Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran

commit to user 3 bermaksud untuk menyelidiki hubungan lama pemakaian kontrasepsi DMPA dengan kejadian amenorea sekunder di Puskesmas Kratonan Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu: “Apakah ada hubungan lama pemakaian kontrasepsi Depot Medroxyprogesterone Acetate dengan kejadian amenorea sekunder di Puskesmas Kratonan Surakarta?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan lama pemakaian kontrasepsi Depot Medroxyprogesterone Acetate dengan kejadian amenorea sekunder di Puskesmas Kratonan Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik peserta kontrasepsi DMPA di Puskesmas Kratonan Surakarta. b. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi lama pemakaian kontrasepsi DMPA di Puskesmas Kratonan Surakarta. c. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Odds Ratio OR terjadinya amenorea sekunder pada peserta kontrasepsi DMPA di Puskesmas Kratonan Surakarta. commit to user 4

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang lebih mendalam terkait hubungan lama pemakaian kontrasepsi DMPA dengan timbulnya amenorea sekunder. b. Menyediakan data terkait angka kejadian amenorea sekunder di kalangan peserta kontrasepsi DMPA. 2. Manfaat Aplikatif a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Kratonan Surakarta untuk memberikan pendidikan kesehatan terkait efek samping penggunaan kontrasepsi DMPA. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada peserta kontrasepsi DMPA terkait hubungan lama pemakaian kontrasepsi dengan risiko terjadinya amenorea sekunder. c. Sebagai sumber pemikiran dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya. commit to user 5 BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Depot Medroxyprogesterone Acetate DMPA a.

Farmakologi DMPA atau Depot Medroxyprogesterone Acetate merupakan kontrasepsi yang berbentuk suspensi mikrokristal yang larut secara perlahan Cunningham et al., 2005. DMPA dibedakan menjadi dua macam berdasarkan teknik penyuntikannya yaitu: 1 DMPA-IM Depo Provera Merupakan jenis DMPA yang paling sering digunakan. Penyuntikan DMPA dilakukan secara intramuskular di regio gluteus atau deltoid. Penyuntikan DMPA dilakukan tanpa pemijatan untuk memastikan agar obat dibebaskan secara perlahan Speroff et al., 2005. Dosis lazim pemberian DMPA adalah 150 mg setiap 12 minggu tiga bulan. Dalam beberapa hari, penyuntikan ini menghasilkan kadar MPA Medroxyprogesterone Acetate dalam plasma sekitar 1,0 sampai 1,5 ngml, yang secara bertahap berkurang menjadi 0,2 ngml pada 6 bulan dan menjadi tidak terdeteksi dalam 7 sampai 9 bulan Cunningham et al., 2005. commit to user 6 Ovulasi pada pemakaian DMPA jenis ini mulai timbul bila konsentrasi MPA 0,1 ngml Kaunitz, 2001. 2 DMPA-SC Depo SubQ provera 104 Merupakan formulasi baru dari DMPA yang diberikan secara subkutan dengan dosis 104 mg setiap 12 minggu 3 bulan. Pemberian secara subkutan ini memiliki efek samping dan manfaat yang sama dengan pemberian DMPA secara intramuskular Hatcher et al., 2009.

b. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja DMPA antara lain : 1 Obat ini menghalangi terjadinya ovulasi dengan jalan menekan pelepasan gonadotropic releasing hormone GnRH di hipotalamus Albertazzi et al., 2006. Bila GnRH di hipotalamus terhambat, maka tidak terjadi pelepasan LH Luitenezing Hormone oleh hipofisis anterior dalam darah. Kondisi ini menimbulkan kegagalan ovulasi. 2 Lendir serviks bertambah kental, sehingga menghambat penetrasi sperma melalui serviks uteri Speroff et al., 2005 3 Mencegah implantasi ovum dengan menjadikan lapisan endometrium lebih tipis dan mengalami atrofi Speroff et al., 2005. 4 Mengubah kecepatan transpor ovum melalui tuba Speroff et al., 2005 commit to user 7

c. Indikasi dan Kontraindikasi Pemakaian Kontrasepsi DMPA

DMPA dapat diberikan pada wanita usia reproduksi yang telah memiliki anak ataupun pada nulipara. Selain itu, DMPA dapat pula diberikan pada wanita yang sedang dalam menyusui, setelah melahirkan, mengalami abortus atau keguguran, perokok, dan menghendaki kontrasepsi jangka panjang dengan efektivitas tinggi. Wanita dengan tekanan darah 180100 mmHg, mengalami gangguan pembekuan darah, sickle cell anemia, dan yang sedang menggunakan obat untuk epilepsy fenitoin dan barbiturat atau obat tuberculosis rifampisin juga diperbolehkan menggunakan DMPA Speroff et al., 2005. DMPA tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil ataupun dicurigai hamil, mengalami perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya, adanya riwayat ataupun sedang menderita kanker payudara, diabetes mellitus yang disertai komplikasi, menderita penyakit hati akut, penyakit jantung dan stroke Arum dan Sujiyatini, 2009.

d. Keuntungan Pemakaian Kontrasepsi DMPA

Keuntungan dari pemakaian kontrasepsi suntik DMPA yaitu praktis, efektif, dan mudah dilepas pemakaiannya. Selain itu, kontrasepsi DMPA tidak mengandung estrogen, sehingga tidak menimbulkan komplikasi vaskuler yang berat seperti timbulnya commit to user 8 trombosis vena ataupun emboli paru. Kontrasepsi DMPA dapat pula mengurangi risiko terjadinya mioma uteri, pelvic inflammatory disease, kehamilan ektopik dan kejang Arum dan Sujiyatini, 2009.

e. Efek samping Pemakaian Kontrasepsi DMPA

1 Perubahan pola menstruasi Perubahan pola menstruasi ini mencakup amenorea yaitu tidak adanya pola menstruasi selama 3 bulan berturut-turut, spotting yang merupakan bercak-bercak perdarahan di luar menstruasi, metrorhagia yang merupakan perdarahan berlebihan di luar siklus menstruasi dan menorrhagia yang merupakan perdarahan berlebihan saat menstruasi Hatcher et al., 2009. 2 Peningkatan Berat Badan Tubuh Pemakaian DMPA dapat menimbulkan perubahan berat badan dan distribusi lemak dalam tubuh Clark et al., 2005. Penelitian yang dilakukan oleh WHO 1990 menunjukkan bahwa pada pemakai kontrasepsi DMPA terjadi peningkatan berat badan rata- rata sebesar 2,7 kg untuk tahun pertama pemakaian Cunningham et al., 2005. Peningkatan berat badan ini kemungkinan disebabkan oleh hormon progesteron. Hormon progesteron mempermudah perubahan karbohidrat dan glukosa menjadi lemak yang banyak bertumpuk di bawah kulit. Peningkatan berat badan ini bukan disebabkan oleh retensi cairan dalam tubuh Hatcher et al., 2009. commit to user 9 3 Penurunan densitas tulang Pemakaian DMPA jangka panjang dapat menurunkan level estrogen dalam darah, sehingga menimbulkan penurunan kepadatan mineral tulang Cunningham et al., 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Berenson et al. 2008 menunjukkan bahwa pemakaian DMPA lebih berisiko terhadap penurunan densitas massa tulang dan kecenderungan osteoporosis. 4 Perubahan profil lipid serum Pemakaian DMPA jangka panjang menimbulkan penurunan kadar trigliserida dan kolesterol HDL. Akan tetapi, pemakaian kontrasepsi DMPA tidak menimbulkan peningkatan kadar LDL dalam darah Cunningham et al., 2005. 5 Sakit kepala Sakit kepala dilaporkan terjadi pada 15 akseptor kontrasepsi DMPA. Gejala sakit kepala ini berupa rasa berputar yang dapat terjadi di salah satu sisi ataupun di seluruh bagian kepala Cunningham et al., 2005. 6 Gangguan emosi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian kontrasepsi DMPA menimbulkan peningkatan depresi dan kecemasan Hatcher et al., 2009. 7 Pemakaian DMPA dapat pula menimbulkan kekeringan pada vagina, penurunan libido, dan acne vulgaris Hatcher et al., 2009. commit to user 10

2. Siklus Menstruasi Normal

Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan deskuamasi endometrium. Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus menstruasi yang normal siklus menstruasi klasik adalah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas pada tiap wanita. Panjang siklus menstruasi dipengaruhi oleh usia seseorang. Panjang siklus yang biasa pada manusia adalah 28 ± 7 hari. Jika panjang siklus kurang ataupun melebihi waktu tersebut umumnya siklusnya tidak berovulasi anovulatoar Wiknjosastro dkk eds, 2006. Perubahan hormonal siklik mengawali dan mengatur fungsi ovarium dan perubahan endometrium. Siklus menstruasi yang berlangsung secara teratur tiap bulan, bergantung kepada serangkaian langkah-langkah siklik yang terkoordinasi dengan baik, yang melibatkan sekresi hormon pada berbagai tingkat dalam sistem terintegrasi. Pusat pengendalian hormon dari sistem reproduksi adalah hipotalamus Hillegas, 2005. Dua hormon hipotalamus gonadotropic-releasing hormone GnRH, yaitu follicle- stimulating hormone-releasing hormone FSHRH dan luitenezing hormone-releasing hormone LHRH. Kedua hormon itu masing-masing merangsang hipofisis anterior untuk menyekresi follicle stimulating hormone FSH dan luitenezing hormone LH. Rangkaian peristiwa akan diawali oleh sekresi FSH dan LH yang menyebabkan produksi estrogen commit to user 11 dan progesteron dari ovarium dengan akibat perubahan fisiologik uterus. Estrogen dan progesteron, pada gilirannya juga akan mempengaruhi produksi GnRH spesifik, sebagai mekanisme umpan balik yang mengatur kadar hormon gonadotropik Sherwood, 2001. Adapun siklus menstruasi normal meliputi : a. Siklus Ovarium 1 Fase Folikular Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi, atau terlepasnya endometrium. FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Umumnya, hanya satu yang terus berkembang dan menjadi folikel deGraaf dan yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel yang mengelilinginya. Lapisan dalam yaitu sel-sel granulosa menyintesis progesteron yang disekresi ke cairan folikular selama paruh waktu pertama menstruasi, dan bekerja sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang mengelilinginya Hillegas, 2005. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada teka interna. Selain itu, didalam folikel oosit primer mulai menjalani proses pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang sedang berkembang menyekresi estrogen lebih banyak ke dalam sistem ini. Kadar estrogen yang meningkat menyebabkan pelepasan LHRH melalui mekanisme umpan balik positif Sherwood, 2001. commit to user 12 2 Fase Luteal LH merangsang ovulasi dari oosit matang. Tepat sebelum ovulasi, oosit primer selesai menjalani pembelahan meiosis pertamanya. Kadar estrogen yang tinggi kini menghambat produksi FSH. Kemudian kadar estrogen mulai menurun. Setelah oosit terlepas dari folikel deGraaf, lapisan granulosa menjadi banyak mengandung pembuluh darah dan sangat terluteinisasi, berubah menjadi korpus luteum yang berwarna kuning pada ovarium. Korpus luteum terus menyekresi sejumlah kecil estrogen dan progesteron yang makin lama makin meningkat Hillegas, 2005 b. Siklus Endometrium 1 Fase Menstruasi Korpus luteum berfungsi sampai kira-kira hari ke-23 atau 24 pada siklus 28 hari, dan kemudian mulai beregresi. Akibatnya terjadi penurunan progesteron dan estrogen yang tajam, sehingga menghilangkan perangsangan pada endometrium. Perubahan iskemik terjadi pada arteriola dan diikuti dengan menstruasi Hillegas, 2005 2 Fase Proliferasi Segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis dan dalam stadium istirahat. Stadium ini berlangsung kira-kira 5 hari Hillegas, 2005. Kadar estrogen yang meningkat dari folikel yang berkembang akan merangsang stroma endometrium untuk commit to user 13 mulai tumbuh dan menebal, kelenjar-kelenjar menjadi hipertrofi dan berproliferasi, dan pembuluh darah menjadi banyak sekali. Kelenjar-kelenjar dan stroma berkembang sama cepatnya. Kelenjar makin bertambah panjang tetapi tetap lurus dan berbentuk tubulus. Epitel kelenjar berbentuk toraks dengan sitoplasma eosinofilik yang seragam dengan inti di tengah. Stroma cukup padat di lapisan basal tetapi makin ke permukaan semakin longgar. Pembuluh darah akan mulai berbentuk spiral dan lebih kecil. Lamanya fase proliferasi sangat berbeda-beda pada tiap orang, dan berakhir saat terjadinya ovulasi Bielak, 2008. 3 Fase Sekresi Setelah ovulasi, di bawah pengaruh progesteron yang meningkat dan terus diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium menebal dan menjadi seperti beludru. Kelenjar menjadi lebih besar dan berkelok-kelok, dan epitel kelenjar menjadi berlipat-lipat. Inti sel bergerak ke bawah, dan permukaan epitel tampak kusut. Stroma menjadi edematosa. Terjadi pula infiltrasi leukosit yang banyak dan pembuluh darah menjadi makin berbentuk spiral dan melebar. Lamanya fase sekresi sama pada setiap perempuan yaitu 14±2 hari Hillegas, 2005. commit to user 14

3. Amenorea Sekunder

a. Definisi Amenorea

Amenorea ialah keadaan tidak adanya menstruasi untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Amenorea primer adalah tidak terjadinya menarke sampai usia 17 tahun, dengan atau tanpa perkembangan seksual sekunder. Amenorea sekunder merupakan tidak terjadinya menstruasi selama 3 bulan atau lebih pada wanita yang pernah mengalami siklus menstruasi Wiknjosastro dkk eds, 2006. Adapun ketiadaan menstruasi dalam waktu yang singkat kurang dari 3 bulan dinamakan delayed menses Hatcher et al., 2009. Perbedaan antara amenorea primer dan amenorea sekunder sejak dahulu telah ditekankan karena adanya insidensi yang lebih tinggi terhadap kelainan genetik dan anatomik pada wanita muda dengan amenorea primer. Selain itu, penyebab amenorea sangat luas dan melibatkan semua tingkat aksis hipotalamus, hipofisis, gonad, dan organ target Heffner dan Schust, 2006. Amenorea sekunder bisa bersifat fisiologis pada perempuan usia prapubertas, hamil dan pascamenopause. Di luar itu, amenorea bersifat patologis dan menunjukkan adanya disfungsi atau abnormalitas pada sistem reproduksi Hillegas, 2005. Amenorea merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit Bielak, 2008. commit to user 15

b. Klasifikasi Amenorea Sekunder

Berdasarkan organ target yang terkena, hal-hal yang dapat menimbulkan amenorea sekunder meliputi : 1 Gangguan di tingkat hipotalamus atau hipofisis Hypothalamic amenorrhea merupakan penyebab tersering dari amenorea sekunder. Gangguan pada tingkat ini seringkali ditandai dengan kadar gonadotropin hormon yang normal, struktur pelvis normal, dan kadar androgen yang normal. Hypothalamic amenorrhea dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti adanya tumor hipofisis, hiperprolaktinemia, dan adanya pengaruh eksogen seperti penggunaan kontrasepsi hormonal. Selain itu, adanya stres emosional, olahraga yang berlebihan, penurunan berat badan berlebihan, anoreksia nervosa ataupun bulimia juga turut menyebabkan hypothalamic amenorrhea Camacho et al., 2007. 2 Gangguan di ovarium Gangguan ini dapat ditimbulkan oleh sindrom ovarium resisten gonadotropin. Penyebab pasti kelainan ini belum diketahui secara jelas. Namun, diduga sindrom ini ditimbulkan oleh proses autoimun yang mengakibatkan hiposensitisasi reseptor gonadotropin di ovarium, sehingga terjadi kegagalan ovulasi dan akhirnya mengalami amenorea sekunder. Selain itu, gangguan di tingkat ovarium juga dapat disebabkan oleh premature ovarian commit to user 16 failure yang merupakan penyakit habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih awal dari semestinya Camacho et al., 2007. 3 Gangguan pada vagina atau uterus Gangguan ini meliputi aplasia tidak berkembangnya vagina, aplasia uterus, histerektomi, dan sindrom Asherman akibat terjadinya sequele pada lapisan endometrium Wiknjosastro dkk. eds, 2006. 4 Hiperandrogenisme Hiperandrogenisme yang dapat memicu timbulnya amenorea sekunder seringkali disebabkan oleh penyakit ovarium polikistik PCOS. Penyakit ini seringkali dikaitkan dengan resistensi insulin dan menimbulkan gejala khas berupa hirsutisme, jerawat, dan alopesia Camacho et al., 2007.

c. Penegakan Diagnosis Amenorea Sekunder

Gejala amenorea sekunder dijumpai pada berbagai macam penyakit ataupun gangguan. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang baik dan lengkap untuk mengetahui etiologi penyakit. Selanjutnya, perlu diketahui apakah terdapat kaitan antara amenorea sekunder dengan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan seperti perubahan emosional, pemakaian kontrasepsi hormonal, serta gejala- gejala penyakit metabolik. Setelah anamnesis, diperlukan pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan ini commit to user 17 meliputi tes kehamilan dan pemeriksaan laboratorium Wiknjosastro dkk eds, 2006.

4. Hubungan Lama Pemakaian DMPA dengan Amenorea Sekunder

Mekanisme kerja utama DMPA adalah menghambat terjadinya ovulasi Albertazzi et al., 2006. Berdasarkan mekanisme farmakokinetiknya, DMPA mengandung obat MPA Medoxyprogesterone Acetate yang dilepaskan secara perlahan ke dalam serum darah. Kadar MPA ini dipertahankan sebesar 1,0 ngml selama tiga bulan dan setelah itu mengalami penurunan. MPA yang bersirkluasi dalam darah mampu menekan pembentukan gonadotropic releasing hormone GnRH dari hipotalamus, sehingga menghambat pelepasan lonjakan LH di hipofisis. Penghambatan ini menimbulkan kegagalan ovulasi dan akhirnya tidak terjadi siklus menstruasi amenorea. Selain itu, tidak adanya ovulasi mengakibatkan kadar progesteron dalam serum tetap rendah yaitu kurang dari 0,4 ngml. Estradiol serum juga tetap dipertahankan rendah sebesar 50 pgnl selama 3 bulan pemakaian DMPA akibat tidak meningkatnya kadar FSH secara simultan Kaunitz, 2001. Kadar estradiol yang rendah dalam jangka lama dapat menghambat pertumbuhan jaringan endometrium yang melapisi uterus, sehingga timbul atrofi Hefner dan Schust, 2006; Albertazzi and Steel, 2006. commit to user 18 Menurut Boroditsky et al. 2000, amenorea sekunder merupakan gangguan menstruasi yang sering dikeluhkan peserta kontrasepsi DMPA. Kondisi amenorea ini dilaporkan terjadi setelah tiga bulan pemakaian sebesar 30, kemudian menjadi 55 pada akhir satu tahun pemakaian dan akhirnya menjadi 68 setelah dua tahun pemakaian DMPA. Selain itu, menurut Hartanto 2003, efek pemakaian kontrasepsi DMPA terhadap amenorea bertambah besar seiring dengan lamanya waktu pemakaian. Pemakaian DMPA sebagai kontrasepsi hormonal tidak menimbulkan efek permanen terhadap fertilitas kesuburan. Akan tetapi, kembalinya kesuburan pada wanita menjadi tertunda karena terkait dengan lama pemakaian kontrasepsi tersebut Kaunitz, 2001. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh McGee 1997 menunjukkan bahwa tidak diperoleh hasil yang signifikan antara kondisi amenorea pada akseptor kontrasepsi DMPA dengan penurunan densitas massa tulang Bazargani and Fardyazar, 2006. commit to user 19

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran Keterangan : = menunjukkan faktor-faktor yang saling terkait = menunjukkan faktor lain yang secara tidak langsung berpengaruh Atrofi endometrium Lama pemakaian kontrasepsi suntik DMPA Depot Medroxyprogesterone acetate Estradiol dipertahankan dalam kadar rendah Tidak terjadi ovulasi Penghambatan GnRH di hipotalamus Tidak terjadi lonjakan LH Bila 3 bulan disebut amenorea sekunder Kadar MPA tinggi dalam serum Tidak terjadi menstruasi Faktor lain : - Kehamilan - Laktasi - Adanya gangguan sistem endokrin - Anoreksia nervosa - Latihan fisik berat - Stres emosional - Obesitas Kadar FSH tetap dan tidak mengalami kenaikan secara simultan commit to user 20

C. Hipotesis

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI IUD DENGAN ANGKA KEJADIAN LEUKOREA PATOLOGIS PADA AKSEPTOR KB HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI IUD DENGAN ANGKA KEJADIAN LEUKOREA PATOLOGIS PADA AKSEPTOR KB IUD DI PUSKESMAS KLEGO II KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLA

0 1 12

HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI AKDR DENGAN KEJADIAN MENOMETRORAGI PADA AKSEPTOR KB AKDR DI HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI AKDR DENGAN KEJADIAN MENOMETRORAGI PADA AKSEPTOR KB AKDR DI KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI PILKOMBINASI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DARAH PADA Hubungan Lama Penggunaan Kontrasepsi Pil Kombinasi Dengan Peningkatan Tekanan Darah Di Puskesmas Kartasura.

0 1 15

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN INJEKSI DEPOT-MEDROXYPROGESTERONE ACETATE (DMPA) DENGAN KADAR ESTRADIOL PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA.

0 0 7

Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Suntik Depo Medroxyprogesteron Acetate (DMPA) dengan Kadar Hemoglobin (Hb) di Puskesmas Gajahan Surakarta.

2 12 5

Hubungan pemakaian kontrasepsi implan dengan kejadian spotting di puskesmas Sangkrah Surakarta AWAL

0 0 12

Karakteristik Demografi Akseptor Kontrasepsi Suntik Depot Medroxyprogesterone Acetate di Puskesmas Merdeka Palembang periode Januari Desember 2012

0 1 7

Karakteristik Demografi Akseptor Kontrasepsi Suntik Depot Medroxyprogesterone Acetate di Puskesmas Merdeka Palembang

0 0 6

TINJAUAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI DEPO MEDROXY PROGESTERONE ACETATE BERDASARKAN KEJADIAN AMENOREA Yeti Trisnawati, Sri Handayani Dosen Program Studi D III Kebidanan

0 0 11

A. PENDAHULUAN - TINJAUAN LAMA PEMAKAIAN KONTRASEPSI DEPO MEDROXY PROGESTERONE ACETATE BERDASARKAN KEJADIAN AMENOREA

0 0 9