27
penyampaian pesan yang efektif Covey, 2010:291. Berikut dijabarkan tahapan berkomunikasi:
1. Berusaha Memahami Lebih Dahulu
Untuk benar-benar memahami orang lain maka seseorang harus pertama- tama berusaha mendengarkan. Seseorang sulit untuk mencapai kedalaman dari
komunikasi ini karena orang biasanya berusaha lebih dahulu untuk dimengerti. kebanyakan orang tidak mendengar dengan maksud untuk mengerti; orang
mendengar dengan maksud untuk menjawab atau dengan kata lain orang lebih cenderung ingin banyak berbicara dari pada mendengarkan untuk memahami.
Selain itu orang biasanya menyaring apa yang disampaikan oleh orang lain melalui paradigmanya sendiri yaitu membacakan autobiografinya sendiri ke
dalam kehidupan orang lain. Orang seringkali dipenuhi dengan kebenarannya sendiri, sehingga komunikasi menjadi monolog kolektif, dan kita tidak pernah
benar-benar mengerti apa yang sedang berlangsung dalam diri orang lain Covey, 2010:272.
Dengan melihat banyaknya hambatan dan kecenderungan buruk manusia dalam mendengarkan maka pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya
mendengarkan yang baik. Mendengar yang baik yaitu mendengarkan secara empatik. Mendengarkan secara empatik yang dimaksud adalah mendengar dengan
tujuan untuk mengerti yaitu berusaha terlebih dahulu untuk mengerti, untuk benar- benar mengerti. Selain itu mendengarkan secara empatik berarti seseorang masuk
ke dalam kerangka berfikir orang lain, melihat dunia dengan cara orang lain
28
melihat dunia, mengerti paradigma orang lain, dan terlebih berusaha mengerti perasaan orang lain Covey, 2010:274. Berikut akan dipaparkan mengenai
bagaimana mendengarkan dengan empatik:
a. Mendengarkan dengan Empatik
Inti dari mendengarkan empatik bukanlah bahwa seseorang setuju dengan orang lain, tetapi bahwa seseorang sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang
lain, secara emosional sekaligus intelektual. Dalam mendengar secara empatik, seseorang mendengarkan dengan telinganya, tetapi lebih penting lagi, seseorang
juga mendengarkan dengan mata dan hatinya. Orang memperhatikan perasaan, makna, dan memperhatikan perilaku orang lain. Mendengarkan secara empatik
berarti seseorang menggunakan otak kanan sekaligus otak kirinya yaitu ia memahami, berintuisi, dan merasa Covey, 2010:274.
Mendengar secara empatik begitu kuat karena memberi data yang akurat untuk dikerjakan karena seseorang menjadi berhubungan dengan realitas di dalam
kepala dan hati orang lain yang sedang berbicara. Dengan mendengarkan secara empatik berarti seseorang mendengarkan untuk mengerti yaitu seseorang
memfokuskan diri untuk menerima komunikasi terdalam dari jiwa manusia lain Covey, 2010:275.
Mendengar secara empatik itu sendiri memberi terapi dan menyembuhkan karena memberi “udara psikologis” psychological air kepada seseorang karena
di samping kelangsungan hidup fisik, kebutuhan terbesar manusia adalah kelangsungan hidup psikologis yaitu untuk dimengerti, untuk diteguhkan, untuk
29
diabsahkan, dan untuk dihargai. Dengan demikian, mendengarkan dengan empatik, berarti orang tersebut memberi orang lain udara psikologis yaitu
membuat orang lain merasa nyaman untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ingin diungkapkannya Covey, 2010:275. Seorang pendengar empatik yang
cerdas dapat membaca apa yang sedang terjadi secara mendalam dan cepat, dan dapat memperlihatkan penerimaan sebegitu rupa, pengertian sedemikian rupa,
sehingga orang lain merasa aman untuk membuka lapis demi lapis sampai orang tiba pada inti terdalam yang lunak tempat masalah benar-benar ada Covey,
2010:289. Mendengarkan secara empatik juga mengandung risiko. Dibutuhkan
banyak sekali rasa aman untuk mendengarkan secara mendalam karena seseorang membuka dirinya untuk dipengaruhi. Orang tersebut menjadi rentan karena sedikit
banyak orang lain memberi pengaruh yang bisa menggoyahkan pusat prinsip orang tersebut. Agar seseorang memiliki pengaruh bagi orang lain, orang tersebut
harus harus dapat dipengaruhi, tetapi bukan berarti harus kehilangan prinsip Covey, 2010:274.
Ada bentuk mendengarkan yang lebih baik yang mencerminkan mendengarkan secara empatik. Gaya mendengarkan ini disebut “mendengarkan
dengan tulus”. Gaya mendengarkan inilah yang seharusnya digunakan. Untuk mendengarkan dengan tulus, orang perlu melakukan tiga hal berikut ini:
30
53 40
7
Gambar 1. Kemampua n manusia dalam mendengarkan Covey,
2010
Bahasa Tubuh 53 Nada Perasaan 40
Kata-kata 7
1 Mendengarkan dengan mata, hati, dan telinga
Mendengarkan hanya dengan telinga saja tidak cukup baik, karena hanya 7 persen komunikasi yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan, sedangkan
selebihnya berasal dari bahasa tubuh 53 persen dan 40 persen adalah tanggapan lawan bicara berupa kata-kata, atau nada serta perasaan yang mencerminkan kata-
kata yang yang disampaikan orang tersebut Gambar 1. Untuk mendengar apa yang sebenarnya dimaksudkan orang yang sedang berbicara, lawan bicara perlu
mendengarkan apa yang tidak orang tersebut ucapakan. Seberapa keras pun orang tampaknya dari luarnya, kebanyakan orang lembut hatinya dan punya kebutuhan
besar untuk dipahami.
2 Menyelami perasaan orang yang sedang berbicara.
Untuk menjadi
pendengar yang
tulus, lawan
bicara perlu
mengesampingkan perasaannya dan menyelami perasaan orang yang sedang berbicara. Lawan bicara harus berusaha memandang dunia dari kacamata orang
31
yang sedang berbicara dan berusaha menyelami perasaan mereka. Banyak orang memandang percakapan sebagai persaingan di mana lawan bicara seringkali
merasa bahwa pandanganya dengan pandangan orang lain tidak sama.
3 Mencoba bersikap seperti cermin
Bersikap seperti cermin berarti sebagai lawan bicara tidak menunjukan sikap menghakim atau tidak memberi nasihat, yaitu seperti cermin yang hanya
memantulkan. Contoh bersikap seperti cermin misalnya mengulangi dengan kata- kata sendiri, apa yang diucapkan dan dirasakan oleh orang yang sedang berbicara.
Bersikap seperti cermin bukanlah meniru. Dikatakan meniru jika lawan bicara mengulang persis apa yang diucapkan seseorang.
Mendengarkan dengan tulus ada tempat dan waktunya. Orang perlu melakukannya jika sedang membicarakan suatu persoalan penting atau peka,
seperti kalau seorang teman butuh pertolongan atau sedang menghadapi masalah. Seseorang tidak perlu serius mendengarkan apabila sedang dalam percakapan
santai atau obrolan sehari-hari Covey, 2002:254. Seringkali orang merasa bahwa ketakutan utama adalah “biacara di depan
umum”. Dibutuhkan keberanian untuk bicara di depan umum, namun juga dibutuhkan keberanian untuk bicara secara umum. Berusaha memahami terlebih
dahulu menuntut pertimbangan, tetapi minta dipahami menuntut keberanian. Jika seseorang meluangkan waktu untuk mendengarkan, kemungkinan orang tersebut
akan didengarkan lebih baik Covey, 2002:258-259. Di samping mendengarkan
32
dengan baik ada beberapa hambatan yang menyebabkan terjadiny komunikasi yang buruk, seperti yang dijabarkan berikut ini:
b. Hambatan dalam Komunikasi
Menurut Anthony de Mello 1990 dalam bukunya yang berjudul “Doa Sang Katak 2” ketidakmampuan seseorang dalam mendengarkan dan memahami
pesan merupakan hambatan dalam dalam komunikasi de Mello, 1990:157-167. Hambatan tersebut terjadi antara lain karena:
1 Seringkali pendengar banyak berbicara dari pada banyak mendengarkan.
Banyak yang dapat dihasilkan kalau pertama-tama orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan
2 Pendengar seringkali ingin cepat-cepat menanggapi dan mengambil
keputusan atas apa yang dibicarakan oleh si pembicara. 3
Pendengar seringkali ingin memberi tanggapan berdasarkan pengandaian dirinya sendiri.
4 Pendengar sering merasa dirinya lebih mengetahui apa yang sedang
dibicarakan oleh orang lain. 5
Pendengar seringkali mengartikan kata-kata orang lain dengan pengertiannya sendiri, padahal belum tentu apa yang diartikannya tersebut
sesuai dengan yang dimaksud oleh di pembicara. Covey 2002 dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective Teens juga
menjelaskan tentang hambatan-hambatan dalam komunikasi yang disebut dengan
33
gaya mendengarkan yang buruk covey, 2003:244-247. Di antaranya adalah sebagi berikut:
1 Mengawang-awang
Mengawang-awang adalah ketika seseorang berbicara tetapi lawan bicara tidak menggubrisnya karena pikiran lawan bicara sedang melamun atau sedang
memikirkan hal lain. Orang tersebut mungkin ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi lawan bicara terperangkap dalam pikirannya sendiri.
2 Pura-pura mendengarkan lebih umum lagi
Maksud dari gaya mendengarkan ini adalah ketika seseorang sedang berbicara namun lawan bicara seperti mendengarkan tetapi sesunggguhnya tidak
terlalu memperhatikan orang tersebut. Contoh dari gaya mendengarkan ini yaitu lawan bicara akan melotarkan tanggapan seperti “ya sih”, “uh-huh”, “hebat”,
“kedengarannya boleh juga”. Biasanya orang yang berbicara tersebut akan tahu dan merasa bahwa ia tidak cukup penting untuk didengarkan.
3 Mendengarkan secara selektif
Mendengarkan secara selektif adalah ketika lawan bicara hanya memperhatikan bagian percakapan yang menarik untuknya saja. Biasanya lawan
bicara selalu akan membicarakan apa yang ingin dibicarakannya, bukan apa yang ingin dibicarakan oleh orang tersebut. Kemungkinan besar orang yang sering kali
34
melakukan hal demikian tidak akan pernah mengembangkan persahabatan yang langgeng.
4 Mendengarkan kata per kata
Mendengarkan kata per kata artinya lawan bicara sungguh-sungguh memperhatikan apa yang diucapkan, tetapi yang didengarkan hanyalah kata-kata,
bukan bahasa tubuh, perasaan, atau makna sesungguhnya dibalik kata-kata itu. Akibatnya, lawan bicara melewatkan makna sesungguhnya. Jika lawan bicara
hanya fokus pada kata-katanya saja, maka orang tersebut jarang bisa memahami perasaan yang lebih dalam dari lawan bicaranya.
5 Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri
Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri adalah kalau lawan bicara hanya memandang segalanya dari kacamatanya sendiri. Lawan bicara tidak
mencoba menyelami perasaan orang yang sedang berbicara, tetapi lawan bicara menuntut agar orang tersebut menyelami perasaannya. Kalau lawan bicara hanya
mendengarkan dari sudut pandangnya sendiri, biasanya lawan bicara akan menanggapi dengan cara-cara yang pasti membuat orang tersebut berhenti
berbicara. Cara-cara tersebut antara lain: Menghakimi, sebagai lawan bicara terkadang tanpa disadari muncul rasa
ingin menghakimi di dalam hatinya terhadap orang yang sedang berbicara dan apa yang diucapkannya. Kalau lawan bicara sibuk menghakimi, maka
tidak mungkin ia benar-benar mendengarkan. Berikut ini ilustrasi dari buku
35
The 7 Habits of Highly Effective Teens mengenai percakapan yang
mencerminkan sikap menghakimi:
Peter : Semalam asyik lho sama si Katherine Karl : Oh, syukur deh. Katherine? kok kamu mau sih kencan
sama si Katherine? Peter : Tidak aku sangka dia begitu hebat
Karl : Oh ya? Tuh gitu lagi deh. Semua cewek juga kamu anggap hebat
Peter : Iya. Mungkin aku ajak dia saja deh ke pesta wisuda nanti Karl : Aku kira kamu mau ajak Jessica. Kamu gila ya? Jessica
kan jauh lebih cantik daripada Katherine. Peter : Tadinya iya sih. Tetapi sekarang rasanya aku mau ajak
katherine saja deh. Karl : Silahkan deh. Besok juga kamu berubah pikiran lagi.
Covey, 2002:246
Menasihati yaitu jika lawan bicara memberikan nasihat menurut pengalamannya sendiri. Misalnya ada seorang adik yang becerita kepada
kakaknya tentang pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolah, kemudian sang kakak malah menceritakan bahkan membangga-banggakan
dirinya ketika dulu di sekolah. Menggali adalah ketika lawan bicara menggali perasaan-perasaan orang
sebelum orang tersebut siap mengungkapkannya seolah-olah sedang mengiterogasi. Jika lawan bicara terlalu banyak tanya dan tidak terlalu
menanggapai apa yang sedang orang lain bicarakan, maka hal tersebut merupakan bentuk sikap yang terlalu menggali. Terkadang orang tidak
siap untuk membuka diri dan tidak mau bicara, maka lawan bicara sebaiknya belajar untuk menjadi pendengar yang baik.
36
2. Berusaha Dipahami
Ketika seseorang sudah berusaha untuk mengerti orang lain maka kemudian akan dipahami, namun kebanyakan orang, dalam membuat presentasi,
langsung menuju logos yaitu logika otak kiri atau gagasan yang mereka pikirkan bukan orang lain pikirkan. Mereka berusaha meyakinkan orang lain akan
keabsahan logika atau gagasan tersebut tanpa lebih dahulu mempertimbangkan ethos
dan pathos. Agar satu gagasan dapat diterima oleh orang lain tentunya sebelum membuat presentasi haruslah memperhatikan phatos yaitu melihat
kemampuan diri dalam menyampaikannya dan memperhatikan ethos yaitu memperhatikan kemampuan atau kebutuhan orang yang akan diberi gagasan.
Untuk dapat menyampaikan gagasan dengan jelas, spesifik, visual, dan yang paling penting adalah konstektual dengan kebutuhan orang lain maka, pertama-
tama haruslah memiliki pengertian yang mendalam akan situasi si penerima gagasan tersebut Covey, 2010:293.
Ethos ialah bagaimana seseorang berusaha membuat orang lain percaya,
karena ketika orang lain percaya kepada seseorang maka akan mudah baginya mengungkapkan apa yang orang tersebut rasakan. Ethos juga berarti bagaimana
seseorang mampu atau terampil dalam mengungkapkan pikirannya sehingga mudah dipahami orang lain. Pathos ialah bagaimana seseorang mampu
memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan ketika ada orang lain yang bersusaha mengungkapkan isi hatinya. Sedangkan logos ialah logika.
Seseorang dapat meningkatkan hubungan yang intim dengan orang lain dengan cara berusaha mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh orang
37
yang sedang mengajak berbicara. Ketika seseorang mau meluangkan waktu untuk memahami dan mendengarkan maka akan terjadi dua hal yang luar biasa.
Pertama, orang menjadi pendengar tersebut akan lebih dihargai. Kedua, orang yang sedang berbicara akan merasa dipahami sehingga orang yang berbicara
tersebut akan bersikap lebih fleksibel dan lebih percaya kepada orang yang mendengarkan itu Covey, 2002:255-257.
Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Anthony de Mello 1990 dalam bukunya yang berjudul “Doa Sang Katak 1” bahwa ada empat tahapan dalam doa
yaitu: “Aku bicara, engkau mendengarkan.
Engkau bicara, aku mendengarkan. Tak ada yang bicara, keduanya mendengarkan.
Tak ada yang bicara, tak ada yang mendengarkan: Hening.” de Mello, 1990:25
Dari kutipan di atas Anthony de Mello tidak secara langsung memaparkan mengenai kedalaman atau nilai penting dari komunikasi, tetapi dari situ tampak
bahwa nilai penting dari komunikasi adalah terciptanya suasana yang memungkinkan untuk saling terbuka dan percaya, sehingga orang kemudian
menemukan, memahami, dan memaknai suatu pesan. Suatu pesan akan diterima jika salah satu pihak ada yang mendengarkan dan satu pihak menyampaikan
pesan. Jika kedua pihak sama-sama berbicara tentunya tidak ada pesan yang bisa ditangkap karena keduanya sama-sama ingin didengarkan. Tetapi ketika seseorang
telah mampu masuk dalam keheningan yaitu di mana orang tersebut terlibat secara penuh dengan lawan bicara maka tanpa berkata-kata pun orang tersebut akan
mampu menemukan dan merasakan pesan yang ingin disampaikan.
38
3. Dialog sebagai Bentuk Komunikasi yang Ideal
Anthony de Mello dalam bukunya yang berjudul Doa Sang Katak 2 mengungkapkan bahwa dialog adalah jiwa suatu hubungan karena dalam dialog
orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan de Mello, 1990:157. Dalam pengertian yang hampir sama, dialog bukan tukar-menukar pikiran semata-
mata, melainkan merupakan dasar dari tiap tindakan manusia yang bijaksana yaitu melihat, menimbang dan memutuskan tindakan seefektif mungkin. Oleh karena
itu dialog dalam arti sesungguhnya ialah saling menunjukkan sikap batin yang terbuka dalam soal apapun Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:100.
Dialog merupakan pengungkapan diri pribadi kepada orang lain. Dialog mengandaikan kerelaan untuk penyerahan diri kepada orang lain dan sebaliknya
mau menerima orang lain. Dengan kata lain dialog adalah usaha bersama untuk saling mengerti. Untuk dapat saling mengerti maka diperlukan kemauan untuk
mendengarkan dengan empatik sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.
Persoalan-persoalan yang muncul dalam keluarga biasanya diakibatkan karena kurangnya komunikasi yang baik yaitu keterbukaan, kurang keberanian
untuk jujur, saling menutup diri, sombong, angkuh dan sebagainya. Dengan demikian dialog merupakan bentuk komunikasi yang ideal dalam keluarga karena
dialog menekankan keterbukaan dan kepercayaan dalam berkomunikasi.
39
G. Komunikasi dalam Keluarga
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kesulitan dalam membangun suatu komunikasi yang baik adalah keterbukaan, kepercayaan, dan sikap mau
mendengarkan. Persoalan komunikasi yang seperti itu seringkali juga terjadi dalam keluarga. Persoalan dalam keluarga seringkali muncul hanya karena kurang
terciptanya komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik dalam keluarga dapat dilakukan dengan mendengarkan dengan empatik. Dari sikap mau mendengarkan
dengan empatik maka akan memunculkan rasa nyaman dan keterbukaan dalam komunikasi.
Dengan mengetahui dan melakukan komunikasi yang baik dan akrab dengan pasangan, pasangan akan mampu memahami, menghargai, dan menerima
pasangan apa adanya. Artinya, pasangan bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan mereka tanpa mensyaratkan penyempurnaan atas kekurangan dan
kelemahannya. Justru karena mengetahui ketidaksempurnaan pasangan, pasangan akan lebih mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan dan tindakan yang
melukai diri mereka. Perjalanan hidup keluarga yang sarat dengan bentuk sakit dan luka hati serta kekecewaan yang terjadi, mudah diatasi secepatnya dengan
rekonsiliasi dan saling mengampuni. Dengan demikian, terciptalah kebahagiaan yang dicita-citakan dalam hidup berkeluarga.
Ketika suatu komunikasi yang baik ternyata tidak tercapai di dalam sebuah keluarga maka hal penting yang perlu diingat oleh setiap anggotanya baik antara
suami dan istri atau dengan orang tua dan anak ialah berdoa bersama. Doa menjembatani seseorang atau manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
40
Sehingga dengan doa bersama persoalan yang ada diharapkan mampu dicari jalan keluar yang baik. Doa bersama pun merupakan sarana bagi sebuah keluarga untuk
bersatu dalam iman, saling mendoakan, saling memberi berkat, dan tentunya sarana untuk secara bersama-sama berkomunikasi dengan Tuhan.
BAB III KEHARMONISAN KELUARGA KATOLIK DAN MASALAHNYA
Hidup berkeluarga seringkali dipandang sebagai bagian dari rangkaian perjalanan hidup manusia yang harus dilewati. Perjalanan hidup manusia dimulai
dari masa bayi, kemudian berlanjut ke masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Pada masa dewasa manusia mulai berfikir bahwa hidupnya tidak akan
selamanya bergantung pada orang tua karena pada usia tertentu orang tua akan menghadapi masa usia lanjut di mana mereka tidak mampu untuk banyak
beraktifitas dan bahkan kemudian akan meninggalkan dunia. Atas kesadaran tersebut manusia dewasa memikirkan bagaimana ia harus melangsungkan
hidupnya terutama mencari orang lain sebagai teman hidup pengganti orang tua. Oleh karena kebutuhan itulah manusia membangun hidup keluarga. Seseorang
membangun hidup keluarga tentunya tidak hanya sekedar melewati masa hidupnya saja tetapi juga ingin memperoleh kebahagiaan selama hidupnya.
Membangun keluarga yang bahagia memerlukan suatu proses dan usaha. Ketika seseorang memilih pasangan hidup, harapannya adalah satu untuk
selamanya. Namun sebagai pasangan dari penyatuan dua individu yang berbeda tentunya akan menghadapi banyak tantangan agar kedua individu tersebut dapat
hidup berdampingan untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu pada bab ini akan dipaparkan mengenai pengertian keluarga yang harmonis khususnya dalam
keluarga katolik dan aspek-aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah keluarga.