44
dalam keutuhan kehidupan keluarga, sebab keluarga adalah sel atau bagian terkecil dalam masyarakat Gilarso, 1996:10.
d. Perkawinan Merupakan Lembaga Hukum Negara Perkawinan merupakan ikatan resmi yang perlu disahkan. Perkawinan
bukan ikatan bebas menurut selera sendiri; bukan sekedar soal cinta sama cinta, lantas bersenang-senang bersama, melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal
keluarga keluarga besar, dan masa depan bangsa. Oleh karena itu, Negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Kebanyakan negara
mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi, yang menghalalkan hubungan seks dan mengesahkan keturunan. Perzinahan harus dicegah; anak di
luar nikah tidak diakui sebagai anak yang sah menurut hukum Gilarso, 1996:10.
e. Ciri-ciri Perkawinan Katolik Drs. T. Gilarso, SJ dalam bukunya yang berjudul “Membangun Keluarga
Kristiani – Pembinaan Persiapan Berkeluarga” memaparkan bahwa perkawinan
katolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1
Monogami Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, demikian pula istri
mempunyai satu suami saja. Dengan demikian, cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal itu juga mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita
mempunyai martabat yang sama.
45
2 Tak-Terceraikan
Dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang
setia, dalam keadaan bagaimanapun. Perceraian membuktikan bahwa suami dan istri gagal mengembangkan cinta yang sejati.
3 Terbuka bagi keturunan
Suami dan istri diharapkan bersedia mempunyai anak, bila Tuhan memberikannya. Adapun jumlah dan jarak kelahiran anak perlu direncanakan
bersama dengan bijaksana. Segala bentuk pengguguran harus ditolak dengan tegas, kerena jelas-jelas merupakan sikap menolak keturunan yang sudah ada.
Perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup
Gilarso, 1996:9. Istilah “persekutuanpersatuan hidup” dimaksudkan untuk menghindarkan bahwa seolah-olah perkawinan itu hanya persekutuan badani,
persekutuan keluarga, persekutuan pangkat, harta, kekayaan, hobi saja, melainkan menunjukkan bahwa yang terpenting adalah hidup dua orang itu dipersatukan
dengan cinta kasih Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:14. Kitab Hukum Kanonik juga menegaskan bahwa perkawinan merupakan sebuah
perjanjian yang mengandung unsur dinamis, intimitas, realis interpersonal dua pribadi yang berbeda seksualitas Kan.1055.
46
d. Perkawinan sebagai sakramen
Sakramen yaitu tanda cinta atau tanda mata dari pihak Tuhan kepada manusia. Dengan tanda itu Tuhan mau menyatakan kepada manusia bahwa Ia
sungguh-sungguh mencintai manusia. Tetapi agar manusia menyadari dan menangkap bahwa tanda itu adalah tanda cinta Tuhan, maka manusia juga harus
percaya lebih dahulu kepada Tuhan. Sebab orang yang tidak percaya kepada Tuhan sulit untuk dapat menangkap tanda cinta dari Tuhan. Hanya dan sejauh
manusia percaya kepada Kristus, maka perkawinan itu berarti dan merupakan sakramen tanda cinta Tuhan. Kedatangan Tuhan ke dunia dan wafat-Nya di kayu
salib itulah bukti cinta-Nya yang paling besar. Sebab dengan ini kita semua dimungkinkan lagi untuk kembali kepada-Nya Tim Pembinaan Persiapan
Berkeluarga, 1986:24. Cinta Tuhan tidak abstrak, melainkan konkrit sekali, bahkan masuk dalam
kehidupan kita sehari-hari. Walaupun kehadiran Tuhan secara fisik tidak ada lagi, namun Tuhan mau metampakkan kehadiran-Nya di dunia ini dengan melalui
tanda sampai sekarang. Maka sakramen itu tanda kehadiran Tuhan atau sarana dari pihak Tuhan untuk menghubungi manusia, agar manusia merasa selalu
dekat dengan Tuhan dan merasa dicintai oleh Tuhan Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:25.
Dalam perkawinan tanda kehadiran Tuhan yang mencintai umat-Nya diwujudkan secara khusus. Ia tidak metampakkan cinta kasih-Nya melalui barang-
barang dan benda mati, melainkan tanda hidup, yaitu hidup manusia itu sendiri. Dalam sakramen perkawinan Tuhan mau menggunakan hidup manusia itu sendiri
47
sebagai perwujudan cinta kasih-Nya. Tuhan menetapkan manusia-pria untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si wanita dan Tuhan mengangkat hidup manusia-
wanita untuk menjadi tanda cinta-Nya bagi si pria. Dengan lain kata di dalam perkawinan Tuhan mau menggunakan pria dan wanita seperti air, roti dan krisma
menjadi alat-Nya, yaitu alat-Nya untuk menyalurkan cinta kasih-Nya. Maka dengan menerima sakramen perkawinan pria dan wanita ditetapkan menjadi alat
milik Tuhan dan hanya dipakai untuk maksud metampakkan cinta Allah sendiri. Sebagaimana roti dan anggur di dalam Ekaristi menjadi alat Tuhan untuk
metampakkan kehadiran, demikian pula pria dan wanita dengan diberkati oleh imam, dua-duanya menjadi alat Tuhan sendiri. Sebagai alat hidup pria harus
metampakkan cinta kasih dan kebaikan Tuhan itu kepada si wanita, dan hidup si wanita juga harus metampakkan kebaikan Tuhan itu kepada si pria. Dengan
demikian apabila mereka bertemu dan bersatu di dalam keluarga, mereka dapat saling merasakan kehadiran Tuhan itu sendiri. Team Pembinaan Persiapan
Berkeluarga, 1986: 26 Unsur pokok di dalam cinta-perkawinan adalah kesetiaan akan partnernya
dalam segala situasi, dan bertanggungjawab dalam untung dan malang. Dengan “total” yang dimaksud ialah cinta yang menyeluruh tidak hanya pada bagian fisik
tertentu, melainkan cinta pada manusianya seutuhnya dengan segala sifat yang ada padanya, entah itu baik, entah itu buruk Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga,
1981:16. Agar terjadinya cinta yang sejati diperlukan persetujuan bebas, artinya tidak ada paksaan ataupun terpaksa. Tanpa persetujuan bebas sebenarnya tidak
ada cinta kasih dan tidak ada hubungan pribadi, mela inkan “sandiwara”. Cinta
48
memerlukan kebebasan dan tanggungjawab serta kesadaran. Dengan adanya kebebasan cinta menjadi lebih bernilai, lebih berarti, dan lebih mantap, karena
atas dasar pilihannya sendiri Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1981:16.
3. Keluarga dalam Pandangan Katolik
Dalam pandangan Katolik keluarga adalah suatu persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita berdasar ikatan cinta kasih yang total demi
penyempurnaan dan perkembangan pribadi masing-masing dan kelangsungan umat
manusia Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2006:39. Keluarga Katolik juga adalah “Gereja mini”, artinya adalah persekutuan
dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka dalam keluarga Katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang menghangatkan
suasana. Iman di sini bukan pertama-tama berarti pengetahuan agama meskipun itu penting tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan
dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerjasama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan hadir di tengah-tengah keluarga
untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya. Gilarso:1996-11. Perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang
pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup. Atas dasar persetujuan bebas, pria dan wanita bersekutu membentuk suatu
keluarga dengan mempunyai rumah bersama, harta dan uang menjadi milik bersama, mempunyai nama keluarga yang sama, mempunyai anak bersama, saling
pasrah diri jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang tulus Gilarso, 1996:9.
49
Dalam pengertian yang lain, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1994:135. Keluarga sebagai unit
terkecil lebih diperjelas lagi dengan pengertian bahwa keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau
unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin
oleh seorang kepala. Oleh karena, keluarga merupakan kumpulan dari beberapa individu yang saling berinteraksi, maka dalam pengertian yang lain keluarga
merupakan tempat pembentukan manusia atau lebih tepat tempat memanusiakan manusia Tim Pembinaan Persiapan Berkeluarga, 1986:19.
Persekutuan hidup dapat terwujud apabila adanya cinta kasih diantara pria dan wanita. Cinta kasih merupakan panggilan yang asasi dan ada sejak lahir pada
setiap manusia karena Allah menciptakan manusia dengan cinta kasih menurut citra-Nya. Allah menciptakan pria dan wanita dengan memberikan kemampuan
dan tanggungjawab untuk mengasihi dan bersatu agar mereka dapat melangsungkan kehidupannya Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan
Agung Semarang, 1994:27. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II yaitu dokumen Gaudium et Spes GS
Gereja menyatakan bahwa “persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya,
dibangun oleh perjanjian pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. … Ikatan suci demi kesejahteraan suami istri dan anak maupun
masyarakat itu tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah
50
sendirilah Pencip ta pernikahan, yang mencakup pelbagai nilai dan Tujuan” GS,
48.
4. Mengapa Orang Membangun Keluarga?
Menurut Ny. Pratiwi Knys 1985 dalam bukunya yang berjudul “Berkeluarga Secara Arif” menyebutkan empat macam kebutuhan dasar manusia.
Pertama manusia ingin hidup selama mungkin. Kedua, manusia ingin menjadi orang penting di mana manusia ingin dihormati, dikagumi, berkuasa, diakui, dan
dihargai. Ketiga, manusia ingin memiliki partner hidup karena semua manusia ingin cinta
. Dan dasar kebutuhan yang keempat adalah “ingin variasi” atau hiburan Pratiwi Knys, 1985:4. Dari salah satu kebutuhan tersebut tampak bahwa
membangun keluarga merupakan suatu pemenuhan dari kebutuhan manusia yaitu untuk memiliki partner hidup.
Menurut sumber lain yaitu dalam buku “Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga” yang disusun oleh Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat
Minulyo” 2007 dijelaskan bahwa membangun hidup keluarga merupakan salah satu cara pemenuhan tujuan hidup manusia untuk bahagia dan sejahtera. Tujuan
hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-
membiara sebagai biarawan-biarawati; kedua, memenuhi panggilan hidup awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan
hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2007:17.
51
B. Keluarga Katolik yang Harmonis
1. Pengertian Keluarga Katolik Harmonis
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “harmonis” memiliki arti selaras atau serasi, sedangkan keharmonisan berarti keadaan selaras atau
serasi Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1997. Penggunaan kata “harmonis” familiar digunakan dalam berbagai istilah seperti
dalam bidang musik kata “harmonis” seringkali digunakan untuk menyebutkan “irama yang harmonis”, artinya keserasian dari berbagai sumber suara alat
musik sehingga menghasilkan bunyi yang indah. Istilah lain yang sering kali disertai dengan kata “harmonis” adalah kehidupan berkeluarga di mana kata
“harmonis” merupakan suatu tujuan dari hidup berkeluarga keluarga sakina. Kata “harmonis” memang sangat familiar digunakan dalam kehidupan
sehari-hari khususnya dalam istilah keluarga, akan tetapi cukup sulit ditemukan buku-buku atau teori yang secara langsung menjelaskan pengertian tentang
keluarga harmonis. Meskipun demikian, buku-buku yang membahasa tentang kehidupan berkeuarga secara tidak langsung merujuk pada pemahaman keluarga
harmonis itu sendiri. Kitab Suci Perjanjian Lama yaitu dalam Amsal 31 memberi gambaran bahwa keluarga harmonis adalah situasi di mana anggota keluarga
mampu membangun kerjasama demi kebahagiaan bersama seperti seorang istri yang mampu membahagiakan suaminya, dicintai oleh suami dan anak-anak,
mampu bekerja keras, bersedia membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan takut akan Allah. Maka dengan demikian keharmonisan keluarga
adalah terwujudnya cinta suami-istri yang tidak hanya menyangkut kemesraan dan
52
hubungan seksual, melainkan juga menyangkut kebersamaan hidup sehari-hari Purwo Hadiwardoyo, 1988:21.
Keharmonisan keluarga dalam Kitab Hukum Kanonik kan. 1055 tampak dari tujuan perkawinan yaitu untuk kesejahteraan suami istri, prokreasi, dan
pendidikan anak Rubiyatmoko, 2011:19. Dari kanon ini tampak suatu gambaran bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang mampu mencapai tujuan
dari perkawinan yaitu di mana pasangan suami-istri mampu mengungkapkan cintanya, kemudian cinta itu disempurnakan dengan kehadiran buah hati dan
mendidiknya menjadi generasi yang baik Gilarso, 1996:11. Dengan kata lain, kebahagiaan keluarga sangat tergantung kepada kebersamaan yang serasi antara
semua anggota keluarga, yaitu pasangan suami-istri, dan semua anak-anak Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia, 1981:21. Secara
sederhana keluarga harmonis dapat dimengerti sebagai situasi di mana semua anggota keluarga saling menghargai dan mensyukuri serta terciptanya kasih
sayang satu sama lain Seks Bukan Penyebab Utama Perceraian.
2. Keluarga Katolik yang Harmonis menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja
Pada pemaparan di atas telah rinci dijelaskan pengertian dari keluarga yang harmonis dan beberapa aspek yang mempengaruhi bagi terwujudnya
keluarga katolik yang harmonis. Selain teori-teori keharmonisan di atas, keluarga keluarga katolik yang harmonis juga diungkapkan dalam Kitab Suci dan Ajaran
Gereja.
53
a. Keharmonisan keluarga Katolik dalam ajaran Kitab Suci
Menurut Kitab Kejadian 1:26-28 diceritakan bahwa Allah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Dari ungkapan tersebut menunjukkan
bahwa adanya pria dan wanita adanya seksualitas yang dimengerti sebagai kenyataan sebagai pria dan sebagai wanita. Seksualitas tersebut dikehendaki oleh
Allah karena pria dan wanita diciptakan-Nya, sehingga dengan demikian seksualitas itu merupakan hal yang baik, berharga, dan suci Purwa Hadiwardoyo,
1988:12. Laki-laki dan perempuan kemudian diberkati oleh Allah, sehingga dengan
demikian semakin menegaskan bahwa seksualitas itu berasal dari Allah dan dinilai baik oleh-Nya. Purwa Hadiwardoyo, 1988:13.
Sedangkan berdasarkan Kitab Kejadian 2:18-25 yang menceritakan bahwa wanita diciptakan dari “tulang rusuk” pria menunjukkan bahwa secara kodrati pria
dan wanita memiliki unsur kesatuan. Selanjutnya diceritakan bahwa wanita itu kemudian “dibawa” oleh Allah kepada pria. Hal tersebut mau mengungkapkan
bahwa pertemuan seorang wanita dan seorang pria dalam perkawinan terjadi karena dorongan Allah sendiri Purwa Hadiwardoyo, 1988:13.
Kitab Tobit dalam bab keenam hingga kedelapan menghisahkan bagaimana malaikat Raphael mendorong Tobias agar mengawini Sarah, putri
Raguel, dan menegaskan bahwa perkawinan perlu dilaksanakan menurut hukum Musa serta dimeriahkan dengan pesta. Dalam hal ini hukum Musa dipahami
sebagai hukum yang berasal dari Allah dan Allah sendirilah yang mendorong agar perkawinan dimeriahkan dengan perayaan. Dari kisah tersebut Kitab Tobit ingin