EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TTW (THINK TALK WRITE) DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat Tahun Pelajaran 2013-2014)

(1)

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TTW (THINK TALK WRITE)DITINJAU DARI KEMAMPUAN

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

(Studi pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat Tahun Pelajaran 2013-2014)

Oleh ETI RUZIANA

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TTW (Think Talk Write) ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan posttest-only control-group design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat Tahun Pelajaran 2013-2014 dengan sampel penelitian adalah siswa kelas IXA dan IXC yang ditentukan dengan teknikpurposive sampling. Data penelitian ini merupakan data kuantitatif kemampuan komunikasi matematis yang diperoleh melalui tes kemampuan komunikasi matematis siswa yang berbentuk uraian. Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwamodel pembelajaran kooperatif tipe TTW efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX Semester Ganjil SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat Tahun Pelajaran 2013-2014.


(3)

(4)

(5)

vii DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Komunikasi Matematis ... 9

2. Efektivitas pembelajaran ... 11

3. Pembelajaran kooperatif tipe TTW ... 12

B. Kerangka Pikir ... 18

C. Hipotesis ... 20

1. Hipotesis Umum ... 20

2. Hipotesis Kerja ... 20

III. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel ... 21

B. Data Penelitian ... 21

C Desain Penelitian ... 22 Halaman


(6)

viii

D. Teknik Pengumpulan Data ... 23

E. Instrumen Penelitian ... 23

1. Validitas ... 25

2. Reliabilitas ... 26

3. Tingakat Kesukaran ... 27

4. Daya Pembeda ... 28

F. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 30

1. Uji Normalitas ... 30

2. Uji Homogenitas ... 31

3. Uji Hipotesis ... 32

4. Uji Proporsi ... 33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 35

1. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata ... 36

2. Uji Proporsi ... 37

3. Analisis Pencapaian Indikator ... 38

B. Pembahasan ... 39

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan aspek penting yang menjadi salah satu prioritas utama dalam program pembangunan di Indonesia, karena pada dasarnya pembangunan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga pembangunan sumber daya manusia (SDM). Hanya dengan pendidikan SDM Indonesia dapat dibangun, baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spitural keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan ahlak mulia. Dengan demikian, pendidikan telah menjadi satu komponen yang sangat penting dalam pembentukan kualitas SDM sehingga mampu menghadapi berbagai perubahan dan tantangan zaman.

Peningkatan mutu SDM yang berkualitas berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan. Dengan kata lain, jika mutu pendidikan di Indonesia ini baik, maka implikasinya adalah menghasilkan SDM yang berkualitas. Untuk meningkatkan mutu pendidikan agar lebih baik, diperlukan proses pembelajaran yang mampu mempersiapkan generasi penerus menjadi generasi yang tangguh dan cerdas dalam menghadapi perkembangan zaman. Tanpa menghilangkan peran


(8)

2 faktor-faktor lain dalam pendidikan, faktorpembelajaran adalah inti dari proses pendidikan di sekolah dengan melibatkan guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai subjek belajar. Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah perlu dirancang sedemikian rupa sehingga tujuan utama dari pendidikan dapat tercapai.

Dalam pendidikan di Indonesia, matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib dipelajari mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Hal ini karena matematika mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari serta mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Cockroft dalam Agustina (2011), bahwa matematika perlu diajarkan sebab: (1) matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis dank etelitian.

Matematika memiliki peranan yang penting dalam pembelajaran di sekolah. Berdasarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006, disebutkan bahwa mata palajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berikut : (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam pembuat generalisasi; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol. Dengan demikian, dalam pembelajaran matematika di sekolah siswa diharapkan memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik.


(9)

3 Berdasarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006 di atas, salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa adalah kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan menerjemahkan suatu gambar, tabel, grafik, atau merumuskam suatu masalah guna memperjelas masalah tersebut. Dengan kemampuan komunikasi matematis, soal pemecahan masalah yang biasanya sulit dipahami dapat diubah dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Kemampuan menganalogikan masalah yang rumit menjadi sederhana ini yang nantinya akan berguna dalam dunia nyata. Namun pada kenyataannya dari hasil penelitian yang dilakukan Firdaus dalam Rahayu (2011) ditemukan bahwa kemampuan matematis siswa masih tergolong rendah.

Kemampuan komunikasi matematis perlu dikembangkan pada siswa. Baroody dalam Rahayu (2011) menyebut kan sedikitnya dua alas an penting mengapa komunikasi matematis perlu ditumbuh kembangkan dikalangan siswa. Pertama, matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk mengungkapkan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai alat yang sangat berharga untuk mengkomunikasikan berbagai ide secara jelas, tepat dan cermat. Kedua, sebagai aktivitas social dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga komunikasi antara guru dan siswa. Jika melihat begitu kompleks dan luasnya tujuan pembelajaran matematika tersebut, maka untuk dapat mencapai tujuan itu bukanlah sesuatu yang mudah.


(10)

4 Menurut Ruseffendi (2006), pada umumnya pembelajaran matematika di SMP masih cenderung berpusat pada guru, sering dijumpai guru matematika masih mengajar dengan menggunakan langkah-langkah pembelajaran seperti menyajikan materi pembelajaran, memberikan contoh soal latihan yang terdapat dalam buku teks yang mereka gunakan dalam mengajar. Pembelajaran seperti ini tentunya kurang untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal matematika berdasarkan apa yang dicontohkan guru, jika diberikan soal yang berbeda mereka akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Menyikapi hal di atas, perlu dilakukan inovasi menyangkut pendekatan, strategi maupun model yang digunakan dalam pembelajaran matematika. Dengan inovasi, terutama dalam perbaikan metode dan cara menyajikan materi pelajaran, diharapkan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat ditingkatkan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan cara melibatkan siswa secara aktif yaitu peranan guru tidak hanya sebagai pemberi informasi, tetapi juga sebagai fasilitator dan motivator agar siswa dapat belajar mengonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktivitas seperti berkomunikasi. Model pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran adalah pembelajaran kooperatif, salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatiftipe Think Talk Write (TTW). Model yang diperkenalkan Huinker dan Laughin ini pada dasarnya terdiridari proses berpikir, berbicara, dan menulis. Strategi ini dikenal dengan pembelajaran individu dalam kelompok yang akan lebih efektif apabila diterapkan dalam kelompok heterogen 3-5 siswa.


(11)

5 Strategi pembelajaran tipe TTW memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam kegiatan pembelajaran. Strategi pembelajaran ini dapat mendorong siswa untuk selalu aktif berpartisipasi, komunikatif, berpikir kritis, siap mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain, dan melatih siswa untuk menuliskan hasil diskusinya kedalam bentuk tulisan secara sistematis. Hal ini membantu dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, mengingat kemampuan komunikasi matematis tidak dapat diperoleh hanya dengan mendengarkan penjelasan guru.

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan salah satu guru matematika SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat diperoleh hasil bahwa di sekolah ini guru masih menggunakan pembelajaran langsung. Dengan pembelajaran yang seperti ini ternyata terdapat beberapa permasalahan pada pembelajaran matematika. Siswa masih mengalami kesulitan dalam merefleksikan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika. Selain itu masih kurangnya kemampuan siswa dalam menjelaskan ide situasi menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik dan aljabar. Hal ini mungkin terjadi karena pada pembelajaran konvensional hanya terjadi komunikasi satu arah dan mengabaikan sifat sosial dari belajar matematika itu sendiri. Siswa hanya mendapatkan materi pelajaran dari guru dan tidak memiliki kesempatan berpikir sendiri atau berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai ide-ide yang mereka pikirkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Untuk itu perlu diadakan penelitian untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe TTW ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat.


(12)

6 B. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Apakah model pembelajaran kooperatif tipe TTW efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Model pembelajaran kooperatiftipe TTW ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas.IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, khususnya di bidang pendidikan matematika yang terkait dengan pembelajaran Think Talk Write dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis.

2. Manfaat Praktis

Dilihat dari segi praktis, penelitian ini memberikan manfaat antara lain: a. Bagi kepala sekolah, diharapkan dengan penelitian ini kepala sekolah

memperoleh informasi sebagai masukan dalam upaya pembinaan para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.

b. Bagi guru dan calon guru, diharapkan melalui penelitian ini guru dan calon guru memperoleh informasi tentang penerapan model pembelajaran


(13)

7 kooperatif tipe TTW dan keterkaitannya dengan kemampuan komunikasi matematis.

c. Bagi peneliti lainnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian yang sejenis.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:

1. Efektivitas pembelajaran adalah ketepat gunaan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam penelitian ini, model pembelajaran TTW dikatakan efektif jika rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model TTW lebih tinggi dari pada rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional.

2. Model pembelajaran kooperatif tipe TTW merupakan suatu model pembelajaran yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu:

a. Think : siswa secara individu membaca, melengkapi, dan memahami Lembar Kerja Siswa (LKS), serta menuliskannya dalam catatan kecil. b. Talk : siswa berdiskusi dalam kelompok untuk membahas catatan kecil,

kegiatan berkelompok, dan soal.

c. Write : siswa menuliskan hasil dari diskusi kelompok pada lembar rangkuman yang ada di LKS secara individu.

3. Pembelajaran konvensional adalah suatu pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan guru yang bersifat klasikal dimana pemahaman siswa dibangun berdasarkan hafalan, metode yang digunakan berupa ceramah, contoh, dan latihan soal.


(14)

8 4. Komunikasi matematis siswa adalah kemampuan siswa untuk menyatakan gagasan-gagasan matematika secara tertulis. Kemampuan komunikasi dalam penelitian ini adalah:

a. kemampuan menyatakan ide-ide matematika melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual dalam tipe yang berbeda

b. kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika yang disajikan dalam bentuk lisan, tulisan, atau dalam bentuk visual lainnya

c. kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi.


(15)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Matematis

Kata komunikasi menurut Echols dan Shadily (2007: 131) berasal dari kata communication yang berarti hubungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005: 585) disebutkan bahwa komunikasi merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Within (1992) menyatakan kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menyatakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan kemauan baik di saat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Sehingga sebagian besar dari mereka belajar ber-komunikasi dan mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka.

Latuheru (1988: 2) mengatakan bahwa komunikasi merupakan suatu transaksi pengertian atau pemahaman antara dua individu atau lebih melalui bentuk simbol dan signal. Sedangkan menurut Greenes dan Schulman (1996: 159) komunikasi


(16)

10 matematis adalah: kemampuan (1) menyatakan ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda; (2) memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual; (3) mengkonstruk, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya.

Selanjutnya menurut Sullivan & Mousley dalam Ansari (2003: 17), komunikasi matematis bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan, klarifikasi, bekerja sama (sharing), menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang telah dipelajari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam mengekspresikan gagasan-gagasan, ide-ide, dan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari.

Dalam penelitian ini, untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis, siswa diberi tes berupa soal-soal tentang materi yang diajarkan. Dengan mengacu kepada pendapat National Council of Teacher of Mathematics(NCTM) (1989 : 214) indikator kemampuan komunikasi matematis yang diamati dalam penelitian ini dapat dilihat dari: (1) kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya; (2) kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi.


(17)

11 B. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas yang dikemukakan oleh Echols dan Shadily (2007: 207) berasal dari bahasa Inggris effective yang berarti berhasil dan tepat. Efektivitas menunjukkan tingkat keberhasilan pencapaian suatu tujuan. Jadi, suatu upaya dikatakan efektif apabila upaya tersebut mampu mencapai tujuannya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008), efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti ada efeknya (pengaruhnya, akibatnya), dapat membawa hasil, berhasil guna yang bisa diartikan sebagai kegiatan yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. Dari dua definisi tentang efektivitas di atas maka efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian suatu tujuan tertentu, tujuan dari pembelajaran sendiri adalah ketercapaian kompetensi.

Hamalik (2002: 171) mengemukakan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sendiri dengan melakukan aktivitas-aktivitas belajar. Penyediaan kesempatan untuk belajar secara mandiri ini diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami makna pembelajaran yang sedang dipelajarinya. lebih lanjut, Simanjuntak (1993: 80) juga mengungkapkan bahwa suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan atau dengan kata lain tujuan yang diinginkan tercapai. Pembelajaran yang efektif menuntut guru untuk dapat merancang bahan belajar yang mampu menarik dan memotivasi siswa untuk belajar.Guru harus kreatif dalam menggunakan berbagai model pembelajaran, mengelola kelas agar tertib dan teratur. Hal ini bertujuan agar siswa dapat memiliki pengetahuan,pengalaman, dan kemampuan komunikasi yang baik.


(18)

12 Efektivitas pembelajaran ini akan tercapai apabila siswa berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa tidak hanya aktif mendengar penjelasan dari guru, namun siswa mengonstruksi ide-ide mereka secara individual maupun berkelompok.Dalam kegiatan tersebut, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.

C. Model Pembelajaran TTW

Sanjaya, (2008:126) menjelaskan bahwa ”Model pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien”.Pendapat lain dikemukakan oleh Sesmiarni (2008) bahwa strategi pembelajaran untuk kegiatan proses pembelajaran memegang peranan yang menentukan karena tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin dicapai sangat ditentukan oleh strategi yang digunakan. Strategi pembelajaran mencakup berbagai metode yang digunakan, media, prosedur dan teknik yang dipakai untuk menyampaikan materi kepada peserta didik.”.Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (2004: 171) bahwa strategi pembelajaran merupakan keseluruhan metode dan prosedur yang menitikberatkan pada kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu.

Suatu model pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa adalah model think talk wtite (TTW). Model yang diperkenalkan oleh Huinker dan Laughlin (1996:82) disadur oleh Yamin dan Ansari dalam buku taktik mengembangkan kemampuan individual siswa. Pada dasarnya model TTW dibangun melalui berpikir, berbicara, dan menulis. Alur kemajuan model pembelajara TTW dimulai dari keterlibatan


(19)

13 siswa dalam berpikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (sharing) dengan temannya sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok heterogen dengan 3-5 siswa. Dalam kelompok ini siswa diminta membaca, membuat catatan kecil, menjelaskan, mendengar dan membagi ide bersama teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan.

Menurut Yamin dan Ansari (2008: 90) langkah-langkah model pembelajaran tipe TTW adalah sebagai berikut.

1. Guru membagi teks bacaan berupa lembaran kerja siswa yang memuat situasi masalah dan petunjuk serta prosedur pelaksanaannya.

2. Siswa membaca teks dan membuat catatan dari hasil bacaan secara individual, untuk membawa ke forum diskusi (think)

3. Siswa berintraksi dan berkolaborasi dengan teman untuk membahas isi catatan (talk). Guru berperan sebagai mediator lingkungan belajar.

4. Siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan sebagai hasil kolaborasi (write). Adapun peran dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan pembelajaran TTW ini yang dikemukakan Silver dan Smith (dalam Yamin dan Ansari, 2008: 90) sebagai berikut.

1. Mengajukan pertanyaan dan tugas yang mendatangkan keterlibatan, dan menantang setiap siswa berpikir.

2. Mendengar secara hati-hati ide siswa.

3. Menyuruh siswa mengemukakan ide secara lisan dan tertulis 4. Memutuskan apa yang digali dan dibawa siswa dalam diskusi


(20)

14 5. Memutuskan kapan memberi informasi, mengklarifikasikan

persoalan-persoalan menggunakan model,bimbingan dan membiarkan siswa berjuang dengan kesulitan

6. Memonitoring dan menilai partisipasi siswa dalam diskusi, dan menutuskan kapan dan bagaimana mendorong setiap siswa untuk berpartisipasi.

Berikut ini penjelasan tentang tiga tahapan model pembelajaran TTW : 1. Think (berpikir).

Aktivitas berpikir (think) dapat dilihat dari proses membaca suatu teks mate-matika atau berisi cerita matemate-matika kemudian membuat catatan apa yang telah dibaca. Dalam membuat atau menulis catatan siswa membedakan dan mem-persatukan ide yang disajikan dalam teks bacaan, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa sendiri.Menurut Wiederhold (1997: 85)dalam taktik mengembang-kan kemampuan individual siswa, membuat catatan berarti menganalisismengembang-kan tujuan isi teks dan memeriksa bahan-bahan yang tertulis.Selain itu, belajar rutin membuat/menulis catatan setelah membaca meransang aktivitas berpikir sebelum, selama dan setelah membaca. Salah satu manfaat dari proses ini adalah membuat catatan akan menjadi bagian integral dalam setting pembelajaran.

b. Talk (berbicara)

Setelah tahap think selesai tahap selanjutnya yaitu talk. Talk yaitu berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Yamin dan Ansari (2008: 86) memberikan alasan mangapa “Talk”penting dalam matematika, yaitu terangkum sebagai berikut.


(21)

15 1. Matematika adalah bahasa yang spesial dibentuk untuk mengkomunikasikan

bahasa sehari-hari.

2. Pemahaman matematis dibangun melalui interaksi dan percakapan antar individu.

3. Siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya, membangun teori bersama, definisi, dan model solusi melalui fase talk.

4. Dalam proses ini terjadi pembentukan ide yang dirumuskan maupun direvisi. 5. Talking membantu guru mengetahui tingkat pemahaman siswa dalam belajar

matematika sehingga dapat mempersiapkan perlengkapan pembelajaran yang dibutuhkan.

Fase berkomunikasi (talk) pada model ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara, tetapi tidak untuk menulisnya kembali. Proses komunikasi dipelajari siswa melaluikehidupannya sebagai individu yang berintraksi dengan lingkungan sosialnya. Komunikasi dapat dibangun dikelas dan dimanfaatkan sebagai alat sebelum menulis.Misalnya siswa berkomunikasi tentang ide matematika yang dihubungkan dengan pengalaman mereka, sehingga mereka mampu untuk menulis tentang ide itu. Berkomunikasi dalam suatu diskusi dapat membantu kolaborasi dan meningkatkan aktivitas belajar dalam kelas.

c. Write (menulis)

Tahap selanjutnya adalah writeyaitu menulis hasil diskusi pada lembar kerja yang disediakan (lembar kerja siswa). Aktivitas menulis berarti mengkonstruksi ide setelah berdiskusi atau berdialog antar teman dan kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Sangat diperlukan agar hasil diskusi yang ia tulis merupakan hasil


(22)

16 yang lengkap. Hal ini sesuai dengan pendapat Yamin dan Ansari (2008: 87), yaitu menulis matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajara, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang ia pelajari

Yamin dan Ansari (2008: 88) mengemukakan aktivitas siswa selama tahap “write” yang terangkum sebagai berikut.

a. Menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan.

b. Mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah, baik penyelesaiannya menggunakan grafik, diagram, atau table agar mudah dibaca atau ditindaklanjuti.

c. Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan ataupun per-hitungan yang ketinggalan.

d. Meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik, yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya.

Berdasarkan kajian di atas maka didapatkan karakteristik strategi pembelajaran TTW yang membedakan dengan pembelajaran lainnya, antara lain:

1. Melibatkan setiap siswa secara aktif dalam melakukan ekplorasi suatu kemampulan.

2. Mengonstruksikan dengan benar pengetahuan awal siswa baik dari pengalaman maupun informasi yang diterima.

3. Model pembelajaran TTW dibangun oleh kemampuan berpikir, berbicara, dan menulis. Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian diberikan permasalahan untuk dipikirkan, didiskusikan dalam kelompok dan kelas kemudian dicari solusi.


(23)

17 4. Dalam kegiatan pembelajaran setiap siswa mendapat LKS yang dikerjakan

secara individu sebelum di diskusikan dikelompok.

5. Termasuk model pembelajaran yang dilakukan secara kooperatif.

6. Karena terdapat langkah diskusmaka guru dengan mudah mengetahui komunikasi matematis siswa dan dengan diskusi juga dapat lebih mudah diarahkan dalam kemampuan komunikasi.

Berikut ini adalah desain strategi pembelajaran TTW yang dimodifikasi dari Yamin dan Ansari (2008: 89)

Gambar 2.1. Desain Strategi Pembelajaran Tipe TTW GURU Belajar matematika melalui model

TTW

Masalah

THINK

TALK

WRITE

Dampak

Siswa membaca LKS dan membuat catatan

secara individu

Siswa berdiskusi secara kelompok untuk membahas isi catatan

Secara individu siswa mengonstruksi

pengetahu-an dari hasil diskusi

Siswa

mampumeningkatkan kemampuan

komunikasi matematis dalam pembelajaran


(24)

18 D. Kerangka Pikir

Kemampuan untuk menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan merupakan salah satu kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematika memegang peranan penting dalam membantu siswa membangun hubungan antara aspek-aspek informal dan intuitif dengan bahasa matematika yang abstrak, yang terdiri atas simbol-simbol matematika, serta antara uraian dengan gambaran mental dari gagasan matematika. Kemampuan komunikasi inilah yang mempengaruhi siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematika. Komunikasi matematis bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal berdiskusi, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan, klarifikasi, bekerja sama, menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang telah dipelajari.

Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran TTW. Model pembelajaranTTW diawali dengan bagaimana siswa memikirkan penyelesaian suatu masalah/soal matematika yang diberikan oleh guru kemudian diikuti dengan mengkomunikasikan hasil pemikirannya melalui diskusi kelompok yang akhirnya dapat menuliskan kembali hasil pemikirannya tersebut. Tiga tahapan yang dilalui siswa, yaitu think (berpikir), talk (berdiskusi), dan write (menulis atau mengonstruksi hasil diskusi) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Pada tahap think siswa membangun kemampuaannya secara mandiri, meng-gunakan kemampuan yang telah ia miliki sebelumnya. Dengan adanya tahap ini


(25)

19 memungkinkan siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban, mem-buat catatan kecil tentang ide-ide matematika yang terdapat pada bacaan dan hal yang tidak dipahami sesuai dengan bahasa sendiri. Pada tahap talk, memberikan kesempatan pada siswa untuk membicarakan tentang penyelidikan LKS secara individu. Pada tahap ini siswa merefleksikan, menyusun, serta menguji (sharing) ide-ide matematika dalam kegiatan diskusi kelompok. Tahap selanjutnya adalah write menuliskan hasil diskusi pada LKS. Aktivitas menulis berarti meng-kontruksi ide-ide matematika setelah berdiskusi atau berdialog antar teman ke-mudian mengungkapkannya melalui tulisan. Dengan demikian, diharapkan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika akan meningkat.

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran langsung yang disampaikan guru pada sejumlah siswa tertentu secara bersama dalam waktu dan tempat yang sama. Pada pembelajaran konvensional segala aktivitas terpusat pada guru. Dalam pembelajaran ini siswa menerima apa yang disampaikan oleh guru, mendengar, mencatat dan hanya terjadi komunikasi satu arah dari guru ke siswa. Siswa kurang dilibatkan dalam pembelajaran atau kurang berperan aktif, akibatnya komunikasi matematis yang diperoleh siswa kurang maksimal.

Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran model TTW yang menuntut siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap materi yang dipelajari sehingga pendekatan TTW diduga lebih efektif digunakan dari pada menggunakan pembelajaran konvensianal yang hanya menekankan para peserta didik mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru tanpa menggunakan


(26)

20 komunikasi tingkat tinggi. Dalam pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa yang baik tentunya dibarengi siswa harus tuntas belajar.

E.Anggapan Dasar

Penelitian ini mempunyai anggapan dasar sebagai berikut.

1. Seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat tahun pelajaran 2013/2014 memperoleh materi yang sama dan sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

2. Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan komunikasi siswa selain pembelajaran dengan model TTWdan pembelajaran konvensional dianggap memberikan kontribusi yang sama sehingga dapat diabaikan.

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikir dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Hipotesis Umum

Model pembelajaran kooperatif tipe TTW efektif dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX SMPN 2 Ngambur Pesisir Barat Tahun Pelajaran 2013/2014.

2. Hipotesis Kerja

a. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model TTW lebih tinggi dari pada kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.

b. Persentase ketuntasan belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model TTW mencapai 70% dari jumlah siswa yang memiliki nilai minimal 70.


(27)

21

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX semester ganjil SMP Negeri 2 Ngambur Pesisir Barat tahun pelajaran 2013/2014 yang terdistribusi dalam empat kelas. Nilai rata-rata ujian semester genap kelas IX disajikan dalam tabel berikut. Table 3.1. Nilai rata-rata Semester Genap

No Kelas Nilai Rata-rata

1 IXA 55,06

2 IXB 57,53

3 IXC 55,06

4 IXD 53,53

Rata-rata Populasi 55,29

Sumber : SMPNegeri 2 Ngambur Pesisir Barat tahun pelajaran 2013/2014 Berdasarkan Tabel 3.1 maka pengambilan sampel dalam penelitian ini meng-gunakan teknik purposive sampling dengan mengambil dua kelas yang memiliki mampuan kognitif yang relatif sama dan diajar oleh guru yang sama. Sampel yang diambil yaitu siswa kelas yang memiliki nilai rata disekitar nilai rata-rata populasi. Dengan melihat nilai rata-rata-rata-rata pada Tabel 3.1 tersebut maka sampel penelitian dalam penelitian ini yaitu kelas IX.A sebagai kelas eksperimen dan IX.C.sebagai kelas kontrol.


(28)

22 B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu. Karena sampel yang diambil memiliki kemampuan kognitif yang relatif sama maka desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah posttest only control design. Struktur desain posttest only control design menurut Furchan (1982: 368) yaitu berikut. Tabel 3.2. Desain Penelitian PosttestOnly Control Group Design

Keterangan:

E = Kelompok eksperimen K = Kelompok kontrol

O1 = Posttes pembelajaran TTW

O2 = Posttest pembelajaran kontrol

X1 = Perlakuan (model pembelajaran TTW)

X2 = Perlakuan (model pembelajaran kontrol)

C. Prosedur Penelitian

Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan seperti observasi ke sekolah tempat diadakannya penelitian untuk mendapatkan informasi tentang keadaan kelas yang akan diteliti, menentukan sampel penelitian, menyusunan perangkat pembelajaran untuk pembelajaran dengan model TTW dan pembelajaran konvensional yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), kisi-kisi soal, soal tes, dan kunci jawaban soal tes kemampuan komunikasi matematis yang merujuk pada pedoman penskoran.

Kelas Perlakuan Posttest

E X1 O1


(29)

23 2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan meliputi: pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun, yaitu kelas eksperimen diberi perlakuan berdasarkan RPP pembelajaran dengan model TTW sedangkan kelas kontrol diberi perlakuan berdasarkan RPP dengan pembelajaran konvensional.

3. Uji Coba Tes Kemampuan Komunikasi Matematis 4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan tes kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol setelah diberikan perlakuan.

5. Analisis Data

6. Penarikan Kesimpulan 7. Penyusunan Laporan

D. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Tes dilaksanakan sesudah pembelajaran (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes kemampuan komunikasi matematis akan diberikan setelah selesai perlakuan, bertujuan untuk melihat efektivitas pembelajaran TTW terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes. Tes dilakukan satu kali, yaitu tes kemampuan komunikasi matematis (posttest). Tes ini


(30)

24 diberikan kepada siswa kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol sesudah diberikan perlakuan. Penyusunan soal tes ini diawali dengan menentukan kompetensi dasar dan indikator yang akan diukur sesuai dengan materi dan tujuan kurikulum yang berlaku di sekolah, menyusun kisi-kisi tes berdasarkan kompetensi dasar dan indikator yang dipilih, kemudian menyusun butir tes berdasarkan kisi kisi yang dibuat. Soal tes terdiri dari beberapa soal uraian dan setiap soal memiliki satu atau lebih indikator kemampuan komunikasi.

Adapun pedoman penskoran kemampuan komunikasi matematis siswa disajikan pada tabel berikut

Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Tes Komunikasi Matematis Skor Membuat gambar atau

model matematika Menjelaskan pemikiran matematis secara tertulis Menggunakan eksperesi matematika 0 Tidak ada jawaban, atau

meskipun ada informasi yang diberikan tidak berarti.

Tidak ada jawaban, atau meskipun ada informasi yang diberikan tidak berarti.

Tidak ada jawaban, atau meskipun ada informasi yang diberikan tidak berarti.

1 Hanya sedikit dari gambar/model

matematika yang dibuat bernilai benar.

Hanya sedikit

penjelasan yang bernilai benar.

Hanya sedikit pendekatan dari

pendekatan matematika yang digunakan bernilai benar.

2 Menggambar model matematika namun kurang lengkap dan benar.

Penjelasan matematis masuk akal, namun kurang lengkap dan benar.

Membuat pendekatan matematika dengan benar, namun salah melakukan perhitungan. 3 Menggambar model

matematika secara lengkap dan benar.

Penjelasan matematis tidak tersusun logis atau terdapat kesalahan bahasa.

Membuat pendekatan matematika dengan benar, dan melakukan perhitungan dengan tepat.

4 Penjelasan matematis

masuk akasl, tersusun secara logis, dan jelas. Skor

Mak s

3 4 3


(31)

25 1. Validitas

a. Validitas Tes

Dalam penelitian ini, validitas yang digunakan adalah validitas isi. Validitas isi dari tes komunikasi matematis ini dapat diketahui dengan cara membandingkan isi yang terkandung dalam tes komunikasi matematis dengan indikator pembelajaran yang hendak diukur.

Dengan anggapan bahwa guru mata pelajaran matematika kelas IX SMPN 2 Pesisir Barat mengetahui dengan benar kurikulum SMP, maka validitas instrumen tes ini didasarkan atas judgement guru mata pelajaran matematika. Tes yang dikategori-kan valid adalah yang telah dinyatadikategori-kan sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur berdasarkan penilaian guru mitra. Berdasarkan penilaian guru mitra, soal yang digunakan telah dinyatakan valid (Lampiran B.4), sehingga langkah selanjutnya diadakan uji coba soal pada kelas IX B kemudian menganalisis hasil uji coba untuk mengetahui kualitas instrumen tes yaitu mengenai validitas butir soal dan realibilitas tes.

b. Validitas Butir Soal

Teknik yang digunakan untuk menguji validitas butir soal dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment, dengan angka kasar sebagai berikut:

(Widoyoko, 2012: 137) Dengan:

= Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y N = Jumlah Siswa


(32)

26 = Jumlah skor siswa pada setiap butir soal

= Jumlah total skor siswa

= Jumlah hasil perkalian skor siswa pada setiap butir dengan total skor siswa

Penafsiran harga korelasi dilakukan dengan membandingkan dengan harga kritik untuk validitas butir instrumen, yaitu 0,3. Artinya apabila lebih besar atau sama dengan 0,3, nomor butir tersebut dikatakan valid dan memuaskan (Widoyoko, 2012: 143). Berdasarkan hasil uji coba dan perhitungan (Lampiran C.1) diperoleh validitas setiap butir soal yang disajikan dalam tabel berikut: Tabel 3.4 Validitas Butir Soal

Nomor Soal 1 2 3a 3b 4 5a 5b 6a 6b

rxy 0,67 0,84 0,66 0,69 0,83 0,42 0,46 0,32 0,69 Interpretasi Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Contoh perhitungan validitas butir soal dapat dilihat pada lampiran C.1.1.

a. Uji Reliabilitas Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang berbentuk uraian sehingga untuk menguji reliabilitas instrumen digunakan rumus Alpha. Rumus Alpha dalam Sudijono (2008: 208) adalah sebagai berikut.

2 2 11 1 1 t b n n r dengan 2 2 2 N X N

Xi i

t

Keterangan :

11

r : koefisien reliabilitas instrumen (tes) n : banyaknya item

2

b : jumlah varians dari tiap-tiap item tes 2

t : varians total

N : banyaknya data : jumlah semua data


(33)

27 Harga r11yang diperoleh diimplementasikan dengan indeks reliabilitas. Arikunto (2001: 75) mengatakan bahawa kriteria indeks reliabilitas adalah sebagai berikut.

a. Antara 0.800 sampai dengan 1.000: sangat tinggi. b. Antara 0.600 sampai dengan 0.800: tinggi. c. Antara 0.400 sampai dengan 0.600: cukup. d. Antara 0.200 sampai dengan 0.400: rendah. e. Antara 0.000 sampai dengan 0.200: sangat rendah.

Sudijono (2008: 207) berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila memili-ki nilai reliabilitas 0,70.

Dari hasil penelitian diperoleh nilai reliabilitasnya 0.91, sehingga tes yang digunakan memiliki reliabilitas sangat tinggi. Analisis lebih lengkap terdapat pada Lampiran C.2.

b. Tingkat kesukaran (TK)

Setiap butir tes tentunya mempunyai tingkat kesukaran yang berbeda-beda. Sudijono (2008: 372) mengungkapkan untuk menghitung tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus berikut.

Keterangan:

TK : tingkat kesukaran suatu butir soal

JT : jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh

IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal.

Untuk menginterpretasi tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria indeks kesukaran menurut Sudijono (2008: 372) sebagai berikut


(34)

28 Tabel 3.6 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran

Nilai Interpretasi

Sangat Sukar Sukar Sedang Mudah Sangat Mudah

Butir soal yang dipilih dalam penelitian ini yaitu soal dengan nilai tingkat kesu-karan 0,31 TK 0,70 dengan interpretasi sedang, sedangkan butir-butir soal dengan kategori sangat mudah dan sangat sukar dibuang.

Dari hasil uji coba dan perhitungan indeks kesukaran butir tes terhadap 6 butir tes yang diuji cobakan menunjukkan butir tes tergolong sedang dengan kisaran indeks kesukaran antara 32% s.d 70%. Berdasarkan kriteria indeks kesukaran butir tes yang diharapkan untuk mengambil data, tampak bahwa tes yang diperoleh dapat digunakan untuk mengumpulkan data. (Lampiran C.3)

c. Daya Pembeda (DP)

Daya pembeda suatu butir tes adalah kemampuan suatu butir untuk membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah. Untuk menghitung daya pembeda, terlebih dahulu diurutkan dari siswa yang memperoleh nilai tertinggi sampai siswa yang memperoleh nilai terendah. Daya pembeda ditentukan dengan rumus :

Keterangan :

DP : indeks daya pembeda satu butri soal tertentu JA : rata-rata kelompok atas pada butir soal yang diolah JB : rata-rata kelompok bawah pada butir soal yang diolah


(35)

29 IA : skor maksimum butir soal yang diolah.

Menurut Sudijiono (2008: 388) hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi yang tertera dalam tabel berikut.

Tabel 3.7 Interpretasi Nilai Daya Pembeda

Nilai Interpretasi

10 . 0 DP

negatif Sangat Buruk

19 . 0 10

.

0 DP Buruk

29 . 0 20

.

0 DP Agak baik, perlu revisi

49 . 0 30

.

0 DP Baik

50 . 0

DP Sangat Baik

Sudjiono (2008: 121)

Kriteria daya beda yang digunakan dalam penelitian ini adalah butir tes memiliki daya beda lebih dari atau sama dengan 0,3.

Dari hasil uji coba dan perhitungan daya beda butir tes, menunjukkan bahwa ke 6 butir tes uji coba memiliki daya beda lebih dari 0,30 yaitu berkisar dari 0,33 s.d 0,48. Jadi, daya beda butir uji coba memenuhi kriteria sebagai butir yang baik digunakan untuk mengumpulkan data. (Lampiran C3)

Dari perhitungan tes uji coba yang telah dilakukan didapatkan data validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran sebagai berikut.

Tabel 3.7 Rekapitulasi Hasil Data Tes Uji Coba No

Soal Validitas Reliabilitas

Tingkat Kesukaran

Daya Pembeda 1

Valid 0, 91

0,65 (sedang) 0,33 (baik)

2 0,51 (sedang) 0,37 (baik)

3 0,52 (sedang) 0,48 (baik)

4 0,52 (sedang) 0,39 (baik)

5 0,60 (sedang) 0,36(baik)


(36)

30 Dari tabel rekapitulasi hasil tes uji coba di atas, terlihat bahwa keempat komponen dari enam butir soal tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan sehingga keenam butir soal tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan komunikasi matematis siswa.

F. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan rumus Chi kuadrat (Sudjana, 2005: 273). Uji kenormalan ini juga digunakan pada analisis data tes akhir.

Hipotesis:

H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

Keterangan:

X2= harga Chi-Kuadrat

i

O = frekuensi pengamatan

i

E = frekuensi yang diharapkan k = banyaknya pengamat

Kriteria pengujian tolak H0 jika 1 3 2

k

x

x dengan taraf = taraf nyata untuk pengujian. Dalam hal lainnya H0 diterima.

Setelah dilakukan perhitungan data kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TTW dan siswa yang mengikuti


(37)

31 pembelajaran konvensional diperoleh data sebagai berikut. Perhitungan seleng-kapnya disajikan pada Lampiran C.6 dan C.7.

Tabel 3.8 Rekapitulasi Uji Normalitas

Kelas 2

hitung

2

tabel Keputusan

Uji

Keterangan

Eksperimen 4,89 7,81 Ho diterima Normal

Kontrol 2,31 7,81 Ho diterima Normal

Berdasarkan Tabel 3.8 dapat diketahui bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TTW maupun siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional memiliki yang berarti H0

diterima. Dengan demikian, populasi berdistribusi normal.

2. Uji Kesamaan Dua Varians (Homogenitas)

Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah dua sampel yang diambil yaitu kelompok eksperimen dan kontrol mempunyai varians yang homogen atau tidak. Untuk menguji homogenitas varians dalam penelitian ini digunakan uji F. Uji F menurut Sudjana (2005: 249) adalah sebagai berikut. a. Hipotesis

H0 : (kedua populasi memiliki varians yang sama)

H1 : (kedua populasi memiliki varians yang tidak sama)

b. Taraf signifikan : α = 0,05 c. Satitistik Uji

dengan 1

2 2

n x x


(38)

32 d. Kriteria Uji : Tolak H0 jika , dengan didapat dari

daftar distribusi F dengan peluang 1/2α dan derajat kebebasan masing-masing sesuai dengan dk pembilang dan penyebut.

Tabel 3.9 merupakan rekapitulasi perhitungan uji homogenitas data kemampuan komunikasi matematis. Perhitungan selengkapnya disajikan pada Lampiran C.8. Tabel 3.9Rekapitulasi Uji Homogenitas

Kelas Varians Fhitung F1/2 α (v1,v2) Keterangan Eksperimen 116,34

1,05 1,88 Homogen

Kontrol 110,05

Dari tabel 3.9, terlihat Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Dengan demikian, dapat

disimpulkan data kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TTW dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional memiliki varians yang sama.

3. Uji Hipotesis

a. Uji Kesamaan Dua Rata-rata

Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, kemudian dilakukan peng-ujian hipotesis. Berdasarkan hasil uji prasyarat, data kemampuan komunikasi matematis berdistribusi normal dan homogen. Menurut Sugiyono (2008: 164), apabila data normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji t. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model TTW sama dengan kemampuan


(39)

33 komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional).

(kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model TTW lebih tidak sama dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional).

Statistik yang digunakan untuk uji ini adalah:

Dengan

keterangan:

= skor rata-rata posttest dari kelas TTW = skor rata-rata posttest dari kelas konvensional

n1 = banyaknya subyek kelas dengan model pembelajaran TTW

n2 = banyaknya subyek kelas dengan model pembelajaran konvensional

= varians kelas dengan model pembelajaranTTW

= varians kelas dengan model pembelajaran konvensional = varians gabungan

Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika dengan derajat

kebebasan dk = (n1 + n2– 2) dan peluang dengan taraf signifikan

. Untuk harga t lainnya H0 ditolak.

b. Uji Proporsi

Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah sebagai berikut:

H0 : = 0,70 (persentase ketuntasan belajar siswa yang mengikuti pembelajaran

kooperatif tipe TTW sama dengan 70%) 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 n n s n s n s


(40)

34 H1 : 0,70 (persentase ketuntasan belajar siswa yang mengikuti pembelajaran

kooperatif tipe TTW tidak sama dengan 70% Statistik yang digunakan dalam uji ini adalah:

Keterangan:

X : banyaknya siswa yang tuntas belajar n : jumlah sampel

0,60 : proporsi siswa tuntas belajar yang diharapkan

Menurut Sudjana (2005:234), kriteria uji: tolak H0 jika zhitungz0,5 dengan

taraf signifikan = 5%. Harga z0,5 diperoleh dari daftar normal baku dengan peluang (0,5–α).


(41)

62

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW lebih tinggi dari kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. Namun persentase siswa yang tuntas belajar pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW mencapai 70%, hal ini berarti pembelajaran dengan model kooperatif tipe TTW efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pesisir Barat.

2. Dalam penelitian ini juga diperoleh kesimpulan bahwa secara umum pencapaian indicator kemampuan komunikasi matematis skor posttest siswa yang mengikuti pembelajaran kooperaif tipe TTW lebih tinggi dari pada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.


(42)

44 B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Pembelajaran kooperatif tipe TTW dapat digunakan sebagai salah satu alternative dalam pembelajaran matematika untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis, namun dalam penerapannya harus diimbangi dengan perencanaan yang matang, pengelolaan kelas yang baik, dan pengelolaan waktu yang tepat agar suasana belajar semakin kondusif sehingga memperoleh hasil yang optimal.

2. Pembaca dan peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian lanjutan mengenai penelitian ini hendaknya melakukan pengkajian lebih mendalam terkait efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TTW ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M. (2011). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Penerapan Pembelajaran Generatif. Repository UPI : tidak diterbitkan.

Alaudin. 2010. Peran Pendidikan Formal. (Online). Tersedia : Http:// Jurnal UIN Alaudin. ac.id/Artikel Peran Pendidikan formal. Juanda. Pdf /.(3 mei 2013). Echols, John M. dan Hasan Shadily. 2007. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia.

Greenes, C & Schulman, L. 1996. Communication Prossesses in Mathematical Exploration end Investigation. USA: NCTM

Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pengajaran Matematika Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bumi Aksara. Jakarta.

_____________. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Huinker, D.A. dan Laughlin, C. (1996). Talk Your Way into Writing. Dalam P.C

Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, VA: The National Council of Teachers of

Mathematics.

Latuheru, J. D. 1988. Media Pembelajaran dalam Proses pembelajaran Masa Kini. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

NCTM. 1989. Curriculumand Evaluation Standars For School Mathematics. Virginia: The National Council Of Teachers of Mathematics, Inc.

.

Nasution, S. 1989. Berbagai Pendekatan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Rahayu, Siska Sri. 2011. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Repository UPI : tidak diterbitkan


(44)

46

Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berointasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Sesmiarni, Zulfani. 2008. Strategi Pembelajaran Dengan Memberdayakan Kecerdasan Untuk Mencapai Hasil Belajar Yang Optimal. [on line]. Tersedia: l http://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/strategi-pembelajaran-yang-mencerdaskan/Juni 20, 2008. (25 April 2013) Silver, E. A. dan Smith, M.S. (1996). Building Discourse Communities in

Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey. Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond.Reston, VA: The National Council of Teachers of

Mathematics.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT. Tarsito.

Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Simanjuntak, Lisnawaty. 1993. Metode Mengajar Matematika 1. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2006. Permendiknas No.22 Tahun 2006: Standar ini untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNH.

Yamin, H. M. dan Bansu I. Ansari. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press.


(1)

33 komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional).

(kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model TTW lebih tidak sama dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional).

Statistik yang digunakan untuk uji ini adalah:

Dengan

keterangan:

= skor rata-rata posttest dari kelas TTW = skor rata-rata posttest dari kelas konvensional

n1 = banyaknya subyek kelas dengan model pembelajaran TTW

n2 = banyaknya subyek kelas dengan model pembelajaran konvensional = varians kelas dengan model pembelajaranTTW

= varians kelas dengan model pembelajaran konvensional = varians gabungan

Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika dengan derajat kebebasan dk = (n1 + n2 – 2) dan peluang dengan taraf signifikan

. Untuk harga t lainnya H0 ditolak.

b. Uji Proporsi

Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah sebagai berikut:

H0 : = 0,70 (persentase ketuntasan belajar siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TTW sama dengan 70%)

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 n n s n s n s


(2)

34 H1 : 0,70 (persentase ketuntasan belajar siswa yang mengikuti pembelajaran

kooperatif tipe TTW tidak sama dengan 70% Statistik yang digunakan dalam uji ini adalah:

Keterangan:

X : banyaknya siswa yang tuntas belajar n : jumlah sampel

0,60 : proporsi siswa tuntas belajar yang diharapkan

Menurut Sudjana (2005:234), kriteria uji: tolak H0 jika zhitungz0,5 dengan taraf signifikan = 5%. Harga z0,5 diperoleh dari daftar normal baku dengan peluang (0,5–α).


(3)

62

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW lebih tinggi dari kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. Namun persentase siswa yang tuntas belajar pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW mencapai 70%, hal ini berarti pembelajaran dengan model kooperatif tipe TTW efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pesisir Barat.

2. Dalam penelitian ini juga diperoleh kesimpulan bahwa secara umum pencapaian indicator kemampuan komunikasi matematis skor posttest siswa yang mengikuti pembelajaran kooperaif tipe TTW lebih tinggi dari pada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.


(4)

44

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Pembelajaran kooperatif tipe TTW dapat digunakan sebagai salah satu alternative dalam pembelajaran matematika untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis, namun dalam penerapannya harus diimbangi dengan perencanaan yang matang, pengelolaan kelas yang baik, dan pengelolaan waktu yang tepat agar suasana belajar semakin kondusif sehingga memperoleh hasil yang optimal.

2. Pembaca dan peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian lanjutan mengenai penelitian ini hendaknya melakukan pengkajian lebih mendalam terkait efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TTW ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis siswa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M. (2011). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Penerapan Pembelajaran Generatif. Repository UPI : tidak diterbitkan.

Alaudin. 2010. Peran Pendidikan Formal. (Online). Tersedia : Http:// Jurnal UIN Alaudin. ac.id/Artikel Peran Pendidikan formal. Juanda. Pdf /.(3 mei 2013). Echols, John M. dan Hasan Shadily. 2007. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia.

Greenes, C & Schulman, L. 1996. Communication Prossesses in Mathematical Exploration end Investigation. USA: NCTM

Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pengajaran Matematika Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bumi Aksara. Jakarta.

_____________. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Huinker, D.A. dan Laughlin, C. (1996). Talk Your Way into Writing. Dalam P.C

Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, VA: The National Council of Teachers of

Mathematics.

Latuheru, J. D. 1988. Media Pembelajaran dalam Proses pembelajaran Masa Kini. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

NCTM. 1989. Curriculumand Evaluation Standars For School Mathematics. Virginia: The National Council Of Teachers of Mathematics, Inc.

.

Nasution, S. 1989. Berbagai Pendekatan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Rahayu, Siska Sri. 2011. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Repository UPI : tidak diterbitkan


(6)

46

Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berointasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Sesmiarni, Zulfani. 2008. Strategi Pembelajaran Dengan Memberdayakan Kecerdasan Untuk Mencapai Hasil Belajar Yang Optimal. [on line]. Tersedia: lhttp://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/strategi-pembelajaran-yang-mencerdaskan/Juni 20, 2008. (25 April 2013) Silver, E. A. dan Smith, M.S. (1996). Building Discourse Communities in

Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey. Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, VA: The National Council of Teachers of

Mathematics.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT. Tarsito.

Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Simanjuntak, Lisnawaty. 1993. Metode Mengajar Matematika 1. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2006. Permendiknas No.22 Tahun 2006: Standar ini untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNH.

Yamin, H. M. dan Bansu I. Ansari. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) TERHADAP KEMAMPUAN MENGANALISIS CERPEN

3 21 111

“Pengaruh Pembelajaran Think-Talk-Write Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”.

0 5 247

Meningkatkan hasil belajar IPA melalui pembelajaran kooperatif tipe think talk write (ttw) pada siswa kelas IV Mi Al Ishlahat Jatiuwung Kota Tangerang

0 10 0

Perbedaan hasil belajar ekonomi siswa dengan menggunakan metode pembelajaran TTW (Think Talk Write) dan model pembelajaran terbalik (reciprocal teaching) di SMA Nusa Putra Tangerang

1 6 154

Pengaruh strategi pembelajaran think-talk write (TTW) tehadap hasil belajar fisika siswa : kuasi eksperimen di SMA Negeri 3 Rangkasbitung

2 16 103

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 29 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 3 55

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE

1 5 56

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE DITINJAU DARI KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

5 41 61

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 8 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015/2016)

0 5 57

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE (TTW) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP.

0 2 32