan c).permukaan yang saling berhadapan antar hepatosit yang bersebelahan dan memiliki gap junction (Delmann&Brown, 1992).

2.2.2.3 Pembuluh Darah dan Sinusoid

Hepar mendapat aliran darah ganda. Vena porta membawa darah dari usus dan organ tertentu, sedangkan arteri hepatika (dari aorta) membawa darah bersih yang mengandung oksigen. Vena porta dan arteri hepatika bercabang-cabang menuju lobus, disebut arteri atau vena interlobaris, seterusnya bercabang-cabang membentuk arteri dan vena interlobularis yang terdapat di daerah portal atau segitiga Kiernan. Vena interlobularis memiliki cabang kecil, kadang-kadang disebut vena pembagi


(36)

yang merupakan sumbu asinus hati. Venula pendek berasal dari vena pembagi dan berakhir langsung pada sinusoid (Delmann & Brown, 1992). Sebagian darah dari arteri interlobularis membentuk pleksus kapiler di daerah portal dan diserap oleh cabang-cabang vena portal. Hanya sebagian kecil darah mencapai sinusoid secara langsung melalui arteriol yang merupakan cabang dari arteri interlobularis (Delmann & Brown, 1992).

Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus, yang membawa darah dari arteri dan vena interlobularis, masuk sinusoid dan menuju vena sentralis. Arteri dan vena interlobularis didalam lobulus bertemu dalam sinusoid diantara lempeng hati. Susunan percabangan ini menjamin hepatosit memiliki permukaan yang berhadapan dengan sinusoid yang hanya dibatasi oleh ruang perisinusoid (Ruang Disse), merupakan ruang sempit diantara sinusoid dan sel-sel hepar. Ruang demikian tidak tampak dalam biopsi hepar manusia atau dalam hepar hewan percobaan. Meskipun begitu, keberadaanya kini dapat dipastikan dengan mikroskop elektron (Delmann & Brown, 1992; Junqueira, 1995).


(37)

Dinding sinusoid memiliki banyak celah, karena dindingnya terdiri dari endotel dan sel-sel makrofag besar dan aktif yang disebut sel Kupffer yang berasal dari monosit. Sel ini terdapat diberbagai tempat sepanjang sinusoid, bahkan sering mengirim pseudopodia panjang menembus celah endotel atau sel-sel endotel (Delmann & Brown, 1992 ; Fawcett, 2002). Endotel pada sinusoid tidak memiliki lamina basalis sehingga menopang langsung pada ujung mikrovili hepatosit. Jadi rongga perisinusoid terbentuk antara sel-sel hepar dan endotel, sehingga mikrovili dapat terendam dalam plasma darah dan memungkinkan pertukaran langsung bahan-bahan antara darah dan sel-sel hepar. Disamping mikrovili hepatosit, ruang perisinusoid mengandung serabut retikuler disamping sel perisinusoid atau adiposit. Sel-sel tersebut menyimpan vitamin A dan terkait dalam fibrinogenesis dengan sintesis kolagen tipe II pada kerusakan hepar (Delmann & Browen, 1992).

Darah meninggalkan lobulus melalui vena sentralis atau venula hepatika terminalis yang dilapisi oleh endotel dengan lamina basalis serta adventisia tipis, dan langsung berhubungan dengan sinusoid. Vena sentralis berhubungan dengan vena sublobularis atau vena interkalatus di tepi lobulus. Kedua vena tersebut terdapat disepanjang basis lobulus, dimana sebagian bergabung membentuk vena penampang (collecting vein) yang nantinya bergabung menjadi vena hepatika (Delmann & Brown, 1992).

2.2.3 Fungsi Hepar

Hepar merupakan suatu pabrik yang membuat unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh seperti sejenis protein yang disebut albumin yang membantu kelancaran


(38)

sirkulasi dan membawa unsur tertentu dalam aliran darah. Hepar juga membuat banyak sekali faktor pembekuan, yang membantu darah berhenti mengalir (membeku) jika terluka (Bateson, 2001).

Sel hepar terus menerus menghasilkan empedu yang mengalir melalui saluran hepar kedalam saluran empedu, lewat saluran cystik ke dalam kantung empedu. Empedu tidak segera masuk ke dalam usus, karena sfingter pada ujung saluran itu tertutup sampai makanan masuk kedalam usus. Empedu yang masuk ke dalam usus sangat kental, karena dalam kantung empedu banyak diserap air dan sedikit garam. Meskipun empedu tidak mengandung enzim pencerna, tetapi mempunyai fungsi ganda dalam pencernaan. Garam empedu mengemulsi lemak dan memecahnya dalam bagian-bagian yang kecil dengan demikian membuat permukaan lemak itu lebih besar untuk kerja enzim pemecah lemak (Ville, 1999).

Hepar mengatur jumlah kolesterol yang beredar dalam darah. Kolesterol merupakan unsur lemak yang penting bagi sel-sel hewan pada umumnya, dan juga penting pada pembentukan hormon. Jika jumlahnya berlebihan dapat merusak jantung dan arteri. Hepar merupakan tempat dimana tubuh dapat mengeluarkan bahan-bahan berlebihan yang tidak diperlukasn lagi, misalnya bilirubin dan beberapa jenis obat-obatan. Hepar juga dapat menyimpan tenaga (energi) berupa karbohidrat dan glikogen, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi gula jika tubuh kekurangan tenaga (Bateson, 2001).


(39)

2.2.4 Hal-hal Yang Menimbulkan Kelainan Organ Hepar

Menurut Bateson (2001), beberapa penyebab yang dapat mengganggu fungsi hepar adalah sebagai berikut :

a. Alkohol, minum alkohol terlalu banyak dapat mengakibatkan kerusakan dan penyakit pada hepar

b. Infeksi, infeksi virus seperti hepatitis, demam kuning, dapat menyebabkan kerusakan pada hepar dan kadang-kadang mengakibatkan gangguan kesehatan yang berlangsung lama.

c. Obat-obatan dan jamu d. Logam-logam berat

Kalau kerusakan hepar sangat parah, maka bagian tubuh lainnya dapat ikut terganggu terutama limpa. Karena tekanan vena porta sangat tinggi pada penderita sirosis hepatis, maka limpa dapat membengkak.

2.3 Ginjal

2.3.1 Anatomi Umum

Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing-masing disisi kanan dan kiri columna vertebralis setunggi vertebra T12 sampai vertebra L3. ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis kanan. Masing-masing ginjal memiliki facies anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo lateralis, ekstremitas superior dan inferior.


(40)

Kearah kranial masing-masing ginjal berbatas pada diaphragma yang memisahkannya dari cavitas pleuralis dan costa XII. Lebih ke kaudal facies posterior ginjal berbatas pada musculus quadratus lumborum. Pada tepi medial masing-masing ginjal yang cekung, terdapat celah vertikal yang dikenal sebagai hilus renalis yaitu tempat arteri renalis masuk, vena renalis serta pelvis renalis keluar. Kedua ureter mengantar urin dari kedua ginjal ke vesika urinaria. Bagian kranial ureter yang lebar yakni pelvis renalis terjadi karena persatuan dua atau tiga calices renalis mayores yang masing-masing menghimpun dua atau tiga calices renalis minores. Kedua glandula suprarenalis (adrenal) masing-masing terletak pada bagian kraniomedial ginjal. Ginjal diperdarahi oleh arteri renalis, sedangkan glandula suprarenalis didarahi oleh arteri supra renalis.


(41)

2.3.2 Gambaran Histologi

Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar, korpuskulus renal; tubulus kontortus proksimal; segmen tipis dan tebal ansa Henle; dan tubulus kontortus distal. Tubulus dan duktus koligens, menampung urin yang dihasilkan oleh nefron dan menghantarnya ke pelvis ranalis. Nefron dan duktus koligens merupakan tubulus uriniferus sebagai satuan fungsional ginjal.

Gambar 5. Gambaran nephron ginjal (Gray's Anatomy 1918).

Setiap korpuskulus renal berdiameter 200μm dan terdiri atas seberkas kapiler yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal disebut lamina parietalis yang terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit.


(42)

Pada kutub urinarius dari korpuskulus ranal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsula Bowman, berhubungan langsung dengan epitel silindris dari tubulus kontortus proksimal. Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontortus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks. Tubulus ini memiliki lumen lebar dan dikelilingi oleh kapiler peritubuler.

Gambar 6. Histologi ginjal:1.glomerulus, 2.tubulus proksimal, 3.tubulus distal

Lengkung Henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontortus proksimal; ruas tipis decsenden; ruas tipis ascenden; dan ruas tebal ascenden, yang strukturnya sangat mirip dengan tubulus kontortus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks- medula yang disebut nefron jukstamedula. Nefron lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi.

Bila ruas tebal ascenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus distal lebih besar dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan


(43)

lebih kecil dari tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distal..

Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang saling bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih lurus yaitu duktus papilaris Bellini yang berangsur-angsur melebar sewaktu mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid dan berdiameter kurang lebih 40μm. Dalam medula, duktus koligens merupakan komponen utama dari mekanisme pemekatan urin ( Junquiera, 1995).


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan 5 (lima) kelompok perlakuan terhadap hewan percobaan mencit putih jantan (Mus musculus L) strain BALBC

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi FK USU & laboratorium Bapeldalda dalam waktu 5 bulan.

3.3 Rancangan penelitian

Pada penelitian ini sampel terdiri dari 25 ekor mencit jantan yang dibagi secara acak dalam 5 kelompok masing-masing 5 ekor tiap kelompok dengan nama kelompok K, P1, P2, P3, dan P4.

1. K = kelompok tanpa perlakuan (kontrol)

2. P1 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari selama 4 minggu 3. P2 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari selama 8 minggu 4. P3 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari selama 12 minggu 5. P4 = kelompok perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari selama 16 minggu


(45)

Penentuan dosis plumbum

Dalam penelitian ini dosis Pb asetat yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dalam bentuk serbuk kemudian dilarutkan dengan aquadest kemudian dimasukkan langsung ke lambung mencit dengan menggunakan jarum gavage peroral.

3.4 Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah mencit jantan umur 6-8 minggu dengan berat badan 30-50gr dan sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif, diperoleh dari BPPV (Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner).

3.5 Besar Sampel

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan rumus Federer (1963) :

• t = kelompok perlakuan (5 kelompok) • n = jumlah sampel tiap kelompok Banyaknya sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :

(t-1) (n-1) ≥ 15

(t-1) (n-1) ≥ 15 4n-4 ≥ 15 n ≥ 5

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor yang terdiri dari 5 ekor kelompok kontrol dan 20 ekor sebagai kelompok perlakuan.


(46)

3.6 Varibel yang diteliti

3.6.1 Variabel independen

Lama pemaparan Pb asetat 3.6.2 Variabel dependen

a) Gambaran makroskopis hati dan ginjal b) Gambaran mikroskopis hati dan ginjal c) Konsentrasi Pb pada hati dan ginjal 3.7 Pelaksanaan Penelitian

3.7.1 Pemeliharaan Hewan percobaan

Mencit jantan, umur 6-8 minggu, sehat dengan berat badan 30-50gr. Kandang percobaan dibersihkan setiap hari untuk mencegah infeksi yang dapat terjadi akibat kotoran mencit tersebut. Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dan cahaya menggunakan sinar matahari tidak langsung. Makanan hewan percobaan diberikan berupa pellet. Makanan dan minuman diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti setiap hari.

3.7.2 Persiapan Hewan percobaan

Masing-masing kelompok hewan percobaan dipersiapkan dalam kandang yang terpisah. Mencit dipilih dan dipisahkan secara random dalam keadaan baik, disiapkan untuk beradaptasi selama 2 minggu sebelum dilakukan penelitian. Sebelum perlakuan, terhadap setiap mencit ditimbang berat badannya dan diamati kesehatannya secara fisik (gerakannya, berat badan, makan dan minum). Jika ada


(47)

mencit yang sakit pada saat adaptasi ini, maka diganti dengan mencit yang baru dengan kriteria yang sama dan diambil secara acak.

3.7.3 Perlakuan Hewan percobaan

Setelah persiapan selesai maka binatang percobaan kelompok K, P1, P2, P3 dan P4 diberikan perlakuan sebagai berikut :

1. Dilakukan decapitasi capitis pada hewan percobaan

2. Dilakukan pembedahan pada tiap-tiap kelompok hewan percobaan, dimana : a. Kelompok K (kontrol) : pada saat awal percobaan

b. Kelompok P1 : minggu ke-4 c. Kelompok P2 : minggu ke-8 d. Kelompok P3 : minggu ke-12 e. Kelompok P4 : minggu ke-16

3. Organ hati dan ginjal hewan percobaan diamati, ditimbang beratnya kemudian diambil untuk pembuatan sediaan histopatologi dan preparasi kadar Pb di jaringan.


(48)

3.8. Cara Kerja

3.8.1 Pembuatan Sediaan Histopatologi (Mukawi, 1989). Pemeriksaan Histopatologi

Sampel jaringan ↓

Fiksasi (memakai formalin 10%) ↓

Dehidrasi (memakai alkohol 70% ke 100%) ↓

Penjernihan (memakai toluen) ↓

Impegnasi (masukkan ke lilin cair) ↓

Embedding/Block Parafin (penanaman sampel jaringan) ↓

Mikrotom (pemotongan 2μm) ↓

Pencairan lilin yang melekat di sampel jaringan ↓

Preparat diletakkan di objek glas ↓

Penjernihan (memakai xylol) ↓

Rehidrasi (memakai alkohol 96% ke 70%) ↓

Pewarnaan jaringan adhesi dengan Hematoxylin-Eosin ↓

Dehidrasi (memakai alkohol 70% ke 96%) ↓

Tutup objek glas dengan dek glas memakai Balsem (Mounting)

3.8.2 Pembuatan preparasi untuk pemeriksaan kadar plumbum dalam jaringan (Hyde, dkk., 1977).


(49)

2. Setelah jaringan homogen diberikan 0,5ml larutan 1mg/0,5ml magnesium asetat

3. Jaringan dibakar sampai menjadi abu dengan menggunakan muffle furnace pada suhu 500-5500C selama 4-5 jam

4. Setelah menjadi abu ditambahkan larutan 2M asam nitrat sebanyak 5ml kemudian larutan disentrifuge selama 5-10 menit pada kecepatan 2000rpm 5. Larutan yang telah disentrifuge diperiksa dengan alat Atomic Absorbtion

Spectrophotometer (AAS).

3.8.3 Pemeriksaan dengan alat Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS). Langkah-langkah Pengoperasian AAS Simadzu AA 6200

1. Buka katup gas Asetilen pada tabung

2. Buka dan atur tekanan gas Asetilen pada alat dengan tekanan 1,5 Kgf/cm2 3. Nyalakan komputer

4. Pilih icon AA 6200 pada layar dekstop 5. Pilih wizard pada display AA 6200

6. Klik connect, pindahkan slit sesuai dengan perintah pada dialog box, tunggu sampai warna lampu indicator initialize bewarna hijau (±2 menit)

7. Pada connects to instruments, klik next. Pada element dialog box bagian measure isi elemen yang akan diukur atau dengan cara mengklik tanda … kemudian pilih elemen (rumus kimia pada table periodik)


(50)

8. Siapkan lampu elemen yang akan diukur pada socket yang sesuai (socket 1 atau 2)

9. Klik next, pada optics for lamp adjusment dialog box akan menampilkan : a. Wavelength (otomatis diatur oleh alat)

b. Lamp current (otomatis diatur oleh alat)

c. Socket (dipilih sesuai dengan lampu element yang terpasang dan diukur) Pada socket, putar Hollow Cathode Lamp yang digunakan pada posisi operating

d. Slit width(diset pada dinding sebelah kiri alat sesuai dengan yang tertera pada dialog box)

e. Lamp on diaktifkan

f. Pada lamp Status, khat pesan yang tertulis, bila tertulis need to perform line search, klik line search, pilih do line search pada search/beam balance dialog box, monokromator akan melakukan setting panjang gelombang sesuai dengan element yang telah diatur sebelumnya. Tunggu beberapa sat sampai setting selesai, lalu klik close.

10. Periksa sinar pada burner dengan kertas putih (sinar harus sejajar)

11.Klik next, pada adjusment dialog box, lakukan adjusment pada lampu dengan memutar tombol pengaturan (di sebelah kanan alat) sampai didapatkan energi maksimum.


(51)

12.Klik next, pada optics dialog box.

a. Isi lamp mode sesuai dengan metde yang digunakan

b. Bila pada lamp status terdapat pesan Need to perform line search lakukan seperti pada no 9.f

13.Klik next, pada quantitation dialog box, pilih methode, isi jumlah standard an konsentrasi serta satuan konsentrasi dari deret standar kurva kalibrasi yang akan diukur

14.Klik next, pada Measurement dialog box

a. Klik pada kotak Enable, jika dilakukan pengukuran sampel Blanko pada setiap jumlah sampel tertentu, isi jumlah sampel yang akan diukur sebelum pengukuran ulang blanko

b. Pada repeat condition, diisi pengulangan pada setiap pengukuran blanko, standar dan sampel. Klik OK.

15.Klik Next, pada sample dialog box, diisi identitas sampel yang akan diukur serta jumlah sampel.

16.Klik next, pada Gas Condition dilog box, periksa gas sesuai yang diatur dengan menekan tombol purge pada alat.

17.Klik fnish

18.Burner dinyalakan, sampel siap diukur. 3.9. Pengamatan hasil

3.9.1 Pengamatan hati dan ginjal secara makroskopis


(52)

Pengamatan makroskopis hati dan ginjal mencit meliputi warna, permukaan dan konsistensi. Hati dan ginjal yang normal bewarna merah kecoklatan, permukaannya licin dan konsistensinya kenyal.

Kriteria normal bila tidak ditemukan : a. Perubahan warna

b. Perubahan struktur permukaan c. Perubahan konsistensi

Derajat kerusakan hati dan ginjal : 0 = tidak terjadi perubahan

+ = bila ditemukan 1 kriteria diatas ++ = bila ditemukan 2 kriteria diatas +++ = bila ditemukan 3 kriteria diatas 3.9.2 Pengamatan mikroskopis hati

Pengamatan histologi hati meliputi inti sel, sitoplasma, susunan sel, vena sentralis dan sinusoid. Sedangkan hati yang normal tidak ditemukan kelainan dalam sitoplasma, susunan sel, vena sentralis dan sinusoid.

Kriteria normal bila tidak tidak ditemukan: a. Degenerasi lemak

b. Halo pada inti sel


(53)

Derajat kerusakan jaringan hati dikuantitatifkan mengikuti metode Budiono & Herwiyanti (2000) :

0 = tidak terjadi kerusakan jaringan hepar

+ = bila ditemukan salah satu kriteria, degenerasi lemak atau halo disekitar inti sel atau vena sentralis dan sinusoid tidak utuh

++ = bila ditemukan adanya halo disekitar inti sel hepar dan degenerasi lemak +++ = bila ditemukan adanya halo disekitar inti sel, degenerasi lemak, serta

vena sentralis dan sinusoid tidak utuh.

3.9.3 Pengamatan mikroskopis ginjal

Pengamatan histologi ginjal meliputi perubahan pada tubulus berupa pelebaran lumen tubulus disertai akumulasi sel-sel debris, vakuolisasi lumen, serta pelebaran ruang Bowman. kemudian perubahan pada sel-sel pelapis epitel tubulus berupa degenerasi, hiperplasi, karyomegali, benda-benda inklusi.

Kriteria normal bila tidak ditemukan : a. Pelebaran lumen tubulus

b. Akumulasi sel-sel debris dalam lumen c. Vakuolisasi lumen tubulus

d. Pelebaran ruang Bowman e. Degenerasi


(54)

g. Karyomegali

h. Benda-benda inklusi

Derajat kerusakan jaringan ginjal dikuantitatifkan sebagai berikut : 0 = tidak terjadi kerusakan jaringan ginjal

+ = bila ditemukan 1-2 kriteria diatas ++ = bila ditemukan 3-5 kriteria diatas +++ = bila ditemukan 6-8 kriteria diatas 3.9.4 Konsentrasi Pb dalam jaringan

Hasil pemeriksaan konsentrasi Pb pada jaringan hati dan ginjal terlampir pada halaman 61 .

3.10 Analisis Data

Data pengamatan yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji Kruskal Wallis Test (Santoso, 2001; Sulaiman, 2003).


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kadar Pb dalam Jaringan

Pada penelitian ini pengaruh lama pemaparan plumbum terhadap kadarnya dalam jaringan hati dan ginjal mencit jantan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 3. Kadar Pb dalam jaringan hati dan ginjal mencit jantan setelah pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari dengan jangka waktu bertingkat

Kelompok Waktu (minggu)

Jumlah Mencit (ekor)

Rata-rata Kadar Pb dalam jaringan hati (μg/g)

Rata-rata Kadar Pb dalam jaringan ginjal (μg/g)

K (kontrol) 0 5 0.064 0.092

P1 4 5 0.464 0.650

P2 8 5 1.048 1.244

P3 12 5 0.744 1.162

P4 16 5 1.072 1.290

Dari tabel 3 terlihat bahwa kadar plumbum pada jaringan hati dan ginjal meningkat secara proporsional sesuai dengan jumlah plumbum yang diberikan, tetapi pada kelompok P3 mengalami sedikit penurunan. Selama penelitian ini terlihat kadar plumbum dalam ginjal lebih tinggi dibandingkan kadar plumbum dalam hati. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hariono (2005) terhadap tikus bahwasanya akumulasi plumbum pada ginjal lebih tinggi daripada hati.

Secara statistik, dengan menggunakan uji Kruskal Wallis Test, juga terlihat perbedaan yang bermakna antara lama pemaparan Pb asetat dengan kadar plumbum


(56)

yang terakumulasi dalam jaringan antara semua kelompok, baik itu pada jaringan hati (p=0.005) maupun pada ginjal (p=0.004).

4.2 Derajat Kerusakan hati dan ginjal secara makroskopis

Perubahan makroskopis mencit jantan (Mus musculus) setelah pemberian Pb asetat terlihat perubahan pada hati dan ginjal seperti terlihat pada tabel 4 dibawah ini : Tabel 4. Derajat kerusakan jaringan hati dan ginjal secara makroskopis setelah

pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari dengan jangka waktu bertingkat Derajat Kerusakan Jaringan Secara makroskopis (% )

Hati Ginjal Kelompok Waktu

(mgg)

0 + ++ +++ 0 + ++ +++

K (kontrol) 0 100 - - - 100 - - -

P1 4 100 - - - 100 - - -

P2 8 - 100 - - - 60 20 20

P3 12 - 80 20 - - 80 - 20

P4 16 - 40 60 - - 100 - -

Keterangan :

0 = tidak terjadi perubahan

+ = bila ditemukan 1 kriteria (perubahan warna, struktur permukaan, konsistensi) ++ = bila ditemukan 2 kriteria (perubahan warna, struktur permukaan, konsistensi) +++ = bila ditemukan 3 kriteria (perubahan warna, struktur permukaan & konsistensi)

Dari tabel 4 diatas terlihat secara makroskopis terjadi kerusakan hati pada kelompok P2 (8 minggu) yaitu abnormal(+) sebesar 100%, pada kelompok P3 (jangka waktu 12 minggu) terjadi abnormal (+) sebesar 80% dan abnormal (++) sebesar 20% kemudian pada kelompok P4 (16 minggu) abnormal (+) dan abnormal (++) masing-masing sebesar 40% dan 60%.

Perubahan yang terjadi pada ginjal tidak jauh berbeda pada hati, terlihat pada jangka waktu 8 minggu (kelompok P2) dengan derajat kerusakan abnormal (+) 60%,


(57)

abnormal (++) 20% dan abnormal (+++) 20%. Kemudian pada kelompok P3 (jangka waktu 12 minggu) kerusakan yang terjadi abnormal (+) dan abnormal (+++) masing-masing 80% dan 20%, disusul oleh kerusakan abnormal (+) sebesar 100% yang terjadi pada kelompok P4 (16 minggu). Secara statistik juga menunjukkan perbedaan bermakna pada kedua jaringan (p=0.000).

Dari hasil analisa diatas menunjukkan bahwasanya pemaparan plumbum secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama ternyata dapat meningkatkan kerusakan hati dan ginjal mencit secara makroskopis.

Tabel 5. Morfologi hati mencit setelah perlakuan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari Morfologi Hati

Kelompok Waktu

(minggu) Warna Permukaan Konsistensi

K(kontrol) 0 merah kecoklatan Licin kenyal P1 4 merah kecoklatan Licin kenyal

P2 8 pucat Licin kenyal

P3 12 pucat licin+nodul kenyal

P4 16 pucat+bintik-bintik putih Licin kenyal

Dari tabel 5 diatas, pada kelompok P2 (8 minggu) mulai terlihat perubahan warna pada hati yang secara normal bewarna merah kecoklatan berubah menjadi pucat dan pada kelompok P4 (16 minggu) terlihat pucat disertai bintik-bintik putih. Permukaan hati terlihat licin pada semua kelompok, kecuali ada satu sampel yang permukaannya tidak rata/bernodul-nodul yang terjadi pada kelompok P3 (12 minggu). Sedangkan konsistensi hati tidak mengalami perubahan selama penelitian.

Gambaran makroskopis hati mencit selama penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini : pada kelompok kontrol (gambar 7) dan kelompok P1 (gambar


(58)

8) hati terlihat normal, tidak terjadi kerusakan. Pada kelompok P2 (gambar 9) terlihat perubahan warna hati menjadi pucat, kelompok P3 (gambar 10) warna hati pucat disertai dengan permukaan yang bernodul-nodul, dan pada kelompok terakhir (P4) terlihat warna hati yang pucat disertai bintik-bintik putih pada permukaan hati (gambar 11).

Gambar 7. Gambaran hati yang normal (kelompok kontrol), warna merah kecoklatan, permukaan licin dan konsistensi kenyal

Gambar 8. Gambaran hati minggu ke-4 (P1), masih tampak normal, warna merah kecoklatan, permukaan licin dan konsistensi kenyal


(59)

Gambar 9. Gambaran hati pada minggu ke-8 (P2), warna pucat, permukaan licin, konsistensi kenyal

Gambar 10.Gambaran hati pada minggu ke-12 (P3), warna pucat, permukaan bernodul, konsistensi kenyal

Gambar 11. Gambaran hati pada minggu ke-16 (P4), warna pucat + bintik-bintik putih, permukaan licin dan konsistensi kenyal


(60)

Tabel 6. Morfologi ginjal mencit setelah diberi Pb asetat 100mg/kgBB/oral /hari Morfologi Ginjal

Kelompok Waktu

(mgg) Warna Permukaan Konsistensi

K (kontrol) 0 merah kecoklatan licin kenyal P1 4 merah kecoklatan licin kenyal P2 8 pucat+bintik-bintik putih licin+nodul kenyal P3 12 pucat+bintik-bintik putih licin+nodul kenyal

P4 16 pucat licin kenyal

Dari tabel 6 diatas terlihat bahwasanya perubahan warna pada ginjal terlihat lebih cepat dibandingkan dengan hati mulai tampak pada kelompok P2 (jangka waktu 8 minggu) dimana terjadi perubahan warna ginjal menjadi pucat disertai bintik-bintik putih dan struktur permukaannya bernodul-nodul.

Perubahan morfologi ginjal secara makroskopis terlihat pada gambar dibawah ini : pada kelompok kontrol (gambar 12) dan kelompok P1 (gambar 13) ginjal terlihat normal, pada kelompok P2 (gambar 14) dan kelompok P4 (gambar 15) warna ginjal pucat dengan bintik-bintik putih, disertai dengan permukaan ginjal yang bernodul-nodul. Sementara itu pada kelompok P4 (gambar 16) terlihat warna ginjal pucat disertai dengan bintik-bintik putih.


(61)

Gambar 12. Gambaran ginjal pada kelompok kontrol terlihat normal warna merah kecoklatan, permukaan licin dan konsistensi kenyal

Gambar 13. Gambaran ginjal pada kelompok P1 (4 minggu), warna merah kecoklatan, permukaan licin dan konsistensi kenyal

Gambar 14. Gambaran ginjal pada kelompok P2 (8 minggu), warna pucat + bintik-bintik putih, permukaan bernodul-nodul dan konsistensi kenyal


(62)

Gambar 15. Gambaran ginjal pada kelompok P3 (12 minggu) terlihat pucat dan berbintik-bintik putih, permukaan bernodul-nodul serta konsistensi kenyal

Gambar 16. Gambaran ginjal pada kelompok P4 (16 minggu). Kedua ginjal terlihat pucat dan berbintik-bintik putih, permukaan licin dan konsistensi kenyal


(63)

4.3 Derajat Kerusakan Hati dan Ginjal Secara Mikroskopis

Perubahan jaringan secara mikroskopis dapat terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 7. Derajat kerusakan jaringan hati dan ginjal secara mikroskopis setelah

pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari dengan jangka waktu bertingkat

Derajat Kerusakan Jaringan Secara mikroskopis (% )

Hati Ginjal

Kelompok Waktu (mgg)

0 + ++ +++ 0 + ++ +++

K (kontrol) 0 100 - - - 100 - - -

P1 4 100 - - - 80 20 - -

P2 8 - 80 20 - - - 60 40

P3 12 - - 80 20 - - 60 40

P4 16 - - 80 20 - - 40 60

Keterangan :

Derajat kerusakan hati

0 = tidak terjadi kerusakan jaringan hepar

+ = bila ditemukan salah satu kriteria; degenerasi lemak atau halo disekitar inti sel atau vena sentralis dan sinusoid tidak utuh

++ = bila ditemukan adanya halo disekitar inti sel hepar dan degenerasi lemak

+++= bila ditemukan adanya halo disekitar inti sel, degenerasi lemak, serta vena sentralis dan sinusoid tidak utuh

∗∗Derajat kerusakan ginjal

0 = tidak terjadi kerusakan jaringan ginjal (tidak terjadi pelebaran lumen tubulus, akumulasi sel-sel debris dalam lumen, vakuolisasi lumen tubulus, pelebaran ruang Bowman, degenerasi, hiperplasi, karyomegali dan benda-benda inklusi).

+ = bila ditemukan 1-2 kriteria diatas ++ = bila ditemukan 3-5 kriteria diatas +++ = bila ditemukan 6-8 kriteria diatas

Dari tabel diatas kerusakan hati mulai terlihat secara mikroskopis pada kelompok P2 (jangka waktu 8 minggu) abnormal (+) sebesar 80% dan abnormal (++) sebesar 20%. Adanya halo disekitar inti sel yang tampak pada jaringan hati hewan uji karena ada substansi yang bersifat toksik yang menyebabkan masuknya cairan


(64)

ekstrasel ke intrasel dengan jumlah yang banyak. Hal ini dapat terjadi apabila membran sel, yang merupakan salah satu komponen sel yang terpenting terganggu permeabilitasnya, sehingga memudahkan masuknya molekul air dari ekstrasel ke intrasel secara berlebihan. Diduga bila terjadi akumulasi air yang cukup banyak didalam sel hati mengakibatkan terbentuknya vakuola besar disekitar inti sel dan tampak seperti cincin (halo). Sel hati biasanya tampak membengkak pada kejadian ini.

Menurut Chang (1986), masuknya air biasanya akan membentuk vakuola-vakuola jernih, kecil, dan banyak selanjutnya vakuola-vakuola tersebut dapat bersatu dan menghasilkan vakuola lebih besar atau vakuola tunggal yang menempati didalam sitoplasma dan menggantikan inti sel. Perubahan ini biasanya diikuti dengan sel mengalami pembengkakan dan sitoplasma tampak keruh. Kejadian tersebut sering disebut dengan Hydropic Degeneration. Pada pengamatan ultrastruktural, degenerasi hidropik ini menunjukkan terjadinya pembengkakan mitokondria. Organel ini sangat berperan penting dalam menghasilkan energi atau ATP. Bila terjadi penurunan jumlah ATP tentunya akan mengganggu proses-proses metabolisme yang penting, diantaranya pengaturan permeabilitas membran dan mekanisme transport aktif sel.

Degenerasi lemak yang terjadi sejak dari kelompok perlakuan P2 (jangka waktu 8 minggu) sampai pada kelompok P4 (jangka waktu 16 minggu) merupakan peningkatan dari perubahan diatas. Hal ini terjadi karena adanya akumulasi lemak didalam sel hati, biasanya ditandai dengan adanya vakuola-vakuola kecil didalam


(65)

sitoplasma, vakuola-vakuola ini dapat membesar dan mendesak inti sel ke bagian tepi sel hati. Degenerasi lemak tampaknya meluas seiring dengan semakin lama perlakuan yang diberikan pada hewan uji. Selain itu hal tersebut juga berdampak terhadap perubahan struktur jaringan yang lain, diantaranya keutuhan vena sentralis dan sinusoid. Biasanya perlemakan dimulai pada bagian sentral lobulus hati, kemudian meluas cepat. Degenerasi lemak dapat reversibel, namun bila terjadi secara terus menerus dapat mengakibatkan gangguan sampai berupa kematian sel atau nekrosis.

Perubahan struktur jaringan hati pada kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4 memiliki derajat kerusakan yang berbeda-beda. Namun secara keseluruhan dengan menggunakan uji Kruskal Wallis Test, menunjukkan derajat kerusakan jaringan yang bermakna p=0.000 (p<0,05).

Penelitian yang dilakukan oleh Hariono (2005) terhadap tikus percobaan menunjukkan bahwasanya terlihat perubahan pada jaringan hati tikus berupa degenerasi hidrofik dari tingkat ringan sampai sedang pada minggu ke-12 sampai minggu 16 pada kelompok perlakuan dan kerusakan ginjal terjadi pada minggu ke-8 berupa perubahan pada epitel tubulus konvulatus proksimal ginjal berupa degenerasi, hiperplasi, kariomegali dan pelebaran ruang Bowman.

Kerusakan awal yang terjadi pada ginjal akibat terpapar Pb baik secara akut ataupun kronis, terlihat pada tubulus atau tubulo-interstitial ginjal, Sel-sel pada tubulus proksimal mengalami kerusakan yang ditandai dengan menurunnya fungsi resorpsi ginjal. Disfungsi tubulus proksimal yang berat dapat terjadi pada pekerja dengan kronik nephropathy akibat terpapar Pb (Goyer & Rhyne, 1973). Penelitian


(66)

Victery, dkk. (1982) melaporkan efek toksik Pb pada level minimal terhadap tikus terlihat pada penurunan aktifitas plasma renin.

Sementara itu pada penelitian ini terlihat derajat kerusakan ginjal terjadi lebih awal dibandingkan dengan jaringan hati. Kerusakan sudah mulai terlihat pada minggu ke-4 (kelompok P1) dimana sudah terjadi degenerasi, vakuolisasi lumen tubulus sebesar 20%. Kerusakan ginjal yang terjadi meningkat terus sampai akhir penelitian minggu ke-16 (kelompok P4). Secara statistik juga menunjukkan ada perbedaan pada semua kelompok uji p=0,001 (p<0,05).

Gambaran mikroskopis hati selama penelitian terlihat bahwa pada kelompok kontrol dan kelompok P1 (4 minggu) terlihat normal, tidak terjadi kerusakan (gambar 17 dan 18). Pada kelompok P2 (8 minggu) mulai tampak kelainan pada struktur hati yaitu vena sentralisnya tidak utuh lagi disertai sinusoid yang melebar (gambar 19), pada kelompok P3 (12 minggu) terjadi degenerasi lemak serta adanya halo pada inti sel (gambar 20), sedangkan pada minggu ke 16 (kelompok P4) terjadi degenerasi lemak, halo pada inti sel, serta vena sentralis dan sinusoidnya sudah tidak utuh lagi (gambar 21).

Gambar 17. Jaringan hati pada kelompok kontrol dengan pembesaran 20x10, vena sentralis utuh, sinusoid utuh, sel-sel hati tersusun secara radier


(67)

Gambar 18. Jaringan hati pada kelompok P1 (4 minggu) dengan pembesaran 20x10, jaringan hati tampak normal , vena sentralis dan sinusoid tampak utuh.

Gambar 19. Jaringan hati pada kelompok P2 (8 minggu) dengan pembesaran 20x10, 1.sinusoid memanjang & melebar 2.vena sentralis tidak utuh

Gambar 20. Jaringan hati pada kelompok P3 (12 minggu) dengan pembesaran 40x10, 1.halo pada inti sel 2.degenerasi lemak


(68)

Gambar 21. Jaringan hati pada kelompok P4 (16 minggu) dengan pembesaran 40x10, 1.degenerasi lemak 2.vena sentralis tidak utuh 3.halo pada inti sel

Gambaran mikroskopis ginjal selama penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini, bahwasanya pada kelompok kontrol jaringan ginjal tampak normal (gambar 22). Pada kelompok P1 (4 minggu) sudah dijumpai adanya perubahan pada struktur ginjal, yaitu terjadi vakuolisasi dan akumulasi sel debris pada lumen tubulus (gambar 23). Pada gambar 24 terlihat kerusakan ginjal pada kelompok P2 (8 minggu) yaitu adanya pelebaran lumen tubulus, akumulasi sel debris dalam lumen, karyomegali disertai hiperplasi. Pada kelompok P3 (12 minggu) terlihat akumulasi sel debris, pelebaran dan vakuolisasi lumen tubulus, degenerasi lemak disertai dengan pelebaran ruang Bowman (gambar 25). Pada kelompok terakhir yaitu kelompok P4 (16 minggu) terjadi pelebaran lumen tubulus, vakuolisasi dan akumulasi sel debris dalam lumen, pelebaran ruang Bowman, hiperplasi dan degenerasi sel epitel tubulus, serta akumulasi sel radang pada tubulus (gambar 26).


(69)

Gambar 22. Jaringan ginjal pada kelompok kontrol dengan pembesaran 40x10, 1.glomerulus 2.tubulus proximal 3.tubulus distal 4.tubulus koligens

Gambar 23. Jaringan ginjal pada kelompok P1 (4 minggu) dengan pembesaran 40x10, 1.vakuolisasi dan 2.akumulasi sel debris pada lumen tubulus

Gambar 24. Jaringan ginjal pada kelompok P2 (8 minggu) dengan pembesaran 40x10, 1.pelebaran lumen tubulus, 2.akumulasi sel debris dalam lumen, 3.karyomegali, 4.hiperplasi


(70)

Gambar 25. Jaringan ginjal pada kelompok P3 (12 minggu) dengan pembesaran 40x10, 1.akumulasi sel debris pada lumen tubulus, 2.pelebaran ruang Bowman, 3.degenerasi lemak, 4.vakuolisasi lumen , 5. pelebaran lumen tubulus

Gambar 26. Jaringan ginjal pada kelompok P4 (16 minggu) dengan pembesaran 40x10, 1.pelebaran lumen tubulus, 2.pelebaran ruang Bowman, 3.hiperplasi, 4.vakuolisasi lumen, 5.degenerasi, 6.akumulasi sel radang dan 7.akumulasi sel debris dalam lumen

4.4 Berat Hati dan Ginjal Hewan Uji

Berat rata-rata hati dan ginjal hewan uji selama penelitian ini dapat terlihat dari grafik dibawah ini :


(71)

WAKTU 16 mgg 12 mgg 8 mgg 4 mgg 0 mgg M ean of B E R A TH 3.2 3.0 2.8 2.6 2.4 2.2 2.0

Grafik 1. Grafik berat rata-rata hati hewan uji

WAKTU 16 mgg 12 mgg 8 mgg 4 mgg 0 mgg M ean of B E R A T G D .48 .46 .44 .42 .40 .38 .36

Grafik 2. Grafik berat rata-rata ginjal kanan hewan uji

WAKTU 16 mgg 12 mgg 8 mgg 4 mgg 0 mgg M ean of B E R A T G S .42 .41 .40 .39 .38 .37 .36 .35


(72)

Dari grafik 1, 2 dan 3 di atas menunjukkan berat rata-rata organ hati serta ginjal kanan dan kiri mengalami peningkatan seiring dengan lamanya pemberian Pb asetat 100mg/kgBB. Dengan adanya perubahan struktur jaringan hati dan ginjal hewan uji pada kelompok perlakuan diantaranya terjadi degenerasi lemak mengakibatkan berat organ hati dan ginjal mengalami peningkatan seiring dengan lamanya perlakuan. Peningkatan dapat terjadi karena adanya substansi seperti air dan lemak yang terjadi dalam sel sehingga volume sel akan bertambah dan akhirnya akan mempengaruhi berat organ hewan uji.


(73)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari penelitian ini didapati kesimpulan sebagai berikut :

1. Kadar plumbum pada jaringan hati dan ginjal mencit akibat pemberian Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari meningkat secara proporsional selama penelitian. Selama penelitian ini terlihat kadar plumbum dalam ginjal lebih tinggi dibandingkan kadar plumbum dalam hati.

2. Derajat kerusakan hati dan ginjal mencit akibat pemaparan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari secara makroskopis terlihat dalam jangka waktu 8 minggu. 3. Derajat kerusakan hati mencit akibat pemaparan Pb asetat 100mg/kgBB/oral/hari secara mikroskopis mulai terlihat dalam jangka waktu 8 minggu sedangkan pada ginjal sudah terlihat sejak minggu ke-4.

4. Berat organ hati dan ginjal selama penelitian ini mengalami peningkatan seiring dengan lamanya pemaparan Pb asetat.

Saran

1. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemaparan Pb terhadap kerusakan organ-organ lainnya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hewan uji yang berbeda dan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga hasil yang didapatkan lebih sempurna.


(74)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, F.W., Delves, H.T. and Clayton, B.E. (1973). The uptake and secretion by children of lead and other contaminants. In: Proccedings of international symposium; Environmental Health Aspects of Lead, Amsterdam. Luxembourg, Commision of the European Communities, pp. 319-330.

Bartik, M. (1981). Veterinary Toxicology, Elsevier Scientific. Publ. Co., New York, pp. 108-118.

Bateson, M. (2001). Batu Empedu dan Penyakit Hati. Cetakan IV. Penerbit Arcan. Jakarta. hal : 1-13

Bodgen, J.D., Oleske, J.M., Louria, D.B. (1997). Lead poisoning-one approach to a problem that wont go away. Environmental Health Perspectives. 105(12) : 1284-1287.

Budiono, B., dan Herwiyanti, S. (2000). The histological structure of liver of rats after consuming extract of lamtoro leaf and green tea (Leucaena Leucocephala). Jurnal Kedokteran YARSI. 8(2) : 16-24.

CDC. (1991). Preventing lead poisoning in young children. Atlanta, GA: Centers for Disease Control.

CDC. (2000). Recommendations for blood lead screening of young children enrolled in medicaid: Targeting a group at high risk. Mmwr,49 (rr-14): 1-13.

Chang, J. (1986). Synopsis of Pathology. Printed Abraham Publication. P : 26-27. Covelli, V. (1972). Guide to the necropsy of the mouse. Available from:

http://www.eulep.org/Necropsy-of-the-Mouse/index.php?file=Chapter-4html

Dalimartha, S. (1997). Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta. hlm: 1.

Delmann, H.D & Brown, E.M. (1992). Buku Teks Histologi Veteriner II. Cetakan pertama. Edisi ke-3. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Hal: 392-404. Ding, Y., Gonick, H.C., Vaziri, N.D. (2000). Lead promotes hydroxyl radical

generation and lipid peroxidation in cultured aortic endothelial cells. Am J Hypertens. 13: 552-555.


(1)

Lampiran 1

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN

KOMITE ETIK PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Jl. Dr. Mansur No. 05 Medan, 20155 - INDONESIA. Tel: +62-61-8211045; 8210555

Fax: +62-61-8216264, E-mail : komet FKUSU@yaboo.com

PERSETUJUAN KOMITE ETIK TENTANG

PELAKSANAAN PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Nomor : 218/KOMET/FK USU/ 2007

Yang bertanda tangan di bawah ini, Ketua Komite Etik Penelitian Bidang

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, setelah dilaksanakan

pembahasan dan penilaian usulan penelitian yang berjudul

"Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis

Hati dan Ginjal Mencit akibat

Pemberian Plumbum Asetat”

yang menggunakan manusia dan hewan sebagai subjek penelitian dengan ketua Pelaksana/

Peneliti Utama:

dr. Dwi Rita Anggraini

dari Institusi :

Program Studi Biomedik

Sekolah Pasca Sarjana USU

dapat disetujui pelaksanaannya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan

dan kode etik penelitian biomedik.

Medan,

10 Juli

2007

Komite Etik P

enelitian Bidang kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara


(2)

Lampiran 2

Data Penelitian

waktu kdrpbg kdrpbh makrowg makropg makrokg makrog mikrog makrowh makroph makrokh makroh mikroh

0 0.08 0.03 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

0 0.14 0.08 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

0 0.07 0.07 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

0 0.12 0.09 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

0 0.05 0.05 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

1 0.33 0.19 1

1

1

0 1

1

1

1 0 0

1 1.55 1.73 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

1 1.65 0.15 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

1 0.40 0.07 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

1 0.32 0.18 1

1

1

0 0

1

1

1 0 0

2 1.52 0.62 3

2

1

3 3

2

1

1 1 1

2 1.72 0.73 2

1

1

1 2

2

1

1 1 1

2 1.61 0.66 2

1

1

1 2

2

1

1 1 1

2 0.75 2.25 2

1

1

1 2

2

1

1 1 1

2 0.62 0.98 2

2

1

2 3

2

1

1 1 2

3 1.38 0.45 2

1

1

1 3

2

1

1 1 2

3 1.45 0.72 2

1

1

1 2

2

1

1 1 2

3 1.56 0.59 2

1

1

1 2

2

1

1 1 2

3 0.80 1.74 3

2

1

3 3

2

2

1 2 2

3 0.62 0.22 2

1

1

1 2

2

1

1 1 3

4 1.55 0.64 2

1

1

1 3

3

1

1 2 2

4 1.74 0.75 2

1

1

1 3

3

1

1 2 2

4 1.63 0.69 2

1

1

1 2

3

1

1 2 2

4 0.88 2.28 2

1

1

1 2

2

1

1 1 2


(3)

Lampiran 3

Test of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

WAKTU Statistic df Sig. Statistic df Sig.

0 mgg .227 5 .200(*) .943 5 .687

4 mgg .300 5 .161 .739 5 .023

8 mgg .303 5 .149 .823 5 .124

12 mgg .297 5 .171 .856 5 .215

KDR PBG

16 mgg .302 5 .154 .851 5 .198

0 mgg .198 5 .200(*) .957 5 .787

4 mgg .450 5 .001 .616 5 .001

8 mgg .339 5 .061 .715 5 .014

12 mgg .316 5 .114 .840 5 .164

KDR PBH

16 mgg .342 5 .057 .714 5 .013

* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction

Lampiran 4

Kruskal Wallis Test

WAKTU N Mean Rank

KDR PBG 0 mgg 5 3.00

4 mgg 5 10.40

8 mgg 5 17.30

12 mgg 5 15.50

16 mgg 5 18.80

Total 25

KDR PBH 0 mgg 5 3.50

4 mgg 5 9.90

8 mgg 5 18.00

12 mgg 5 14.60

16 mgg 5 19.00

Total 25

Test Statistics(a,b)

KADARPBG KADARPBH

Chi-Square 15.261 15.091

df 4 4

Asymp. Sig. .004 .005

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: WAKTU


(4)

Ranks

WAKTU N Mean Rank

MAKROG 0 mgg 5 5.50

4 mgg 5 5.50

8 mgg 5 19.40

12 mgg 5 18.10

16 mgg 5 16.50

Total 25

MIKROG 0 mgg 5 5.00

4 mgg 5 6.00

8 mgg 5 17.50

12 mgg 5 17.50

16 mgg 5 19.00

Total 25

Test Statistics(a,b)

MAKROG MIKROG

Chi-Square 21.421 19.436

df 4 4

Asymp. Sig. .000 .001

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: WAKTU

Ranks

WAKTU N Mean Rank

MAKROH 0 mgg 5 5.50

4 mgg 5 5.50

8 mgg 5 16.00

12 mgg 5 17.50

16 mgg 5 20.50

Total 25

MIKROH 0 mgg 5 5.50

4 mgg 5 5.50

8 mgg 5 13.80

12 mgg 5 20.10

16 mgg 5 20.10


(5)

Test Statistics(a,b)

MAKROH MIKROH

Chi-Square 21.551 22.288

df 4 4

Asymp. Sig. .000 .000

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: WAKTU

Ranks

WAKTU N Mean Rank

KADARPBG 0 mgg 5 3.00

4 mgg 5 10.40

8 mgg 5 17.30

12 mgg 5 15.50

16 mgg 5 18.80

Total 25

Test Statistics(a,b)

KADARPBG

Chi-Square 15.261

df 4

Asymp. Sig. .004

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: WAKTU

Ranks

WAKTU N Mean Rank

KADARPBH 0 mgg 5 3.50

4 mgg 5 9.90

8 mgg 5 18.00

12 mgg 5 14.60

16 mgg 5 19.00


(6)

Test Statistics(a,b)

KADARPBH

Chi-Square 15.091

df 4

Asymp. Sig. .005

a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: WAKTU

Ranks

MAKROH N Mean Rank

KADARPBH normal 10 6.70

abnormal + 11 16.91

abnormal ++ 4 18.00

Total 25

Test Statistics(a,b)

KADARPBH

Chi-Square 12.281

df 2

Asymp. Sig. .002

a Kruskal Wallis Test

b Grouping Variable: MAKROH

Ranks

MIKROH N Mean Rank

KADARPBH normal 10 6.70

abnormal + 4 17.50

abnormal ++ 9 17.44

abnormal +++ 2 15.50

Total 25

Test Statistics(a,b)

KADARPBH

Chi-Square 12.340

df 3

Asymp. Sig. .006

a Kruskal Wallis Test