commit to user 3
bermaksud untuk menyelidiki hubungan lama pemakaian kontrasepsi DMPA dengan kejadian amenorea sekunder di Puskesmas Kratonan Surakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu: “Apakah ada hubungan lama pemakaian
kontrasepsi Depot Medroxyprogesterone Acetate dengan kejadian amenorea sekunder di Puskesmas Kratonan Surakarta?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan lama pemakaian
kontrasepsi Depot Medroxyprogesterone Acetate dengan kejadian amenorea sekunder di Puskesmas Kratonan Surakarta.
2. Tujuan Khusus a. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik peserta
kontrasepsi DMPA di Puskesmas Kratonan Surakarta. b. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi lama pemakaian
kontrasepsi DMPA di Puskesmas Kratonan Surakarta. c. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Odds Ratio OR terjadinya
amenorea sekunder pada peserta kontrasepsi DMPA di Puskesmas Kratonan Surakarta.
commit to user 4
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang
lebih mendalam terkait hubungan lama pemakaian kontrasepsi DMPA dengan timbulnya amenorea sekunder.
b. Menyediakan data terkait angka kejadian amenorea sekunder di kalangan peserta kontrasepsi DMPA.
2. Manfaat Aplikatif a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan bagi
tenaga kesehatan di Puskesmas Kratonan Surakarta untuk memberikan pendidikan kesehatan terkait efek samping penggunaan kontrasepsi
DMPA. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
peserta kontrasepsi DMPA terkait hubungan lama pemakaian kontrasepsi dengan risiko terjadinya amenorea sekunder.
c. Sebagai sumber pemikiran dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.
commit to user 5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Depot Medroxyprogesterone Acetate DMPA a.
Farmakologi
DMPA atau Depot Medroxyprogesterone Acetate merupakan kontrasepsi yang berbentuk suspensi mikrokristal yang larut secara
perlahan Cunningham et al., 2005. DMPA dibedakan menjadi dua macam berdasarkan teknik penyuntikannya yaitu:
1 DMPA-IM Depo Provera Merupakan jenis DMPA yang paling sering digunakan.
Penyuntikan DMPA dilakukan secara intramuskular di regio gluteus atau deltoid. Penyuntikan DMPA dilakukan tanpa
pemijatan untuk memastikan agar obat dibebaskan secara perlahan Speroff et al., 2005. Dosis lazim pemberian DMPA adalah 150
mg setiap 12 minggu tiga bulan. Dalam beberapa hari, penyuntikan ini menghasilkan kadar MPA Medroxyprogesterone
Acetate dalam plasma sekitar 1,0 sampai 1,5 ngml, yang secara bertahap berkurang menjadi 0,2 ngml pada 6 bulan dan menjadi
tidak terdeteksi dalam 7 sampai 9 bulan Cunningham et al., 2005.
commit to user 6
Ovulasi pada pemakaian DMPA jenis ini mulai timbul bila konsentrasi MPA 0,1 ngml Kaunitz, 2001.
2 DMPA-SC Depo SubQ provera 104 Merupakan formulasi baru dari DMPA yang diberikan secara
subkutan dengan dosis 104 mg setiap 12 minggu 3 bulan. Pemberian secara subkutan ini memiliki efek samping dan manfaat
yang sama dengan pemberian DMPA secara intramuskular Hatcher et al., 2009.
b. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja DMPA antara lain : 1 Obat ini menghalangi terjadinya ovulasi dengan jalan menekan
pelepasan gonadotropic releasing hormone GnRH di hipotalamus Albertazzi et al., 2006. Bila GnRH di hipotalamus terhambat,
maka tidak terjadi pelepasan LH Luitenezing Hormone oleh hipofisis anterior dalam darah. Kondisi ini menimbulkan kegagalan
ovulasi. 2 Lendir serviks bertambah kental, sehingga menghambat penetrasi
sperma melalui serviks uteri Speroff et al., 2005 3 Mencegah
implantasi ovum
dengan menjadikan
lapisan endometrium lebih tipis dan mengalami atrofi Speroff et al.,
2005. 4 Mengubah kecepatan transpor ovum melalui tuba Speroff et al.,
2005
commit to user 7
c. Indikasi dan Kontraindikasi Pemakaian Kontrasepsi DMPA
DMPA dapat diberikan pada wanita usia reproduksi yang telah memiliki anak ataupun pada nulipara. Selain itu, DMPA dapat pula
diberikan pada wanita yang sedang dalam menyusui, setelah melahirkan, mengalami abortus atau keguguran, perokok, dan
menghendaki kontrasepsi jangka panjang dengan efektivitas tinggi. Wanita dengan tekanan darah 180100 mmHg, mengalami gangguan
pembekuan darah, sickle cell anemia, dan yang sedang menggunakan obat untuk epilepsy fenitoin dan barbiturat atau obat tuberculosis
rifampisin juga diperbolehkan menggunakan DMPA Speroff et al., 2005.
DMPA tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil ataupun dicurigai hamil, mengalami perdarahan pervaginam yang belum jelas
penyebabnya, adanya riwayat ataupun sedang menderita kanker payudara, diabetes mellitus yang disertai komplikasi, menderita
penyakit hati akut, penyakit jantung dan stroke Arum dan Sujiyatini, 2009.
d. Keuntungan Pemakaian Kontrasepsi DMPA
Keuntungan dari pemakaian kontrasepsi suntik DMPA yaitu praktis, efektif, dan mudah dilepas pemakaiannya. Selain itu,
kontrasepsi DMPA tidak mengandung estrogen, sehingga tidak menimbulkan komplikasi vaskuler yang berat seperti timbulnya
commit to user 8
trombosis vena ataupun emboli paru. Kontrasepsi DMPA dapat pula mengurangi risiko terjadinya mioma uteri, pelvic inflammatory
disease, kehamilan ektopik dan kejang Arum dan Sujiyatini, 2009.
e. Efek samping Pemakaian Kontrasepsi DMPA
1 Perubahan pola menstruasi Perubahan pola menstruasi ini mencakup amenorea yaitu tidak
adanya pola menstruasi selama 3 bulan berturut-turut, spotting yang merupakan bercak-bercak perdarahan di luar menstruasi,
metrorhagia yang merupakan perdarahan berlebihan di luar siklus menstruasi dan menorrhagia yang merupakan perdarahan
berlebihan saat menstruasi Hatcher et al., 2009. 2 Peningkatan Berat Badan Tubuh
Pemakaian DMPA dapat menimbulkan perubahan berat badan dan distribusi lemak dalam tubuh Clark et al., 2005. Penelitian
yang dilakukan oleh WHO 1990 menunjukkan bahwa pada pemakai kontrasepsi DMPA terjadi peningkatan berat badan rata-
rata sebesar 2,7 kg untuk tahun pertama pemakaian Cunningham et al., 2005. Peningkatan berat badan ini kemungkinan disebabkan
oleh hormon progesteron. Hormon progesteron mempermudah perubahan karbohidrat dan glukosa menjadi lemak yang banyak
bertumpuk di bawah kulit. Peningkatan berat badan ini bukan disebabkan oleh retensi cairan dalam tubuh Hatcher et al., 2009.
commit to user 9
3 Penurunan densitas tulang Pemakaian DMPA jangka panjang dapat menurunkan level
estrogen dalam darah, sehingga menimbulkan penurunan kepadatan mineral tulang Cunningham et al., 2005. Penelitian
yang dilakukan oleh Berenson et al. 2008 menunjukkan bahwa pemakaian DMPA lebih berisiko terhadap penurunan densitas
massa tulang dan kecenderungan osteoporosis. 4 Perubahan profil lipid serum
Pemakaian DMPA jangka panjang menimbulkan penurunan kadar trigliserida dan kolesterol HDL. Akan tetapi, pemakaian
kontrasepsi DMPA tidak menimbulkan peningkatan kadar LDL dalam darah Cunningham et al., 2005.
5 Sakit kepala Sakit kepala dilaporkan terjadi pada 15 akseptor kontrasepsi
DMPA. Gejala sakit kepala ini berupa rasa berputar yang dapat terjadi di salah satu sisi ataupun di seluruh bagian kepala
Cunningham et al., 2005. 6 Gangguan emosi
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa
pemakaian kontrasepsi DMPA menimbulkan peningkatan depresi dan
kecemasan Hatcher et al., 2009. 7 Pemakaian DMPA dapat pula menimbulkan kekeringan pada
vagina, penurunan libido, dan acne vulgaris Hatcher et al., 2009.
commit to user 10
2. Siklus Menstruasi Normal
Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan deskuamasi endometrium. Panjang siklus menstruasi
ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama
siklus. Panjang siklus menstruasi yang normal siklus menstruasi klasik adalah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas pada tiap wanita. Panjang
siklus menstruasi dipengaruhi oleh usia seseorang. Panjang siklus yang
biasa pada manusia adalah 28 ± 7 hari. Jika panjang siklus kurang ataupun
melebihi waktu
tersebut umumnya
siklusnya tidak
berovulasi anovulatoar Wiknjosastro dkk eds, 2006.
Perubahan hormonal siklik mengawali dan mengatur fungsi ovarium dan perubahan endometrium. Siklus menstruasi yang berlangsung secara
teratur tiap bulan, bergantung kepada serangkaian langkah-langkah siklik yang terkoordinasi dengan baik, yang melibatkan sekresi hormon pada
berbagai tingkat dalam sistem terintegrasi. Pusat pengendalian hormon dari sistem reproduksi adalah hipotalamus Hillegas, 2005. Dua hormon
hipotalamus gonadotropic-releasing hormone GnRH, yaitu follicle- stimulating hormone-releasing hormone FSHRH dan luitenezing
hormone-releasing hormone LHRH. Kedua hormon itu masing-masing merangsang hipofisis anterior untuk menyekresi follicle stimulating
hormone FSH dan luitenezing hormone LH. Rangkaian peristiwa akan diawali oleh sekresi FSH dan LH yang menyebabkan produksi estrogen
commit to user 11
dan progesteron dari ovarium dengan akibat perubahan fisiologik uterus. Estrogen dan progesteron, pada gilirannya juga akan mempengaruhi
produksi GnRH spesifik, sebagai mekanisme umpan balik yang mengatur kadar hormon gonadotropik Sherwood, 2001.
Adapun siklus menstruasi normal meliputi : a. Siklus Ovarium
1 Fase Folikular Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi, atau
terlepasnya endometrium. FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Umumnya, hanya satu yang
terus berkembang dan menjadi folikel deGraaf dan yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel
yang mengelilinginya. Lapisan dalam yaitu sel-sel granulosa menyintesis progesteron yang disekresi ke cairan folikular selama
paruh waktu pertama menstruasi, dan bekerja sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang
mengelilinginya Hillegas, 2005. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada teka interna. Selain itu, didalam folikel oosit primer
mulai menjalani proses pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang sedang berkembang menyekresi estrogen lebih banyak
ke dalam sistem ini. Kadar estrogen yang meningkat menyebabkan pelepasan LHRH melalui mekanisme umpan balik positif
Sherwood, 2001.
commit to user 12
2 Fase Luteal LH merangsang ovulasi dari oosit matang. Tepat sebelum
ovulasi, oosit primer selesai menjalani pembelahan meiosis pertamanya. Kadar estrogen yang tinggi kini menghambat produksi
FSH. Kemudian kadar estrogen mulai menurun. Setelah oosit terlepas dari folikel deGraaf, lapisan granulosa menjadi banyak
mengandung pembuluh darah dan sangat terluteinisasi, berubah menjadi korpus luteum yang berwarna kuning pada ovarium.
Korpus luteum terus menyekresi sejumlah kecil estrogen dan progesteron yang makin lama makin meningkat Hillegas, 2005
b. Siklus Endometrium 1 Fase Menstruasi
Korpus luteum berfungsi sampai kira-kira hari ke-23 atau 24 pada siklus 28 hari, dan kemudian mulai beregresi. Akibatnya
terjadi penurunan progesteron dan estrogen yang tajam, sehingga menghilangkan perangsangan pada endometrium. Perubahan
iskemik terjadi pada arteriola dan diikuti dengan menstruasi Hillegas, 2005
2 Fase Proliferasi Segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis
dan dalam stadium istirahat. Stadium ini berlangsung kira-kira 5 hari Hillegas, 2005. Kadar estrogen yang meningkat dari folikel
yang berkembang akan merangsang stroma endometrium untuk
commit to user 13
mulai tumbuh dan menebal, kelenjar-kelenjar menjadi hipertrofi dan berproliferasi, dan pembuluh darah menjadi banyak sekali.
Kelenjar-kelenjar dan stroma berkembang sama cepatnya. Kelenjar makin bertambah panjang tetapi tetap lurus dan berbentuk tubulus.
Epitel kelenjar berbentuk toraks dengan sitoplasma eosinofilik yang seragam dengan inti di tengah. Stroma cukup padat di lapisan
basal tetapi makin ke permukaan semakin longgar. Pembuluh darah akan mulai berbentuk spiral dan lebih kecil. Lamanya fase
proliferasi sangat berbeda-beda pada tiap orang, dan berakhir saat terjadinya ovulasi Bielak, 2008.
3 Fase Sekresi Setelah ovulasi, di bawah pengaruh progesteron yang
meningkat dan terus diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium menebal dan menjadi seperti beludru. Kelenjar
menjadi lebih besar dan berkelok-kelok, dan epitel kelenjar menjadi berlipat-lipat. Inti sel bergerak ke bawah, dan permukaan
epitel tampak kusut. Stroma menjadi edematosa. Terjadi pula infiltrasi leukosit yang banyak dan pembuluh darah menjadi makin
berbentuk spiral dan melebar. Lamanya fase sekresi sama pada setiap perempuan yaitu 14±2 hari Hillegas, 2005.
commit to user 14
3. Amenorea Sekunder
a. Definisi Amenorea
Amenorea ialah keadaan tidak adanya menstruasi untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Amenorea primer adalah tidak terjadinya
menarke sampai usia 17 tahun, dengan atau tanpa perkembangan seksual sekunder. Amenorea sekunder merupakan tidak terjadinya
menstruasi selama 3 bulan atau lebih pada wanita yang pernah mengalami siklus menstruasi Wiknjosastro dkk eds, 2006. Adapun
ketiadaan menstruasi dalam waktu yang singkat kurang dari 3 bulan dinamakan delayed menses Hatcher et al., 2009.
Perbedaan antara amenorea primer dan amenorea sekunder sejak dahulu telah ditekankan karena adanya insidensi yang lebih tinggi
terhadap kelainan genetik dan anatomik pada wanita muda dengan amenorea primer. Selain itu, penyebab amenorea sangat luas dan
melibatkan semua tingkat aksis hipotalamus, hipofisis, gonad, dan organ target Heffner dan Schust, 2006.
Amenorea sekunder bisa bersifat fisiologis pada perempuan usia prapubertas, hamil dan pascamenopause. Di luar itu, amenorea bersifat
patologis dan menunjukkan adanya disfungsi atau abnormalitas pada sistem reproduksi Hillegas, 2005. Amenorea merupakan suatu gejala
dan bukan suatu penyakit Bielak, 2008.
commit to user 15
b. Klasifikasi Amenorea Sekunder
Berdasarkan organ target yang terkena, hal-hal yang dapat menimbulkan amenorea sekunder meliputi :
1 Gangguan di tingkat hipotalamus atau hipofisis Hypothalamic amenorrhea merupakan penyebab tersering dari
amenorea sekunder. Gangguan pada tingkat ini seringkali ditandai dengan kadar gonadotropin hormon yang normal, struktur pelvis
normal, dan kadar androgen yang normal. Hypothalamic amenorrhea dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti adanya
tumor hipofisis, hiperprolaktinemia, dan adanya pengaruh eksogen seperti penggunaan kontrasepsi hormonal. Selain itu, adanya stres
emosional, olahraga yang berlebihan, penurunan berat badan berlebihan, anoreksia nervosa ataupun bulimia juga turut
menyebabkan hypothalamic amenorrhea Camacho et al., 2007. 2 Gangguan di ovarium
Gangguan ini dapat ditimbulkan oleh sindrom ovarium resisten gonadotropin. Penyebab pasti kelainan ini belum diketahui secara
jelas. Namun, diduga sindrom ini ditimbulkan oleh proses autoimun
yang mengakibatkan
hiposensitisasi reseptor
gonadotropin di ovarium, sehingga terjadi kegagalan ovulasi dan akhirnya mengalami amenorea sekunder. Selain itu, gangguan di
tingkat ovarium juga dapat disebabkan oleh premature ovarian
commit to user 16
failure yang merupakan penyakit habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih awal dari semestinya Camacho et al., 2007.
3 Gangguan pada vagina atau uterus Gangguan ini meliputi aplasia tidak berkembangnya vagina,
aplasia uterus, histerektomi, dan sindrom Asherman akibat terjadinya sequele pada lapisan endometrium Wiknjosastro dkk.
eds, 2006. 4 Hiperandrogenisme
Hiperandrogenisme yang dapat memicu timbulnya amenorea sekunder seringkali disebabkan oleh penyakit ovarium polikistik
PCOS. Penyakit ini seringkali dikaitkan dengan resistensi insulin dan menimbulkan gejala khas berupa hirsutisme, jerawat, dan
alopesia Camacho et al., 2007.
c. Penegakan Diagnosis Amenorea Sekunder
Gejala amenorea sekunder dijumpai pada berbagai macam penyakit ataupun gangguan. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang
baik dan lengkap untuk mengetahui etiologi penyakit. Selanjutnya, perlu diketahui apakah terdapat kaitan antara amenorea sekunder
dengan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan seperti perubahan emosional, pemakaian kontrasepsi hormonal, serta gejala-
gejala penyakit metabolik. Setelah anamnesis, diperlukan pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan ini
commit to user 17
meliputi tes kehamilan dan pemeriksaan laboratorium Wiknjosastro dkk eds, 2006.
4. Hubungan Lama Pemakaian DMPA dengan Amenorea Sekunder
Mekanisme kerja utama DMPA adalah menghambat terjadinya ovulasi Albertazzi et al., 2006. Berdasarkan mekanisme farmakokinetiknya,
DMPA mengandung obat MPA Medoxyprogesterone Acetate yang dilepaskan secara perlahan ke dalam serum darah. Kadar MPA ini
dipertahankan sebesar 1,0 ngml selama tiga bulan dan setelah itu mengalami penurunan. MPA yang bersirkluasi dalam darah mampu
menekan pembentukan gonadotropic releasing hormone GnRH dari hipotalamus, sehingga menghambat pelepasan lonjakan LH di hipofisis.
Penghambatan ini menimbulkan kegagalan ovulasi dan akhirnya tidak terjadi siklus menstruasi amenorea. Selain itu, tidak adanya ovulasi
mengakibatkan kadar progesteron dalam serum tetap rendah yaitu kurang dari 0,4 ngml. Estradiol serum juga tetap dipertahankan rendah sebesar 50
pgnl selama 3 bulan pemakaian DMPA akibat tidak meningkatnya kadar FSH secara simultan Kaunitz, 2001. Kadar estradiol yang rendah dalam
jangka lama dapat menghambat pertumbuhan jaringan endometrium yang melapisi uterus, sehingga timbul atrofi Hefner dan Schust, 2006;
Albertazzi and Steel, 2006.
commit to user 18
Menurut Boroditsky et al. 2000, amenorea sekunder merupakan gangguan menstruasi yang sering dikeluhkan peserta kontrasepsi DMPA.
Kondisi amenorea ini dilaporkan terjadi setelah tiga bulan pemakaian sebesar 30, kemudian menjadi 55 pada akhir satu tahun pemakaian
dan akhirnya menjadi 68 setelah dua tahun pemakaian DMPA. Selain itu, menurut Hartanto 2003, efek pemakaian kontrasepsi DMPA terhadap
amenorea bertambah besar seiring dengan lamanya waktu pemakaian. Pemakaian DMPA sebagai kontrasepsi hormonal tidak menimbulkan
efek permanen terhadap fertilitas kesuburan. Akan tetapi, kembalinya kesuburan pada wanita menjadi tertunda karena terkait dengan lama
pemakaian kontrasepsi tersebut Kaunitz, 2001. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh McGee 1997 menunjukkan bahwa tidak diperoleh hasil
yang signifikan antara kondisi amenorea pada akseptor kontrasepsi DMPA dengan penurunan densitas massa tulang Bazargani and Fardyazar, 2006.
commit to user 19
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.
Skema kerangka pemikiran Keterangan :
= menunjukkan faktor-faktor yang saling terkait = menunjukkan faktor lain yang secara tidak langsung
berpengaruh Atrofi endometrium
Lama pemakaian kontrasepsi suntik DMPA Depot
Medroxyprogesterone acetate
Estradiol dipertahankan dalam kadar rendah
Tidak terjadi ovulasi Penghambatan GnRH di
hipotalamus
Tidak terjadi lonjakan LH
Bila 3 bulan disebut amenorea sekunder
Kadar MPA tinggi dalam serum
Tidak terjadi menstruasi Faktor lain :
- Kehamilan - Laktasi
- Adanya gangguan sistem
endokrin - Anoreksia nervosa
- Latihan fisik berat - Stres emosional
- Obesitas Kadar FSH tetap dan tidak
mengalami kenaikan secara simultan
commit to user 20
C. Hipotesis