Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB Perhitungan BPHTB

f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

5. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah : 61 a. Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf; f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 61 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat 4 Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum. Sedangkan yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, 62

6. Perhitungan BPHTB

termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Kemudian yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama- lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun. Formula menghitung BPHTB adalah: BPHTB = Tarif x NPOP – NPOPTKP = Tarif x NPOPKP 62 A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm.1. Universitas Sumatera Utara NPOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, yang menjadi dasar pengenaan BPHTB. 63 NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang merupakan jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan NPOPTKP diatur dalam ketentuan Pasal 87 ayat 4 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU PDRD, yang berbunyi: Pada dasarnya ada 3 jenis nilai harga yang menjadi NPOP, yaitu nilai pasar, harga transaksi, dan harga transaksi risalah lelang. Bila nilai pasar atau harga transaksi yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak NJOP PBB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB. 4 Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 enam puluh juta rupiah untuk setiap Wajib Pajak. 5 Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. 64 Tarif adalah aturan pungutan, dalam pungutan BPHTB tarif yang digunakan adalah tarif proporsional. Ketentuan Pasal 88 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU PDRD menentukan tarif BPHTB maksimal sebesar 5 lima persen, menurut ketentuan Pasal 88 ayat 63 Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan Dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010, hlm.119. 64 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat 4 dan ayat 5 Universitas Sumatera Utara 2 terhadap tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB adalah 5 lima persen secara flat artinya berapapun nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan tetap dikenakan maksimal 5 lima persen. Tarif pajak dibagi dalam enam jenis yaitu : a. Tarif Tetap. 65 Tarif yang berupa jumlah atau besarnya tetap untuk berapapun besarnya DPP. Contoh: BM = Rp.3.000,- untuk pembayaran dengan cek atau giro bilyet dalam jumlah berapapun. b. Tarif Proporsional Sebanding. 66 Tarif berupa tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun besarnya DPP. Contoh: PPn = 10 x DPP. c. Tarif Progresif Meningkat. 67 Tarif berupa tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya DPP. Contoh: PPh OP = 5 x sampai dengan Rp.50 juta, 15 x Rp.50 juta sampai dengan Rp.250 juta, 25 x di atas Rp.250 juta sampai dengan Rp.500 juta, 30 di atas Rp.500 juta. d. Tarif Degresif Menurun. Tarif berupa tertentu yang semakin menurun dengan menurunnya DPP, kebalikan tarif PPh OP. 65 Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Op.Cit., hlm.7 66 Ibid. 67 Ibid. Universitas Sumatera Utara e. Tarif Advalorum. Tarif dengan tertentu yang dikenakan pada harga atau nilai suatu barang. Contoh: Barang impor 1.000 unit Rp.100, Bea Masuk = 10 x 1.000 x Rp.100. f. Tarif Spesifik. Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu. Contoh: impor 1.000 unit, Tarif Rp. 100 per unit, Bea Masuk = 1.000 x Rp. 100 Secara umum, Dasar Pengenaan Pajak DPP BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. terdapat 3 jenis NPOP yang dijadikan Dasar Pengenaan Pajak : 68 a. Nilai Pasar, pada transaksi perolehan berupa: 1 Tukar-menukar, 2 Hibah, 3 Hibah Wasiat, 4 Waris, 5 Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, 6 Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, 7 Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, 68 Warta Ekonomi: Majalah Ekonomi Bisnis, Volume I, Issues 9-17, Jakarta: Obor Sarana Utama, 1998, hlm.69-71 Universitas Sumatera Utara 8 Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, 9 Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, 10 Penggabungan usaha, 11 Peleburan usaha, 12 Pemekaran usaha, 13 Hadiah. b. Harga Transaksi, pada transaksi perolehan berupa Jual Beli c. Harga Transaksi Risalah Lelang, pada transaksi perolehan berupa penunjukan pembeli dalam lelang. Apabila Nilai Pasar NP atau Harga Transaksi HT yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP PBB, maka Dasar Pengenaan Pajak yang dipakai adalah NJOP PBB Pasal 87 ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP ditetapkan regional dengan ketentuan : 69 a. Paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 enam puluh juta rupiah untuk setiap Wajib Pajak Pasal 87 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. b. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus 69 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87. Universitas Sumatera Utara satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah Pasal 87 ayat 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut Peraturan Daerah. 70 Tata cara pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistem Self Assesment dan Official Assesment, sebagaimana ternyata dalam Pasal 96 ayat 2 yang mengatur Sebagai ilustrasigambaran, Pemerintah Daerah Kota Medan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat 7 dan ayat 8 Perda Nomor 1 Tahun 2011 ditetapkan besarnya NPOPTKP adalah sebesar Rp. 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah untuk setiap Wajib Pajak, dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi wasiat, termasuk suamiistri, ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. 70 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat 6. Universitas Sumatera Utara bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Lebih lanjut sistem Official Assesment pemungutan pajak ini tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat 3 jo. ayat 4 yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Sedangkan sistem Self Assesment tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat 5 yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah SPTPD, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar SKPDKB, danatau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan SKPDKBT. 71 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian sebagai peraturan pelaksana diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, di mana dalam ketentuan Pasal 4 ayat 2 diatur bahwa pemungutan pajak terutang berdasarkan Surat 71 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 96. Universitas Sumatera Utara Ketetapan Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan: 72 a. Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, pemungutan pajak terutang dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak dengan menggunakan: 73 a. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah; b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar; danatau c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan. Sistem pemungutan BPHTB menganut Self Assesment di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak yang menentukan dalam Pasal 4 bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB merupakan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. 72 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Pasal 4 ayat 2 73 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Pasal 4 ayat 3 Universitas Sumatera Utara Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebesar 5 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP. Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: BPHTB = Tarif x NPOP - NPOPTKP Tarif = maksimal 5 NPOP = Nilai tertinggi antara Harga Transaksi atau Nilai Pasar dengan NJOP PBB Contoh: Rumah dengan luas tanah 600 m 2 dan bangunan 400 m 2 dijual P kepada Q, harga transaksi Rp.500.000.000,- NJOP Tanah Rp.335.000,-m 2 , Bangunan Rp.365.000,- m 2 NJOP T 600 x Rp.335.000,- = Rp.201.000.000,- , dan NPOPTKP di Kota R tahun 2009 Rp.30.000.000,-. Akta transaksi jual beli 18 Januari 2009, maka perhitungan BPHTB adalah: NJOP B 400 x Rp.365.000,- = NJOP TB = Rp.347.000.000,- Rp.146.000.000,- Harga Transaksijual = Rp.500.000.000,- NPOP = Rp.500.000.000,- NPOPTKP = NPOPKP = Rp.470.000.000,- Rp. 30.000.000,- BPHTB terutang 5 x Rp.470.000.000,- = Rp. 23.500.000,- Universitas Sumatera Utara C. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan 1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dasar Hukum Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak Atas TanahBangunan PPh PHTB adalah: a. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945; b. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. c. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Perolehan TanahBangunan PPh PHTB; d. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pertama PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB; e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB; f. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB; g. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635KMK.041994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243PMK.032008. 2. Prinsip Pemajakan Menurut UU PPh Undang-Undang PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan Universitas Sumatera Utara ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. 74 Pada dasarnya PPh itu menerapkan prinsip global taxation, dikenakan atas seluruh penghasilan, dari manapun asalnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia world-wide income concept. 75 Pengenaan PPh yang bersifat final, berdasarkan teori disebut schedular taxation. Dasar pertimbangannya kesederhanaan pemungutan, keadilanpemerataan pengenaan, dan memperhatikan perkembangan ekonomi. Pasal 17 ayat 7 UU PPh memberikan wewenang kepada Peraturan Pemerintah Keputusan Menteri Keuangan untuk menerapkan tarif tersendiri atas PPh Pasal 4 ayat 2. System schedular dengan tarif tersendiri diterapkan terhadap penghasilan tertentu yang dikenakan PPh berdasarkan ketentuan UU PPh. Namun UU PPh tidak sepenuhnya menganut unitary tax system suatu skedul tarif diterapkan atas seluruh tanggungan penghasilan dan comprehensive income taxation. Atas kategori penghasilan tertentu UU PPh masih membolehkan penerapan schedular tax system yaitu pengenaan PPh atas jenis dan sumber penghasilan tertentu dengan perlakuan pengenaan baik sifat, tarif, besar, dan tata cara secara tersendiri dan berbeda. 74 Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm.321. 75 Mohammad Zain, Manajemen Perpajakan, Edisi 3, Jakarta: Salemba Empat, 2008, hlm.23. Universitas Sumatera Utara Perbedaan antara Global Taxation dan Schedular Taxation adalah: 76 a. Pada Global Taxation penghasilan digabungkan tanpa membedakan asal, sumber, dan jenis equal treatment for the equals, sedangkan pada Schedular Taxation perlakuan pajak berbeda-beda berdasarkan asal, sumber, dan jenis penghasilan. b. Pada Global Taxation diberlakukan satu struktur tarif pajak atas total penghasilan Pasal 17 UU PPh, sedangkan pada Schedular Taxation tarif pajak berbeda-beda tergantung sumber, jenis penghasilan. c. Pada Global Taxation penghasilan kena pajak adalah net income global gross income dikurangkan dulu dengan tax reliefs, sedangkan pada Schedular Taxation penghasilan kena pajak adalah gross income atau deemed profit atau deemed taxable income tanpa tax reliefs. d. Pada Global Taxation pajak penghasilan dipotong tax credit tidak final, sedangkan pada Schedular Taxation pajak penghasilan dipotong bukan tax credit final. Karakteristik PPh Final adalah penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain yang non final dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan PPh, jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain tidak dapat dikreditkan, biaya-biaya yang dipergunakan untuk memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak dapat dikurangkan. 76 Haula Rosdiana, Perpajakan, Teori dan Kebijakan, Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI, 2004, hlm.112. Universitas Sumatera Utara

3. Penggolongan PPh Final