Faktor Ekstern Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

baik pendidikan formal maupun pendidikan informal. 73 Dalam hal pendidikan anak kebanyakan orang tua menyerahkan pendidikan anak mutlak kepada sekolah tanpa memberi perhatian yang cukup terhadap kepentingan pendidikan anak, sedangkan kemampuan pendidikan di sekolah terbatas. Disamping itu kurangnya pendidikan formal berupa pendidikan agama juga merupakan faktor penyebab meningkatnya perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran. Hal ini mungkin disebabkan keterbatasan pengetahuan tentang keagamaan ataupun kurangnya rasa iman pada diri anak tersebut dalam mengendalikan dirinya, dan lebih memudahkan trafficker untuk merekrut anak- anak itu untuk dijadikan korban perdagangan anak.

B. Faktor Ekstern

1. Faktor Sosial Budaya Dalam masyarakat terdapat sedikit kesepakatan dan lebih banyak memancing timbulnya konflik – konflik, diantaranya konflik kebudayaan, yaitu menjelaskan kaitan antara konflik-konflik yang terjadi didalam masyarakat dengan kejahatan yang timbul. Norma yang dipelajari oleh setiap individu, diatur oleh budaya dimana individu berada. Dalam sebuah masyarakat homogen yang sehat, hal tersebut diatas dilakukan dalam jalur hukum dan ditegakkan oleh anggota-anggota masyarakat, mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang 73 Ibid, Halaman 44 benar. Apabila hal ini tidak terjadi, maka konflik budaya akan muncul dengan dua bentuk konflik, yakni primary dan secondary conflict. 74 Primary conflict adalah konflik yang timbul diantara dua budaya yang berbeda. Teori primary kulture conflict ini, masalah kejahatan muncul karena adanya imigrasi. Adapun secondary conflict adalah konflik muncul dalam satu budaya, khususnya ketika budaya itu mengembangkan subkebudayaan masing- masing dengan norma tingkah lakunya sendiri. Hukum biasanya akan mewakili aturan atau norma budaya dominan. Norma kelompok lain subkebudayaan sering kali tidak hanya berbeda, tetapi berlawanan dengan norma dominan. Sehingga dapat merupakan norma kejahatan dibawah hukum. Dengan individu yang hidup dengan norma tingkah laku subkebudayaan macam itu, mereka dapat melanggar hukum dari budaya dominan. Tidak saja konflik kebudayaan yang dapat memunculkan kejahatan, tetapi juga disebabkan oleh faktor sosial, dimana ada perbedaan antara budaya dan sosial, maka hal itu dapat memunculkan konflik. Kedua jenis konflik tersebut telah mempunyai banyak faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan terusirnya penduduk dari tempat tinggal mereka. Salah satu dari sekian banyak faktor penyebab ini adalah kebijakan transmigrasi yang diberlakukan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini telah mendorong penduduk untuk pindah dari tempat asal mereka, dengan harapan dapat memperoleh penghasilan lebih tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang miskin ini mungkin akan lebih rentan terhadap 74 Ibid, Halaman 56 perdagangan orang, tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena mereka memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil, sehingga mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses untuk memperoleh ganti rugi. Meskipun bukan merupakan satu-satunya faktor bahwa kemiskinan penyebab kerentanan perdagangan orang. Menurut Irwanto, Farid, dan Anwar bahwa adanya kepercayaan dalam masyarakat bahwa berhubungan seks dengan anak-anak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang misalnya di Ponorogo, atau adanya kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak-anak membuat awet muda, telah membuat masyrakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya. 75 Adapun menurut Sutherland, semua tingkah laku dipelajari dengan berbagai cara. Dengan kata lain tingkah laku kejahatan yang dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi. Hal ini disebutkan dengan teori asosiasi diferensial. 76 Munculnya teori ini diatas didasarkan pada 3 hal, yaitu : a. Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan ; b. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan ; c. Konflik budaya conflic of cultures merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan. 75 Ibid, Halaman 58 76 Hendrojono, Kriminologi Pengaruh Perubahan masyarakat dan Hukum , Surabaya : Srikandi, 2005, Halaman 78 Ketiga hal tersebut yang menjadi dasar pengembangan teori Sutherland. Versi pertama tahun 1939 dalam bukunya Principles of Criminology , memfokuskan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi differensial yang diartikan sebagai the contest of the patterns presented in association . Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan mengakibatkan perilaku kejahatan, tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut teori asosiasi diferensial, tingah laku jahat dipelajari dalam kelompok – kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan nilai, motif yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa teori differential association, merupakan salah satu penyebab terjadinya kejahatan. Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa kaitan teori ini dengan perdagangan orang tidak terlepas penyebab terjadinya melalui interaksi dan komunikasi baik dengan orang atau melalui media. Motif seseorang berubah dengan melihat perilaku orang lain melalui interaksi langung maupun melalui media, sehingga seseorang berusaha unutk memenuhi dorongan melalui jalan pintas. Hal ini berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk-bentuk perdagangan ornag yang beraneka ragam 2. Ketidakadaan kesetaraan gender Nilai sosial budaya patriarki yang masih kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Hal ini ditandai dengan adanya pembekuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelolaan rumah tangga, dan pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas didalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan mengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut, perempuan juga mempunyai beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan, yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki- laki. Oleh sebab itu, disinyalir bahwa faktor sosial budaya yang merupakan penyebab yerjadinya kesenjangn gender, antara lain dalam hal berikut : a. Lemahnya pemberdayaan ekonomi perempuan dibandingkan dengan laki- laki, yang ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan modal kerja. b. Ketidaktahuan perempuan dan anak-anak tentang apa yang sebenarnya terjadi di era globalisasi c. Kurangnya pengetahuan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. d. Perempuan kurang mempunyai hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga atau masyarakat dibanding kan laki-laki. 77 Sekarang sudah terjadi perubahan terhadap peran perempuan yang didukung pemerintah. Perempuan sudah banyak yang berhasil dalam pendidikan yang tinggi dan bekerja dengan menduduki posisi yang strategis. Akan tetapi kesempatan ini hanya dirasakan oleh golongan menengah keatas, sementara golongan dibawah terutama di pedesaan masih terbatas untuk mengikuti pendidikan yang tinggi . hal ini karena lembaga pendidikan, yaitu sekolah masih dirasakan mahal Kondisi ini bertambah parah karena masih ada ungkapan di masyarakat bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi karena pada akhirnya hanya ke dapur dan mengurus suami dan anak sehingga kebutuhan pendidikan bagi anak perempuan akhirnya terabaikan. 3. Faktor Menikah Muda Salah satu faktor pendorong yang membuat anak perempuan berhenti sekolah adalah adanya kepercayaan bahwa anak perempuan sebaiknya menikah pada usia muda. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperboleh anak perempuan untuk menikah pada usia 16 enam belas tahun atau lebih muda asalkan diizinkan orang tua dan disahkan oleh kantor catatan sipil. 77 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in Persons in Indonesia tahun 2003-2004, hal.8 Perkawinan usia muda ini banyak mengandung masalah, karena perkawinan beresiko tingi, terutama ketika diikuti dengan kehamilan. Secara sosial, anak perempuan yang menikah pada usia muda cenderung mengalami banyak kesulitan terutama bila mereka diceraikan oelh suami. Ketika seorang anak perempuan bercerai, ia kehilangan status haknya sebagai anak. Hal ini menghalanginya untuk memasuki sistem pendidikan formal apabila ia menginginkannya. Lebih buruk lagi adalah sejak ia menikah, seorang perempuan sudah dianggap dewasa yang mandiri dan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua. Akibat banyaknya perempuan yang menikah muda namun harus berakhir dengan perceraian akan cenderung memberanikan diri pergi ke kota-kota besar untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik dan untuk bertahan hidup. Sayangnya anak perempuan itu tidak mempunyai keterampilan atau ijazah yang memungkinkan mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mereka akhirnya masuk ke lingkungan prostitusi atau pelacuran. 78 4. Faktor Penegakan Hukum Inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai- nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 79 78 Ibid. Halaman 27 79 Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum , Cet. Kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Halaman 5 Kaidah-kaidah tersebut menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Dapat juga dikatakan bahwa penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat untuk taat kepada hukum. Penegakan hukum tidak terjadi dalam masyarakat karena ketidak serasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Oleh karena itu, permasalahan dalam penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi faktor penegakan Hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor Penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyrakat, dan faktor Kebudayaan. 80 Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan hukumk. Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam perdagangan orang yaitu sebagai berikut : a. Faktor Hukumnya Sendiri Sebelum disahkannnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak ada peraturan perundang undangan yang dengan tegas mengatur hal ini. Kebanyakan pelaku perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semuanya dijatuhi hukuman yang setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya piranti hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur tentang larangan perdagangan orang 80 Farhana, Op. Cit Halaman 63 tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam Pasal 297. Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumusakan dengan jelas unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung diskriminasi terhadap jenis kelamin karena Pasal ini menyebutkan hanya wanita dan anak laki-laki dibawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak laki- laki yang masih dibawah umur yang mendapat perlindungan hukum Juga interpretasi hukum yang berkembang terhadap Pasal 297 KUHP menyempitkan makna tindak pidana tentang perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Dengan tidak jelasnya definisi tentang perdagangan orang dalam Pasal 297 KUHP, maka terjadi interpretasi hukum yang sempit. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan KUHP yang disusun R. Sugandhi yang menyatakan bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki dibawah umur hanya sebatas pada eksploitasi pelacuran dan pelacuran paksa. 81 Akan tetapi interpretasi ini adalah interpretasi tidak resmi. Berarti penjelasan bukan penjelasan dari negara yang merupakan penjelasan dari KUHP. Adapun asas Hukum Pidana menentukan bahwa Hukum Pidana menganut sistem interpretasi negatif yang tidak boleh ada interpretasi lain selain yang ada dalam KUHP itu sendiri. Pasal ini juga bersifat umum, sehingga tidak mampu mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik, karena dilapangan banyak ditemukan bentuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yng tidak mampu dijerat Pasal 81 R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasnnya , Surabaya : Usaha Nasioanal, 1980, Halaman 314 tersebut. Contohnya adalah modus jerat utang. Banyak perempuan dana anak harus menjadi pekrja seks komersil karena terjerat utang pada majikan atau germo. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga terkait dengan perdagangan manusia. Ketentuan hkum dalam undang-undang ini menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan mengikuti perkembangan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat dan tidak ada diskriminasi perlindungan hukum dari tindak pidana terhadap jenis kelamin atau usia, karena perdagangan manusia mencakup semua orang termasuk laki-laki dan anak meliputi anak laki-laki dan perempuan. Ketentuan dalam undang-undang ini juga memberikan ruang lingkup perlindungan yang lebih luas terhadap segala bentuk tindak pidana yang biasanya merupakan bagian eksploitasi dalam perdagangan orang seperti penyekapan. Tetapi defenisi perdagangan ormag dalam undang-undang ini tidak ada. Disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 83 telah mencantumkan larangan memperdagangkan , menjual, ata menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Akan tetapi, undang-undang ini juga sama seperti halnya dalam KUHP tidak merinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu dijual. Namun demikian, undang- undang ini cukup melindungi anak dari ancaman penjualan anak dengan memberi sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP yang ancamannya 0-6 tahun penjara, sedangkan Undang-undang Perlindungan Anak mengancam pelaku kejahatan perdagangan oanak 3-15 tahun penjara dan denda antara Rp60 juta sampai Rp300 Juta. Undang-undang ini sering digunakan sebagai dasar untuk menangkap pelaku perdagangan anak. b. Faktor Penegakan Hukum Penegakan hukum di dalam masyrakat selain dipengaruhi oleh peraturan atau undang-undang kaidah-kaidah juga ditentukan oleh para penegak hukum, sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara bagaimana semestinya. Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen seperti terjadinya pemalsuan informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran, dan paspor. Lemahnya penegakan hukum tersebut disebabkan kurang atau tidaknya keterbukaan berkenaan dengan aturan-aturan serta prosedur yang berlaku termasuk jug tidak adanya akuntabilitas dari pejabat negara serta petugas lainnya yang antara lain terung dari tidak tersedianya mekanisme kontrol, pengawasan, dan penerimaan pengaduan baik internal maupun eksternal. 82 Penegak hukum lebih sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan terdapat kecenderungan yang menunjukan bahwa korban tidak yakin akan reaksi penegak hukum terhadap yang dialami korban. Ini tidak terlepas dari kekhawatiran tidak dipercayanya para korban oleh penegak hukum. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi dan lemahnya koordinasi antar penegak hukum. 82 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegaan hukum, cet. Kelima, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Halaman 5 c. Faktor Sarana dan Fasilitas 83 Sarana dan Fasilitas mempengaruhi penegak hukum. Tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, terorganisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup. 84 Terjadinya perbedaan interpretasi pada penegak hukum tentang defenisi perdagangan orang sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Sering terjadi kasus kejahatan perdagangan manusia lepas dari penuntutan karena adanya perbedaan interpretasi. Hal ini terjadi karena terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus perdagangan manusia, sehingga berdampak luas dalam memprosesnya. Dapat dikatakan juga bahwa kurangnya pelatihan pada penegak hukum mengenai perdagangan manusia, ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk menangani tindak pidanan ini, sehingga sangat bergantung pada persepsi dan kemampuan individu penegak hukum. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, polisi tidak pernah mengetahui hasil putusan hakim sehubungan dengan kasus-kasus yang diajukan ke kejaksaan dan pengadilan. Demikian juga kejaksaan tidak mengetahui hasil putusan pengadilan. Keadaan ini sangat menghambat proses monitoring dan evaluasi peneak hukum. 83 Farhana, Op.Cit Halaman 67 84 Soerjono Soekanto, Op. Cit., Halaman 37 Sistem pendataan dan dokumentasi kasus dan penanganan perdagangan manusia yang tidak memadai, sehingga data tidak terdokumentasi secara lengkap. Ini mengakibatkan adanya anggapan bahwa upaya penanganan kasus perdagangan orang tidak merupakan prioritas. d. Faktor Masyarakat Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Disamping itu, sebagian masyrakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya dalam hal pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama anak-anak. Pemahaman masyrakat tentang tindak pidana perdagagan manusia masih sangat rendah. Masyrakat tidak tahu bahwa mereka sedang melakukan salah satu bentuk kejahatan perdagangan manusai dan masyrakat yang mengetahui adanya kejahatan perdagangan manusia tidak melaporkan kepada kepolisian atau telah menjadi korban perdagangan manusia. e. Faktor Kebudayaan Dalam kehidupan sehari-hari, anak laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian peran, tugas, dan nilai-nilai serta aturan yang berbeda. Perempuan karena fungsi reproduksi ditempatkan domestik rumah tangga, sedangan laki-laki ditempatkan diruang publik. Pembagian peran, tugas, dan nilai- nilai serta aturan-aturan diberikan melalui aturan sosial masyarakat adat. Dalaam sebuah keluarga, perempuan selalu diberikan rela berkorban untuk keluarga, sehingga banyak perempuan yang bekerja bukan untuk mengaktualisasikan dirinya atau melaksanakan haknya, tetapi sekedar untuk membantu keluarga atau menambah penghasilan keluarga. Oleh sebab itu, anak perempuan rentan terhadap perdagangan orang. Faktor-faktor yang diuraikan diatas merupakan faktor penyebab kejahatan perdagangan orang. Jika dilihat dari kenyataan yang ada bahwa faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendirian. Dengan kata lain, faktor-faktor yang dalam hubungan dengan sejumlah faktor lain akan menghasilkan kejahatan. Dicari faktor-faktor yang necessa ry but not sufficient untuk timbulnya kejahatan. Maksudnya faktor-faktor yang selalu merupakan sebab dari suatu akibat atau kejahatan bersama-sama dengan faktor –faktor lain yang disebut dengan multifactor theory. BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NOMOR : 1033Pid.B2013PN.Mdn A. Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindunga hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang Kebijakan Hukum Pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan paraturan hukum positip dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada para penyelenggara negara atau pelaksana putusan pengadilan. 85 Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif. Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disipin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminil. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan dengan hukum pidana”. 86 85 Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru , Jakarta, Kencana. 2008. Hal aman 19 86 Ibid, Halaman 24 Usaha penangulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum la w enforcement policy . Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang- undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari integral dari usaha perlindungan masyarakat social welfare. Oleh karen itu, wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan atau politik sosial social policy . Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : a. Penerapan hukum Pidana criminal la w application; b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment; dan c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media influenching views of society on crime and punishment mass media. 87 Salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan melintasi batas dan dalam wilayah negara, adalah kejahatan perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang sudah menjadi agenda dalam penegakan hukum dan menjadi pusat perhatian dunia Internasional, karena dampaknya dapat mengganggu kesejahteraan sosial. Mengingat ruang lingkup dan dimensinya sudah meluas, 87 Ibid, Halaman 40 maka kegiatan tindak pidana perdagangan orang dapat dimasukkan sebagai organized crime kejahatan terorganisir, white collar crime kejahatan kerah putih, corporate crime kejahatan korporasi, cyber crime kejahatan dunia maya dan bahkan transnational crime kejahatan transnasional. Berbagai upaya untuk melakukan pencegahan kejahatan perdagangan orang sudah dilakukan dengan berbagai cara namun hasilnya dianggap belum memuaskan, bahkan upaya dengan menggunakan sarana hukum juga masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Penggunaan upaya hukum pidana sebagai ultimatum remedium, dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk bidang kebijakan penegkan hukum, sebagai upaya yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 88 Pembangunan hukum atau pembaharuan hukum memiliki hubungan yang sangat kuat dengan politik, oleh karena suatu dan kebutuhan pembaharuan hukum yang diawali dari pembuatan sampai pelembagaannya dilaksanakan oleh lembaga politik, yang merupakan lembaga yang memiliki kekuatan dalam masyarakat. Suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan melalui kebijakan formulasilegislasi, sedangkan proses penegakan hukum atau pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasiyudikasi dan proses pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusiadministrasi. Ketiga tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut : 89 88 Henny Nuraeny, Tindak pidana Perdagangan Orang Jakarta : sinar grafika, 2011 Halaman 275 89 Barda Nwawi Arief, Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005 Halaman 30 1. Tahap kebijakan FormulasiLegislasi 2. Tahap kebijakan Yudikatifaplikatif 3. Tahap kebijakan Eksekutifadministrasif Bertolak dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa dalam ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana itu terkandung didalamnya 3 kekuasaankewenangan, yaitu kekuasaan legislatifformulatif dalam menentukan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan; kekuasaan yudikatifaplikatif dalama menerapkan hukum pidana; dan kekuasaan eksekutifadministratif dalam melaksanakan hukum pidana. Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat j alur “ penal “ hukum pidana dan lewat jalur “ non penal “ bukandiluar hukum pidana. Upaya penanggulangan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” penindasan pemberantasan penumpasan sesudah kejahatan terjadi.

A. Upaya Penal