baik pendidikan formal maupun pendidikan informal.
73
Dalam hal pendidikan anak kebanyakan orang tua menyerahkan pendidikan anak mutlak kepada sekolah
tanpa memberi perhatian yang cukup terhadap kepentingan pendidikan anak, sedangkan kemampuan pendidikan di sekolah terbatas.
Disamping itu kurangnya pendidikan formal berupa pendidikan agama juga merupakan faktor penyebab meningkatnya perdagangan anak untuk tujuan
prostitusi atau pelacuran. Hal ini mungkin disebabkan keterbatasan pengetahuan tentang keagamaan ataupun kurangnya rasa iman pada diri anak tersebut dalam
mengendalikan dirinya, dan lebih memudahkan
trafficker
untuk merekrut anak- anak itu untuk dijadikan korban perdagangan anak.
B. Faktor Ekstern
1. Faktor Sosial Budaya
Dalam masyarakat terdapat sedikit kesepakatan dan lebih banyak memancing timbulnya konflik
– konflik, diantaranya konflik kebudayaan, yaitu menjelaskan kaitan antara konflik-konflik yang terjadi didalam masyarakat
dengan kejahatan yang timbul. Norma yang dipelajari oleh setiap individu, diatur oleh budaya dimana individu berada. Dalam sebuah masyarakat homogen yang
sehat, hal tersebut diatas dilakukan dalam jalur hukum dan ditegakkan oleh anggota-anggota masyarakat, mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang
73
Ibid, Halaman 44
benar. Apabila hal ini tidak terjadi, maka konflik budaya akan muncul dengan dua bentuk konflik, yakni primary dan secondary conflict.
74
Primary conflict adalah konflik yang timbul diantara dua budaya yang berbeda. Teori primary kulture conflict ini, masalah kejahatan muncul karena
adanya imigrasi. Adapun secondary conflict adalah konflik muncul dalam satu budaya, khususnya ketika budaya itu mengembangkan subkebudayaan masing-
masing dengan norma tingkah lakunya sendiri. Hukum biasanya akan mewakili aturan atau norma budaya dominan. Norma kelompok lain subkebudayaan
sering kali tidak hanya berbeda, tetapi berlawanan dengan norma dominan. Sehingga dapat merupakan norma kejahatan dibawah hukum. Dengan individu
yang hidup dengan norma tingkah laku subkebudayaan macam itu, mereka dapat melanggar hukum dari budaya dominan.
Tidak saja konflik kebudayaan yang dapat memunculkan kejahatan, tetapi juga disebabkan oleh faktor sosial, dimana ada perbedaan antara budaya dan
sosial, maka hal itu dapat memunculkan konflik. Kedua jenis konflik tersebut telah mempunyai banyak faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya
kekerasan dan terusirnya penduduk dari tempat tinggal mereka. Salah satu dari sekian banyak faktor penyebab ini adalah kebijakan transmigrasi yang
diberlakukan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini telah mendorong penduduk untuk pindah dari
tempat asal mereka, dengan harapan dapat memperoleh penghasilan lebih tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang miskin ini mungkin akan lebih rentan terhadap
74
Ibid, Halaman 56
perdagangan orang, tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena mereka memegang kekuasaan sosial
yang lebih kecil, sehingga mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses untuk memperoleh ganti rugi. Meskipun bukan merupakan satu-satunya faktor bahwa
kemiskinan penyebab kerentanan perdagangan orang. Menurut Irwanto, Farid, dan Anwar bahwa adanya kepercayaan dalam
masyarakat bahwa berhubungan seks dengan anak-anak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang misalnya di
Ponorogo, atau adanya kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak-anak membuat awet muda, telah membuat masyrakat melegitimasi kekerasan seksual
dan bahkan memperkuatnya.
75
Adapun menurut Sutherland, semua tingkah laku dipelajari dengan berbagai cara. Dengan kata lain tingkah laku kejahatan yang dipelajari dalam
kelompok melalui interaksi dan komunikasi. Hal ini disebutkan dengan teori asosiasi diferensial.
76
Munculnya teori ini diatas didasarkan pada 3 hal, yaitu : a.
Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan ;
b. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi
dan ketidakharmonisan ; c.
Konflik budaya
conflic of cultures
merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
75
Ibid, Halaman 58
76
Hendrojono,
Kriminologi Pengaruh Perubahan masyarakat dan Hukum
, Surabaya : Srikandi, 2005, Halaman 78
Ketiga hal tersebut yang menjadi dasar pengembangan teori Sutherland. Versi pertama tahun 1939 dalam bukunya
Principles of Criminology
, memfokuskan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi
differensial yang diartikan sebagai
the contest of the patterns presented in association
. Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan mengakibatkan perilaku kejahatan, tetapi yang terpenting adalah isi
dari proses komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut teori asosiasi
diferensial, tingah laku jahat dipelajari dalam kelompok – kelompok tersebut
adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan nilai, motif yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Sebagaimana telah diungkapkan diatas
bahwa teori differential association, merupakan salah satu penyebab terjadinya kejahatan.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa kaitan teori ini dengan perdagangan orang tidak terlepas penyebab terjadinya melalui interaksi
dan komunikasi baik dengan orang atau melalui media. Motif seseorang berubah dengan melihat perilaku orang lain melalui interaksi langung maupun melalui
media, sehingga seseorang berusaha unutk memenuhi dorongan melalui jalan pintas. Hal ini berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk-bentuk
perdagangan ornag yang beraneka ragam
2. Ketidakadaan kesetaraan gender
Nilai sosial budaya patriarki yang masih kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Hal ini
ditandai dengan adanya pembekuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelolaan rumah tangga, dan pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari
nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas didalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan mengasuh anak. Selain
peran perempuan tersebut, perempuan juga mempunyai beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan, yang kesemuanya itu berawal
dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak
atau kurang memperoleh manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki- laki. Oleh sebab itu, disinyalir bahwa faktor sosial budaya yang merupakan
penyebab yerjadinya kesenjangn gender, antara lain dalam hal berikut : a.
Lemahnya pemberdayaan ekonomi perempuan dibandingkan dengan laki- laki, yang ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk
bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan modal kerja.
b. Ketidaktahuan perempuan dan anak-anak tentang apa yang sebenarnya terjadi
di era globalisasi c.
Kurangnya pengetahuan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
d. Perempuan kurang mempunyai hak untuk mengambil keputusan dalam
keluarga atau masyarakat dibanding kan laki-laki.
77
Sekarang sudah terjadi perubahan terhadap peran perempuan yang didukung pemerintah. Perempuan sudah banyak yang berhasil dalam pendidikan
yang tinggi dan bekerja dengan menduduki posisi yang strategis. Akan tetapi kesempatan ini hanya dirasakan oleh golongan menengah keatas, sementara
golongan dibawah terutama di pedesaan masih terbatas untuk mengikuti pendidikan yang tinggi . hal ini karena lembaga pendidikan, yaitu sekolah masih
dirasakan mahal Kondisi ini bertambah parah karena masih ada ungkapan di masyarakat
bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi karena pada akhirnya hanya ke dapur dan mengurus suami dan anak sehingga kebutuhan pendidikan bagi anak
perempuan akhirnya terabaikan.
3. Faktor Menikah Muda
Salah satu faktor pendorong yang membuat anak perempuan berhenti sekolah adalah adanya kepercayaan bahwa anak perempuan sebaiknya menikah
pada usia muda. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperboleh anak perempuan untuk menikah pada usia 16 enam belas tahun
atau lebih muda asalkan diizinkan orang tua dan disahkan oleh kantor catatan sipil.
77
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in Persons in Indonesia tahun 2003-2004, hal.8
Perkawinan usia muda ini banyak mengandung masalah, karena perkawinan beresiko tingi, terutama ketika diikuti dengan kehamilan. Secara
sosial, anak perempuan yang menikah pada usia muda cenderung mengalami banyak kesulitan terutama bila mereka diceraikan oelh suami. Ketika seorang
anak perempuan bercerai, ia kehilangan status haknya sebagai anak. Hal ini menghalanginya untuk memasuki sistem pendidikan formal apabila ia
menginginkannya. Lebih buruk lagi adalah sejak ia menikah, seorang perempuan sudah dianggap dewasa yang mandiri dan tidak lagi menjadi tanggung jawab
orang tua. Akibat banyaknya perempuan yang menikah muda namun harus berakhir
dengan perceraian akan cenderung memberanikan diri pergi ke kota-kota besar untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik dan untuk bertahan hidup.
Sayangnya anak perempuan itu tidak mempunyai keterampilan atau ijazah yang memungkinkan mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mereka akhirnya
masuk ke lingkungan prostitusi atau pelacuran.
78
4. Faktor Penegakan Hukum
Inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai- nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindakan
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
79
78
Ibid. Halaman 27
79
Soerjono Soekamto,
Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum
, Cet. Kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Halaman 5
Kaidah-kaidah tersebut menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut
bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Dapat juga dikatakan bahwa penegakan hukum dalam masyarakat berarti
membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat untuk taat kepada hukum. Penegakan hukum tidak terjadi dalam masyarakat karena
ketidak serasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Oleh karena itu, permasalahan dalam penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi faktor penegakan Hukum adalah faktor
hukumnya sendiri, faktor Penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyrakat, dan faktor Kebudayaan.
80
Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan hukumk. Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum dalam perdagangan orang yaitu sebagai berikut : a.
Faktor Hukumnya Sendiri Sebelum disahkannnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak ada peraturan perundang undangan yang dengan tegas mengatur hal ini. Kebanyakan pelaku perdagangan orang yang
tertangkap pun tidak semuanya dijatuhi hukuman yang setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya piranti hukum yang tersedia. Selama
itu ketentuan hukum positif yang mengatur tentang larangan perdagangan orang
80
Farhana, Op. Cit Halaman 63
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam Pasal 297. Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi perdagangan
orang, sehingga tidak dapat dirumusakan dengan jelas unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan
pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung diskriminasi terhadap jenis kelamin karena Pasal ini menyebutkan hanya wanita
dan anak laki-laki dibawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak laki- laki yang masih dibawah umur yang mendapat perlindungan hukum
Juga interpretasi hukum yang berkembang terhadap Pasal 297 KUHP menyempitkan makna tindak pidana tentang perdagangan orang, khususnya
perempuan dan anak. Dengan tidak jelasnya definisi tentang perdagangan orang dalam Pasal 297 KUHP, maka terjadi interpretasi hukum yang sempit.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan KUHP yang disusun R. Sugandhi yang menyatakan bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki dibawah umur hanya
sebatas pada eksploitasi pelacuran dan pelacuran paksa.
81
Akan tetapi interpretasi ini adalah interpretasi tidak resmi. Berarti penjelasan bukan penjelasan dari negara
yang merupakan penjelasan dari KUHP. Adapun asas Hukum Pidana menentukan bahwa Hukum Pidana menganut
sistem interpretasi negatif yang tidak boleh ada interpretasi lain selain yang ada dalam KUHP itu sendiri. Pasal ini juga bersifat umum, sehingga tidak mampu
mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik, karena dilapangan banyak ditemukan bentuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yng tidak mampu dijerat Pasal
81
R. Sugandhi,
KUHP dengan Penjelasnnya
, Surabaya : Usaha Nasioanal, 1980, Halaman 314
tersebut. Contohnya adalah modus jerat utang. Banyak perempuan dana anak harus menjadi pekrja seks komersil karena terjerat utang pada majikan atau
germo. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
juga terkait dengan perdagangan manusia. Ketentuan hkum dalam undang-undang ini menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan mengikuti perkembangan
kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat dan tidak ada diskriminasi perlindungan hukum dari tindak pidana terhadap jenis kelamin atau
usia, karena perdagangan manusia mencakup semua orang termasuk laki-laki dan anak meliputi anak laki-laki dan perempuan. Ketentuan dalam undang-undang ini
juga memberikan ruang lingkup perlindungan yang lebih luas terhadap segala bentuk tindak pidana yang biasanya merupakan bagian eksploitasi dalam
perdagangan orang seperti penyekapan. Tetapi defenisi perdagangan ormag dalam undang-undang ini tidak ada.
Disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 83 telah mencantumkan larangan memperdagangkan , menjual, ata
menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Akan tetapi, undang-undang ini juga sama seperti halnya dalam KUHP tidak merinci apa yang dimaksud dengan
perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu dijual. Namun demikian, undang- undang ini cukup melindungi anak dari ancaman penjualan anak dengan memberi
sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP yang ancamannya 0-6 tahun penjara, sedangkan Undang-undang Perlindungan Anak mengancam pelaku
kejahatan perdagangan oanak 3-15 tahun penjara dan denda antara Rp60 juta
sampai Rp300 Juta. Undang-undang ini sering digunakan sebagai dasar untuk menangkap pelaku perdagangan anak.
b. Faktor Penegakan Hukum
Penegakan hukum di dalam masyrakat selain dipengaruhi oleh peraturan atau undang-undang kaidah-kaidah juga ditentukan oleh para penegak hukum,
sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara bagaimana
semestinya. Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen seperti terjadinya pemalsuan informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta
kelahiran, dan paspor. Lemahnya penegakan hukum tersebut disebabkan kurang atau tidaknya
keterbukaan berkenaan dengan aturan-aturan serta prosedur yang berlaku termasuk jug tidak adanya akuntabilitas dari pejabat negara serta petugas lainnya
yang antara lain terung dari tidak tersedianya mekanisme kontrol, pengawasan, dan penerimaan pengaduan baik internal maupun eksternal.
82
Penegak hukum lebih sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan terdapat kecenderungan yang menunjukan bahwa korban tidak yakin
akan reaksi penegak hukum terhadap yang dialami korban. Ini tidak terlepas dari kekhawatiran tidak dipercayanya para korban oleh penegak hukum. Hal ini terjadi
karena perbedaan interpretasi dan lemahnya koordinasi antar penegak hukum.
82
Soerjono Soekanto,
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegaan hukum,
cet. Kelima, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Halaman 5
c. Faktor Sarana dan Fasilitas
83
Sarana dan Fasilitas mempengaruhi penegak hukum. Tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau
fasilitas. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, terorganisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan
keuangan yang cukup.
84
Terjadinya perbedaan interpretasi pada penegak hukum tentang defenisi perdagangan orang sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan
penghukuman. Sering terjadi kasus kejahatan perdagangan manusia lepas dari penuntutan karena adanya perbedaan interpretasi. Hal ini terjadi karena
terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus perdagangan manusia, sehingga berdampak luas dalam memprosesnya. Dapat
dikatakan juga bahwa kurangnya pelatihan pada penegak hukum mengenai perdagangan manusia, ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk
menangani tindak pidanan ini, sehingga sangat bergantung pada persepsi dan kemampuan individu penegak hukum.
Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, polisi tidak pernah mengetahui hasil putusan hakim sehubungan dengan kasus-kasus yang diajukan
ke kejaksaan dan pengadilan. Demikian juga kejaksaan tidak mengetahui hasil putusan pengadilan. Keadaan ini sangat menghambat proses monitoring dan
evaluasi peneak hukum.
83
Farhana, Op.Cit Halaman 67
84
Soerjono Soekanto, Op. Cit., Halaman 37
Sistem pendataan dan dokumentasi kasus dan penanganan perdagangan manusia yang tidak memadai, sehingga data tidak terdokumentasi secara lengkap.
Ini mengakibatkan adanya anggapan bahwa upaya penanganan kasus perdagangan orang tidak merupakan prioritas.
d. Faktor Masyarakat
Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Disamping itu, sebagian masyrakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada
hukum dan aparat penegak hukum. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya
dalam hal pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama anak-anak. Pemahaman masyrakat tentang tindak pidana perdagagan
manusia masih sangat rendah. Masyrakat tidak tahu bahwa mereka sedang melakukan salah satu bentuk kejahatan perdagangan manusai dan masyrakat yang
mengetahui adanya kejahatan perdagangan manusia tidak melaporkan kepada kepolisian atau telah menjadi korban perdagangan manusia.
e. Faktor Kebudayaan
Dalam kehidupan sehari-hari, anak laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian peran, tugas, dan nilai-nilai serta aturan yang berbeda.
Perempuan karena fungsi reproduksi ditempatkan domestik rumah tangga, sedangan laki-laki ditempatkan diruang publik. Pembagian peran, tugas, dan nilai-
nilai serta aturan-aturan diberikan melalui aturan sosial masyarakat adat.
Dalaam sebuah keluarga, perempuan selalu diberikan rela berkorban untuk keluarga,
sehingga banyak
perempuan yang
bekerja bukan
untuk mengaktualisasikan dirinya atau melaksanakan haknya, tetapi sekedar untuk
membantu keluarga atau menambah penghasilan keluarga. Oleh sebab itu, anak perempuan rentan terhadap perdagangan orang.
Faktor-faktor yang diuraikan diatas merupakan faktor penyebab kejahatan perdagangan orang. Jika dilihat dari kenyataan yang ada bahwa faktor-faktor
tersebut tidak berdiri sendirian. Dengan kata lain, faktor-faktor yang dalam hubungan dengan sejumlah faktor lain akan menghasilkan kejahatan. Dicari
faktor-faktor yang
necessa ry but not sufficient
untuk timbulnya kejahatan. Maksudnya faktor-faktor yang selalu merupakan sebab dari suatu akibat atau
kejahatan bersama-sama dengan faktor –faktor lain yang disebut dengan
multifactor theory.
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN
NOMOR : 1033Pid.B2013PN.Mdn A.
Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindunga hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang
Kebijakan Hukum Pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan paraturan hukum
positip dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada para penyelenggara negara
atau pelaksana putusan pengadilan.
85
Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat
dilakukan secara yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif. Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai
disipin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminil. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka
politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan dengan hukum pidana”.
86
85
Barda Nawawi Arief,
Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru
, Jakarta, Kencana. 2008. Hal aman 19
86
Ibid, Halaman 24
Usaha penangulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan
hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
la w enforcement policy
. Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-
undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari integral dari usaha perlindungan masyarakat
social welfare.
Oleh karen itu, wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan atau
politik sosial
social policy
. Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat
ditempuh dengan : a.
Penerapan hukum Pidana
criminal la w application;
b. Pencegahan tanpa pidana
prevention without punishment;
dan c.
Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media
influenching views of society on crime and punishment
mass media.
87
Salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan melintasi batas dan dalam wilayah negara, adalah kejahatan perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan
orang sudah menjadi agenda dalam penegakan hukum dan menjadi pusat perhatian
dunia Internasional,
karena dampaknya
dapat mengganggu
kesejahteraan sosial. Mengingat ruang lingkup dan dimensinya sudah meluas,
87
Ibid, Halaman 40
maka kegiatan tindak pidana perdagangan orang dapat dimasukkan sebagai
organized crime
kejahatan terorganisir,
white collar crime
kejahatan kerah putih,
corporate crime
kejahatan korporasi,
cyber crime
kejahatan dunia maya dan bahkan
transnational crime
kejahatan transnasional. Berbagai upaya untuk melakukan pencegahan kejahatan perdagangan orang sudah dilakukan dengan
berbagai cara namun hasilnya dianggap belum memuaskan, bahkan upaya dengan menggunakan sarana hukum juga masih belum menunjukkan hasil yang
signifikan. Penggunaan upaya hukum pidana sebagai ultimatum remedium, dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk
bidang kebijakan penegkan hukum, sebagai upaya yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
88
Pembangunan hukum atau pembaharuan hukum memiliki hubungan yang sangat kuat dengan politik, oleh karena suatu dan kebutuhan pembaharuan hukum
yang diawali dari pembuatan sampai pelembagaannya dilaksanakan oleh lembaga politik, yang merupakan lembaga yang memiliki kekuatan dalam masyarakat.
Suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan melalui kebijakan formulasilegislasi, sedangkan proses penegakan hukum atau
pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasiyudikasi dan proses pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusiadministrasi. Ketiga
tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut :
89
88
Henny Nuraeny,
Tindak pidana Perdagangan Orang
Jakarta : sinar grafika, 2011 Halaman 275
89
Barda Nwawi Arief,
Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005 Halaman 30
1. Tahap kebijakan FormulasiLegislasi
2. Tahap kebijakan Yudikatifaplikatif
3. Tahap kebijakan Eksekutifadministrasif
Bertolak dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa dalam ketiga tahap kebijakan
penegakan hukum
pidana itu
terkandung didalamnya
3 kekuasaankewenangan, yaitu kekuasaan legislatifformulatif dalam menentukan
atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan; kekuasaan yudikatifaplikatif dalama menerapkan hukum pidana; dan
kekuasaan eksekutifadministratif dalam melaksanakan hukum pidana. Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar
dapat dibagi dua, yaitu lewat j alur “ penal “ hukum pidana dan lewat jalur “ non
penal “ bukandiluar hukum pidana. Upaya penanggulangan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” penindasan pemberantasan
penumpasan sesudah kejahatan terjadi.
A. Upaya Penal